PERIKEHIDUPAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KARYA DR MUHAMMAD
HUSAIN HAEKAL
Oleh
Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsary
Oleh
Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsary
Buku ini ditulis ketika fase pemikiran Arab dan Islam mengalami kemunduran, kalau tidak boleh dikatakan mengalami masa suram di negara-negara Eropa. Buku ini beredar luas karena sering naik cetak, (termasuk di Indonesia, edisi terjemah, -pent)
Paruh pertama kitab ini, tidak berbeda dengan buku-buku orientalis [1] mana pun, meskipun penulis berupaya menampakkan pembelaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah Gharaniq [2] dan pada pernikahan beliau dengan Zainab bintu Jahsy [3]. Tetapi pembelaannya pada kisah Gharaniq bagaikan ungkapan “Berjihad tanpa ada musuh dan berperang bukan di tempat peperangan”. Mengapa begitu? Karena peperangan ini telah dipungkasi oleh para ulama pada masa awal, seperti pengakuannya sendiri. Lantaran dia menukil ucapan dari Ibnu Ishaq (w. 151H), “Hadits ini dibuat oleh orang-orang zindiq”.
Dr Haekal mengklaim buku ini ditulis dengan metode ilmiah dan sistematika modern. Pada hal. 47 dia berkata. “Aku tulis pembahasan ini dengan metode ilmiah modern dan dengan sistematika masa kini”. Katanya lagi pada hal. 47 “Tetapi pada beberapa hal aku panjang lebarkan guna menjelaskan faktor-faktor yang mendorong para ulama pemikir zaman dulu dan juga sekarang sebagaimana hal ini juga mendorong setiap peneliti yang cermat untuk tidak mengambil secara serampangan apa-apa yang termuat pada kitab-kitab sejaraah Nabi dan kaitab hadits. Juga mendorong untuk berpijak pada metode kritik ilmiah yang dapat menjaga dari ketegelinciran semampunya”.
Pada hal. 18, “Ini semua membuatku berpikir keras untuk mewujudkan keinginanku menulis kehidupan Muhammad dengan metode ilmiah yang benar dalam kitab tersendiri. Hal ini mendorongku untuk memikirkan sarana-sarana yang paling bagus guna memilah kitab-kitab sejarah dengan pemilahan yang ilmiah sesuai kemampuan”.
Akan tetapi sistematika modern dan ilmiah yang di klaim si Doktor, tidak membuatnya berpijak pada kaidah baku. Justru kalau pembaca cermati kitabnya, kritikan pertama kali terhadap penulis ialah ketika memaparkan peristiwa-peristiwa dan solusinya, ternyata dipaparkan tanpa kaidah metode baku, tetapi justru hanya berdasar perasaan dan akal penulis semata. Padahal para ulama hadits dan sirah memiliki metode yang sudah dikenal, tertuang dalam kitab-kitab musthalah dan kitab-kitab rijal.
Begitulah, karena pada hal. 18 dia mengatakan, “Sungguh telah jelas bagiku bahwa referensi paling valid untuk menulis sirah hanyalah Al-Qur’an yang mulia…”
Sayangnya, bukti ucapannya tidak terlihat pada bukunya. Dia hanya sekedar menaruh ayat Al-Qur’an tetapi istidlalnya sangat jauh menyimpang. Buktinya, dia jarang menyebut Jibril Alaihissalam dalam kitabnya, padahal Jibril membawa wahyu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh tiga tahun atau lebih. Tetapi yang sering disebutkan hanya pertemuan Ruh Qudus Alaihissalam dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau tidur. Dia lantas bersandar pada riwayat dha’if dari Ibnu Ishaq tanpa menyebut nama Jibril Alaihissalam, tetapi meletakkannya pada catatan kaki (lihat hal. 132) dan hadits ini mursal, dimursalkan (disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh Ubaid bin Umair.
Lihatlah hal. 237, katanya, “Tetapi Muhammad tidak butuh berpikir lama terhadap apa-apa yang mereka (musyrikin) sodorkan, untuk diketahui kalau mereka itu ingin menipu daya, maka seketika diwahyukan kepadanya”. Katanya lagi (hal.415), “Tidak terlalu lama Muhammad sudah memahami khabar tersebut, segeralah beliau mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam, Keduanya mendapati wanita itu dan memintanya turun dari kendaraan…”. Katanya lagi (hal. 246), “Sehingga kepalanya terantuk-antuk karena kantuk, di saat itulah dia melihat pertolongan Allah.”.
Dengan suguhan metode ilmiah dan sistematika modern ini, para pembaca dapat memahami bahwa memikirkan dan kecerdesan adalah pondasi kehidupan Muhammad, tidak ada pengaruh wahyu sama sekali. Ini merupakan bentuk pengingkaran dan membuang nash-nash shahih dan telah qath’i. Dr Haekal lebih banyak memfokuskan pada kontemplasi (perenungan) pada kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lihat hal. 133, 238 dan 354. Di situ dia menggambarkan kalau jiwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam gemar mencermati sesuatu. Katanya pada hal. 118, “Jiwa Muhammad gemar untuk melihat, mendengar dan mengetahui. Seakan terhalangnya beliau untuk mempelajari apa yang dipelajari anak-anak musuhnya membuatnya lebih bersungguh-sungguh dan sangat ingin untuk mengetahui”
Ucapan ini tidak benar, sebab nash qath’i menolak dan membantahnya, seperti firman-Nya.
“Artinya : Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu ; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)” [Al-Ankabut : 48]
Untuk memperkuat dugaannya, si Doktor berani mendustakan sejarah yang shahih, hadits dan sirah dengan menetapkan hubungan antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Yahudi dan Nasrani guna memahami agama mereka dan mempelajarinya.
Pada hal. 115 dia berkata, “begitu pula di Syam, Muhammad mencermati khabar-khabar Romawi dan agama Nasrani yang mereka peluk. Dia mendengar dari para pengajar kitab mereka dan penyembahan api dari Persia serta menunggu kejadian yang akan menimpa mereka meski umurnya baru dua belas tahun. Namun beliau memiliki ruh yang agung, hati yang cerdik, akal yang cerdas, tajam pandangan, dan kuat ingatan. Ditambah lagi dengan kapabilitasnya sebagai persiapan menerima risalah agung sehingga membuatnya memandang sesuatu dengan pandangan yang tajam dan mendalam. Tidak berhenti pada apa yang didengar dan dilihat tetapi hatinya bertanya-tanya, mana yang haq dari semua itu?”.
Katanya lagi pada hal. 115-116, “Muhammad mendengar khutbah-khutbah para khatib dari Yahudi dan Nasrani, yang mereka itu membenci saudara mereka dari Arab dan keberhalaannya. Mereka menuturkan dari kitab-kitab Isa dan Musa, menyeru orang-orang Arab kepada keyakinan yang mereka anggap benar. Beliau lantas menimbangnya dengan timbangan hatinya dan melihat bahwa ini lebih baik ketimbang keberhalaan yang menenggelamkan pelakunya. Hanya saja hal ini belum menenangkan hatinya”. Katanya lagi, “Nabi juga mendengar khutbah Qis dan khutbah Yahudi dan Nasrani. Namun perlu diketahui, mendengarnya beliau dari Qis bin Saidah Al-Iyadi tidak benar. Para imam menegaskan bahwa kisah itu palsu”.
Kisah-kisah lemah seperti ini banyak dimuat penulis. Dia juga menulis, “Penulis rahasia Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Yahudi” [Lihat hal. 312]
Termasuk kengawurannya, pada hal. 128-129, ketika berbicara tentang Khadijah, “Dan beliau, tidak ragu lagi, ketika suaminya yang pertama dan kedua meninggal pada masa jahiliyyah, beliau menghadap ke patung-patung itu, menanyakan mengapa patung-patung itu tidak merengkuhnya dengan rahmat dan kebaikannya? Mengapa patung itu tidak mengasihi hatinya?”.
Katanya lagi, “Ketika datang Zaid bin Haritsah, Nabi membelinya dan meminta Khadijah untuk membelinya maka Khadijah membelinya dari Nabi. Kemudian Nabi memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak”. Ini bukti kengawurannya seperti di muka. Dia berpaling dari riwayat yang shahih lagi masyhur kepada riwayat yang lemah untuk melegalkan kengawurannya tadi. Riwayat yang masyhur disebutkan Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hajar. Yakni, bahwa yang membeli Zaid adalah Hakim bin Hizam untuk Khadijah sebelum menikah dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian diberikan kepada Nabi setelah menikah dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang paling parah dari kitab ini, tentang kisah Isra’ dan Mi’raj hal.190-191. ‘Aku (Syaikh Masyhur) petikkan sebagian kebohongan dan kesalahannya yang dia nukil dari orientalis Durheim. Bahkan si Durheim mengakuinya dan menganggapnya sebagai uraian paling bagus pada topik ini.
Katanya, “Di tengah malam yang sangat tenang, burung-burung malam berhenti berkicau, binatang buas juga terdiam, air kolam tidak gemercik, angin menghentikan hembusannya, bangunlah Muhammad karena sebuah suara, ‘Wahai orang yang tidur, bangunlah!’, Maka beliau bangun, ternyata di depannya ada malaikat Jibril, jidatnya bercahaya dengan wajah yang putih bagaikan putihnya salju dengan rambut blonde yang terurai. Berdiri memakai pakaian dari permata dan emas, sayapnya terjuntai beraneka warna dan gemerlap. Di tangannya ada bintang yang menakjubkan namanya Buraq. Dia memiliki sayap seperti burung Nasar, menaik-turunkan sayapnya di hadapan Rasul…. Kemudian Rasul dibawa naik bertumpu pada batu Ya’qub, darinya Muhammad naik dengan cepat ke langit. Langit pertama berupa perak murni, tergantung padanya bintang-bintang yang dikaitkan dengan rantai emas….. Ketika beliau merenungkan ciptaan ini, tiba-tiba terangkatlah Sidratil Muntaha berdiri di sebelah kanan Arsy. Milyaran ruh malaikat bernaung dibawah Arsy tersebut…,
Inilah gambaran yang ditakjubi Dr Haekal. Komentarnya, “Kisah ini diringkas dari berbagai macam kitab sirah dengan ungkapan yang menawan dan elok”. Lanjutnya, “Ini riwayat orientalis Durheim dari kisah Isra Mi’raj. Engkau akan mendapati apa yang dikisahkan ini tercantum pada beberapa kitab sirah, meskipun jika engkau dapati kebanyakan berbeda dengan uraiannya (Durheim) dengan penambahan atau pengurangan pada sebagain sisi”.
Apa yang dikisahkan Duheim, kebanyakannya tidak terdapat pada kitab-kitab sirah yang dijadikan sandaran. Kisah ini tidak diterima oleh akal seorang muslim pun dan riwayat ini tidak shahih. Aku tidak tahu, kitab mana yang menujukkan omong kosong ini? Apakah pada sirah Ibnu Hisyam yang dia ikuti, tetapi tidak dia paparkan kecuali yang cocok dengan pemikiran orientalis dan menyembunyikan nash-nashnya jika berlawanan dengannya? Ini semuanya tidak bisa dipastikan. Andaikan dia memaparkan apa yang termuat pada Sirah Ibnu Hisyam niscaya dia telah berbuat baik dan memberi manfaat, tetapi dia menyimpang sehingga tegelincir dan sesat. Banyak sekali kesalahan dan keburukan pemahamannya terhadap profil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah beliau. Cukuplah contoh-contoh tadi sebagai penegasan kalau kitab ini pantas dikritik perkalimat.
Keanehan lain orang ini, pada hal. 21 dia berkata, ”Kitab sirah yang pertama ditulis setelah dua abad dari masa Muhammad…”, padahal dia bersandar pada Sirah Ibnu Hisyam. Dan sudah diketahui bahwa sirah Ibnu Hisyam merupakan ringkasan sirah Ibnu Ishaq, dan Muhammad bin Ishaq ini meninggal tahun 151H (paruh abada kedua, -pent). Lantas bagaimana dia menutup mata dari realita ini dan pura-pura tidak tahu? Aku tidak tahu, Ibnu Hisyam pun yang meringkas Sirah ini meninggal tahun 218 atau 213H?
Apa yang dia ikuti itu merupakan hasil dialog dengan orientalis, karena hal itu memberi ruang untuk berbeda pendapat, pemikiran dan ijtihad. Adapun nash-nash sirah dan sejarah adalah penukilan dari masa lalu, tidak ada ruang untuk ijtihad guna menciptakan hal baru. Tidak sebatas itu, namun juga ijtihad untuk menguraikannya dan penyimpulan apa yang ditunjukkan nash tersebut.
Bagaimanapun keadaannya, pada paruh kedua kitabnya dia bersikap jujur. Tetapi hal ini tidak menjadikan kitabnya sebagai referensi yang diakui dan bukan pula rujukan dalam menafsirkan sesuatu pun dari sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.
KESIMPULAN
Buku ini beracun karena tidak berpijak pada pijakan baku. Penulisnya berterus terang, “Aku tidak mengambil apa-apa yang tertuang dalam kitab sirah dan hadits karena aku lebih mengutamakan dalam bahasanku ini dengan metode ilmiah [4]”. Lantaran itu, dia berpijak pada akal sehingga hampir-hampir mengingkari hubungan wahyu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah orang yang memberikan kata pengantar kitabnya, Syaikh Musthafa Al-Maraghi (Syaikh Al-Azhar). Katanya, “Mukjizat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hebat ini tidak ada kecuali apa yang ada di Al-Qur’an, dan dia adalah mukjizat yang rasional.
Dengan demikian, buku ini hanya untuk mengedarkan sifat kepahlawanan, keagungan, kepemimpinan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semacamnya. Sebagai ganti dari sifat kenabian, wahyu dan risalah, dan untuk menutupi sifat-sifat tersebut serta menjauhkan dari memikirkannya. Oleh karena itu. Dr Haekal tidak menyebutkan mukjizat kauni (keanehan alam) dengan dalih bahwa hal itu tidak rasional.
Akhirnya kita bertanya kepada penulis, jika metode orang barat dalam mengkaji kehidupan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah metode yang ilmiah dan dapat mengantar kepada kebenaran seperti pandangan Husain Haekal, bukan metode yang dipakai oleh Salaf (pendahulu)kita, maka perkaranya hendaknya berhenti pada dua hal.
[1]. Orang-orang barat harus beriman dengan kenabiah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika Haekal memandang metode itu adalah benar.
[2]. Atau dia harus mengingkari kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memandang hal itu tidak benar.
Kami (Syaikh Masyhur) menyaksikan Siaran Radio Yahudi pada bulan Ramadhan 1968M memilih buku ini untuk diudarakan, bukan buku yang lain. Apakah hal itu karena Siaran Radio Yahudi itu benar-benar mendorong untuk tidak disiarkan sesuatu pun dari perikehidupan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejarahnya kecuali semata-mata dasar ilmiah? Cukuplah bagimu secara yakin, karena mutu buku inilah yang menyebabkan dipilih oleh Yahudi guna menutupi program-program agama dari siaran Radio Islam bagi kaum muslimin.
[Dirinkas dari kitab Kutubun Hadzdzara Minha Al-Ulama karya Syaikh Masyhur Hasan Salman I/354-362]
[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 5 Tahun V/Dzulhijjah 1426//Januari 2006, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik JATIM]
__________
Foote Note
[1]. Orientalis adalah orang-orang barat yang mempelajari budaya timur khususnya Islam,untuk tujuan tertentu terutama untuk menjajah negara-negara Islam dan merusak pemahaman Islam.
[2]. Kisah Gharaniq adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat An-Najm sampai ayat 19-20, tiba-tiba setan membisikkan kepada beliau lewat lisannya sehingga beliau mengatakan, “Latta, Uzza dan Manaf dalah gharani’ yang mulia, syafaat mereka diharapkan” Mendengar itu orang-orang musyrik berkomentar. “Sebelum ini, Muhammad tidak pernah menyebut tuhan-tuhan kita dengan baik”. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, mereka pun ikut sujud. Lantas turunlah ayat Al-Hajj : 52. Gharani’ artinya burung air. Patung-patung itu diserupakan dengan gharani’ karena dianggap dapat memberi syafa’at ke langit sebagaimana burung dapat terbang ke langit (lihat Fathul bari, Tafsir surat Al-Hajj dan Tuhfatl Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi, Al-Mubarakfuri, bab Sujud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca surat An-Najm.
[3]. Karena menikahi mantan istri anak angkat adalah aib menurut pandangan orang Arab ketika itu dan barangkali demikian pula menurut sebagian masyarakat sekarang.
[4]. Maka engaku akan
lihat dia pun ternyata tidak mengambil dari Shahih Bukahri dan Muslim untuk
menjaga gengsinya dan berpegang pada metode dan sistemnya.