Thursday, March 19, 2015

Salaf dan Perdebatan

Di antara hal-hal yang diingkari oleh para ulama salaf adalah perdebatan, perselisihan, serta berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Perbuatan ini bukanlah merupakan kebiasaan para imam Islam (kalangan salaf). Ia hanyalah kebiasaan yang diada-adakan setelah mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh fuqahaa’ ‘Iraq dalam permasalahan khilafiyyah antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Mereka menulis buku-buku tentang khilaaf dan memperluas pembahasannya, serta memperpanjang perdebatan di dalamnya. Semua itu adalah muhdats yang tidak ada asalnya (dalam Islam). Akan tetapi hal itu telah menjadi bagian ilmu mereka hingga menyibukkan mereka dari ilmu yang bermanfaat.
Para ulama salaf telah mengingkari dan membantah kebiasaan perdebatan/berbantah-bantahan (yang dilakukan sebagian orang) melalui hadits marfu’ dalam kitab Sunan :
ما ضل قوم بعد هدى إلا أوتوا الجدل ثم قرأ (ما ضَرَبوهُ لَكَ إِلّا جَدَلاً بَل هُم قَومٌ خَصِمون)
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mereka berjalan di atas petunjuk, kecuali setelah mereka terjatuh dalam perdebatan”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammembaca ayat : “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3250, Ibnu Majah no. 48, Al-Haakim 2/447-448, Ahmad 5/252, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir no. 8067; dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Shahiihul-Jaami’ no. 5633].
Berkata sebagian salaf :
إذا أراد الله بعبد شراً أغلق عنه باب العمل وفتح له باب الجدل
“Apabila Allah menginginkan seorang hamba dengan keburukan, maka Ia akan menutup pintu amal dan membuka pintu perdebatan baginya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/361 dan Al-Khathiib dalam Iqtidlaaul-‘Ilmi hal. 80 dari perkataan Al-Khurkiy].
Maalik (bin Anas) berkata :
أدركت أهل هذه البلدة وإنهم ليكرهون هذا الإكثار الذي فيه الناس اليوم: يريد المسائل
“Aku telah menemui penduduk negeri ini (yaitu Madinah) dimana mereka membenci satu hal yang banyak dilakukan orang-orang di hari ini – yang beliau maksudkan adalahal-masaail (yaitu perdebatan masalah fiqh)” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Faqih wal-Mutafaqqih 2/9].
Sering pula didapati beliau (Al-Imam Malik) mencela orang yang banyak bicara dan berfatwa. Beliau berkata :
يتكلم أحدهم كأنه جمل مغتلم يقول هو كذا هو كذا بهدر في كلامه
“Banyak di antara mereka yang berbicara seperti (bicaranya) onta. Ia menyatakan : ‘Hal ini begini dan begitu’ – dimana perkataannya itu tidak ada faedahnya”.
Malik juga tidak menyukai menjawab dalam banyak permasalahan, dimana beliau berkata :
قال اللَهُ عز وجل (وَيَسأَلونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِن أَمرِ رَبّي) فلم يأته في ذلك جواب
“Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku’ (QS. Al-Israa’ : 85). Di situ Allah tidak memberikan jawaban (atas pertanyaan mereka)”.
Pernah dikatakan kepada Maalik : “Bolehkan seorang yang berilmu tentang sunnah berdebat dengan ilmunya itu ?”. Maka beliau menjawab :
لا ولكن يخبر بالسنة فان قبل منه وإلا سكت
“Tidak boleh. Namun yang mesti ia lakukan adalah menyampaikan sunnah. Jika diterima, maka itu baik; dan jika tidak, hendaklah ia diam”.
Maalik juga berkata :
المراء والجدال في العلم يذهب بنور العلم
“Perdebatan dan berbantah-bantahan dalam ilmu akan menghilangkan cahaya ilmu”.
المراء في العلم يُقسي القلب ويورث لضعن
“Berbantah-bantahan dalam masalah ilmu dapat menyebabkan kerasnya hati dan membuahkan kebencian”.
Dan bila ditanyakan kepada beliau persoalan, sering dijawab dengan kata-kata : “Aku tidak tahu”. Begitu pula Al-Imam Ahmad melakukannya sebagaimana dilakukan Al-Imam Malik.
Telah diriwayatkan tentang larangan banyak pertanyaan, bertanya dalam masalah-masalah yang pelik (mengada-ada), dan bertanya mengenai sesuatu yang belum terjadi; yang jika diuraiakan satu-persatu akan menjadi panjang pembahasannya. Bersamaan dengan itu, banyak perkataan salaf dan para imam seperti Maalik, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq adanya satu penegasan mengenai sumber fiqh dan dasar-dasar hukum dalam satu perkataan yang ringkas, dipahami maksudnya, tanpa harus dijelaskan panjang lebar. Dalam perkataan mereka terdapat pula bantahan terhadap pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah dimana bantahan-bantaha tersebut disampaikan dengan isyarat yang halus dan ungkapan yang baik sehingga mudah untuk dipahami, daripada disampaikan perkataan panjang lebar lagi bertele-tele versi ahli kalam yang datang setelah mereka. Dan bahkan perkataan para ahli kalam yang panjang lebar itu tidak mengandung faedah/kebenaran sama sekali dibandingkan perkataan salaf dan para imam meskipun disampaikan secara ringkas.
Para ulama salaf sering diam dan tidak memperdulikan banyaknya perdebatan dan perbantahan. Hal itu mereka lakukan bukan karena bodoh dan lemah (dalam hujjah), namun justru karena ilmu yang mereka miliki dan rasa takut kepada Allah ta’ala. Adapun orang-orang yang sering memperluas permasalahan setelah kaum salaf, bukan berarti mereka mempunyai satu kekhususan ilmu dibandingkan yang lain. Mereka lakukan itu karena rasa senang terhadap kalam dan sedikitnya rasa wara’ (dalam agama). Sebagaimana dikatakan Al-Hasan saat mendengar satu kaum yang tengah melakukan perdebatan :
هؤلاء قوم ملوا العبادة وخف عليهم القول وقل ورعهم فتكلموا
“Mereka adalah satu kaum yang telah bosan beribadah (kepada Allah), menganggap remeh perkataan, dan sedikitnya rasa wara’. Maka mereka banyak berbicara..” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd hal. 272 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah2/156].
Mahdiy bin Maimun berkata :
سمعت محمد بن سيرين وما رآه رجل ففطن له فقال إني أعلم ما يريد إني لو أردت أن أماريك كنت عالماً بأبواب المراء: وفي رواية قال أنا أعلم بالمراء منك ولكني لا أماريك
“Aku mendengar Muhammad bin Siiriin berkata saat didebat seseorang dan memahami maksud perkataan orang itu : ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu inginkan, Kalau saja aku ingin mendebatmu, maka aku telah mengetahui tentang cara-cara berdebat – dalam riwayat lain : Aku lebih mengetahui perdebatan dibanding kamu – Namun aku tidak mau berdebat denganmu” [Diriwayatkan oleh Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ahhal. 61-62].
Ibrahim An-Nakha’iy berkata :
ما خاصمت قط
“Aku tidak pernah sama sekali berdebat”.
‘Abdul-Kariim Al-Hauriy berkata :
ما خاصم ورع قط
“Seorang yang wara’ tidak akan pernah melakukan perdebatan”.
Ja’far bin Muhammad berkata :
إياكم والخصومات في الدين فإنها تشغل القلب وتورث النفاق.
“Jauhilah oleh kalian berbantah-bantahan dalam masalah agama, karena dapat menyibukkan hati dan membuahkan kemunafikan” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/48].
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah berkata :
إذا سمعت المراء فاقصر
“Apabila engkau mendengar perdebatan, maka tinggalkanlah”.
من جعل دينه عرضاً للخصومات أكثر الثقل
“Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai ajang perdebatan, niscaya banyak beban/kesukaran yang menimpanya”.
إن السابقين عن علم وقفوا وببصرنا قد كفوا وكانوا هم أقوى على البحث لو بحثوا
“Sesungguhnya orang-orang terdahulu telah diam karena ilmu mereka. Dan kami menyaksikan mereka menahan diri (dalam perdebatan), padahal mereka adalah orang-orang yang kuat dalam pembahasan jika mereka mau membahasnya…”.
Dan masih banyak lagi perkataan salaf dalam masalah ini.
Akan tetapi, orang-orang yang datang kemudian banyak terpedaya oleh kondisi yang ada. Mereka mengira bahwa barangsiapa yang banyak berbicara dan hebat dalam berdebat dalam masalah-masalah agama, maka ia adalah orang yang paling berilmu (dalam hal yang ia bicarakan) dibanding selainnya. Padahal permasalahannya tidaklah demikian. Lihatlah apa yang ada pada shahabat besar dan ulamanya seperti Abu Bakr, ‘Umar (bin Al-Khaththaab), ‘Aliy (bin Abi Thaalib), Mu’adz (bin Jabal), Ibnu Mas’uud, dan Zaid bin Tsaabit; bagaimanakah keadaan mereka ? Perkataan mereka lebih sedikit dibandingkan perkataan Ibnu ‘Abbas, padahal mereka lebih berilmu dibandingkannya (Ibnu ‘Abbas). Perkataan tabi’iin lebih banyak dibandingkan generasi shahabat, padahal para shahabat lebih berilmu dibandingkan mereka (tabi’in). Begitu pula perkataantabi’ut-tabi’iin yang lebih banyak dibandingkan tabi’in, padahal tabi’in lebih berilmu dibandingkan mereka (tabi’ut-tabi’in). Ilmu tidaklah diukur berdasarkan banyaknya riwayat dan perkataan, namun ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati yang dengannya seseorang dapat mengenal kebenaran, membedakan antara yang haqdan yang baathil; kemudian hal itu dikatakan dalam ungkapan yang ringkas dan padat untuk mencapai maksud yang dikehendaki.
Salah satu keistimewaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa beliau dikarunia jawaami’ul-kalim (perkataan ringkas, namun padat maknanya). Dan beliau meringkas perkataannya.
Oleh karena itu, telah diriwayatkan adanya pelarangan dalam banyak perkataan dan memperluas : qiila wa qaala. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
إن اللَه لم يبعث نبيا إلا مبلغاً وأن تشقيق الكلام من الشيطان
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengutus seorang nabi pun kecuali sebagai penyampai (wahyu Allah kepada manusia). Dan sesungguhnya membagus-baguskan perkataan termasuk dari syaithan”.
Maksudnya : Nabi hanyalah berbicara sesuai kadar yang dapat dipahami dari risalah yang dibawanya. Adapun memperbanyak perkataan dan membagus-baguskannya adalah tercela. Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila berkhutbah, maka khutbahnya tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek (pertengahan). Dan ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, jika ada orang yang hendak menghitung jumlah kata-katanya, niscaya ia dapat menghitungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
إن من البيان سحراً
“Sesungguhnya sebagian dari bayan (penjelasan dengan kata-kata yang indah) adalah sihir”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya hanya untuk pencelaan, bukan pujian. Barangsiapa yang memperhatikan konteks hadits, niscaya akan mengambil kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukakan. Dalam riwayat At-Tirmidziy dan yang lainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ disebutkan :
إن اللَه ليبغض البليغ من الرجال الذي يتخلل بلسانه كما تتخلل البقرة بلسانها
“Sesungguhnya Allah membenci laki-laki yang memperindah perkataannya dimana ia memutar lidahnya sebagaimana seekor sapi memutar lidahnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/165, Abu Dawud no. 5005, At-Tirmidzi no. 2853, dan Al-Baihaqiy dalamSyu’abul-Iman 2/180; dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shahiihah no. 880].
Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat hadits yang semakna dengan ini, baik melalui jalur periwayatan yang marfu’ maupun mauquf dari ‘Umar, Sa’d, Ibnu Mas’uud, ‘Aisyah, dan yang lainnya dari kalangan shahabat. Untuk itu wajib wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang yang mempunyai retorika penyampaian yang memikat, maka ia adalah orang yang lebih berilmu dibanding orang yang tidak sepertinya.
[Dari perkataan Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah (w. 795 H) dalam Fadllu ‘Ilmis-Salaf ‘alal-Khalaf, Maktabah Ruuhul-Islaam, http://www.islamspirit.com – Abu Al-Jauzaa’ dalam keheningan malam pertengahan pekan pertama bulan Ramadlan 1430 H di Ciomas Permai].
Teks asli :
ومما أنكره أئمة السلف الجدال والخصام والمراء في مسائل الحلال والحرام أيضاً ولم يكن ذلك طريقة أئمة الإسلام: وإنما أحدث ذلك بعدهم كما أحدثه فقهاء العراقين في مسائل الخلاف بين الشافعية والحنفية وصنفوا كتب الخلاف ووسعوا البحث والجدال فيها وكل ذلك محدث ل أصل له وصار ذلك علمهم حتى شغلهم ذلك عن العلم النافع.
وقد أنكر ذلك السلف وورد في الحديث المرفوع في السنن : ما ضل قوم بعد هدى إلا أوتوا الجدل ثم قرأ ما ضَرَبوهُ لَكَ إِلّا جَدَلاً بَل هُم قَومٌ خَصِمون). وقال بعض السلف : إذا أراد الله بعبد شراً أغلق عنه باب العمل وفتح له باب الجدل.

وقال مالك : أدركت أهل هذه البلدة وإنهم ليكرهون هذا الإكثار الذي فيه الناس اليوم: يريد المسائل وكان يعيب كثرة الكلام والفتيا ويقول يتكلم أحدهم كأنه جمل مغتلم يقول هو كذا هو كذا بهدر في كلامه وكان يكره الجواب في كثرة المسائل ويقول قال اللَهُ عز وجل (وَيَسأَلونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِن أَمرِ رَبّي) فلم يأته في ذلك جواب. وقيل له الرجل يكون عالماً بالسنن يجادل عنها قال لا ولكن يخبر بالسنة فان قبل منه وإلا سكت: وقال المراء والجدال في العلم يذهب بنور العلم وقال المراء في العلم يُقسي القلب ويورث الضعن: وكان يقول في المسائل التي يسئل عنها كثيراً لا أدري: وكان الإمام أحمد يسلك سبيله في ذلك.

وقد ورد النهي عن كثرة المسائل وعن أغلوطات المسائل وعن المسائل قبل وقوع الحوادث وفي ذلك ما يطول ذكره: ومع هذا ففي كلام السلف والأئمة كمالك والشافعي وأحمد وإسحاق التنبيه على مأخذ الفقه ومدارك الأحكام بكلام وجيز مختصر يفهم به المقصود من غير إطالة ولا إسهاب: وفي كلامهم من رد الأقوال المخالفة للسنة بألطف إشارة وأحسن عبارة بحيث يغني ذلك من فهمه عن إطالة المتكلمين في ذلك بعدهم بل ربما لم يتضمن تطويل كلام من بعدهم من الصواب في ذلك ما تضمنه كلام السلف والأئمة مع اختصاره وإيجازه فما سكت من سكت من كثرة الخصام والجدال من سلف الأمة جهلا ولا عجزاً ولكن سكتوا عن علم وخشية للَّه. وما تكلم من تكلم وتوسع من توسع بعدهم لاختصاصه بعلم دونهم ولكن حباً للكلام وقلة ورع كما قال الحسن وسمع قوما يتجادلون هؤلاء قوم ملوا العبادة وخف عليهم القول وقل ورعهم فتكلموا.
وقال مهدي بن ميمون سمعت محمد بن سيرين وما رآه رجل ففطن له فقال إني أعلم ما يريد إني لو أردت أن أماريك كنت عالماً بأبواب المراء: وفي رواية قال أنا أعلم بالمراء منك ولكني لا أماريك وقال إبراهيم النخعي ما خاصمت قط وقال عبد الكريم الحوري ما خاصم ورع قط وقال جعفر بن محمد إياكم والخصومات في الدين فإنها تشغل القلب. وتورث النفاق.
وكان عمر بن عبد العزيز يقول إذا سمعت المراء فاقصر وقال من جعل دينه عرضاً للخصومات أكثر الثقل وقال أن السابقين عن علم وقفوا وببصرنا قد كفوا وكانوا هم أقوى على البحث لو بحثوا وكلام السلف في هذا المعنى كثير جداً.

وقد فتن كثير من المتأخرين بهذا فظنوا أن من كثر كلامه وجداله وخصامه في مسائل الدين فهو أعلم ممن ليس كذلك. وهذا جهل محض. وانظر إلى أكابر الصحابة وعلمائهم كأبي بكر وعمر وعلي ومعاذ وابن مسعود وزيد بن ثابت كيف كانوا. كلامهم أقل من كلام ابن عباس وهم أعلم منه وكذلك كلام التابعين أكثر من كلام الصحابة والصحابة أعلم منهم وكذلك تابعوا التابعين كلامهم أكثر من كلام التابعين والتابعون أعلم منهم. فليس العلم بكثرة الرواية ولا بكثرة المقال ولكنه نور يقذف في القلب يفهم به العبد الحق ويميز به بينه وبين الباطل ويعبر عن ذلك بعبارات وجيزة محصلة للمقاصد.
وقد كان النبي صلي الله عليه وسلم أوتي جوامع الكلم واختصر له الكلام اختصاراً ولهذا ورد النهي عن كثرة الكلام والتوسع في القيل والقال( وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : أن اللَه لم يبعث نبيا إلا مبلغاً وأن تشقيق الكلام من الشيطان. يعني أن النبي إنما يتكلم بما يحصل به البلاغ. وأما كثرة القول وتشقيق الكلام فإنه مذموم. وكانت خطب النبي صلى الله عليه وسلم قصداً. وكان يحدث حديثاً لو عده العاد لأحصاه. وقال أن من البيان سحراً. وإنما قاله في ذم ذلك لا مدحاً له كما ظن ذلك من ظنه ومن تأمل سياق ألفاظ الحديث قطع بذلك وفي الترمذي وغيره عن عبد الله بن عمرو مرفوعاً ; أن اللَه ليبغض البليغ من الرجال الذي يتخلل بلسانه كما تتخلل البقرة بلسانها. وفي المعنى أحاديث كثيرة مرفوعة وموقوفة على عمر وسعد وابن مسعود وعائشة وغيرهم من الصحابة فيجب أن يعتقد أنه ليس كل من كثر بسطة للقول وكلامه في العلم كان أعلم ممن ليس كذلك.