Ketika saya membaca dan
mempelajari sejarah Islam, saya mempelajari bahwa sejarah Islam tidak disajikan
dengan metode yang benar. Baik itu untuk para pelajar maupun pembaca secara
umum. Mayoritas yang kita baca tentang sejarah Islam di masa belakangan ini,
adalah buah karya orientalis. Entah itu tulisan mereka sendiri dalam
buku-bukunya, ataupun para muridnya, sejarawan Muslim yang menimba ilmu mereka.
Seakan apa yang dikatakan para orientalis itu adalah perkataan pamungkas yang
tidak bisa didebat. Padahal suatu hal yang mudah dijelaskan, bahwa mereka
adalah orang-orang yang paling getol merusak dan mendistorsi sejarah Islam.”
(Mohammad Qutb)
Tulisan Syafii Maarif di
Republika 16 Desember 2014 kemarin terlihat mengikuti jejak orientalis. Syafii
mengatakan : “Peradaban (Umayyah dan Abbasiyah –red) memang berkembang hingga
mencapai puncak yang tertinggi, tetapi semua itu juga dibangun di atas
tengkorak umat Islam yang berbeda pandangan politik.”
Entah kenapa Syafii sering
mengorek-ngorek sejarah Islam dengan nada yang sinis. Mungkin dilatarbelakangi
dengan pendidikannya di Amerika yang hampir ‘sepenuhnya’ sejarah diajarkan oleh
para orientalis (non Musim). Para orientalis, sesuai dengan latar belakang
agama mereka, tentu tidak ingin membahas sejarah Islam dengan tujuan
mengagungkan kejayaan Islam. Mereka selalu mencari-cari kesalahan aktor-aktor
atau peristiwa dalam sejarah Islam. Kesalahan sedikit saja dalam sejarah Islam,
akan mereka hiperbolakan. Dan kesalahan besar dalam sejarah mereka (non Islam)
akan mereka sembunyikan ‘sekuat mungkin’. Mungkin tidak semua orientalis
bersikap demikian. Tapi yang ‘jujur terhadap sejarah Islam’ jumlahnya dapat
dihitung dengan jari.
Tulisan Syafii dalam
Republika itu diberi judul Islam Dalam Krisis (II). Mungkin mantan Ketua Umum
Muhammadiyah ini mengambil ide judul dari orientalis terkemuka Barat, Bernard
Lewis yang menulis buku sejarah Islam dengan judul ‘The Crisis of Islam’. Judul
artikel Syafii itu saja bermasalah. Islam dalam Krisis. Yang krisis Islam atau
Muslim dewasa ini? Memang Islam terwakili oleh tingkah laku Muslim. Tetapi
tidak semua kemuliaan Islam –kalau kita yakin terhadap kemuliaan Al Quran dan
as Sunnah- terwakili oleh kaum Muslim mayoritas dewasa ini.
Yang kedua masalahnya adalah
benarkah Islam dalam Krisis? Kalau kita amati dengan jeli, islam tidak dalam
kondisi krisis. Justru Islam sedang bangkit. Kaum Muslim di seluruh dunia
–terutama sejak peristiwa 11 September 2001- justru sedang dalam kondisi
‘ectasy’ untuk mereguk kenikmatan Islam. Di Amerika perpindahan agama lain ke
agama Islam prosentasenya tertinggi dibanding perpindahan agama lain ke agama
lain. Begitu juga di berbagai negara belahan Eropa. Adagium yang mengatakan
bahwa yang pindah ke Islam orang-orang yang pintar dan yang murtad dari Islam
orang-orang yang bodoh, kini menemui kenyataan.
Di Indonesia, bila tahun
80-an jilbab dipasung oleh pemerintah, maka tahun 2000 ini jilbab menjadi
trend. Iklan-iklan produk di televisi seolah-olah ‘tidak afdhal’ kalau hanya
menampilkan gadis yang tidak berjilbab. Produk-produk kecantikan kini
menampilkan bersamaan gadis yang berjilbab dan tidak. Sesuatu yang sulit
ditemui di tahun-tahun sebelumnya.
Kajian-kajian Islam baik di
kantor maupun di kampus-kampus kini marak oleh anak-anak muda. Mereka selain
rajin mengaji, juga rajin beribadah. Meski fenomena ini masih terbatas dalam
kota – di desa-desa kebanyakan yang jamaah di Masjid atau Musholla kaum tua-
tapi kenyataan ini tentu meggembirakan. Karena merupakan sunnatullah sosiologi,
bahwa perubahan masyarakat berasal dari kota (‘Madinah’) bukan dari desa.
Perubahan dilakukan oleh orang-orang yang pintar, bukan oleh orang-orang yang
bodoh.
Krisis Media
Bila dikatakan Islam dalam
kondisi krisis, maka bisa dikatakan benar krisis dalam dunia pertelevisian.
Lebih dari 9 televisi nasional, tidak ada satupun TV Islam. Ada TV-TV Islam,
semisal Alif TV atau MU TV, tapi sifatnya berbayar. Sehingga sebagian besar
masyarakat Indonesia tidak bisa menontonnya. Padahal TV kini masih berpengaruh
besar pada keluarga-keluarga di Indonesia. Acara-acara televisi yang buruk
–gaya berpakaian dan gaya hidup- menjadikan banyak kaum muda Islam berperilaku
buruk juga. Karena actor-aktor televisi secara sadar atau tidak, telah menjadi
pengkhotbah-pengkhotbah modern yang dengan mudah mengubah perilaku masyarakat.
Alhamdulillah kini ada
internet yang membantu kaum Muslim untuk mendapat berita atau film-film yang
positif. Meski internet ternyata juga membawa dampak yang buruk bagi Muslim.
Yaitu karena banyaknya tayangan pornografi dan ‘game=game’ yang tidak mendidik
bagi anak-anak dan kaum muda Muslim.
Media cetak, khususnya Koran
di tanah air juga mengalami krisis. Republika yang di waktu kelahirannya
diharapkan benar-benar menjadi wakil aspirasi umat Islam, kenyataannya kadang
tidak sepeuhnya memihak ke umat Islam. Meski demikian Republika masih lebih
baik dari Koran-koran yang ada di tanah air. Dan Republika meski bersikap
‘moderat’, tetap saja ‘diboikot’ iklannya oleh pengusaha-pengusaha non Islam.
Pengusaha-pengusaha itu lebih suka iklan di Kompas daripada di media cetak
lain. Maka tidak heran Kompas menjadi raja media di Indonesia. Dengan iklan
yang melimpah milyaran tiap hari, Kompas –yang bayak digawangi oleh kaum non
Islam- dapat membangun hotel, perkebunan, televise, jaringan internet dan juga
melahirkan media-media untuk semua lapis masyarakat. Bila harian Abadi (dan
Masyumi) tidak ‘dimatikan’ Soekarno, kemungkinan besar Abadi akan menjadi media
yang lebih besar dari Kompas.
Hati-hati Syafii
Apa yang ditulis Syafii ini
hampir sama dengan yang ditulis oleh ilmuwan politik terkemuka Amerika modern
yaitu Samuel Huntington. Untuk menjelekkan sejarah Islam, Huntington menulis
artikel berjudul “The Age of Muslim Wars” di Majalah Newsweek. Di majalah itu
Huntington menguraikan bahwa abad ini adalah abad perang Muslim. Baik Muslim
dengan Muslim lain, maupun Muslim dengan non Muslim. Seperti dalam perang Irak
melawan Amerika, Afghanistan melawan Amerika dan lain-lain.
Huntington menutupi
kenyataan bahwa jumlah perang yang dilakukan Muslim korbannya jauh lebih kecil
dibandingkan dengan perang yang dilakukan Barat. Khususnya dalam perang Dunia I
dan perang Dunia II. Dalam Perang Dunia I korban yang mati sebanyak 10 juta
orang dan dalam perang Dunia II korban yang jatuh sebanyak 70 juta orang.
Peperangan Muslim non Muslim terjadi mayoritas karena pihak non Islam yang
melakukan penyerangan terhadap kaum Muslim. Seperti serangan
Amerika-Inggris-Israel ke Palestina, Rusia/Amerika ke Afghanistan, Amerika ke
Irak dan lain-lain. Sedangkan antar Muslim terjadi peperangan, karena
‘terutama’ perbedaan mazhab, yaitu mazhab Sunnah dan Syiah. Seperti kejadian
Perang Irak dan Iran. Intelektual-intelektual Barat tahu persis detil-detil
perbedaan kedua mazhab ini, karena itu selalu dieksploitasi agar terus terjadi
peperangan. Baik di Timur Tengah maupun dunia Islam lainnya.
Akhirnya kita kutip pendapat
Syekh Yusuf Qaradhawi yang bagus tentang soal sejarah ini: “Sejarah adalah
memori umat. Musuh umat selalu ingin menghapus memori tersebut. Hingga kita
bisa memutuskan masa lalu, melupakan kegemilangan, serta menaburkan tanah ke
atas tanah dan tradisi peradaban kita. Untuk akhirnya kita harus memulai lagi
dari nol seperti umat yang tidak memiliki sejarah. Jika mereka tidak bisa
menghapus memori tersebut, mereka berusaha untuk merusak serta mendistorsinya
dengan informasi-informasi yang salah, terbalik dan palsu. Baik yang
berhubungan dengan agama, peradaban, sejarah, tokoh dan tradisi umat. Dengan
cara itulah umat pun kehilangan akarnya. Sehingga generasi yang baru menghina
pendahulunya. Umat pun berjalan tanpa akar dan sejarah.
Sejarah sebuah umat adalah materi asli untuk mendidik generasi-generasi.
Terutama bagi umat yang memiliki sejarah panjang, gemilang dan mempunyai peran
serta jejak di atas dunia ini. Hal yang harus dilakukan oleh sebuat umat adalah
belajar dari jejak, kegemilangan, kesalahan dan kelemahan sejarahnya.” (lihat
buku Distorsi Sejarah Islam ‘Tarikhunal Muftara Alaihi’, Pustaka Al Kautsar hal
4).
Walhasil, sejarah Islam yang
panjang –sejak Rasulullah saw diutus sebagai Nabi sampai saat ini- lebih banyak
kegemilangannya daripada kelemahannya. Kaum Muslim jangan mengikuti orang-orang
kafir yang terus menerus menonjolkan kelemahan sejarah Islam. Kaum Muslim
berkewajiban memaparkan kegemilangan sejarah Islam dan memaparkan
keburukan-keburukan sejarah kaum kafir. Al Quran menyatakan:
“Orang-orang yang beriman
berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut. Maka
perangilah kawan-kawan syetan itu, karena sesungguhnya tipu daya syetan itu
lemah.” (QS an Nisa’ : 76).
Penulis: Nuim Hidayat
Terkait Syafii Maarif :