Syaikh Ibnu Taimiyah menunjukkan beberapa perilaku
Khawarij dan ibadah mereka. Sadar atau tidak, perilaku ini bisa jadi dilakukan
oleh seseorang atau kelompok tertentu. Agar tidak terjerumus kepada
perilaku ini, hendaknya setiap Muslim mengetahui bagaimana sikap mereka.
Dua Perangai Khawarij yang Paling Buruk
Ada dua karateristik yang masyhur dan menyebabkan
kelompok Khawarij memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin dan para pemimpin
mereka. Yaitu,pertama: keluarnya mereka dari petunjuk
sunnah dan menjadikan sesuatu yang baik menjadi buruk atau yang buruk menjadi
baik. Fenomena ini pernah terjadi di hadapan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu ketika Dzu Khuwaisiroh berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Berlaku adillah karena engkau tidak adil,’ sehingga
Rasulllah bersabda, ‘Celaka kamu, adakah yang lebih adil jika saya tidak
berbuat adil? Sungguh keji dan merugi jika aku tidak berlaku adil,’ pernyataan
bahwa ‘engkau tdak adil’ muncul dari lisannya karena melihat perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang terlihat bodoh atau meninggalkan sisi keadilan.
Lantas ia pun berkata ‘berlaku adillah’, ia memerintah kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk melakukan sesuatu yang dipandangnya baik dalam
hal pembagian.
Sifat ini yang mencakup juga perkara bid’ah lain yang
menyelisihi sunnah, sehingga orang yang mengatakan itu sedang menetapkan
sesuatu yang dihilangkan oleh sunnah atau menghilangkan sesuatau yang
ditetapkan sunnah, menganggap baik sesuatu yang buruk menurut sunnah atau
menganggap buruk sesuatu yang baik menurut sunnah.
Kedua, Mereka mengafirkan pelaku dosa
besar, sehingga dari sini mereka menghalalkan darah kaum muslimin dan harta mereka
serta menganggap negara Islam sebagai negara perang sementara wilayah mereka
dianggap sebagai wilayah iman (Darul Iman).
Maka hendaklah seorang muslim menghindari dua perkara
buruk tersebut atau dampak lain dari keyakinan tersebut terhadap kaum muslimin,
seperti mencela dan melaknat mereka serta menghalalkan darah atau harta mereka.
Dua keyakinan ini sangat bertentangan dengan prinsip ahlussunnah dan
barangsiapa yang menyelisihi sunnah dan mengafirkan kaum muslimin karena
perbuatan dosa, maka dia membelot dari jamaah.
Pada umumnya perbuatan bid’ah muncul karena dua hal. Pertama; melakukan ta’wil
atau qiyas fasid. Baik karena hadits yang sampai kepadanya tidak shahih atau
atsar dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diyakininya
benar tapi tidak jelas siapa yang berkata. Atau karena menta’wilkan ayat
Al-Qur’an dan hadits dengan ta’wil yang salah. Atau juga karena melakukan qiyas
suatu perkara dengan qiyas fasid. Hal inilah yang menyebabkan awal
menyimpangnya kelompok Filsafat, Tasawuf atau kelompok-kelompok sesat yang
lain.
Kelompok Khawarij menyelisihi sunnah yang
diperintahkan dalam Al-Qur’an untuk mengikutinya dan mengafirkan kaum muslimin
yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an untuk bersikap wala’ kepada mereka. Oleh
karena itu, Saad Bin Abi Waqos menafsirkan bahwa khawarij adalah orang yang
diceritakan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 26-27–
‘….Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi…”(QS. Al-Baqaroh:
26-27)
Oleh karena itu, Saad bin Abi Waqash menyebut Khawarij
dengan fasik karena sesat dalam memahami Al-Qur’an. (lihat Majmu’ Fatawa,
16/588)
Dalam hadits Abi Said, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebut suatu kaum yang muncul pada umatnya ‘mereka
keluar ketika terjadi perpecahan di antara manusia. Tanda mereka adalah gundul.
Mereka adalah seburuk-buruk makhluk atau bagian dari makhluk yang buruk,
(kelompok) yang memerangi mereka adalah yang paling dekat dengan kebenaran.’
Tanda ini adalah tanda generasi awal mereka (khawarij) sebagaimana Dzu
Tsadiyah, karena sifat tersebut telah lazim pada diri mereka.” (majmu fatawa,
28/497)
Dalam pernyataan ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa
ciri khas gundul tidak menjadi tanda mereka pada setiap masa, akan tetapi itu
hanya tanda Khawarij ketika awal kemunculannya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Para ulama telah sepakat tentang
wajibnya memerangi kelompok khawarij, Rafidhah dan kelompok-kelompok lain yang
keluar dari jamaah kaum muslimin.”
Sikap Meraka dalam Bermanhaj
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Khawarij adalah
kelompok manusia yang paling berhati-hati dalam perkara dosa dan berlepas diri
dari pelakunya. Sehingga mereka mengafirkan seseorang karena perbuatan dosa dan
tidak melakukannya jika mereka terjebak dosa. Oleh karena itu, setiap yang
melakukan tobat di hadapan mereka maka akan dihormati dan ditaati, sedangkan
mereka yang tidak mau bertobat maka akan dimusuhi karena dianggap masih
melakukan dosa walaupun itu pada hakikatnya bukan perkara dosa.” (Minhaju
Sunnah. 2/408)
“Ahlu bid’ah seperti Khawarij menciptakan bid’ah dan
mengafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka dan menghalalkan darahnya.”
(Fatawa Qubra, 6/336)
“Ajaran Khawarij yang paling besar adalah memecah
belah jamaah kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta mereka.” (Majmu’
Fatawa 13/209)
Fenomena ini sudah sangat jelas terdapat pada kelompok
Khawarij masa ini, mereka memecah belah kelompok kaum muslimin, memisahkan
mereka, kemudian menghalalkan darah dan harta mereka.
“Mereka menghalalkan darah kaum muslimin karena
diyakini telah murtad itu lebih banyak daripada mereka membunuh orang kafir
yang bukan karena murtad (kafir asli),” (Majmu’ Fatawa, 28/479)
Bentuk Pengamalan Ibadah Menurut Khawarij
Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak diragukan bahwa orang
Khawarij sangat wara dan cukup bersungguh-sungguh dalam beribadah yang tidak
bisa ditandingi oleh para sahabat—sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam—namun ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan
syariat, maka mereka akan keluar dari agama.” (Al-Istiqomah, 1/258)
Beliau melanjutkan, “Di antara sifat mereka
adalah—sebagaimana hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam—‘Salah
seorang kalian meremehkan shalatnya di hadapan shalat mereka, puasanya di
hadapan puasa mereka, dan bacaannya di hadapan bacaan mereka, mereka membaca
Al-Qur’an (akan tetapi) tidak melampaui tenggorokan mereka, mereka keluar dari
agama Islam seperti anak panah keluar (saat menembus) sasarannya. Di mana saja
kalian menemui mereka maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya membunuh mereka
ada pahalanya pada hari kiamat dan seandainya saya mendapati mereka, maka saya akan
membunuh mereka sebagaimana pembunuhan kaum ‘Ad.’ Mereka diperangi
oleh Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang bersamanya demikian juga para
ulama salaf telah bersepakat untuk memerangi mereka, dan tidak ada satu pun di
antara mereka yang menyelisihi kesepakatan tersebut.” (Majmu’
Fatawa, 28/512)
Sebagian orang terheran-heran dengan ibadah orang
Khawarij dan apa yang mereka tampakkan—menipu—begitu juga dengan apa yang
dibangga-banggakan oleh Khawarij terhadap diri mereka.
Bahkan muslim sunni pun lebih rendah jika dibandingkan
dengan ibadah Khawarij, namun itu semua tidak menutupi keadaan perangai mereka
yang keluar dari ketentuan sunnah, sehingga yang diperintahkan kepada kita
adalah memerangi mereka karena kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka.
Sikap Wara’ dalam Pandangan Khawarij
Khawarij, Rafidhah, Mu’tazilah dan kelompok-kelompok
lain yang semisal memiliki sikap wara’ yang cukup besar dalam menjaga diri dari
kezaliman dan dari segala amalan yang mereka yakini sebagai bentuk kezaliman
jika bercampur baur dengan kezaliman tersebut. Sehingga mereka rela
meninggalkan kewajiban yang lebih utama, seperti shalat Jum’at, berjamaah,
haji, jihad, menasihati sesama mukmin, berlaku rahmah terhadap mereka. Namun
sikap wara’ seperti ini diingkari oleh para ulama seperti imam yang empat,
sehingga mereka merasa dirinya berakidah ahlusunnah wal jamaah.”
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hancurlah al-Mutanattiun
(orang yang memberatkan diri bukan pada tempatnya), beliau mengulangnya sebanyak
3 kali.” (HR. Muslim). Sikap wara’ ahlu bid’ah yang seperti itu
sangat banyak sekali contohnya.
Oleh karena itu orang Islam harus memperdalam ilmu
Al-Qur’an dan As-Sunnah karena kalau tidak, sikap wara’nya hanya membawa kepada
kerusakan yang lebih besar sebagaimana yang dilakukan oleh orang kafir, ahlu
bid’ah dari Khawarij dan Rafidhah serta kelompok sesat lainnya.
Tidak diragukan bahwa orang Khawarij adalah orang yang
sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bersikap wara’, di mana para
sahabat tidak ada yang bisa menandingi mereka—sebagaimana yang disebutkan oleh
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam—namun ketika ada
sesuatu yang tidak sesuai dengan petunjuk syari maka dia akan keluar dari
agamanya,” (Al-Istiqamah, 1/258)
Syaikh Ibnu Taimiyah ditanya tentang bughat dan
Khawarij, apakah kedua kata itu memiliki makna yang sama? atau apakah keduanya
berbeda? Apakah syariat juga membedakan antara keduanya dalam menanggapi hukum
yang berkaitan dengan keduanya? Kemudian ada yang mengklaim bahwa para ulama
telah bersepakat tentang tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali pada
namanya saja, lantas klaim ini dibantah dengan dalil bahwa amirul mukminin Ali
bin Abi Thalib berbeda dengan Ahlu Syam dan penduduk Nahrawan. Manakah yang
benar?
Ibnu Tamiyah menjawab, “Penyataan bahwa ‘para
ulama sepakat tentang tidak adanya perbedaan antara keduanya kecuali hanya pada
namanya saja’ adalah klaim yang batil dan sangat ceroboh dalam mengeluarkan
pendapat. Karena yang membedakan kedua hal tersebut adalah para ulama dari
mazhab Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad dan lain-lain.
Sebagaimana banyaknya penulis kitab tentang ‘Memerangi
Ahlu Bughat’ yang menjadikan pembahasan perang Abu Bakar terhadap
orang yang menolak zakat, perangnya Ali terhadap orang Khawarij, perangnya
dalam peristiwa Jamal dan Shiffin dan perang-perang lain terhadap mereka yang
menisbatkan diri kepada Islam, termasuk dalam satu bab ‘Perang Terhadap
Ahlu Bughat’
Kemudian mereka juga bersepakat bahwa perang
yang dilakukan oleh Thalhah, Zubair, dan sahabat-sahabat lainnya tidak boleh
dihukumi kafir atau fasik, akan tetapi mereka adalah mujtahid yang kadangkala
benar dan kadang juga salah dan dosa mereka telah diampuni. Sehingga istilah
bughat tidak bisa digeneralisir sebagai orang fasik semuanya.
Karena kalau mereka menganggap semuanya sama,
maka tidak ada bedanya menjadikan Khawarij dan orang yang berperang karena
landasan ijtihad masuk dalam satu katagori. Oleh karena itu, sebagian kelompok
menghukumi ahlu bughat seluruhnya fasik. Sementara ahlusunnah bersepakat atas
keadilan para sahabat dan jumhur ulama juga membedakan antara Khawarij Mariqin
dan mereka yang ikut dalam perang Jamal dan Shiffin—yang dikatagorikan sebagai
ahlu bughot yang melakukan berperang karena salah ta’wil— pendapat inilah yang
dikenal di kalangan para sahabat, ahlu hadits, fuqoha dan para ulama yang
mengikuti mereka dari Mazhab Maliki, Ahmad, Imam Syafi’i dan lain-lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تمرق مارقة على حين فرقة من المسلمين تقتلهم أولى الطائفتين بالحق
“Akan muncul sebagian orang yang keluar
memisahkan diri ketika terjadi perpecahan kaum muslimin dan orang yang
memerangi mereka adalah kelompok yang lebih dekat dengan kebenaran.” (HR.
Muslim-Abu Daud)
Hadits ini menyebutkan tiga kelompok dan
menjelaskan bahwa al-Mariqin (Khawarij) termasuk kelompok ketiga yang bukan
bagian dari kelompok para sahabat. Maka kelompok Ali lebih dekat dengan
kebenaran daripada kelompok Muawiyah.
Para ulama sepakat dalam memerangi Khawarij,
sementara yang ikut dalam perang Jamal atau Siffin di antara mereka ada yang
berperang atas dasar tersebut. Namun kebanyakan tokoh sahabat memilih untuk
tidak terlibat dalam perperangan. Mereka berdalil dengan hadits Nabi yang
memerintahkan untuk menghindari perperangan dalam masa fitnah, dan mereka
berkesimpulan bahwa perang tersebut adalah perang fitnah.
Adapun Ali bin Abi Thalib sangat bergembira
ketika berhasil memerangi Khawarij, karena beliau telah meriwayatkan hadits
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan
untuk memerangi mereka, sementara tentang perperangan Shiffin tidak ada dalil
yang beliau pegang. Sehingga sebagian orang bersyukur karena tidak terlibat
dalam perperangan.
Barang siapa yang menyamakan antara perang
terhadap Khawarij yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan perperangan
Jamal dan Shiffin, maka perkataan tersebut adalah bagian dari perkataan orang
jahil dan zalim, dia bagian dari Rafidhah dan Mu’tazilah yang mengafirkan atau
mengatakan fasik kepada siapa saja yang melancarkan perang dalam peristiwa
Jamal dan Shiffin. Dan Nabi juga telah memerintahkan untuk memerangi Khawarij
sebelum kaum muslimin diperangi oleh mereka.
Sementara ahlu bughat peperangan
bukanlah pilihan pertama dalam menyikapi mereka.
“Apabila dua kelompok dari kaum mukminin
berperang maka damaikanlah antara keduanya. Apabila salah satu diantara mereka
melampaui batas, maka perangilah yang melampaui batas itu sampai dia kembali
kepada perintah Alloh. Jika kelompok itu telah kembali, maka damaikanlah antara
mereka dengan adil Berlaku adillah, sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang
yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9)
Pilihan pertama bukanlah perang, namun ketika
mereka saling memerangi, perintah pertama adalah melakukan Islah (damai)
di antara mereka, kalau salah satu di antara mereka membangkang maka dibunuh.
Inilah yang disebutkan oleh para fuqaha, “Orang yang melampaui batas (bughat)
tidak diawali dengan memerangi mereka sampai mereka memulai perperangan.”
Sementara tentang Khawarij, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Di mana pun kalian menjumpai mereka, maka
bunuhlah karena membunuh mereka akan menjadi pahala di hari kiamat.” Beliau
juga bersabda, “Seandainya saya mendapati mereka maka akan saya akan membunuh
sebagaimana pembunuhan kaum’Ad.” (lihat Fatawa Kubra, 3/443)
Penyusun: Fahrudin, diinspirasi dari tulisan
Syaikh Abu Hasan Al-Kuwaiti yang berjudul “Khawarij ‘inda Ibni Taimiyah”