Friday, May 29, 2015

Arab Berupaya Akhiri “Petualangan” Iran di Yaman

Sejumlah analis Arab menilai bahwa serangan atas basis-basis Al Hautsi dan militer Saleh bukan sekedar menyelamatkan pemerintahan sah akan tetapi untuk menyelamatkan Arab seluruhnya. Yang dibutuhkan dunia Arab saat ini adalah duduk bersama untuk meletakkan secara bersama-sama garis kebijakan jangka panjang dan tidak cukup hanya melalui KTT Liga Arab

Oleh: Musthafa Luthfi
SECARA mengejutkan Arab Saudi memimpin sekutu dari negara-negara Arab dalam sebuah operasi “Aashifatul Hazm” (Badai Penghancur) untuk menyerang Yaman dengan menargetkan basis-basis milisi pemberontak Syiah Al Hautsi (Syiah Al Houthi) yang didukung Iran setelah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah di negeri ujung tenggara Jazirah Arab itu.
Serangan udara yang dimulai sejak Kamis (26/3/2015) itu bertujuan untuk mengakhiri kudeta kelompok Syiah Al Hautsiyang dilakukan pada akhir tahun 2014.
Sejak kudeta atas pemerintahan transisi di Yaman pimpinan Presiden Abdurabbuh Mansyur Hadi yang dilakukan oleh kelompok Syiah pro Iran dengan dukungan militer pro mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, Yaman menjadi fokus perhatian dunia Arab. Berbagai upaya solusi politis ditawarkan Arab untuk mengakhiri kudeta dan mengembalikan pemerintahan sah sebagai syarat untuk kembalinya faksi-faksi yang bertikai ke meja perundingan.
Namun respon Al Hautsi dan mantan Presiden Saleh adalah semakin memperluas pendudukannya ke berbagai daerah dengan kekuatan senjata mengingat sekitar 70 % senjata Yaman dikuasainya dua kubu yang sebelumnya pernah sebagai musuh bebuyutan tersebut. Al Hautsi dan Saleh ingin mengubah situasi di Yaman sesuai kepentingan mereka dan membuang kesepakatan yang telah dicapai berdasarkan Inisiatif Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang mendapat legitimasi PBB.
Puncak dari upaya kedua kubu untuk menguasai Yaman adalah keputusan untuk menyerang kota Aden di wilayah selatan sebagai pusat pemerintahan sementara setelah ibu kota Sana`a dikuasai Al Hautsi, guna menangkap Presiden Hadi sekaligus mengakhiri pemerintahan transisi. Mereka yakin termasuk sponsornya (Iran) bahwa dunia Arab tidak akan mampu berbuat sesuatu guna menyelamatkan pemerintahan Hadi.
Namun kali ini perkiraan mereka dan Iran meleset sebab Arab Saudi dan negara-negara Teluk dengan dukungan sejumlah negara Arab lainnya tidak akan membiarkan Yaman jatuh ke milisi pro Iran setelah melihat malapetaka yang terjadi sebelumnya di Libanon, Irak dan Suriah. Bahkan Sudan yang selama ini ditengarai dekat dengan rezim Teheran juga ikut ambil bagian dalam serangan ke Yaman dengan tiga pesawat tempur.
Selain negara-negara GCC,  dilaporkan Maroko, Mesir, Sudan dan Yordania ikut serta dalam serangan udara tersebut bahkan Mesir, Pakistan, Sudan dan Yordania menyatakan kesediaan mereka untuk mengirim pasukan darat bila dibutuhkan disamping dukungan Turki yang menolak pengaruh Iran di Yaman. Hingga hari Ahad (29/3/2015) dilaporkan, operasi militerAashifatul Hazm  atau Badai Penentuan berhasil melumpuhkan sebagian besar pertahanan udara Al Hautsi dan militer pro mantan Presiden Saleh.
Selama ini memang banyak pihak termasuk Iran menilai Arab selalu ragu-ragu mengambil keputusan menentukan terutama yang berkaitan dengan operasi militer untuk melindungi kepentingan mereka dan lebih banyak bergantung kepada negara besar terutama AS. Namun kali ini Arab dibawah komando Saudi mengejutkan semua pihak dengan keputusan tegas melakukan operasi militer guna menghentikan kudeta Syiah Al Hautsi yang pro Iran.
Sikap tegas Saudi dibawah pimpinan baru Raja Salman Bin Abdul Aziz mengingatkan kembali ke masa Raja Faisal Bin Abdul Aziz pada era tahun 70-an abad lalu yang dikenal tegas dan berani saat terjadi perang Arab-Israel. Operasi badai penentuan ini paling tidak telah membuktikan bahwa meskipun kondisi dunia Arab yang masih lemah akibat masih berlangsungnya pergolakan di sejumlah negara Arab, namun pusat penentuan keputusan masih eksis bila bahaya esksistensi Arab terancam.
Bagi dunia Arab letak geografis Yaman yang sangat strategis di pintu masuk salah satu jalur teramai pelayaran internasional di Laut Merah akan berdampak langsung ke seluruh Arab bila negeri Sheba itu jatuh ke genggaman Iran. Karena itu sejumlah analis Arab menilai bahwa serangan atas basis-basis Al Hautsi dan militer Saleh bukan sekedar menyelamatkan pemerintahan sah akan tetapi untuk menyelamatkan Arab seluruhnya.
“Bila operasi ashifatul hazm ini sukses menyelamatkan Sana`a dan Aden (dari kekuasaan Al Hautsi) maka berarti sukses pula menyelamatkan dunia Arab, “tandas sejumlah analis dan pakar Arab. Bahkan sebagian penulis Arab mengobarkan semangat kepada pasukan sekutu Arab dengan penggalan syair “laa budda min shana`a wa in thaala al-safar” (harus bertolak dari kota Sana`a meskipun jalan menujunya panjang), sebagai gambaran nilai strategis Yaman sebagai titik tolak untuk mempertahankan eksistensi Arab.
Target utama
Dengan demikian dapat dibaca bahwa operasi  “badai penentuan”  pimpinan Arab Saudi itu setidaknya bertujuan untuk mencapai dua target utama yakni pertama menyelamatkan pemerintahan sah sekaligus menghindari Yaman dari perang sektarian.
Sedangkan target kedua adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri dunia Arab tentang kemampuan strategis yang dimilikinya tanpa harus menunggu bantuan atau lampu hijau dari Barat terutama AS.
Terkait target pertama, dunia Arab terutama GCC yang aktif membantu pemulihan situasi di Yaman, memang berkepentingan dengan terciptanya situasi kondusif di negeri Sheba itu dengan mempertahankan pemerintahan sah sebagai pengelola negara yang masih carut marut akibat belum terlaksananya hasil dialog nasional pasca lengsernya Ali Abdullah Saleh dari kursi kekuasaan yang dinikmatinya selama lebih dari tiga dekade.
Setidaknya keberadaan pemerintahan transisi pimpinan Presiden Mansyur Hadi yang mendapat dukungan lebih dari 90 % rakyat lewat referendum pada Februari 2012 dapat sebagai fasilitator kelanjutan dialog faksi-faksi yang bertikai di Yaman. Pemerintahan ini juga telah mendapat legitimasi PBB dan masih diakui sebagai pemerintahan sah satu-satunya oleh masyarakat internasional.
Arab dibawah komando Saudi mengejutkan semua pihak dengan keputusan tegas melakukan operasi militer guna menghentikan kudeta Syiah Al Hautsi yang pro Iran.*
SIKAP tegas Saudi dibawah pimpinan baru Raja Salman Bin Abdul Aziz mengingatkan kembali ke masa Raja Faisal Bin Abdul Aziz pada era tahun 70-an abad lalu yang dikenal tegas dan berani saat terjadi perang Arab-Israel. Operasi ‘Badai Penghancur’ ini paling tidak telah membuktikan bahwa meskipun kondisi dunia Arab yang masih lemah akibat masih berlangsungnya pergolakan di sejumlah negara Arab, namun pusat penentuan keputusan masih eksis bila bahaya esksistensi Arab terancam.
Bagi dunia Arab letak geografis Yaman yang sangat strategis di pintu masuk salah satu jalur teramai pelayaran internasional di Laut Merah akan berdampak langsung ke seluruh Arab bila negeri Sheba itu jatuh ke genggaman Iran. Karena itu sejumlah analis Arab menilai bahwa serangan atas basis-basis al-Houthi dan militer Saleh bukan sekedar menyelamatkan pemerintahan sah akan tetapi untuk menyelamatkan Arab seluruhnya.
“Bila operasi ashifatul hazm ini sukses menyelamatkan Sana`a dan Aden (dari kekuasaan Al-Houthi) maka berarti sukses pula menyelamatkan dunia Arab,” tandas sejumlah analis dan pakar Arab. Bahkan sebagian penulis Arab mengobarkan semangat kepada pasukan sekutu Arab dengan penggalan syair “laa budda min shana`a wa in thaala al-safar“ (harus bertolak dari kota Sana`a meskipun jalan menujunya panjang), sebagai gambaran nilai strategis Yaman sebagai titik tolak untuk mempertahankan eksistensi Arab.
Target utama
Dengan demikian dapat dibaca bahwa operasi ‘Badai Penghancur’ pimpinan Arab Saudi itu setidaknya bertujuan untuk mencapai dua target utama yakni pertama menyelamatkan pemerintahan sah sekaligus menghindari Yaman dari perang sektarian. Sedangkan target kedua adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri dunia Arab tentang kemampuan strategis yang dimilikinya tanpa harus menunggu bantuan atau lampu hijau dari Barat terutama AS.
Terkait target pertama, dunia Arab terutama GCC yang aktif membantu pemulihan situasi di Yaman, memang berkepentingan dengan terciptanya situasi kondusif di negeri Sheba itu dengan mempertahankan pemerintahan sah sebagai pengelola negara yang masih carut marut akibat belum terlaksananya hasil dialog nasional pasca lengsernya Ali Abdullah Saleh dari kursi kekuasaan yang dinikmatinya selama lebih dari tiga dekade.
Setidaknya keberadaan pemerintahan transisi pimpinan Presiden Mansour Hadi yang mendapat dukungan lebih dari 90 % rakyuat lewat referendum pada Februari 2012 dapat sebagai fasilitator kelanjutan dialog faksi-faksi yang bertikai di Yaman.
Pemerintahan ini juga telah mendapat legitimasi PBB dan masih diakui sebagai pemerintahan sah satu-satunya oleh masyarakat internasional.
Membiarkan tindakan semena-mena kelompok Syiah Al-Hautsi yang mendapat dukungan militer pro mantan Presiden Saleh untuk memaksanakan kehendak politiknya dengan dukungan kuat dari Iran selain akan menyebabkan perang saudara sektarian, juga dapat dikatakan sebagai tamparan ke muka Arab. Pasalnya kerusuhan yang hampir mengarah ke perang saudara akibat tuntutan mundur terhadap rezim Saleh dapat diatasi lewat solusi damai melalui Inisiatif Arab Teluk.
Apabila Arab hanya berdiam diri melihat Al-Hautsi dan Saleh menguasai Yaman maka sama saja membiarkan negara itu menuju situasi di Iraq sehingga akan menjadi basis baru bagi Iran untuk melebarkan sayap hegemoni di kawasan. Pasca kudeta Al-Hautsi yang ditentang oleh sebagian besar rakyat Yaman, negeri itu berada dalam bahaya disintegritas tanpa ibu kota dan pemerintahan yang menyatu.
Bila operasi tersebut berhasil paling tidak akan membersitkan kembali harapan rakyat Yaman bahwa faksi-faksi yang bertikai termasuk al-Houthi dan kelompok mantan Presiden Saleh akhirnya akan menerima solusi damai sejalan dengan kesepakatan sebelumnya yang diprakarsai oleh Teluk dan PBB. Setidaknya harapan itu mulai kelihatannya, hingga operasi hari keempat pada Ahad dimana dilaporkan bahwa Saleh menyerukan penghentian serangan dan bersedia berunding dengan semua faksi Yaman untuk mencapai solusi damai.
Sedangkan yang terkait dengan target kedua yakni memulihkan kembali kepercayaan diri dunia Arab dengan melakukan solusi sendiri saat merasa eksistensinya terancam tanpa menunggu bantuan atau lampu hijau Barat, merupakan kejutan yang tak terduga sebelumnya. Lewat operasi ‘Badai Penghancur’ ini, Arab sudah membuktikan bahwa era sebatas kutukan tanpa aksi nyata telah berakhir, dan inilah saatnya untuk melakukan tindakan nyata guna melindungi diri dari ancaman luar.
Selama ini terkesan dunia Arab yang sejatinya memiliki potensi besar baik secara ekonomi maupun militer ibarat macan kertas yang tidak bisa berbuat apa-apa meskipun api telah melalap sebagian dari tubuh Arab. Koalisi Arab yang melibatkan sekitar 10 negara itu telah berusaha mengubur kesan tersebut lewat operasi “Badai Penghancur” dan dapat sebagai awal mengembirakan bagi bangsa Arab bahwa potensi besar yang dimilikinya sebenarnya mampu mengatasi masalah Arab tanpa menunggu intervensi pihak luar.
AS sendiri yang sedang dalam tahap merampungkan persetujuan isu nuklir dengan Iran yang akan membuka peluang normalisasi hubungan kedua negara tidak bisa menolak keputusan Arab tersebut. Diperkirakan dunia Arab tidak akan lagi mengedepankan posisi menunggu keputusan AS untuk melakukan aksi agar tidak terulang lagi malapetaka seperti di Suriah.
Sebagaimana diketahui, upaya Al-Hautsi dan Saleh untuk melebarkan pendudukannya di Yaman hingga pantai selatan di pintu masuk Bab El-Mandab yang sangat strategis sama dengan menghalangi Saudi dan negara-negara Teluk lainnya untuk mengekspor minyaknya lewat jalur pelayaran strategis di Laut Merah. Membiarkan Yaman dibawah kontrol Al-Hautsi sama saja dengan membiarkan munculnya Libanon baru di Jazirah Arab yang dapat dimanfaatkan Iran untuk mengembangkan sayap hegemoninya.
Lampu merah
Sejumlah analis Arab juga melihat bahwa operasi kaolisi Arab tersebut sebagai respon tegas dunia Arab terhadap upaya Iran melebarkan pengaruhnya yang tidak dapat ditolerir lagi lebih-lebih menjelang tercapainya persetujuan nuklir dengan Barat. Negeri Persia itu terkesan akan memanfaatkan persetujuan nuklirnya dengan Barat untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan tanpa perlu khawatir akan mendapat ganjalan dari negara-negara besar.
Hampir dapat dipastikan bahwa operasi militer Arab tersebut bukan hanya sebatas merespon ancaman yang akan datang dari Yaman  dengan berkuasanya kelompok pro Iran, akan tetapi sebagai benih baru perubahan strategi Arab untuk mewujudkan perimbangan regional.
“Operasi militer ini bukan sebatas respon sesaat namun akan menjadi benih bagi upaya Arab mewujudkan perimbangan di kawasan khususnya menjelang kesepakatan nuklir Iran dengan Barat,” papar sejumlah pengamat Arab.
Sebagian analis melihatnya sebagai pesan kepada AS dan Iran bahwa dunia Arab benar-benar sadar dan serius untuk meninjau kembali perlunya perimbangan regional agar tidak menjadi ‘bulan-bulanan’ kekuatan regional lainnya (Israel dan Iran). Atau dapat juga dikatakan sebagai lampu merah bagi Iran bahwa Arab tidak bisa lagi membiarkan negeri Syiah itu dengan bebas melebarkan sayap hegemoni yang dapat mengancam eksistensi Arab.
Yang dibutuhkan dunia Arab saat ini adalah duduk bersama untuk meletakkan secara bersama-sama garis kebijakan jangka panjang dan tidak cukup hanya melalui KTT Liga Arab dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan akhir yang sering tidak ditindaklanjuti. Hal ini perlu diupayakan agar operasi “Badai Penghancur“ tersebut bukan sekedar respon reaktif semata namun sebagai benih baru bagi strategi Arab jangka panjang.
Arab juga perlu terus mengedepankan dimensi politis dalam meletakkan strategi baru regional bukan sebatas strategi militer dalam menghadapi upaya Iran melebarkan pengaruhnya sebab konfrontasi militer dengan Iran kemungkinannya jauh.  Paling tidak dimensi politis ini dapat menelorkan kesepahaman baru Arab-Iran tentang perlunya menghentikan proxy war (perang lewat pihak ketiga) seperti kejadian Libanon, Iraq, Suriah dan Yaman.
Memang yang dinantikan bangsa-bangsa kawasan saat ini adalah kesepahaman tersebut terutama setelah tercapainya persetujuan nuklir mendatang antara Iran dan Barat yang diharapkan akan mengubah sikap Iran ke arah yang lebih positif bagi kepentingan solidaritas dan pembangunan di kawasan. Operasi militer ke Yaman diharapkan dapat mendorong negeri Mullah itu untuk menerima uluran tangan Arab untuk sama-sama menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan.*/Lombok, 8 J. Akhir 1436 H
Penulis adalah pemerhati dunia Islam