Friday, May 29, 2015

Hubungan Arab-Iran Bukan Sekedar Isu Nuklir

Hubungan Arab-Iran Bukan Sekedar Isu Nuklir [1]
Isu nuklir Iran menjadi isu terhangat di Timur Tengah hingga berbagai gejolak di sejumlah negeri Arab terabaikan. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika AS dan Iran bersekutu, Arab selalu menjadi korban apalagi negeri Mullah itu dengan cerdiknya dapat bermain di tengah hiruk pikuk Arab Spring

Oleh: Musthafa Luthfi

SELAIN perang multi nasional pimpinan AS melawan milisi Negara Islam (IS) di Iraq dan Suriah, isu nuklir Iran masih menjadi isu terhangat di kawasan Timur Tengah sehingga berbagai gejolak di sejumlah negeri Arab seakan terabaikan mulai dari Libya di ujung barat hingga Yaman di ujung timur dunia Arab. Dunia saat ini sedang menunggu kesepakatan yang akan dicapai oleh enam negara besar (lima negara anggota tetap DK PBB yakni AS, China, Inggris, Prancis dan Rusia plus Jerman) dan Iran.
Pada 2 Maret 2015 lalu, PM ‘israel’, Benjamin Netanyahu kembali memperihatkan posisi menentang kebijakan Presiden AS, Barack Obama terkait kebijakan negeri Paman Sam itu untuk terus mengupayakan solusi damai bagi penyelesaian isu nuklir Iran. Di hadapan anggota Kongres AS Netanyahu menyampaikan pidato “berapi-api“ terkait isu nuklir tersebut dan mendapat sambutan tepuk tangan meriah yang belum pernah didapatkannya di hadapan Kneset (parlemen) ‘israel’.
Netanyahu mengeritik pedas kebijakan Obama yang dalam waktu dekat diprediksi akan berhasil mencapai kata sepakat dengan Iran terkait program nuklir negeri Mullah itu. Para petinggi Iran dan sejumlah pejabat dari enam negara besar termasuk Menlu AS, John Kerry telah menyampaikan isyarat makin dekatnya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Adapun beberapa hal yang masih mengganjal disebutkan hanya terkait pelaksanaan kesepakatan secara teknis dan mendetail seperti  pencabutan sanki atas negeri Persia itu. Para pemimpin zionis nampaknya tidak senang dengan kesepakatan damai dimaksud sehingga terus berupaya mempengaruhi enam negara besar itu khususnya AS agar mengambil langkah tegas secara militer guna menghentikan ambisi nuklir Iran.
Pidato PM Netanyahu di Kongres awal Maret lalu itu oleh sejumlah pengamat dinilai sebagai upaya terakhir negeri Yahudi itu untuk menggagalkan kesepakatan enam negara besar dengan Iran dengan cara meyakinkan para anggota Kongres agar melakukan tindakan cepat guna menggagalkan kesepatan itu. ‘israel’ khawatir bahwa kesepakatan tersebut justeru akan mempersingkat waktu bagi Teheran untuk mewujudkan ambisi memiliki bom nuklir.
Adapun dalih lainnya adalah nuklir Iran menjadi “ancam serius“ eksistensi ‘israel’ tak lebih hanya bualan belaka yang sering menjadi bahan ledekan, karena masyarakat dunia sudah berkomitmen bahwa setiap negara pemilik senjata nuklir tidak mungkin menggunakannya untuk menghancurkan negara lain. Penggunaan senjata nuklir untuk menyerang negara lain adalah garis merah internasional sehingga hampir mustahil Iran akan menggunakannya untuk menyerang ‘israel’ karena akan berakibat kehancuran negara Persia itu sendiri.
Adapun dalih Netanyahu bahwa kesepakatan itu tidak akan menjadi kendala bagi Iran untuk memiliki senjata nuklir atau bahkan mempercepatnya untuk memiliki senjata pemusnah massal itu bisa jadi banyak benarnya. Karenanya upaya terakhir yang dilakukannya adalah melobi Kongres agar menghentikan kesepakatan dimaksud meskipun peluang ke arah itu oleh banyak pengamat dinilai sangat kecil.
Pidato berdurasi sekitar 40 menit itu sempat dijeda dengan sekitar 43 kali tepuk tangan meriah anggota Kongres yang meneriakkan dukungan terhadap posisi ‘israel’ yang menentang rencana kesepakatan enam negara Besar dengan Iran. Secara kebetulan pidato itu bertepatan pula dengan pembicaraan antara Menlu AS, John Kerry dengan mitranya Menlu Iran, Mohammed Javad Zarif di Wina guna membahas sejumlah masalah pending sebelum batas waktu kesepakatan berakhir pada 31 Maret 2015.
Netanyahu juga mengingatkan bahwa bila kesepakatan tersebut tercapai maka akan menimbulkan lomba senjata baru di kawasan Timur Tengah. “Kami telah mengingatkan sejak setahun yang lalu bahwa lebih baik tidak tercapai kesepakatan bila kesepakatan tersebut buruk dan lebih baik bagi dunia bila kesepakatan ini tidak ada,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui pada 17 Maret mendatang, ‘israel’ akan melangsungkan pemilihan umum legislatif yang akan menentukan apakah Netanyahu masih akan dipercaya sebagai orang nomor satu negeri Yahudi itu. Ada dugaan bahwa upaya mengganjal rencana kesepakatan nuklir negeri Mullah itu adalah salah satu bagian dari kampanye untuk mendapatkan simpati para pemilih ‘israel’.*
Dua pesan
BAGI Presiden Obama sendiri dia melihat bahwa tidak ada yang baru dari orasi Netanyahu di hadapan Kongres, dan PM ‘israel’ itu juga tidak memberikan opsi yang dapat dipertimbangan negeri adikuasa itu. Sedangkan Iran menilainya sebagai pernyataan yang telah sering diulang-ulang dan membosankan sehingga tidak terlalu ditanggapi secara serius.
Boleh dikatakan bahwa “duel“ antara Netanyahu dan Obama kali ini sebagai tanda pembatas terakhir yang dapat dilampui ‘israel’ sebelum memastikan bahwa kepentingannya tidak akan mungkin mengungguli kepentingan tertinggi negeri Paman Sam yang selama ini selalu melindunginya. Boleh saja Netanyahu kembali ke ‘israel’ dengan membawa dukungan Kongres dan sambutan yel-yel dukungan dari sebagian rakyat ‘israel’ yang simpati.
Namun kali ini, Tel Aviv nampaknya tidak akan mampu menghalangi kesepakatan AS dan lima negara besar lainnya yang berkepentingan agar masalah nuklir Iran tersebut dapat segera diatasi sebab berlarut-larutnya isu ini tidak akan serta merta mendorong Barat melakukan aksi militer karena Barat sedang “kepayahan“ berperang. ‘israel’ sendiri sulit melakukan aksi sepihak tanpa dukungan Barat.
Bahkan sejumlah sumber terpercaya menegaskan bahwa AS mengancam menjatuhkan pesawat tempur ‘israel’ saat negeri itu memutuskan akan melakukan serangan sepihak ke target instalasi nuklir Iran pada 2014. Meskipun Washington membantah laporan tersebut, namun mantan Kastaf Angkatan Bersenjata ‘israel’ kepada TV setempat menegaskan bahwa pihaknya melarang Netanyahu melakukan serangan sepihak pada 2014.
Karenanya dalih apapun yang dimunculkan ‘israel’ untuk menghalangi kesepakatan mendatang, nampaknya tidak akan digubris Barat selama Iran mengakomodir persyaratan Barat. Teheran sendiri dalam beberapa kesempatan menandaskan tentang semakin dekatnya kesepakatan dengan Barat dengan tetap mengingatkan bahwa program nuklirnya tidak akan terhenti.
Bagi ‘israel’ sendiri, kunjungan Netanyahu terakhir ke negeri Adidaya itu sebelum pemilu legislatif telah meninggalkan setidaknya dua pesan berbeda. Pesan pertama ditujukan kepada Barat khususnya dan masyarakat internasional umumnya, sedangkan pesan kedua lebih ditujukan kepada dunia Arab yang dalam kaitannya dengan program nuklir Iran tidak diberikan peran.
Pesan pertama merupakan penegasan terhadap posisi ‘israel’ yang selalu bersebrangan dengan masyarakat internasional bahkan dengan AS selaku negara pelindungnya. Isu Palestina yang berlarut-larut sebagai salah satu bukti nyata bahwa sikap negeri zionis itu lebih sering bersebrangan dengan dunia termasuk sekutu-sekutunya di dunia Barat.
Menyangkut pesan kedua, ‘israel’ seolah-olah membuktikan bahwa dunia Arab yang masih didera oleh konflik yang belum usai, untuk pertama kalinya dalam 50 tahun terakhir dikesampingkan dari isu penting di kawasan. Bila tidak memulihkan solidaritasnya, akan menjadi “bulan-bulanan“ kepentingan dua kekuatan regional yakni Iran dan ‘israel’.
Apabila kesepakatan nuklir tersebut benar-benar tercapai yang dapat diartikan sebagai normalisasi hubungan Teheran-Washington yang sempat terputus sejak revolusi Iran 1979, maka Iran akan semakin leluasa memperkuat pengaruhnya di kawasan tanpa perlu khawatir akan dihalangi oleh AS. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika AS dan Iran bersekutu, Arab selalu menjadi korban apalagi negeri Mullah itu dengan cerdiknya dapat bermain di tengah hiruk pikuk Arab Spring untuk memperkuat pengaruhnya di sejumlah negara Arab.
Bagi dunia Arab sendiri yang masih terpecah belah, kesepakatan itu tidak begitu penting karena yang terpenting adalah penyelesaian menyeluruh permasalah kawasan. Pasalnya, tidak ada tanda-tanda kesepakatan tersebut akan mengarah kepada penyelesaian masalah dimaksud atau paling tidak penyelesaian ketegangan antara Iran dan dunia Arab.
Bukan sekedar nuklir
Dengan kata lain, isu nuklir Iran terkait dengan permasalahan kawasan tidak lebih sebagai isu sekunder sebab isu utama yang seharusnya lebih diprioritaskan adalah rekonsiliasi menyeluruh Iran-Arab untuk memperkokoh kedaulatan bersama. Pasalnya derita yang masih dialami rakyat kawasan itu termasuk rakyat Iran sendiri adalah lebih disebabkan ambisi hegemoni Iran dan penyebaran permusuhan.
Adapun isu nuklir hanyalah masalah utama ‘israel’ yang tidak ingin tersaingi dan masalah dunia Barat yang tidak ingin melihat munculnya lomba senjata pemusnah massal di kawasan. AS dan Barat mafhum bahwa keberhasilan Iran memiliki senjata nuklir akan mendorong setidaknya tiga negara besar lainnya di kawasan yakni Arab Saudi, Mesir dan Turki akan melakukan langkah serupa.
“Intinya, isu nuklir Iran hanyalah isu kedua di kawasan dibandingkan dengan masalah yang ditimbulkan atas aksi yang dilakukannya di Iraq, Suriah, Libanon, Bahrain dan Yaman. Ini sekedar contoh dari upaya Teheran melakukan hegemoni dan penyebaran permusuhan ketimbang kerjasama saling menguntungkan di kalangan bangsa-bangsa kawasan,“ papar sejumlah pengamat Arab.
Kenyataan di lapangan memang dapat disaksikan bahwa apa yang dilakukan Iran di Iraq dan Suriah menyuburkan  gerakan-gerakan konflik. Yaman yang sedianya sudah berada di jalur penyelesaian politis, kembali ke titik awal lingkaran kekacauan dengan aksi kudeta gerakan pemberontak Syiah Hautsi (Syiah Al-Houthi) yang mendapat dukungan rezim Iran.
Bagi rakyat Libanon, misalnya, tidak ada masalah dengan kesepakatan nuklir Iran dengan Barat, karena masalah mereka dengan negeri Persia itu adalah senjata sekutunya (Syiah Hizbullah) yang melarang parlemen memilih Presiden baru. Begitu pula dengan rakyat Yaman tidak ada masalah dengan kesepakatan nuklir tersebut, sebab masalah utama adalah intervensi Iran lewat kelompok pemberontah Syiah Hautsi (Syiah Al-Houthi) yang menyebabkan negara tersebut semakin kacau.
Singkatnya, kesepakatan nuklir yang dinanti-nantikan masyarakat internasional tersebut bisa berpengaruh positif atau berdampak negatif bagi bangsa-bangsa kawasan. Dapat berpengaruh positif bila Negara Mullah tersebut kembali menormalisasikan hubungannya dengan dunia Arab bukan sebagai negara “penjajah” di Iraq, Suriah, Libanon dan sebagian wilayah Yaman.
Sebaliknya kesepakatan tersebut dapat berdampak negatif bila Iran memanfaatkannya untuk memperluas hegemoninya di kawasan tanpa perlu khawatir akan ancaman AS dan Israel. “Dengan demikian Iran melihat kesepakatan itu sebagai pengakuan dunia sebagai negara penentu di kawasan yang dapat dengan bebas memperluas pengaruhnya ke mana saja yang dikehendakinya,” papar Kheirullah Kheirullah, analis Arab asal Libanon.
Memang yang dinantikan bangsa-bangsa kawasan saat ini adalah apakah kesepakatan nuklir mendatang akan mengubah sikap Iran ke arah yang lebih baik atau lebih buruk bagi kepentingan solidaritas dan pembangunan di kawasan vital tersebut atau tidak akan mengubah sesuatu apapun. Perubahan sikap negeri Mullah itu benar-benar ditunggu negara-negara tetangganya.*/ Lombok Tengah 17-5-1436 H
Penulis adalah pemerhati masalah Timur Tengah