Putra sulung Abdushshamad Busyahri, Hamid Busyahri Abu Utsman menuturkan kepada saya salah satu kisah terunik dan paling mengesankan bagi saya. Dia berkata,
Lima puluh tahun yang lalu, ayah saya, H. Abdushshamad Busyahri adalah seorang penganut Syiah yang sangat rajin mengunjungi majlis-majlis syirik yang dengan penuh kepalsuan dan kepura-puraan yang mereka beri nama al-Husainiyyah. Sebuah penisbatan kepada al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, padahal beliau sendiri tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan majelis ini maupun orang-orang yang menghadirinya sampai hari kiamat kelak. Ayah adalah seorang laki-laki yang multazim (taat, konsisten) dan dermawan. Orang-orang fakir saban hari mendatangi kantornya. Meskipun tidak bisa baca-tulis, beliau memiliki perhatian besar terhadap majelis-majelis zikir dan kajian-kajian yang disampaikan oleh para ulama Syiah yang datang dari Najef dan Qumm.
Sebagaimana penganut syiah lainnya, sejak kecil ayah telah melahap dongeng dan kedustaan para sayid Rafidhah (setiap orang yang mengklaim dirinya bernasab kepada keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sayyid, dan mayoritas orang yang mereka klaim sebagai sayyid, tidak benar penasaban mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) bahwa para khalifah kaum muslimin adalah musuh ahlulbait, musuh Rasulullah dan musuh Islam. Musuh terbesar Rasulullah dan keluarga beliau yang suci ialah Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab –mudah-mudhan Allah meridhai mereka dan menjadikan mereka ridha- demikian juga dengan kedua putri mereka yang suci, istri-istri Nabi, serta ibunda kaum mukminin, meskipun orang-orang zindik tersebut tiada menyukai kenyataan ini.
Ayah menelan mentah-mentah kedustaan demi kedustaan nista ini hingga membuatnya bereaksi mencaci kedua orang yang dikasihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut setiap kali mendengar nama mereka. Beliau pun tumbuh besar seperti orang-orang Rafidhah lainnya membeo mengulang-ulang caci-makian terhadap ash-shiddq dan al-Faruq serta sahabat mulia lainnya. Mereka mengulang-ulang apa yang mereka dengar dari para tokoh spiritual mereka, para sayid yang kafir lagi zindik, para mu’ammim (sebutan bagi para ulama Syi’ah yang kebanyakan mereka mengenakan imamah hitam membalut kepala mereka). Semoga Allah menimpakan kepada mereka hukuman yang berhak mereka terima.
Ketika usia beliau mendekat empat puluh lima tahun, ayah memutuskan untuk memperbaharui hidupnya dengan menunaikan ibadah haji ke Baitullah al-Haram. Ayah bermaksud bergabung dengan biro perjalanan haji Rafidhah, yang saat itu masih satu-satunya, karena populasi mereka saat itu tidak sampai 2% dari jumlah total penduduk.
Ayah saya Abdushshamad Busyahri tinggal di distrik al-Qaar, di Negara Kuwait. Distrik al-Qaar merupakan perkampungan orang-orang Rafidhah hingga saat ini. Beliau bekerja di kementerian Kesehatan kala itu. kebetulan, Kementerian Kesehatan memutuskan merekomendasikan beliau menjadi salah seorang tenaga tim kesehatan jemaah haji Kuwait di tanah Haram. Ayah pun bingung apakah bergabung dengan tim kesehatan Kuwait atau dengan biro haji Rafidhah.
Ayah bertukar pikiran dengan pimpinan Tim Kesehatan, Ibrahim al-Mudhaf. Beliau menyarankan untuk bergabung dengan Tim Kesehatan, karena bagaimanapun tim memiliki fasilitas dan kesiapan yang lebih lengkap dan lebih memadai. Dia juga berkata kepada ayah, “Saudaraku Abdushshamad, setelah kita sampai di tanah suci, anda dapat bergabung dengan rombongan tersebut, atau anda dapat mengunjungi siapa saja yang anda inginkan dalam kafilah itu. kita fleksibel saja, anda tidak selalu harus terikat dengan kami.” Akhirnya ayah saya Abdushshamad memutuskan bergabung dengan tim kesehatan kerajaan Kuwait. Jika telah sampai di sana ia akan bergabung dengan rombongan Syi’ah Rafidhah tersebut untuk melaksanakan manasik haji ala mereka.
Allah menakdirkan rombongan tim kesehatan tersebut menginap di Madinah an-Nabawiyah selama beberapa hari sebelum menuju ke Makkah al-Mukarramah, bertepatan dengan sampainya rombongan Rafidhah ke sana. H. Abdushshamad meminta izin dari pimpinan tim untuk bergabung dengan kafilah Rafidhah. Ketika sampai di sana mereka sedang bersiap-siap untuk menzirahi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Masjid an-Nabawiy dengan jalan kaki. Pimpinan rombongan, seorang sayid mu’ammim, berdiri di tengah mereka seraya berkata, “Sekarang, kita semua akan menziarahi kuburan Rasul yang paling agung….”
Dalam perjalanan, sayid berkata, “Saya akan berdoa di sisi kuburan Nabi, kalian semua ikutilah doa yang saya baca!”, Ayah saya, Abdushshamad, berkata, “Saya pun memasuki masjid an-Nabawiy dan merasa gemetar karena kewibawaan dan keagungannya. Ayah berjalan bersama anggota rombongan, sayid mu’ammim berada di depan kami. Rombongan berhenti di sisi kuburan Nabi yang mulia, kemudian berdo’a menirukan sayid.”
Ayah melanjutkan, “Saat kami berdiri di sisi kuburan Nabi, tiba-tiba seorang laki-laki tua Saudi berdiri tidak jauh dariku sehingga saya dapat mendengarkan ucapan salamnya kepada al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Salam sejahtera untuk anda wahai Rasulullah, semoga rahmat dan berkah Allah terlimpah kepada Anda. Semoga Allah memberikan imbalan kepada anda atas kebaikan dan jasa-jasa Anda kepada umat; semoga Dia melipat gandakan kebaikan bagi Anda, berbuat baik kepada Anda sebagaimana Anda telah berbuat baik kepada umat ini. Saya bersaksi bahwa anda telah menyampaikan risalah, telah menunaikan amanah, telah menasihati umat dan telah bersungguh-sungguh menyampaikan agama Allah. Ya Allah berikanlah kepada Muhammad, al-Wasilah dan karunia, bangkitkanlah beliau kelak dengan kedudukan yang terpuji, sebagaimana yang telah Engkau janjikan, sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.’ Saya pun kagum dengan adab dan ketenangan orang tua itu dalam berdoa.”
Ayah melanjutkan ceritanya, “Yang mengejutkan ialah saat orang tua itu melihat dan menoleh ke kanan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, saya mendengar dia berkata, ‘Salam sejahtera kepadamu wahai Abu Bakar Ash-Shiddiq, semoga rahmat dan berkah Allah tercurah kepadamu, semoga Allah meridhaimu wahai Abu Bakar, semoga Allah memberikan imbalan kebaikan atas jasa-jasa anda kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Saya pun terkejut mendengarkan ucapannya dan semakin heran ketika laki-laki tua itu menoleh ke arah kiri kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, ‘Salam sejahtera untuk anda wahai Umar bin al-Khaththab, semoga rahmat dan berkah Allah tercurah kepada anda, semoga Allah meridhai anda wahai Umar, semoga Allah memberi imbalan atas jasa anda kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam’.”
Ayah saya, Abdushshamad berkata, “Saya tidak bisa menahan diri, saya pun memegang pundak laki-laki tua itu sambil berkata kepadanya, ‘Apakah anda berziarah ke kuburan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam atau ke keburan Abu Bakar dan Umar hingga anda mengucapkan salam kepada keduanya di sini?!’
Lelaki tua itu menjawab, ‘Saudaraku, bagaimana aku tidak mengucapkan salam kepada keduanya, sementara di hadapanku ini kuburan keduanya?! Ini kuburan Abu Bakar dan ini kuburan Umar radhiyallahu anhuma’.
Dengan suara yang mulai meninggi saya menanggapi perkataannya, ‘Saya tidak pernah tahu bahwa kedua orang yang selalu kami caci pada pagi dan sore hari dalam majelis Husainiyyah, terbaring di sisi kuburan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?!’.
Kami menyebut mereka berhala dan thagut, seperti yang kami terima dari para sayid dan pemuka kami. Bagaimana mungkin musuh-musuh Islam, musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya dikubur di satu tempat bersama dengan penghulu para nabi dan seluruh manusia?!
Saya berkata kepada laki-laki tua itu, ‘Apakah anda bergurau? Apa yang anda katakan ini pak tua?’
Orang-orang pun mulai mendengarkan ucapan saya karena tanpa sadar suara saya telah meninggi, sementara lelaki tua itu terheran-heran dengan penolakan keras yang saya lontarkan terhadap apa yang telah dia katakan bahwa di sini juga terdapat kuburan Abu Bakar dan kuburan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Berikutnya saya segera mendatangi sayid kami. Saat itu dia berdiri di tengah domba-domba yang hilang, para anggota rombongan. Saya berkata kepadanya dengan suara tinggi, ‘Sayid kami, wahai sayid kami, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh laki-laki ini, dia berkata bahwa Abu Bakar dan Umar juga dikubur di sini.’
Sayid Mu’ammim itu pun berkata kepada saya, ‘Benar, Abdushshamad, benar, Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar al-Faruq juga dikubur di sini.’
Saya spontan berteriak di tengah orang ramai menolak jawabannya, ‘Apa yang anda katakan ini? Ash-Shiddiq? Al-Faruq? Bukankah mereka itu berhala dan thagut, yang kalian ajarkan kepada kami, musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa salah seorang digelari Shiddiq dan yang lain Faruq? Pahamkanlah saya wahai sayid kami!’
Sayapun melihat as-Sayyid memberikan isyarat dengan mata sambil berkata, ‘Abdushshamad, jangan membuat malu kita di tengah orang ramai, jika telah kembali ke penginapan, saya menjelaskan segala sesuatunya kepada Anda.’
Dengan suara yang semakin tinggi disertai orang yang semakin berkerumun saya justru membantah, ‘Tidak… tidak…. tidak…. Demi Allah, saya tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Anda memahamkan saya sekarang juga, bagaimana berhala dan thagut dikubur di sisi Rasulullah? Bagaimana kaum Muslimin menerima situasi ini? Bagaimana Sayiduna Ali bin Abi Thalib membiarkannya? Bagaimana Ahlulbait menerima orang-orang kafir dikubur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah Abu Bakar telah merampas hak Fathimah seperti apa yang telah kalian ajarakan kepada kami? Bukankah Umar telah mematahkan tulang rusuk Fathimah az-Zahra’ seperti yang kami hafal dari kalian? Bagaimana Ahlulbait menerima orang-orang kafir itu dikubur bersama Rasulullah?’
Sayid berkata, ‘Abdushshamad, Daulah Umawiyah, merekalah yang tekah menguburkan mereka di tempat ini!’
Saya pun mengatakan, ‘Sayid!.....sekalipun saya ummi, tidak bisa baca tuis, tetapi Allah telah memberikan akal yang sempurna… bagaimana Daulah Umawiyah yang menguburkan mereka padahal mereka baru berkuasa setelah sayid kita, Ali?, sementara sayiduna Ali dan Abbas meninggal setelah Abu Bakar dan Umar? Anda sendiri telah mengatakan bahwa Sayyiduna Ali adalah Haidar (sang singa) dan al-Karar, dan tidak gentar menghadapi tekanan siapa pun dalam membela agama Allah?! Bagaimana mungkin beliau dan ahlulbait mengizinkan dua orang kafir ini dikubur bersandingan dengan penghulu para nabi?!’
Orang-orang pun berhamburan ke arah kami, sayid tersebut melarikan diri diiringi domba-dombanya yang tersesat meninggalkan area kuburan. Dengan suara lantang saya berteriak, ‘Hai orang-orang ramai pahamkanlah kepada saya, apakah saya ini sedang bermimpi atau apa?!’ orang-orang itu pun berusaha menenangkan saya, mereka berkata, ‘Berdzikirlah, ingatlah kepada Allah wahai Syaikh…. Berdzikirlah mengingat Allah!’
Sejenak kemudian seorang Masyayikh di al-Haram menghampiri dan memegang saya sambil berkata, ‘Ada apa dengan anda? Anda berteriak-teriak di sisi kuburan Nabi, ini tidak boleh…. Allah memerintahkan kita untuk merendahkan suara kita jika berada di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ (٢)إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (٣)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Hujurat: 2-3)’.”
Ayahku, H. Abdushshamad melanjutkan ceritanya,
Ayah tidak menguasai diri, meratap dan menangis. Kemudian Syekh tersebut kembali berkata, ‘Ada apa dengan Anda, saudaraku? Apa yang telah terjadi?’
Ayah menjawab, ‘Anda mengatakan bahwa Allah memerintahkan kita untuk merendahkan suara ketika berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam supaya kita tidak menyakiti beliau, bahwa Allah menguji kita melalui perintah ini… sementara saya, sejak kecil sampai saat ini tidak berhenti mencaci sahabat-sahabat beliau, tidak pernah berhenti mencaci istri-istri beliau! Jika dengan meninggikan suara saja telah menghapuskan amal-amal dan menyia-nyiakannya, seperti dalam ayat tersebut, bagaimana halnya dengan orang yang mencela sahabat-sahabat dan istri-istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sepenjang hayatnya?’
Maka berkatalah Syeikh tersebut, ‘Aku berlindung kepada Allah… Anda mencaci sahabat-sahabat beliau, dan istri-istri beliau, ummahatul mukminin? Apakah anda seorang Rafidhah?!’
Ayah menjawab, ‘Betul, saya seorang penganut Rafidhah, saya adalah sampah… saya…!!! Sekarang saya tahu bahwa saya telah tersesat! Saya telah disesatkan, saya betul-betul telah tertipu. Demi Allah! Demi Allah! Saya tidak pernah tahu bahwa Abu Bakar dan Umar dikuburkan di sisi Nabi di tempat yang sama. Tuan Syeikh jelaskanlah kepada saya, apakah Allah telah menipu Nabi-Nya? Apakah Allah mengkhianati Nabi-Nya? Apakah Allah tidak memuliakan nabi-Nya di kuburnya?!! Bagaimana Allah membiarkan orang-orang kafir dan musuh-musuh-Nya dan musuh Rasul-Nya dikuburkan bersisian dengan pusara Nabi?! Mengapa?! Mengapa Sayyiduna Ali bin Abi Thalib dan ahlulbait tidak mampu melarang penguburan keduanya di sisi beliau? Bagaimana Allah membiarkan orang-orang kafir dikuburkan bersama Sayiduna Muhammad, di tempat yang paling diagungkan di permukaan bumi, di Raudhah yang mulia, hingga hari kiamat?! Mengapa?! Berilah saya jawaban!
Betulkah mereka yang telah mengajari kami mencaci dua orang laki-laki ini orang-orang muslim atau para penjahat?!
Demi Allah sekarang saya mengerti, hanya dua kemungkinannya: bisa jadi Allah teledor menyia-nyiakan hak Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, wal ‘iyadzu billah, atau sayyid-sayyid kami dan mu’ammim kami yang mengkhianati Allah dan Rasul-Nya!!!’
Syekh tersebut berkata kepada Ayah, ‘Saudaraku Abdushshamad, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Al-Faruq bukan hanya dikuburkan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di satu lokasi, mereka bahkan adalah sanak keluarga beliau: putri-putri mereka, Aisyah dan Hafshah radhiyallahu anhuma merupakan istri-istri beliau, ibunda kaum Mukminin berdasarkan nash al-Qur’an.’
Ayah berkata, ‘Ya Allah, laknatlah sayid-sayid kami! Ya Allah laknatlah para mu’ammim kami! Ya Allah, laknatlah sayid-sayid kami! Ya Allah, laknatlah para mu’ammim kami! Jika benar yang mereka katakan berarti Allah telah menikahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan wanita-wanita kafir dan keji, kemudian menguburkan beliau bersama ayah-ayah mereka yang kafir?! Bagaimana akal sehat bisa membenarkan ucapan ini?! Saya pun menangis tersedu-sedan.’ Syekh tersebut meraih dan merengkuh ayah dan berkata, ‘Alhamdulillah, Allah telah menghilangkan selaput yang menutup kedua bola mata anda. Marilah saya ajarkan kepada anda berwudhu dan shalat seperti yang diamalkan Rasulullah…’
Laki-laki itu pun menuntun saya keluar dari tengah kerumunan manusia, lalu kami menuju ke tempat khusus yang diperuntukkan untuk air zam-zam. Dia berkata, ‘Berwudhulah bersama saya seperti ini…’
Ayah pun berwudhu mengikutinya. ‘Demi Allah, begitu selesai, ayah merasakan betapa lapangnya dada ini, seolah-olah baru tahu bahwa Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.’
Setelah selesai ayah keluar dari Masjid Nabawy asy-Sayrif, begitu sampai ke tempat tim kesehatan dan melihat pimpinan rombongan, Ibrahmi al-Mudhaf yang sunni, ayah pun merangkulnya sambil menangis haru. Ayah berkata kepadanya, ‘Ibrahim al-Mudhaf, saudaraku, mulai saat ini saya tidak akan lagi mengatakan bahwa Allah telah menghinakan Rasul dan kekasihnya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejak saat ini saya berlepas diri dari menghina ahlulbait, mereka lebih mulia dan lebih terhormat untuk menjadi pengecut yang takut memperjuangkan ucapan yang haq. Sejak saat ini, saya berlepas diri dari fitnah yang menodai kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, istri-istri beliau yang suci, yaitu ibunda kaum Mukminin sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash al-Qur’an yang mulia. Mulai detik ini, saya tidak akan lagi mencela Rasulullah dan menyebut beliau gagal dan tidak mengerti mendidik sahabat-sahabat bagaimana seharusnya bersikap sepeninggal beliau. Mulai saat ini, saya berlepas diri dari perilaku orang-orang Rafidhah, meniru orang-orang Yahudi mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’
Ayah pulang ke Kuwait dengan raut wajah yang berbeda dari saat berangkat. Beliau kembali dengan keimanan yang memenuhi hatinya. Dia kembali membawa ketenangan yang melapangkan dadanya. Dia kembali dengan cahaya pemahaman yang telah membebaskan akalnya dari kegelapan kebodohan, penyimpangan dan kesesatan.
Ayah segera menemui ibu, Ummu Hamid rahimahallah dan berkata kepada beliau, ‘Istriku sesungguhnya aku telah masuk Islam yang lain dari Islam yang telah menipu kita selama bertahun-tahun… saya telah masuk Islam, yang tidak ada kedustaan di dalamnya, tidak ada penipuan, kedengkian, kesyirikan, bid’ah, cacian dan kesesatan yang nyata… Jika engkau mengikuti langkahku, engkau tetaplah istriku. Jika tidak, kembalilah kepada keluargamu’, ibu pun berkata, ‘Demi Allah, aku tidak pernah mendapatkan pada dirimu selain cinta kepada kebaikan, aku tidak memiliki prasangka selain bahwa Allah telah memberikan taufik kepadamu, kepada suatu kebaikan yang besar. Aku akan selalu bersamamu; sekarang aku adalah muslimah sunni yang mengesakan Allah rabbul ‘alamin, aku berlindung kepada Allah dari perbuatan mempersekutukan-Nya apa dan siapa pun’
Waktu pun berlalu berbilang tahun. Ibu, Ummu Hamid, melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Umar oleh ayah (orang-orang Syiah sangat membenci sahabat-sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dengan memberikan salah satu nama tersebut kepada anak bagi mereka menjadi salah satu tanda bahwa yang bersangkutan bukan penganut Syiah). Umar putra keempat ayah setelah saya (Hamid), Mahmud dan Adil. Ayah menghadapi penentangan yang keras dari tetangga-tetangga kami yang Rafidhi begitu mengetahui bahwa beliau telah meninggalkan agama mereka. Mereka melarang anak-anak mereka bergaul dan bermain dengan kami, anak-anak ayah, melarang istri-istri mereka mengunjungi ibu. Tetapi ayah mengahadapinya dengan penuh sabar dan tidak putus berdoa kepada Allah meminta jalan keluar. Hanya berapa tahun kemudian, Allah melimpahkan rezki yang tidak disangka-sangka, ayah memboyong kami pindah dari lingkungan Rafidhah tempat tinggal kami semula, ke distrik lain. Di sanalah ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir, berpulang ke rahmatullah, mewariskan kepada kami sebuah agama yang haq.
Hal yang mengagumkan kemudian terjadi dalam kisah ini, banyak jamaah masjid dan keluarga beliau bermimpi melihatnya dalam kondisi yang sangat baik, masing-masing mereka melihat beliau memakai baju yang sangat putih bersih, duduk-duduk di sebuah tempat duduk yang bagus, pada tempat yang mulia sambil berkata, “Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah ini kepada kami; kita tidak akan mendapatkan petunjuk seandainya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kita.” Demikian Abu Utsman Hamid Busyahri menutup kisah sadarnya orang tua beliau.
Ya Allah terimalah dia, al marhum biidznillah, Abdushshamad Mahmud Busyahri, dan tempatkan beliau di tengah orang-orang shalih, dan pertemukanlah dia dengan para shiddiqin dan syuhada dan mereka adalah sebaik-baik teman… dan berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui, amin…amin ya Rabb’ al-‘Alamin.
Menutup kisah ini, saya sampaikan kepada setiap orang Rafidhah, tahukah anda semua, mengapa Abdushshamad diberi hidayah oleh Allah kepada kebenaran? Karena satu sebab yang sangat sederhana, karena dia membuka diri untuk memfungsikan akalnya. Oleh karena itu, kapankah anda semua meniru tindakan beliau? Adalah sebuah aib besar jika seorang yang ummi, tidak bisa baca-tulis seperti Abdushshamad Busyahri rahimahullah mampu memfungsikan akalnya dengan baik, sementara kalian membiarkan akal kalian dikendalikan orang lain. Sehingga mereka bisa memperlakukan kalian sesuka hati mereka.
Sumber: Majalah Islam Internasional Qiblati, Ramadhan 1433 H, Agustus 2012 M, Edisi 10 th. VII, hal 84-89.