Syi'ah
di Indonesia Sering Lakukan Kebohongan Publik
YOGYAKARTA
(voa-islam.com) – Lembaga Da’wah Kampus Jama’ah Sholahudin Universitas
Gadjah Mada (LDK JS UGM) bekerjasama dengan Jama’ah Muslim FISIPOL (JMF) UGM
dan JPP In Action UGM Yogyakarta mengadakan seminar nasional dengan tema
“Bagaimana Bersikap terhadap Syiah” pada Sabtu pagi (17/11/2102).
Selaku pemateri dalam
acara yang dilaksanakan di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM tersebut adalah
Ustadz Fahmi Salim, M.A selaku Wasekjen Majelis Intlektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI), KH. Dr. H. Abdullah Syamsul Arifin, MHI selaku Dosen Pasca
Sarjana STAIN Jember, Jawa Timur dan Ustadz Idrus Ramli selaku Ketua Lembaga
Bahtsul Masail PBNU Jember, Jawa Timur.
Seminar dimulai pada
pukul 09.00 WIB dengan prakata dari moderator mengenai pemberitaan media massa
yang selalu mengabarkan bahwa Syi’ah di Indonesia sebagai pihak minoritas yang
teraniaya berkaitan dengan tragedi-tragedi yang melibatkan Syi’ah di tanah air.
Dari kejadian-kejadian itu, lalu bagaimana kaum muslimin yang berfaham Ahlu
Sunnah harus bersikap kepada Syi’ah?
Setelah moderator
mengawali acara dengan melontarkan pertanyaan tersebut, acara kemudian
dilanjutkan dengan pemaparan dari para narasumber yang pertama kali berkempatan
memberikan penjelasannya yaitu Ustadz Fahmi Salim M.A.
Dalam presentasi
makalahnya yang berjudul “Dilema Syi'ah di Indonesia”, Ustadz yang juga
menjabat sebagai Komisi Pengkajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini
menjelaskan pada seminar nasional tersebut bahwa persoalan Syi’ah yang telah
menjadi isu utama relasi antar-mazhab dan aliran di dunia Islam merupakan
persoalan yang pelik, namun sebetulnya mudah untuk diidentifikasi akar
permasalahannya.
Sejak kemunculanya,
sekte ini kemudian menjelma menjadi suatu doktrin Theologis (Aqidah), cita-cita
sosial dan gerakan politik, sekaligus upaya yang menentang dan menantang proyek
peradaban Islam yang dikembangkan oleh mayoritas umat Islam yang berakidah Ahlu
Sunnah wal Jama'ah.
Menurut Ustadz Fahmi,
problem tentang Sunni-Syi’ah di Indonesia pemicu awalnya yaitu ketika
terjadinya Revolusi “Islam” Syi’ah yang sukses di Iran pada tahun 1979 dan
kemudian berkuasa hinggasaat ini. Namun menurut beliau, sikap dan respon MUI
sebagai representasi ormas Islam dan wadah para ulama dan cendekiawan muslim,
dinilai lamban dan belum responsive menyikapi infiltrasi dan doktrin syiah yang
masuk dengan gencarnya di Indonesia.
Padahal menurut beliau,
sudah banyak para peneliti Sunni yang melakukan pemetaan konflik Sunni-Syi’ah
dan kemudian berkesimpulan bahwa Syi’ah merupakan ajaran yang sudah terlepas
dari islam. Jadi, dari berbagai macam penelitian yang dilakukan oleh tokoh dan
ulama di Indonesia maupun dunia sudah menyatakan bahwa Syi’ah bukanlah suatu
madzab dari salah satu madzab didalam islam.
Dalam seminar tersebut
juga dijelaskan dengan tegas bagaimana pendapat Ahlu Sunnah berkaitan dengan
kelompok Syi’ah, yang mana dalam beberapa pendapat tersebut menyatakan bahwa
Syi’ah meyakini Al Qur'an yang sekarang ini dipakai dan dijadikan pedoman bagi
Ahlu Sunnah adalah tidak orisinil dan sudah mengalami distorsi penambahan dan
pengurangan.
Hal ini ditemukan dari
kitab salah satu tokoh Syi’ah, Al-Mufid dalam Kitab Awail Al Maqalaat halaman
91 dan hal tersebut menjadi salah satu pondasi dasar keimanan mereka. Meski ada
segelintir ulama Syi’ah yang mengingkari tahrif tersebut,
itupun menurut ulama lainnya dilakukan karena landasanTaqiyyah (berpura-pura),
yang Taqiyyah itu merupakan Aqidah bagi kaum Syi’ah.
Sedangkan pendapat Ahlu
Sunnah tentang Al Qur’an menurut ulama-ulama Sunni telah menyatakan dengan
tegas bahwa Al Qur'an yang dipegang dan diamalkan umat Islam diseluruh dunia
adalah asli dan tidak ada pengurangan ataupun penambahan.
Menurut pendapat dari
Al-Imam al Hafiz Abu Amr al-Dani Al-Maliki Al-Asy'ri berkata, “Orang yang
menolak atau mengingkari satu huruf dalam Al-Qur'an adalah kafir. Orang yang
meyakini terjadinya perubahan dalam Al-Qur'an adalah sesat dan menyesatkan.
Kafir dan bermaksud membatalkan ajaran Islam”, ucapnya.
Adapun kesesatan Syi’ah
lainnya yang dijelaskan dalam seminar tersebut yaitu tentang kedudukan imam
mereka dari para nabi dan rasul. Hal ini terangkum dalam buku Imam Khumaini
berjudul Al-Hukumat al Islamiyyah, halaman 52. Yang mana, hal itu kemudian
dibantah dalam seminar tersebut melalui pendapat Syaikh Nawawi Banten yang
mengkutip dari Firman Allah swt, “dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth. Masing-masing(para
rasul itu) kami lebihkan derajatnya di atas umat lainnya (pada masanya)”. (QS.
Al-An'Am 6 : 86).
Lalu banyak lagi
sebenarnya kesesatan-kesesatan Syi’ah yang lainnya seperti penghinaan terhadap
para sahabat Rosululloh SAW yang mulia beserta istri-istri Rosulullah SAW, lalu
nikah mut'ah yang masih dihalalkan Syi’ah dan sampai dengan sekarang ini, masih
banyak lagi kesesatan yang dilakukan oleh Syi’ah.
Hal tersebut menurut
Ustadz Fahmi tidak terlepas dari pengaruh Revolusi Syi’ah Iran ke dunia Islam.
Beliaupun menambahkan dengan menjelaskan pergerakan Syi’ah di Iraq. Karena Iraq
berpengaruh dalam proses pembentukan ideologi revolusioner Iran. Karena di
Iraq-lah, tepatnya di kota Najaf, Khomeini ketika itu diusir oleh rezim Syah
Pahlevi pada tahun 1965.
Setelah itu para
koleganya membentuk sebuah idiological yang bertugas mengembangkan network
revolusi “Islam” ke seluruh dunia Islam. Sehingga hasilnya adalah meletusnya
revolusi Iran tahun 1979 dengan sukses. Dari hal tersebut lalu berkembang dan
menjadikan agen-agen Syi’ah di seluruh dunia lebih berani untuk menyebarkan
pemahaman mereka.
Mengenai pergerakan
syiah di Indonesia, selama ini banyak dimaknai salah oleh sebagian kalangan
yang menganggap bahwasanya Syi’ah adalah pihak minoritas yang teraniaya, lalu
yang mengusik pemahaman serta dakwah syiah di Indonesia adalah orang-orang yang
tidak menghargai HAM (Hak Asasi Manusia). Maka dengan pendapat yang demikian
tersebut di bantah oleh Ustadz Fahmi Salim.
Beliau mengatakan, “Jika
kebebasan atau pemahaman akan keyakinan golongan tersebut yang dimaksud HAM
adalah melukai atau menistakan, serta mengkafirkan orang yang diluar golonganya
adalah HAM, maka hal tersebut adalah bukan kebebasan atau HAM yang
sesungguhnya”, tegasnya.
Seperti diketahui
bersama, mengkafirkan orang diluar golongannya adalah pemahaman Syi’ah dan
menistakan agama melalui simbol-simbol keagaman seperti menghujat istri-istri
serta sahabat Rosulullah SAW kecuali beberapa sahabat saja adalah dasar dari
pemahaman syiah. Maka dengan ini sudah jelas kesesatan syiah.
Hal ini kemudian
didukung oleh pendapat dari KH. Dr. H Abdullah Syamsul Arifin sebagai
narasumber lainya mengkutip dari perkataan Imam Al-ghazali. KH. Syamsul Arifin
berkata, “Orang yang berkata demikian sementara dia tahu penjelasan dari hadits
namun tetap meyakini kekafiran Abu Bakar dan Umar, maka dia kafir, sebab telah
mendustai Rosulullah SAW. Adapun orang yang mendustai Rosulullah sekalipun itu
satu kalimat dari sabda-sabda beliau, maka dia kafir berdasarkan ijma',
(Fadhaih al-Bathaniyyah, halaman 149)”, paparnya.
Menurut beliau, hal tersebut
tidaklah mengherankan, karena dalam hadits Syi’ah dikatakan semua sahabat telah
murtad kecuali empat sahabat yang mereka yakini masih beriman yaitu Miqdad bin
al-aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi. Hal tersebut dapat dilihat
dalam kitab Syi’ah berjudul al-Kulani dan Ushul al-Kafi, 8/245).
Maka dengan hal itu,
kemudian MUI pada tahun 1984 membuat fatwa mengenai kewaspadaan terhadap
Syi’ah, bukan saja sebagai faham yang menyimpang dari ajaran esensial Islam,
namun juga ancaman ideologi politik imamah-nya termasuk ekspor revolusi seperti
yang telah dicanangkan oleh Ayatullah Khomeini. MUI lalu menambah fatwa itu
dengan pedoman 10 kriteria sesat yang walaupun Syi’ahnya tidak disebutkan lagi
sekurangnya ada 5 poin aliran yang pemahaman Syi’ah termasuk didalamnya.
Sementara itu, menurut
Ustadz Idrus Ramli sebagai narasumber terakhir dari seminar nasional
tersebut, beliau menyatakan telah terjadi ketidakstabilan pada umat Islam
di Indonesia ini, dengan syiah yang memprovokasi Ahlu Sunnah wal Jama’ah
melalui hinaan-hinaannya kepada para istri-istri dan sahabat Rasulullah SAW
yang selama ini sangat dihormati oleh umat Islam Sunni di Indonesia dan bahkan
di seluruh dunia.
Adapun peristiwa dan
tragedi-tragedi yang terjadi dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini,
seperti:
- Bondowoso
Jawa Timur pada November 2006. Terjadi ketika Kyai AM (sunni) dengan
kelompok Syi’ah yang dimotori oleh IJABI Bondowoso yang dipimpin oleh
Bakir Muhammad al-habsyi menggelar ritual do’a Kumail.
- Kab.
Sampang, Madura pada 9 April 2007, pembubaran peringatan maulid Nabi
Muhammad SAWyang dilakukan oleh Syi’ah, dan dibubarkan oleh massa Ahlu
Sunna wal Jamaah.
- Bangil
Jawa Timur pada 20 April 2007, beberapa ormas Islam (Persis, Muhammadiyah,
NU) dan pesantren yang dibawah naungnya. berencana mendatangi pesantren
YAPPI karena diduga sebagai tempat pengkaderan syiah.
- Kebun
Rucuk, Kec. Ampean, Lombok Barat, NTB pada 13 Januri 2008, pembubaran
peringatan hari asy-syura. Pembubaran
dilakukan sekitar 200 orang.
- Kab. Sampang, Madura pada 30 Desember 2011, kelompok
sunni yang hilang kesabaran membakar fasilitas rumah dan mushalla pimpinan
Syi’ah Tajul Mulk di desa Karang Gayam, Kec. Omben.
- Omben, Sampang, Madura pada 26 Agustus 2012, jatuh satu
korban tewas yang dipicu aktivitas dari Pesantren YAPPI Bangil yang
menjadi pusat pendidikan dan pengkaderan Syi’ah di Jawa Timur.
Menurut pemaparan Ustadz
Idrus Ramli, tragedi-tragedi yang terjadi tersebut pemicu awalnya adalah adanya
provokasi kaum Syi’ah terhadap Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang seringkali
menghujat istri-istri dan sahabat Rasulullah yang SAW yang begitu dihormati
serta dicintai oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Berangkat dari hal-hal
tersebut, maka seluruh narasumber yang terdiri dari Ustadz Fahmi Salim M.A, KH.
Dr.H. Abdullah Syamsul Arifin, MHI. dan Ustadz Idrus Ramli merekomendasikan
kepada MUI dan terkhusus pada MUI pusat agar meminta dan menekan pemerintah RI
dan kementerian Agama RI dan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan RI untuk
menghentikan laju perkembangan Syi’ah di Indonesia yang dirasakan sangat
meresahkan umat Islam di Indonesia dan berpotensi mengancam stabilitas Negara
serta memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. (Umar/Bekti)