Nama fir’aun diabadikan
dalam Al Qur’an sebagai musuh Nabi Musa. Kisah sepak terjang fir’aun adalah
kisah yang
paling banyak terulang
dalam ِAl Qur’an. Lalu ada apa dengan fir’aun dan ulama Syiah?
Berbicara
tentang fir’aun menimbulkan pertanyaan pada benak kita, apakah kita masih perlu
membahasnya, mengingat kisah fir’aun telah lama diturunkan dalam Al Qur’an,
atau kita masih melihat kenyataan bahwa kisah Al Qur’an seringkali hanya
digunakan sebagai pengantar tidur, dan kisah untuk diceritakan pada anak-anak
kecil di TPA.
Fir’aun adalah simbol bagi penguasa zhalim yang memperbudak rakyatnya. Dia
memaksa rakyat untuk menyembah dirinya, dengan kekuatan militer yang ada siap
untuk menggilas para penentang, begitu juga tukang sihir siap untuk
menakut-nakuti manusia agar berpikir seribu kali untuk melawan. Berbagai
mukjizat telah nampak nyata di mata fir’aun, namun nuraninya yang mengakui
kebenaran kalah oleh ego pribadi yang bersujud pada kesombongan. Hanya dengan
membangun mesir dan mengalirkan sungai-sungai di istana, fir’aun berani
memproklamirkan diri menjadi tuhan, tiada tuhan selain dirinya.
Terakhir, para tukang sihir bersujud setelah menyaksikan mukjizat Nabi Musa,
luluh oleh kebesaran dan kekuasaan Allah. Tetapi fir’aun malah bersujud pada
ego pribadinya. Tukang sihirnya yang telah beriman pada Allah pun disalibnya di
pohon korma, akhirnya Allah mengunci hatinya, dan fir’aun pun menyerah pada
saat-saat terakhir. Tetapi terlambat.
Fir’aun menjadi simbol penentang dakwah kebenaran. Al Qur’an mengulang-ulang
kisahnya agar kaum muslimin berhati-hati jangan sampai meniru tingkah Fir’aun
dalam menolak kebenaran. Nasehat dalam Al Qur’an masih ditambah lagi dengan
jasadnya yang utuh hingga hari ini, supaya orang makin memperhatikan dan
mengambil pelajaran.
Dalam hadits disebutkan bahwa orang yang tidak menjaga shalat kelak di hari
kiamat dibangkitkan bersama Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf, [Riwayat Darimi
dan Ibnu Hibban, Kanzul Ummal, Musnad Ahmad]
Ini
bisa jadi karena orang yang tidak menjaga shalatnya dia telah menyerupai
firaun, haman dan Ubay bin Khalaf yang menentang perintah Allah. Lebih dari
perbuatan dan tingkah polahnya, Ali melarang meniru pakaiannya :
Jangan
kalian kenakan pakaian hitam, karena itu adalah pakaian Fir’aun.
Ini tercantum dalam literatur syiah berikut:
Man
La Yahdhuruhul Faqih (1 : 251), Wasa’ilu Syi’ah (4:383), Al Khishal (2:614),
Ilal Syara’I (2:346)
Karena
tercantum dalam kita syi'ah saja, larangan ini berlaku untuk syi'ah, tidak
untuk sunni. Sunni dan syi'ah memiliki metodologi yang berbeda dalam menilai
hadits, jadi hadits untuk syi'ah tidak berlaku bagi sunni.
Ali
bin Abi Thalib, seperti kita tahu merupakan lulusan madrasah Muhammad, yang
mendapat perhatian Nabi sejak masa kecilnya, melarang umat mengenakan pakaian
hitam, karena pakaian hitam adalah pakaian Fir’aun. Agar umat tidak meniru
Fir’aun dalam segala hal, agar umat tetap ingat bahwa Fir’aun adalah simbol
musuh yang harus dibenci, bahkan pakaiannya pun harus kita benci dan jauhi.
Namun kita lihat yang pertama kali menentang ucapan imam Ali adalah kelompok
yang menamakan dirinya hari ini “syi’ah ahlulbait”, atau “syi’ah keluarga
Nabi”, yaitu mereka yang mengklaim dirinya mengikuti Ali dan 11 imam
keturunannya. Kita lihat seragam kebesaran ulama syi’ah adalah pakaian
hitam-hitam. Ini bisa kita lihat dalam penampilan ulama syi’ah dalam berbagai
kesempatan, dari foto-foto yang bisa dilihat di mana-mana.
Ini menjadi satu lagi bukti bahwa ucapan tidak selamanya sesuai dengan
kenyataan, klaim tidak serta merta menjadi bukti kebenaran, yang harus kita
uji. Orang yang mengklaim dirinya mengikuti Ali bisa jadi penentang utama bagi
ajaran Ali, contohnya adalah ulama syi’ah yang selalu mengenakan pakaian hitam,
menentang imam Ali yang melarangnya.
Mari kita memberanikan diri untuk bertanya sedikit lebih jauh, kira-kira
mengapa ulama syi’ah bersikeras menentang Ali dan malah mengenakan pakaian
Fir’aun? Ada apa dengan fir’aun dan ulama syi’ah?
Mengapa para ulama syi’ah selalu menghujat sahabat-sahabat Nabi yang jelas
dicintai Allah tetapi malah menggunakan pakaian fir’aun yang telah jelas
dilarang oleh Ali?