Pertanyaan ini selalu mengemuka
bagi mereka yang sehari-hari bergelut dengan perjuangan menegakkan Islam,
melanjutkan risalah Rasulullah SAW. Kenapa saat ini lebih dari 1,3 milyar
Muslim di dunia mundur, tidak maju dan tidak dapat memimpin dunia, sedangkan
orang-orang non Muslim mengalami kemajuan yang mengagumkan dan memimpin
peradaban dunia?
Pertanyaan hampir sama pernah
diungkapkan oleh Syekh Muhammad Basyumi Imran, Imam bagi Kerajaan Sambas,
Kalimantan kepada Ustadz Al Amir Syakib Arsalan. Surat itu disampaikan via
pemimpin majalah Al Manaar, Mesir, Sayid Muhammad Rasyid Ridha.
Oleh Rasyid Ridha jawaban dari
Ustadz Syakib Arsalan itu diberi kata pengantar dan dicetak menjadi sebuah buku
yang terbit pertama kali pada 1349 H. Buku itu diberi judul “Lima dzata akharal
Muslimun walimadzataq addamaghairuhum?” (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum
non Muslim Maju?)
Pada bukunya itu, Syakib Arsalan
menjelaskan: “Tentang sebab-sebab kemajuan yang diperoleh dan dicapai oleh umat
Islam pada masa dahulu, pada pokoknya secara singkat demikian: agama Islam yang
barulahir di seluruh Jazirah Arabia pada masa itu, lalu segera di ikuti dan
ditaati benar-benar oleh bangsa Arab dan kabilah-kabilah di sekitar Jazirah
Arab.
Mereka dengan petunjuk dan
pimpinan Islam yang benar itu telah berubah dari berpecah belah dan bercerai
berai kini menjadi satu, seia dan sekata, dari biadab menjadi beradab, dari
bodoh menjadi pandai, dari dungu menjadi cerdik, dari kekerasan hati dan
kekerasan perangai menjadi lunak, ramah tamah dan kasih sayang sesama makhluk
dan dari penyembah berhala menjadi penyembah Tuhan Yang Maha Esa.”
Penulis buku yang terkenal itu melanjutkan bahwa sebenarnya Allah telah
menjanjikan kepastian kemuliaan orang-orang beriman. Seperti dalam surat Al
Munafiqun ayat 8 :
“Dan bagi Allah lah kemuliaan,
bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman”
Dan juga surat ar Rum ayat 47 “Dan adalah hak bagi Kami (Allah) untuk memberi
pertolongan kepada orang-orang beriman.”
Tapi Allah akan memberikan
kemuliaan atau pertolongan ini bila kaum Muslimin beramal dengan amal yang
nyata. Syakib Arsalan kemudian bertanya:
“Apakah tuan pernah melihat suatu
bangsa yang tidak pernah beramal atau berjuang lalu mereka diberi pertolongan
oleh Allah dan diberi karunia kebajikan oleh-Nya. Sebagaimana yang pernah
diberikan kepada leluhur dan nenek moyang mereka, padahal keadaan mereka hanya
duduk termenung, malas bekerja dan jauh daripada berkemauan untuk beramal? Jika
ada peristiwa yang sedemikian itu adalah menyalahi akan peraturan dan
sunnatullah, padahal Allah itu Maha Tinggi serta Maha Bijaksana. Apa yang akan
Anda katakan jika seorang mendapat kemuliaan padahal ia tidak berhak untuk
mendapat kemuliaan itu? Dapatkah ia mengambil buah dengan tidak menanam, mengetam
dengan tidak bersawah atau berladang dan berbahagia raya dengan tidak berusaha?
Patutkah kiranya kemenangan didapat dan dicapai dengan tidak berjuang,
memperoleh kekuatan dengan tidak ada sebab-sebab yang dapat mendatangkan
kekuatan itu?”
Sedangkan Allah SWT telah
berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah apa yang ada pada satu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada
diri mereka sendiri.” (QS ArRa’d: 11)
Kemudian, Sakib Arsalan
memberikan tips praktisnya agar bangsa-bangsa muslim menjadi mulia, yaitu:
jihad harta dan jiwa. Firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka.” (QS At Taubah 111).
Tentang hal ini, Rasyid Ridha
menambahkan komentar: “Umat Islam suka menuntut keduniaan, tapi mereka
meninggalkan rukun Islam yang amat penting yang mengenai keduniaan, yaitu zakat
dan jihad dengan harta benda ((zakat, infak, sedekah dll) dan jiwa dalam
membela agama Allah.”
Kemudian Rasyid Ridha
mengungkapkan contoh tentang dogma pasukan Italia ketika menyerbu Tripoli
(Libia) yang dimuat dalam “Asy Syarq” nomor 543:
“Sesungguhnya dari pada
sebesar-besar kehinaan bagi seorang pemuda Italia –yang telah berumur 20 tahun
jika ia tidak ikut berperang, memerangi Tripoli—untuk membela tanah airnya,
mempertahankan bendera yang berwarna tiga, padahal bunyi musik peperangan
selalu memanggil untuk menyadarkan jiwa yang berani maju ke depan, “Wahai para
ibu! Sempurnakanlah sembah yang ibu dan janganlah ibu menangis, tetapi
tertawalah dan berharaplah engkau dengan sungguh-sungguh! Tidakkah ibu
mengetahui bahwa Italia memanggil-manggilaku, dan aku akan berangkat pergi
menuju Tripoli dengan riang gembira, guna mengorbankan darahku untuk
menghapuskan umat Islam yang terkutuk itu; dan untuk memerangi agama Islam yang
memperkenankan para rajanya mengawini gadis-gadis yang remaja puteri! Aku akan
memerangi dengan kekuatanku untuk menghapuskan Al Qur’an yang selalu
dipuja-puja oleh umat Islam, umat yang terkutuk itu! Tidak akan termasuk orang
yang terhormat, siapa-siapa yang tidak mati selaku bangsa Italia yang sejati!”
Tapi meski demikian ketika itu
pasukan kaum Muslimin Arab saat itu tidak pernah menyerah. Pertempuran yang
terjadi di “Fuwaihat” dekat pintu “Baghazi” disana ada 150 tentara Muslim Arab
yang tetap tegak mempertahankan kota, menghadapi 3000 tentara bangsa Italia
dari pagi sampai petang. Saat itu hampir semuanya pasukan Islam meninggal,
tinggal beberapa orang saja yang masih hidup karena ditinggal pergi pasukan
kafir Italia yang mengira mereka telah mati semuanya sebab hari telah malam.
Saat kaum Muslimin berduka
mendengar kabar peristiwa itu, tiba-tiba datang “berita kawat” dari Istanbul
Turki, yang mengutip berita resmi dari Kedutaan Jerman di Roma, yang menyatakan
bahwa dalam pertempuran yang hebat itu pasukan Italia yang tewas 1500 orang dan
pimpinan pasukan mereka yang gila sebanyak 7 orang.”
Penulis buku itu juga
menganjurkan agar umat Islam mandiri perekonomiannya. Kata Arsalan:
“Aku pernah mendengar bahwa
bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya, mereka tidak suka membeli
barang-barang yang diperlukan terutama barang-barang yang berharga. Melainkan
mereka mesti membeli (pesan) dari negeri mereka sendiri (London).
Dengan tujuan agar keuntungan perdagangan itu jangan sampai jatuh ke luar dari
negeri mereka. Peristiwa yang sedemikian itu kiranya dapat dijadikan ukuran
bagi perangai umat Islam dewasa ini, yang bagaimanapun kami nasehati atau kami
peringatkan supaya berjual beli dengan/dari kedai-kedai bangsa sendiri yang
setanah air dan seagama; tapi pada umumnya mereka sangat tidak memperdulikannya
karena dirasanya perkara kecil.
Mereka tetap berjual beli dan tetap berbelanja ke dari kedai-kedai bangsa Eropa
meninggalkan kedai-kedai bangsa sendiri yang sebangsa dan setanah air. Tidakkah
peristiwa yang sedemikian itu menjadi sebab rusaknya pemboikotan bangsa Arab
kepada kaum Yahudi di Palestina? Umat Islam mencuci diri mereka sendiri dengan
satu senjata yang tajam. Mereka pura-pura memboikot barang-barang kaum Yahudi,
lantaran perbedaan harga yang sedikit. Dalam sebentar waktu mereka kembali
berhubungan dengan kaum Yahudi. Karena mereka lupa bahwa bahaya yang mereka
dapati lantaran berjual beli dengan bangsa Yahudi itu ada lebih besar, seribu
kali lipat bahayanya.”
Dahsyatnya jihad harta ini juga
diungkap oleh Ulama Intelektual Hamas, Dr Nawwaf Takruri dalam bukunya “Al
Jihadu bil mal fi sabilillah” (Dahsyatnya Jihad Harta, terj.). Dalam karyanya
itu Dr Nawaf menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi dan organisasi Yahudi
seluruh dunia seluruh dunia saling bantu membantu untuk melestarikan dan
memajukan Negara Israel. Diantaranya yang menarik adalah solidaritas sebuah
keluarga Yahudi mengurangi konsumsi gulanya per hari, agar uang penghematan
gula itu dapat disumbangkan ke organisasi Yahudi.
Begitu juga kita ingat bagaimana
solidaritas kaum Yahudi, Amerika dan sebagian negara Eropa yang melakukan
pemboikotan besar-besaran terhadap rekening dan keuangan Hamas di luar negeri.
Yakni ketika Hamas menang pemilu secara demokratis mengalahkan Fatah awal 2006.
Dengan pemboikotan keuangan itulah akhirnya AS (dan kaum Yahudi) dapat memecah
belah rakyat Palestina, karena Hamas menjadi kewalahan membayar pegawai,
tentara dan menyejahterakan rakyatnya. Di samping juga karena pengkhianatan
beberapa tokoh Palestina sendiri, yang menjadi antek Amerika-Yahudi untuk
menyingkirkan Hamas dari pemerintahan.
Tentang masalah pengkhianatan
yang dilakukan beberapa tokoh di negeri-negeri Islam itu diuraikan panjang
lebar oleh Ustadz Al Amir Syakib Arsalan. Ia mengatakan:
“Bangsa Perancis tetap bersikap
keras dan kasar kepada umat Islam (Bangsa Barbar-Aljazair), lantaran bantuan
orang-orang yang mengaku dirinya sebagai orang-orang Islam dan ulama Islam,
padahal mereka itu sesungguhnya perusak Islam. Sebab itu dapatlah dikatakan,
bahwa bangsa Perancis menghancurbinasakan Islam itu dengan alat penggali yang
ada di tangan anak-anak Negara Islam sendiri.” Rasyid Ridha menambahkan
komentar: “Yang lebih ganjil dari semuanya itu, ialah orang-orang yang
berkhianat itu, mereka menjual Negara mereka semuanya itu kepada bangsa asing
dengan harga yang sangat rendah…Dan sekiranya mereka itu berusaha dengan ikhlas
untuk menolak kemauan bangsa asing, niscaya bagi mereka akan dapat lebih banyak
daripada yang diberikan bangsa asing itu.”
Allah SWT mengingatkan : “Dan
tidaklah Tuhanmu akan membinasakan suatu negeri dengan kezaliman, jika memang
benar-benar penduduknya orang-orang yang berbuat kebajikan (muslihun).” (QS
Hud: 117).
Rusaknya Ulama atau Pemimpin
Umat
Setelah menyebutkan pentingnya
jihad harta dan jiwa, Syekh Syakib Arsalan juga menyebutkan tentang sebab-sebab
mundurnya umat Islam, yaitu kebodohan umat, akhlak yang buruk (termasuk di
dalamnya sikap penakut, pengecut, cinta dunia dan takut mati), juga banyaknya
ulama su’ (buruk). Tentang perilaku ulama yang buruk ini diuraikan secara
panjang lebar. Bahkan ia menyatakan bahwa kebejatan moral dan kerusakan budi
pemimpin Islam atau ulama ini adalah pokok permasalahan yang menyebabkan
kemunduran Islam.
“Juga daripada sebesar-besar
pokok yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran umat Islam, ialah kebejatan moral
dan kerusakan budi para ketua atau para pemimpin mereka… Kemudian datanglah
para ulama yang berperangai suka mendekatkan diri kepada para pejabat dan
pemuka dalam pemerintahan atau para raja yang selalu dalam kesenangan kemewahan
hidup. Yang suka bermain sendok garpu dalam kue-kue yang mereka makan, dengan
memberikan fatwa kepada mereka itu (para raja dan pemegang kekuasaan) yang
berarti membolehkan mreka membunuh orang yang berani mmberikan nasehat,
meluruskan barang yang bengkok itu dengan alasan bahwa ia adalah seorang yang
telah berani merusak ketaatannya dan telah berani keluar dari jamaahnya.
Padahal sebenarnya Islam telah
memerintahkan kepada para ulama supaya berani bertindak meluruskan kebengkokan
para raja, para pejabat dan para pemuka pemerintahan. Dan para ulama itu dahulu
dalam pemerintahan Islam yang benar adalah bertempat di tempat kedudukannya
yang sesuai dengan kewajibannya sebagai ulama, yang menurut cara sekarang
sebagai wakil rakyat dalam majelis perwakilan rakyat. Mereka berkuasa atas
seluruh umat, mengatur dan menguasai langkah para raja dan para wakil-wakilnya,
mengeluarkan suara dan mengemukakan peringatan yang tegas pada waktu rajanya
atau pemerintahnya akan berbuat aniaya atau durhaka dan berani mengemukakan
nasehat serta menunjukkan jalan kepada pemerintahnya supaya menuju ke jalan
yang benar, jalan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.”
Setelah buku karya Syekh Amir
Sakib Arselan ini, juga muncul buku yang menarik dan lebih tebal dengan tema
yang hampir mirip. Buku itu berjudul “Madzal Khasiral Alam Biinkhithathil
Muslimin” (Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin)
karya Abul Hasan Ali an Nadwi. Buku ini mengalami cetak berulang-ulang dan
diterjemahkan dalam berbagai bahasa, bahasa Inggris, Arab, Urdu, Indonesia dll
dan mendapat sambutan yang luar biasa dari kalangan ulama maupun masyarakat
biasa.
Dalam pengantarnya Sayyid Qutb
misalnya menyatakan :
“Betapa butuhnya kaum Muslimin
dewasa ini kepada orang yang sekiranya sanggup mengembalikan keutuhan iman ke
dalam jiwa mereka, mengembalikan kepercayaan mereka kepada kekuatan yang
tersimpan di dalam kejayaan masa lampau, dan memperteguh harapan mereka kepada
hari depan yang cerah.
Betapa pula besarnya kebutuhan
mereka orang yang sekiranya dapat mengembalikan kokohnya kepercayaan mereka
kepada agama ini (Islam), yang namanya mereka junjung tinggi tetapi tidak
dimengerti hakikat intinya. Agama yag lebih banyak mereka terima sebagai
warisan daripada penerimaan mereka pengertian yang sedalam-dalamnya.
Buku yang ada di tangan saya ini,
Kerugian Apa yang Diderita Dunia, dengan Kemerosotan Kaum Muslimin, tulisan as
Sayid Abul Hasan Ali Hasan an Nadwi, adalah buku terbaik yang pernah saya baca
mengenai pandangan-pandangan tersebut, baik dibanding dengan buku-buku yang
lainnya maupun yang baru.
Islam adalah aqidah yang
mengangkat derajat tinggi manusia. Salah satu diantara ciri khususnya adalah ,
bagi seorang mukmin ia melahirkan perasaan yang kuat dan mulia tanpa
kesombongan, melahirkan semangat percaya pada diri sendiri tanpa membusungkan
dada, dan melahirkan rasa tenteram tanpa pura-pura bertawakal. Aqidah Islam
membuat kaum Muslimin merasa wajib menunaikan tugas kemanusiaan yang terpikul
di atas pundak. Mereka wajib menunaikan amanat kepada segenap umat manusia di Timur
dan di Barat. Merasa wajib melaksanakan tugas kepemimpinannya di bagian-bagian
bumi yang masih sesat, untuk membimbingnya ke agama yang benar, ke jalan yang
lurus, dan mengeluarkan dari kegelapan ke cahaya yang terang, cahaya hidayat
dan Al Qur’an yang diturunkan Allah SWT :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, memerintah kebajikan dan mencegah kemungkaran
serta beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran 110).
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًا
“Dan demikian Kami telah
menjadikan kalian sebagai umat yang adil, agar kalian menjadi saksi atas
manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas kalian.” (QS al
Baqarah 143)
Kemudian Sayid Qutb, menulis
tentang kelebihan bukuan Nadwi ini dalam segi penjabaran sejarah Islam dan
kritiknya terhadap sejarah Barat. “Orang-orang Eropa sudah cukup banyak menulis
sejarah tentang Dunia menurut pandangan Barat. Sudah tentu mereka dipengaruhi
oleh kebudayaan dan filsafat mereka yang bersifat kebendaan. Dan tentu mereka
dipengaruhi oleh fanatisme Barat dan fanatisme keagamaan, disadari atau tidak
disadari.
Karena itulah mereka sering terjerumus dalam kekeliruan dan
penyelewengan-penyelewengan di saat menulis buku-buku sejarah. Hal itu
disebabkan oleh kelengahan mereka terhadap nilai-nilai hakiki dalam kehidupan
ini, yang sebenarnya hanya dengan nilai-nilai itu sajalah sejarah kehidupan
manusia dapat dijamin kelurusannya dan penafsiran-penafsiran peristiwa dapat
dijamin kebenarannya.”
Selain Sayid Qutb, Prof Dr Yusuf
Musa juga memberikan pujian terhadap buku ini, sehingga ia menamatkan bacaannya
kurang dari sehari. Dan ia katakan: “Membaca buku ini adalah wajib bagi setiap
orang Muslim yang bekerja untuk memulihkan kembali kejayaan Islam.”
Yusuf Musa kemudian menukil
tulisan an Nadwi sendiri : “Al Qur’an dan perilaku Muhammad saw adalah dua kekuatan
luar biasa besarnya yang sanggup mengorbankan api semangat dan keimanan di
dalam dunia Islam. Tiap saat dua-duanya dapat mencetuskan revolusi besar
terhadap masa jahiliyah, dan akan membuat umat yang pasrah tidak berdaya,
rendah diri dan mengantuk, menjadi umat yang kuat, berkobar semangatnya penuh
dengan amarah dan kebenciannya terhadap kejahiliyahan dan system kehidupan yang
bobrok. Salah satu penyakit yang melanda dunia Islam dewasa ini ialah rasa puas
menerima kehidupan duniawi, merasa lega hidup di tengah-tengah keadaan yang
serba rusak dan secara berlebihan menyia-nyiakan hidup.”
Dalam bukunya ini Syekh Hasan an
Nadwi menguraikan secara rinci sebab-sebab kemunduran kaum Muslimin, sejarah
kejayaan Barat terutama sejarah Romawi dan Persia dan obat agar kaum Muslimin
mencapai kejayaan kembali. Patut diungkap di sini tentang kutipan an Nadwi dari
Iqbal dalam bukunya Parlemen Iblis. Dalam bukunya itu Iqbal mengungkap bahwa
setelah parlemen Iblis bersidang tentang tantangan-tantangan mereka ke depan terutama
terhadap system republic dan sosialisme, akhirnya mereka berkesimpulan bahwa
semua system itu tidak berbahaya. Kecuali Islam, yakni umat Islam apabila
mereka sadar akan kehebatannya. Iblis dalam sidang parlemen itu menyatakan:
“Aku tahu, bahwa umat Islam
dewasa ini sudah banyak yang meninggalkan Al Qur’an dan sekarang sedang
dirangsang oleh harta kekayaan. Mereka sedang rindu ingin menimbun dan
menyimpan harta sebanyak-banyaknya, sama seperti umat manusia lainnya. Aku tahu
bahwa malam di Timur amat gelap gulita dan akupun tahu bahwa para ulama Islam
dan para pemimpinnya tidak mempunyai tangan putih yang memancarkan sinar cahaya
yang dapat menembus kegelapan dan menerangi dunia. Akan tetapi aku khawatir
sekali kalau-kalau cobaan dan ujian yang sedang dihadapi oleh umat Islam dewasa
ini akan dapat membangkitkan mereka dari tidur dan mengarahkan mereka kembali
kepada syariat Nabi Muhammad saw.
Kalian kuperingatkan, bahwa agama adalah agama yang tangguh melindungi
pusakanya, pengawal kehormatan dan penjaga keselamatannya, agama keluhuran dan
kemuliaan, agama kejujuran dan kesucian, agama kemanusiaan dan kepahlawanan,
agama yang sedang berjuang menghapuskan segala bentuk perbudakan, melenyapkan
sisa-sisa penghambaan manusia oleh manusia. Agama yang tidak membeda-bedakan
antara si Tuan dan Budak, agama yang tidak mengistimewakan antara yang yang
berkuasa dan kaum yang sengsara, agama yang dengan zakat membersihkan harta
dari noda dan kotoran hingga menjadi jernih dan murni, agama yang menjadikan
para pemilik harta sebagai manusia-manusia yang memperoleh kepercayaan Allah
dititipi kekayaan.Cobalah Anda renungkan mana ada revolusi atau perubahan
kekuasaan yang lebih besar bahayanya daripada yang akan dicetuskan oeh agama
itu pada saat sudah mengusai alam fikiran dan menjiwai amal perbuatan manusia?
Yaitu pada saat manusia sudah mulai berteriak: Bumi ini adalah milik Allah
bukan milik raja-raja atau sultan-sultan!
Oleh karena itu kalian harus
mencurahkan segala kekuatan untuk membuat agama itu tetap jauh dari pandangan
manusia. Kalian harus giat bekerja agar setiap muslim lemah kepercayaannya
kepada Tuhan, dan tipis keyakinannya terhadap kebenaran agama Islam. Adalah
lebih baik bagi kita setiap orang Muslim terus menerus sibuk dan tenggelam
menekuni ilmu kalan atau ilmu-ilmu ketuhanan (teologi) lainnya.
Biarkanlah mereka sibuk
mentakwilkan kitab Allah dan ayat-aat suci seenak sendiri. Tutuplah telinga
orang Muslim rapat-rapat, karena dengan gema azan dan kumandang takbir ia dapat
menghancurkan jimat-jimat dan mantera-mantera di dunia serta sanggup
menggagalkan sihir kita. Kalian harus bekerja keras agar setiap orang Muslim
tidur nyenyak lebih lama dan agar kesanggupannya datang terlambat.
Hai teman-teman, buatlah supaya
setiap orang Muslim tidak bekerja sungguh-sungguh dan bermalas-malas, agar ia
tertinggal dalam perlombaan di dunia. Adalah sangat baik bagi kita bila setiap
orang Muslim menjadi budak orang lain, meninggalkan menjauhi dunia ini serta
menyerahkannya kepada orang lain. Alangkah celakanya kita kalau umat Islam
karena dorongan agamanya akan sanggup mengawasi dan menyelamatkan dunia ini
dari kehancuran!”
Kemunduran Ilmu dan
Pentingnya Universitas
Setelah Syekh Sakib Arselan dan
Hasan an Nadwi, pemikir kontemporer Naquib al Attas menekankan penyebab utama
kemunduran kaum Muslimin adalah kemunduran ilmu pengetahuan. Di sini al Attas
memprioritaskan pentingnya universitas sebagai institusi utama yang darinya
akan bermula revivalisme (kebangkitan) umat. Penekanan pada pendidikan tinggi,
bukanlah dimaksudkan sebagai cermin pemikiran elitis, tapi sebagai intrepretasi
yang benar terhadap hikmah ilahiah yang menjadikan pendidikan orang dewasa
sebagai target utama dari misi semua Nabi. Universitas di semua Negara menjadi
tempat individu-individu yang potensial dalam menjalani pendidikan dan latihan.
Menurut Prof Wan Daud, Guru Besar
UKM Malaysia: “Yang sangat memprihatinkan , menurut pengetahuan saya, tidak ada
seorang pun di dunia Muslim yang berusaha memberikan gambaran teoritis dan
filosofis mengenai apa yang dimaksud universitas ideal menurut pandangan Islam
maupun non Islam kecuali al-Attas. Sebaliknya di Barat, banyak karya tulis yang
berusaha menjelaskan ide mengenai universitas ideal menurut pandangan keagamaan
ataupun filsafat tertentu.”
Dalam suratnya ke Sekretariat
Islam di Jeddah, Mei 1973, al Attas menulis: “Sebuah universitas Islam memiliki
struktur yang berbeda dengan universitas Barat, konsep ilmu yang berbeda dari
apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dan tujuan dan aspirasi
yang berbeda dari konsepsi Barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah
membentuk “manusia sempurna” atau “manusia universal” (insan kamil)… Seorang
ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan,
melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas
dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.”
Ide al Attas tentang pentingnya
universitas Islam ini dijabarkan pertama kalinya pada Konferensi Dunia Pertama
Pendidikan Islam di Mekkah 1977 dan mengulasnya lagi dalam Konferensi Dunia
kedua di Islam abad pada 1980. Dan kemudian al Attas mewujudkan sendiri ide
universitas Islam itu dengan mendirikan ISTAC pada 4 Oktober 1991.
Wallahualiimunhakiim.
Penulis: *Nuim Hidayat