SELASA, APRIL 07, 2015
awal kutipan
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah,
apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau
melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam
mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap
al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda
simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk
diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah
setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta
dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda
menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir,
hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Ulama Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan
mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan
meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau
wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian
mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan
berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua
orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena
secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam
madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu
muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid.
Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih
dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara
taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Ulama al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa
diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang
mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Ulama al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang
tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya
siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Syaikh Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau
setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja,
padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah
Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari
Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.”
Ulama Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang
lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga
tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah
memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i.
Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda
sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an
dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka
Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini.
Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat
bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab
lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib
menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari
satu madzhab ke madzhab lain?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu
menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar
demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa
jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan
yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja
itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi
satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
http://mutiarazuhud.wordpress.com/20…/…/06/bidah-yang-gawat/ atau
pada http://www.piss-ktb.com/…/2799-mengkritisi-madzhab-panggila…
Di katakan ; Sembernya dari
majalah alkisah.
Komentarku ( Mahrus ali ):
Kisah tentang dialog al bani dan al Buthi itu perlu data yang akurat hingga
tidak menjadikan fitnah bagi kaum mukminin. Apakah yang bikin kisah itu tidak
takut terhadap ayat:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ
عَذَابُ الْحَرِيقِ
.Sesungguhnya orang-orang
yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu'min laki-laki dan perempuan
kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka
azab (neraka) yang membakar.
Ayat tersebut mirip dengan
ayat sbb :
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا
وَإِثْمًا مُبِينًا
Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.[1]
Data kisah itu yang
akurat tidak ada. Hanya ada dari data yang cendrung kedustaan untuk
menipu publik, tidak ingin jujur pada mereka. Cendrung sekali dengan nuansa
golongan untuk memenangkan golongannya dan menghancurkan golongan lain. Ini
sangat menyesatkan bukan mengarahkan umat ke jalan yang baik.
Saya telah menelusurinya, sumber kisah dialog versi itu dari
majalah ahli bid`ah yaitu majalah alkisah. Refrensinya tidak ada.
Apalagi refrensi arabnya, saya tidak menjumpainya.
Memang ada dialog antara al bani dan Buthi tapi kisah di atas
kedustaan bukan dialog antara al bani dan Buthi yang sungguh.
Suara dalam dialog yang sungguh karena sudah lama katanya
sejak lima puluh tahun yang lalu tidak jelas. Sulit didengarkan
menurut komentar para masyayekh dihttp://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=226501
Jadi kisah di atas jelas kedustaan bukan sungguh.
[1] Al ahzab 58
tambahan info , silahkan buka :
abu haitsam mengatakan:
Sumber
cerita dialog di atas hanya sepihak; dari buku Al-Buthi yang sesat dan munafiq
(sbgmn kata As-Shobuni yg tautannya ditampilkan dlm blog ini). Bgmn mungkin
kita merujuk kepada riwayat yang disampaikan oleh orang sesat dan munafik??
Coba baca link ini:
Coba baca link ini: