Pertanyaan:
Saya adalah seorang penganut Syi’ah, saya ingin bertanya bagaimana pandangan
Ahlussunnah tentang Imam Husein?
Jawaban:
Kami
Ahlussunnah meyakini bahwa Imam Husein telah mati dibunuh musuh-musuh yang
menzaliminya, kami berlepas diri dari seluruh orang celaka yang telah
membunuhnya atau bantu-membantu dalam membunuh Imam Husein, atau mereka yang
ridho atas kezaliman yang menimpanya. Kami meyakini bahwa kezaliman yang
menimpa Imam Husein adalah curahan karunia dari Allah pada beliau, untuk
meninggikan derajatnya, memuliakan pangkatnya, seperti sabda kakeknya : “para
Nabi adalah orang yang paling berat ujiannya, lalu orang yang terbaik di
setelah mereka dan seterusnya”. Dengan perantaraan ujian yang berat ini Allah
mengaruniakan padanya pangkat mulia sebagai seorang syahid. Dengan ujian ini
Allah mengangkatnya ke derajat para pendahulu ahlul bait yang sabar ditimpa
cobaan di masa awal Islam, begitulah, Imam Husein juga bersabar dalam
menghadapi ujian berat yang menimpa dirinya, sehingga Allah menyempurnakan
nikmatnya dengan karunia syahadah. Perlu diketahui, bahwa karunia sebagai
syahid tidak pernah diberikan kecuali pada orang yang sabar dalam menghadapi
cobaan, ternyata Imam Husein termasuk mereka yang layak mendapatkannya. Kami
yakin, sejak itu, kaum muslimin tidak pernah ditimpa musibah lebih besar dari
syahidnya Imam Husein.
Setiap
kami mengingat musibah itu, kami selalu mengucapkan perkataan yang diajarkan
oleh Fatimah binti Husein, yang ikut hadir saat ayahnya syahid, dari ayahnya
dari kakeknya yaitu Rasulullah, bahwa beliau bersabda : “barang siapa ditimpa
musibah dan ingat akan musibah itu, lalu ber istirja’ (mengucapkan Inna
lillahi...dst) maka Allah akan memberinya pahala sama seperti pahala musibah
itu ketika menimpanya walaupun musibah itu sudah lama terjadi.” Maka kami
mengucapkan “Inna
lillahi wa inna ilaihi Roji’un”, karena kami ingin mendapat berita gembira dari
Allah : “berilah kabar gembira bagi orang-orang yang
bersabar, yaitu mereka yang mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
ketika ditimpa musibah. Mereka akan mendapat pujian dan rahmat dari Allah,
mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Walaupun
kami mencintai Imam Husein, tapi kami tidak akan melanggar batas yang telah
ditetapkan oleh kakeknya, Rasulullah, yang telah bersabda : “ janganlah kalian
berlebihan dalam memujiku seperti kaum nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin
Maryam, tapi cukup katakanlah : Muhammad adalah Hamba Allah dan RasulNya”
Ahlussunnah
tidak berdoa dan meminta pertolongan pada Imam Husein dengan alasan
menghormatinya [1] , karena Allah melarang kami berbuat
demikian. Ahlussunnah tidak memperlakukan Nabi dan Ahlulbaitnya seperti
memperlakukan Allah, sebagaimana kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan Isa dan
Maryam yang akhirnya menjadikan mereka berdua sebagai tuhan selain Allah.
Ahlussunnah beranggapan bahwa Ahlul Bait tidak memiliki posisi dan kewenangan
yang hanya dimiliki para Nabi, seperti kemaksuman dan kewenangan membuat
syareat baru, yang hanya dimiliki oleh para Nabi sebagai penyampai Risalah
Allah. Ahlussunnah meyakini bahwa Ahlul Bait adalah pengikut Nabi yang terbaik
dan penyampai dakwah Nabi Muhammad, kita semua mengetahui bahwa Ahlul Bait
adalah manusia biasa, tapi mereka adalah manusia-manusia terbaik. Namun ahlul
bait tidak pernah merasa bahwa menjadi kerabat Nabi adalah jaminan keselamatan
di akherat, seperti anggapan sebagian orang yang mengaku keturunan Nabi saat
ini. Ahlul Bait adalah mereka yang paling keras membela Islam dan paling depan
dalam melaksanakan ajaran Islam, seperti dijelaskan Imam Ali Zainal Abidin :
Aku berharap Allah akan memberi pahala dua kali lipat bagi ahlul bait yang
berbuat baik, namun takut Allah akan memberi dosa dua kali lipat bagi ahlul
bait yang berbuat dosa.
Ahlussunnah
tidak melanggar perintah kakek Imam Husein, Rasulullah, yang melarang ummatnya
meratap, memukul badan dan menobek pakaian ketika ditimpa musibah [2] . Rasulullah menerangkan bahwa perbuatan
itu termasuk perbuatan jahiliyah. Bahkan Hamzah, paman Nabi, telah dibunuh dan
dirusak mayatnya, Nabi pun bersedih, beliau tidak pernah ditimpa musibah
seberat ketika pamannya dibunuh dan dirusak mayatnya di perang uhud. Namun
tidak pernah menjadikan hari terbunuhnya Hamzah sebagai hari duka cita yang
penuh dengan tangis ratapan. Begitu juga Ali, tidak pernah berbuat demikian
saat memperingati wafatnya Nabi, juga Imam Hasan dan Imam Husein tidak pernah
mengadakan acara duka cita dan ratapan pada hari peringatan wafatnya Ali. Maka
Ahlussunnah tidak menjadikan hari peringatan wafatnya Imam Husein sebagai hari
duka cita, kami meniru hal itu dari petunjuk Nabi yang diikuti oleh Ali dan
kedua puteranya, Hasan dan Husein.
Hari
Asyura adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dari ancaman dan
kejaran Fir’aun, Rasulullah berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur pada
Allah, Ahlussunnah berpuasa pada hari itu mencontoh Nabi yang telah berpuasa
pada hari itu. Pada hari itu cucu Rasulullah jatuh syahid menemui Allah,
menyusul kakek, ayah, ibu dan kakaknya. Kami bersabar dan mengharap pahala
Allah atas kesedihan kami terhadap musibah itu. Pada hari itu Ahlussunnah
melaksanakan dua amalan besar, yaitu bersyukur atas selamatnya Nabi Musa dan
bersabar atas musibah yang menimpa, yaitu syahidnya Imam Husein. Sama dengan
tanggal 17 Ramadhan, Ahlussunnah bersyukur memperingati kemenangan Nabi dan
para sahabatnya di perang Badar, sekaligus bersedih memperingati syahidnya Ali
bin Abi Thalib. Juga hari Senin, dimana pada hari itu Nabi Muhammad lahir dan
wafat. Kami berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa,
kami juga bersedih dan bersabar, serta tak lupa mengucapkan istirja’ Inna
lillahi wa inna ilaihi raaji’uun atas musibah syahidnya cucu baginda Nabi, Imam
Husein, dengan hati yang penuh pengharapan, kiranya dapat masuk ke golongan
mereka yang diberi kabar gembira.
Saudara
penanya, firasat saya mengatakan, bahwa dengan mengajukan pertanyaan ini, anda
sedang mencari kebenaran karena desakan rasa ingin tahu yang ada dalam hati
anda. Anda hendaknya sudi mencontoh Imam Ali, yang meskipun sedang berusia
muda, tapi berani mengambil sikap tegas dan meninggalkan ajaran kaumnya, masuk
dalam agama Islam yang turun pada Nabi Muhammad, walaupun ketika itu pengikut
Nabi baru sedikit, lagi lemah dan tertindas. Seluruh kehidupan Imam Ali menjadi
teladan bagi kita agar selalu mengikuti dan mempertahankan kebenaran walaupun
dengan harga yang amat mahal.
Ketahuilah
wahai saudaraku, umur yang kita punya sungguh amat pendek untuk habis tenggelam
dalam bahtera keraguan. Waktu yang ada sungguh sempit untuk habis karena ikut
pada kesesatan. Mari kita mencari kebenaran sekuat tenaga, bersimpuh kepada
Allah memanjatkan doa munajat, agar berkenan memberikan pada kita petunjuk
jalan yang benar, mengilhamkan kepada kita semua hidayah ketika manusia
berselisih pendapat, membimbing kita semua menuju ridhoNya, membimbing kita ke
jalan yang lurus, jalan mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah, jalan para
Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Sholihin. Kita harus mengerti dan sadar, jika
bukan karena rahmat dan hidayah Allah yang tercurah pada kita, kita akan terus
berkubang dalam kesesatan dan kebingungan. Ya Allah, dengan kecintaan kami pada
NabiMu dan Ahlul Bait, kami memohon padaMu, kiranya Engkau sudi membimbing kami
ke jalan NabiMu dan Ahlul Bait, menuntun kami agar dapat bersama mereka kelak
di akherat, memberi hidayah agar kami dapat mengikuti jalan mereka. Amin.
Dr.
Abdul Wahhab Al Turairi
[1] Ahlussunnah
tidak mengatakan: Ya Husein… adrikni, atau Ya Sohibazzaman… Adrikni
[2] Syi’ah
memperingati Syahidnya Imam Husein dengan memukul badan, baik dengan tangan kosong
maupun dengan senjata tajam, merobek pakaian dan meratap-ratap.
Benarkah Kaum Syiah Mencintai
Ahlul Bait?
Oleh, Ustadz Dzulqarnain M.
Sanusi
Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka
berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan
mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas
pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan
kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap
menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam
pada akal-akal kaum Syi’ah.
Benarkah kaum Syi’ah mencintai
Ahlul Bait?
Mari kita melihat bagaimana sebenarnya
kecintaan kaum Syi’ah kepada Ahlul Bait dan bagaimana sikap Ahlul Bait itu
sendiri terhadap kaum Syi’ah.
Definisi Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah bersepakat untuk
membatasi Ahlul Bait Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam hanya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhû,
Fathimahradhiyallâhu‘anhâ,
Al-Hasan radhiyallâhu‘anhumâ,
dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ.
Kemudian, mereka memasukkan sembilan orang imam dari keturunan Al-Husain radhiyallâhu anhû dalam
hal tersebut: (1) Ali Zainul ‘Âbidin, (2) Muhammad Al-Bâqir, (3) Ja’far
Ash-Shâdiq, (4) Musa Al-Kâzhim, (5) Ali Ar-Ridhâ, (6) Muhammad Al-Jawwâd, (7)
Ali Al-Hâdy, (8) Al-Hasan Al-‘Askar, dan Imam Mahdi mereka, (9) Muhammad
Al-‘Askar. [Al-Anwâr
An-Nu’mâniyah 1/133, Bihâr
Al-Anwâr35/333, dan selainnya. Bacalah Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd
Wa At-Tafrîdkarya Sulaimân As-Suhaimy hal. 352-356 dan Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal.
13-20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Hakikat definisi kaum Syi’ah tentang Ahlul
Bait di atas adalah celaan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husainradhiyallâhu‘anhum.
Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far
Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia menjadi murtad setelah
Nabi shallallahu
‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang.” Saya (perawi) bertanya,
“Siapakan tiga orang itu?” Beliau menjawab, “Al-Miqdad, Abu Dzarr, dan Salman
Al-Fârisy ….” [Raudhah
Al-Kâfy 8/198]
Juga datang sebagian riwayat mereka tentang
pengecualian untuk tujuh orang, yang Al-Hasan dan Al-Husain tidak tersebut
dalam pengecualian itu.
Mereka meriwayatkan dari Amirul Mukmin Ali
bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhûbahwa
beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar
gembira serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa alihi meninggal
dan beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly hal. 726
karya Ash-Shadûq]
Kaum Syi’ah juga tidak mengakui putri
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallamsebagai Ahlul Bait beliau, kecuali Fathimah saja.
Mereka berkata, “Ahli tarikh menyebut bahwa Nabi (sha) memiliki empat putri. Berdasarkan urutan
kelahirannya, mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah.
Namun, menurut penelitian cermat tentang nash-nash tarikh, kami tidak menemukan
dalil yang menunjukkan (keberadaan) anak (untuk beliau), kecuali Az-Zahrâ` (‘ain), Bahkan, yang tampak
adalah bahwa anak-anak perempuan yang lain adalah anak-anak Khadijah dari
suaminya yang pertama sebelum Nabi Muhammad (sha)
….” [Dâ`irah Al-Ma’ârif
Al-Islâmiyah Asy-Syi’iyyah 1/27 karya Muhsin Al-Amin]
Demikianlah kedunguan kaum Syi’ah dalam
menentang Allah Ta’âlâ,
padahal Allah menyebut anak-anak perempuan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan
konteks jamak yang menunjukkan jumlah lebih dari tiga sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin bahwa
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ….” [Al-Ahzâb: 59]
Kaum Syi’ah juga tidak memasukkan
istri-istri Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallamdalam lingkup Ahlul Bait, padahal ayat tentang
keutamaan Ahlul Bait asalnya ada dalam konteks penyebutan istri-istri
Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman-Nya,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ
الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ
عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا. وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian
tidaklah seperti perempuan lain jika kalian bertakwa. Maka, janganlah kalian
lembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Hendaklah kalian tetap berada di
rumah-rumah kalian, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang jahiliyah dahulu, serta dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai
ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah
apa-apa yang dibacakan di rumah kalian berupa ayat-ayat Allah dan hikmah
(sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzâb: 32-34]
Kebencian kaum Syi’ah terhadap para istri
Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallamsangatlah besar, terkhusus terhadap Aisyah dan
Hafshah radhiyallâhu‘anhmâ,
sehingga salah seorang pembesar mereka dari Hauzah, Sayyid Ali Gharwy, berkata,
“Sesungguhnya, sebagian kemaluan Nabi harus masuk ke dalam neraka karena beliau
telah menggauli sebagian perempuan musyrik.” [Disebutkan dalam Kasyful Asrâr hal. 21
karya Husain Al-Musawy]
Mereka juga tidak memasukkan anak-anak Ali
bin Abi Thalib –kecuali Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ – ke dalam golongan
Ahlul Bait, padahal Ali memilliki beberapa anak selain Al-Hasan dan Al-Husain,
yaitu Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Al-‘Abbâs, Ja’far,
Abdullah, ‘Ubaidullah, dan Yahya. [Asy-Syi’ah
Wa Ahlul Bait hal. 20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Kaum Syi’ah juga tidak menganggap anak-anak
Al-Hasan sebagai Ahlul Bait sebagaimana mereka juga tidak menganggap anak-anak
Al-Husain sebagai Ahlul Bait, kecuali Ali Zainul ‘Abidin. Padahal, Al-Husain
memiliki anak yang bernama Abdullah dan Ali (lebih tua daripada Ali Zainul
‘Abidin) yang keduanya ikut mati syahid bersama Al-Husain di Karbalâ`. [Huqbah Min At-Târikh hal.
242 karya Utsman Al-Khumayyis]
Sebagaimana pula, mereka juga tidak
menganggap Bani Hasyim sebagai Ahlul Bait, padahal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memasukkan
mereka ke dalam lingkup Ahlul Bait sebagaimana dalam kisah Abdul Muthlib bin Rabî’ah
bin Harits bin Abdul Muthlib dan Al-Fadhl bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthlib, yang
meminta untuk dipekerjakan terhadap harta sedekah agar keduanya memperoleh upah
untuk menikah maka Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ
أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya sedekah tidaklah
pantas bagi keluarga Muhammad. Hal tersebut hanyalah kotoran-kotoran manusia.” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Bahkan, kaum Syi’ah menyebut bahwa Ali bin
Abi Thalib berdoa, “Ya Allah, laknatlah dua anak Fulan -yaitu Abdullah dan
‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbâs, sebagaimana dalam catatan kaki-. Butakanlah
mata keduanya sebagaimana engkau telah membutakan kedua hati mereka ….” [Rijâl Al-Kisysyi hal
52]
Juga sebagaimana mereka menghinakan ‘Âqil
dan Al-‘Abbâs dalam sejumlah riwayat mereka.
Beberapa Penghinaan kaum Syi’ah
terhadap Ahlul Bait[1]
Tidak pernah suatu hari pun kaum Syi’ah
mencintai dan menaati Ahlul Bait. Bahkan, buku-buku mereka telah menetapkan
penyelisihan dan penentangan mereka terhadap Ahlul Bait.
Perhatikanlah kelancangan mereka terhadap
Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallamdalam riwayat mereka, bahwa Ali memperbandingkan
antara dirinya dan diri Nabishallallâhu
‘alaihi wa sallam. Ali berkata, “Aku adalah pembagi Allah antara
Surga dan Neraka. Aku adalah pembeda terbesar. Aku adalah pemilik tongkat dan
misam. Sungguh seluruh malaikat dan rasul telah mengakui untukku apa yang
mereka diakui untuk Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa âlihi. Sungguh aku telah dibebani seperti beban Ar-Rabb. Sungguh
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi akan dipanggil kemudian diberi pakaian, Aku
juga dipanggil kemudian diberi pakaian. Beliau diminta berbicara dan Aku juga
diminta berbicara. Hingga di sini, Kami adalah sama. Adapun Aku, sungguh Aku
telah diberi beberapa sifat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun
sebelumku. Aku mengetahui angan-angan, bencana-bencana, nasab-nasab, fashlul khithab. Tidaklah
luput sesuatu yang telah mendahuluiku, dan tidaklah pergi sesuatu yang telah
berlalu dariku.” [Ushûl
Al-Kâfy, kitab Al-Hujjah 1/196-197]
Nash di atas bukanlah hal aneh dalam
buku-buku kaum Syi’ah, bahkan buku-buku mereka berisi pengutamaan Ahlul Bait
terhadap para nabi dan para malaikat.
Mereka juga menyebutkan riwayat tentang
peremehan terhadap putra Nabishallallâhu
‘alaihi wa sallam, Ibrahim. Simpulannya adalah bahwa Jibril
mendatangi Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam yang menimang-nimang anaknya, Ibrahim, dan
cucunya, Al-Husain. Jibril pun berkata, “Allah telah mengutusku dan memberi
salam kepadamu dan berfirman bahwa dua anak ini tidak berkumpul dalam satu
waktu maka pilihlah salah satu di antara keduanya dan korbankanlah yang
lainnya.” Kemudian Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam memandangi Ibrahim dan menangis, lalu beliau
melihat kepada penghulu para syahid (Al-Husain) dan menangis. Beliau pun
berkata, “Sesungguhnya Ibrahim, ibunya hanyalah seorang budak. Kalau dia
meninggal, tak seorang pun yang bersedih terhadapnya, kecuali Aku. Adapun
Al-Husain, ibunya adalah Fathimah dan ayahnya adalah Ali, sedang (Ali) adalah
anak pamanku dan seperti kedudukan ruhku, serta dia adalah darah dan dagingku.
Kalau (Al-Husain) meninggal, (Ali) akan bersedih dan Fathimah akan bersedih.”
Kemudian beliau berbicara kepada Jibril, “Wahai Jibril, Aku mengorbankan
Ibrahim untuk Al-Husain, dan Aku meridhai kematiannya agar Al-Husain dan Yahya
tetap hidup.” [Hayâh
Al-Qulûb 1/593 karya Al-Majlisy]
Bahkan, terhadap Ali bin Abi Thalib
sendiri, mereka menyebutkan kelemahan, ketakutan, dan kehinaan Ali saat Abu
Bakr diangkat menjadi khalifah [kitab Salîm
bin Qais hal 84, 89]. Ketika kaum Syi’ah menyikapi putri Ali,
Ummu Kultsum, yang dinikahi oleh Umar, mereka menyebutkan riwayat dari Abu
Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Itu adalah kemaluan yang
telah Kami rampok.” [Furû’ Al-Kâfy 2/141 karya Al-Kulîny]. Dalam riwayat lain
disebutkan, “Ali tidak ingin menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar,
tetapi (Ali) takut terhadap (Umar) sehingga (Ali) mewakilkan kepada pamannya,
‘Abbâs, untuk menikahkan (Umar).” [Hadîqah
Asy-Syî’ah hal. 277 karya Muqaddas Al-Ardabîly]
Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr juga menyebutkan
penghinaan kaum Syi’ah terhadap Fatimah, Al-Hasan, Al-Husain, dan keturunannya
hingga imam kesepuluh mereka. Makalah ini tidak cukup memuat seluruh hal
tersebut.
Sikap Ahlul Bait terhadap Kaum
Syi’ah[2]
Dalam buku-buku kaum Syi’ah, mereka
menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû berkata,
“Andaikata aku membedakan Syi’ahku, tidaklah Aku akan mendapati mereka, kecuali
sifat yang jelas. Andaikata menguji mereka, tidaklah Aku mendapati mereka,
kecuali bahwa mereka telah murtad. Andaikata menyaring mereka di antara seribu
orang, tidak akan ada seorang pun yang selamat.” [Raudhah Al-Kâfy 8/338]
Mereka juga menyebutkan ucapan Ali bin Abi
Thalib terhadap kaum Syi’ah tatkala mereka berkhianat terhadap beliau.
Ali radhiyallâhu‘anhû berkata
kepada kaum Syi’ah, “Wahai orang-orang yang mirip lelaki, tetapi bukan lelaki,
orang-orang yang berakal anak-anak kecil, dan akal-akal para perempuan
bergelang kaki, Aku sangatlah berharap agar tidak melihat kalian dan tidak
mengenal kalian dengan pengenalan bergetir penyesalan, demi Allah, dan
bertabrak celaan. Semoga Allah memerangi kalian. Sungguh kalian telah memenuhi
hatiku dengan nanah, mengumpat dadaku dengan kemarahan, menegukkan tegukan
kebusukan yang menyesakkan nafas-nafas kami, dan kalian telah merusak ideku
dengan penentangan dan penggembosan sehingga orang-orang Quraisy berkata,
‘Sesungguhnya Ibnu Abi Thalib adalah seorang pemberani, tetapi tidak berilmu
tentang peperangan dan tidak memiliki pendapat terhadap orang yang tidak
ditaati.’.” [Nahj
Al-Balâghah 70-71]
Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ juga
mendoakan kejelekan terhadap kaum Syi’ah sebagaimana yang mereka sebutkan bahwa
beliau berdoa, “Ya Allah, kalau Engkau memberi mereka tenggat waktu,
cerai-beraikanlah mereka berkelompok-kelompok, jadikanlah mereka
bergolongan-golongan yang beraneka ragam, dan janganlah Engkau menjadikan para
pemerintah meridhai mereka selama-lamanya. Sesungguhnya mereka telah memanggil
kami untuk menolong kami, tetapi mereka melampaui batas lalu memerangi kami.” [Al-Irsyâd hal. 241
karya Al-Mufîd]
Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ berkata
sebagaimana dalam riwayat mereka, “Demi Allah, aku melihat Mu’âwiyah lebih baik
bagiku daripada mereka. Mereka menyangka bahwa mereka adalah Syi’ahku, (tetapi)
mereka ingin membunuhku dan mengambil hartaku. Demi Allah, andaikata dari
Mu’âwiyah aku mengambil sesuatu yang menjaga darahku dan aku melindungi
keluargaku, hal itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluargaku
akan terlantar. Demi Allah, andaikata aku memerangi Mu’âwiyah, pastilah mereka
mengambil leherku hingga mereka menyerahkanku kepada (Mu’âwiyah) dengan selamat.
Demi Allah, andaikata aku berdamai dengan (Mu’awiyah) dan berada dalam keadaan
mulia, hal itu lebih baik daripada dia membunuhku sebagai tawanan.” [Al-Ihtijâj 2/10]
Ali bin Al-Husain Zainul Abidin berkata,
“Bukankah kalian mengetahui bahwa kalian menulis kepada ayahku, tetapi kalian
memperdaya beliau serta memberi janji dan persetujuan dari diri-diri kalian,
kemudian kalian memerangi dan menelantarkan beliau. Dengan mata apa kalian
memandang kepada Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi ketika beliau berkata, ‘Kalian telah membunuh
keluargaku dan melanggar kehormatanku. Kalian bukanlah bagian dari umatku.” [Al-Ihtijâj 2/32]
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya mereka
menangisi kami, tetapi siapa yang membunuh kami kalau bukan mereka?” [Al-Ihtijâj 2/29]
Muhammad bin Ali Al-Bâqir berkata,
“Andaikata seluruh manusia adalah Syi’ah kami, pastilah tiga perempatnya adalah
orang yang ragu terhadap kami, sedang seperempatnya adalah orang dungu.” [Rijâl Al-Kisysyi hal.
79]
Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq berkata,
“Demi Allah, ketahuila. Andaikata aku menemukan tiga orang mukmin di antara
kalian yang (mampu) menyembunyikan pembicaraanku, tentu aku tidaklah halal
menyembunyikan pembicaraan terhadap mereka.” [Ushûlul Kâfy 1/496]
Banyak lagi riwayat dari Ahlul Bait yang
mengandung celaan dan penjelasan mereka tentang kaum Syi’ah yang mengaku
mencintai Ahlul Bait.
Pengkhianatan Kaum Syi’ah
terhadap Ahlul Bait tentang Sikap kepada Para Shahabat
Dalam Irsyâd Al-Ghâby Ilâ Madzhab Ahlil Bait Fî Shahbin Naby,
Imam Asy-Syaukany menyebutkan dua belas jalur kesepakatan para Imam Ahlul Bait
dari berbagai masa tentang sikap mereka yang sesungguhnya terhadap para
shahabat Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam.
Dalam riwayat-riwayat mereka sendiri,
terdapat penyebutan ucapan-ucapan Ahlul Bait yang memuji dan memiliki hubungan
baik dengan seluruh para shahabat, termasuk Abu Bakr, Umar, Utsman, dan
selainnya.
Nash-nash dalam buku-buku Syi’ah tentang
hal tersebut disebutkan dalam kitabAsy-Syî’ah
Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr rahimahullâh.
Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû sendiri
memuji para shahabat dalam ucapan beliau, “Sungguh aku telah melihat para
shahabat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Aku tidak melihat seorang pun
di antara kalian yang menyerupai mereka! Sungguh pada waktu pagi mereka kusut
lagi berdebut, pada waktu malam mereka bersujud dan melakukan qiyâm. Mereka beristirahat
antara dahi-dahi dan pipi-pipi mereka, dan berhenti seperti bara-bara api
ketika mengingat hari kebangkitan, seakan-akan antara mata-mata mereka seperti
bekasan kambing karena sujud mereka yang panjang. Apabila Allah disebut,
berlinanglah mata-mata mereka sehingga membasahi dada-dada mereka, bergoyang
seperti pepohonan bergoyang pada hari saat angin kencang, karena takut terhadap
siksaan dan harapan akan pahala.” [Nahj
Al-Balâghah hal. 143]
Selain itu, telah berlalu penyebutan
beberapa anak dari Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum yang
bernama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Hal ini menunjukkan kedekatan antara Ahlul
Bait dan Khulafa` Ar-Rasyidin, yang berbeda dengan Syi’ah yang mengafirkan para
shahabat, khususnya tiga Khulafa` Ar-Rasyidin.
Pembunuhan Al-Husain[3]
Di antara kamus pengkhianatan kaum Syi’ah
adalah pembunuhan mereka terhadap Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhumâ.
Berikut kisah tersebut secara ringkas.
Pada tahun 60 H, Yazîd bin Mu’âwiyah
dibaiat sebagai khalifah, padahal umur beliau masih 34 tahun. Al-Husain dan
Abdullah bin Az-Zubair tidak berbaiat kepada Yazîd bin Mu’âwiyah, padahal
beliau berdua berada di Madinah. Kemudian keduanya keluar dari Madinah menuju
Makkah tanpa berbaiat. Kejadian tersebut terdengar oleh penduduk Kufah yang
notabene merupakan orang-orang yang mengaku loyal kepada Ali bin Abi Thalib dan
anak-anaknya. Mereka pun mengirim berbagai surat kepada Al-Husain yang
menyatakan, “Kami telah membaiatmu, kami tidak menginginkan, kecuali engkau. Di
leher kami tiada baiat untuk Yazîd, tetapi baiat hanya untukmu.” Semakin banyak
surat yang sampai kepada Al-Husain hingga lebih dari lima ratus surat. Semua
surat itu berasal dari penduduk Kûfah.
Menanggapi hal tersebut, Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ mengirim
anak pamannya, Muslim bin ‘Aqîl bin Abi Thalib, untuk mengetahui hakikat
perkara. Begitu tiba di Kûfah, Muslim pun segera bertanya-tanya ke sana-sini
sehingga Muslim mengetahui bahwa manusia tidak menginginkan Yazîd, tetapi
menginginkan Al-Husain. Ketika Muslim berlabuh di rumah Hâni` bin ‘Urwah,
manusia pun berbondong-bondong mendatangi rumah Hâni` dan membaiat Muslim di
atas baiat kepada Al-Husain. Kemudian Muslim mengirim pesan kepada Al-Husain
agar Al-Husain segera datang ke Kûfah.
Hal tersebut terdengar oleh Yazid, yang
kemudian mengutus ‘Ubaidullah bin Ziyâd sebagai gubernur Kufah untuk menanggapi
kejadian tersebut. Setelah memastikan dan menyelidiki kepastian berita,
segeralah Ubaidullah menahan Hâni` bin ‘Urwah. Mendengar Hâni` bin ‘Urwah tertahan,
Muslim keluar dengan membawa empat ribu orang penduduk Kûfah yang telah
membaiat Al-Husain.
Hanya dalam hitungan beberapa saat,
tidaklah tersisa di antara empat ribu, kecuali tiga puluh orang, setelah
‘Ubaidullah memberi janji-janji pemberian untuk sebagian orang terpandang agar
membuat penduduk Kûfah takut terhadap tentara Syam, yang berada pada pihak
Yazîd bin Mu’âwiyah. Setelah matahari terbenam, tidak tersisa seorang pun,
kecuali Muslim bin ‘Aqîl seorang diri.
‘Ubaidullah bin Ziyâd kemudian menawan dan
membunuh Muslim pada hari ‘Arafah. Namun, sebelumnya, Muslim telah mengirim
wasiat kepada Al-Husain, menceritakan peristiwa tersebut agar Al-Husain kembali
dan tidak tertipu oleh penduduk Kûfah.
Al-Husain, yang telah berangkat ke Kûfah
semenjak hari Tarwiyah, menerima pesan dari Muslim bin Aqîl dan telah berniat
kembali ke Makkah. Namun, sebagian anak Muslim yang ikut bersama rombongan
memberi saran agar rombongan tetap berangkat supaya dia bisa menuntut darah
ayahnya.
Akhirnya, Al-Husain tetap berangkat menuju
Iraq hingga tiba di Karbalâ`, dan beliau terbunuh sebagai syahid di tempat
tersebut berserta tujuh belas orang Ahlul Bait dari anak-anak Al-Husain,
Al-Hasan, ‘Aqil, dan Abdullah bin Ja’far pada 10 Muharram 61 H.
Kaum Syi’ah bercerita, “Dua puluh ribu
orang penduduk Iraq membaiat Al-Husain, tetapi kemudian berkhianat terhadap
beliau dan keluar memerangi mereka, padahal baiat berada di leher-leher mereka,
kemudian mereka membunuh (Al-Husain).” [Muhsin Al-Amin dalam bukunya, A’yân Asy-Syî’ah, bagian
pertama hal. 34]
Al-Mas’ûdy berkata, “Seluruh tentara, yang
menghadiri pembunuhan Al-Husain serta memerangi dan membunuh beliau, hanyalah
penduduk Kufah. Tidak ada seorang penduduk Syam pun yang hadir.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/76]
Al-Mas’ûdy juga berkata, “Begitu bala
tentara semakin banyak (mengepung) Al-Husain, dan beliau menyangka tidak akan
selamat lagi, beliau berdoa, ‘Ya Allah, tetapkanlah hukum antara kami dan kaum
yang memanggil kami, tetapi kemudian mereka sendiri yang membunuh kami.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/75]
Setelah kita mengetahui siapa sebenarnya
pembunuh Al-Husainradhiyallâhu‘anhumâ,
ternyata kaum Syi’ah tidak mencukupkan diri dengan pengkhianatan mereka.
Bahkan, mereka membuat kedustaan-kedustaan terhadap Ahlul Bait akan anjuran
untuk merayakan dan memperingati hari Karbalâ`(hari Âsyûrâ`, 10 Muharram).
Rujukan kaum Syi’ah, Ath-Thûsy,
meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Musa Ar-Ridha bahwa Ali bin Musa
berkata, “Siapa saja yang meninggalkan upaya menunaikan hajatnya pada hari
Âsyûrâ`, Allah akan menunaikan hajatnya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang
menjadikan hari Âsyûrâ` sebagai hari musibah, bersedih, dan menangisnya, Allah ‘Azza Wa Jalla akan
menjadikannya pada hari kiamat sebagai hari kegembiraan dan kesenangan, serta
menyejukkan mata kami di surga ….” [Amâlî
Ath-Thûsy hal. 194, Bihâr
Al-Anwâr 44/284]
Al-Barqy meriwayatkan dengan sanadnya
hingga Ja’far Ash-Shâdiq, bahwa Ja’far berkata, “Siapa saja yang Al-Husain
disebut di sisinya, kemudian meneteskan air mata, walaupun seperti sayap
nyamuk, dosanya akan diampuni, meskipun seperti buih di lautan.” [Al-Mahâsin hal.
36, Bihâr Al-Anwâr 44/289]
Bahkan, Al-Mufid meriwayatkan dengan
sanadnya hingga Al-Husain bin Ali sendiri, bahwa Al-Husain berkata, “Tidak ada
seorang hamba pun yang berlinang air mata untuk kami atau meneteskan satu tetes
air mata untuk kami, kecuali bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam Surga
dalam kurun waktu yang panjang.” [Amâlî
Al-Mufîd hal. 209, Bihâr
Al-Anwâr 44/279]
Demikianlah segelintir kedustaan kaum
Syi’ah dalam pembunuhan terhadap Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ.
Kami Perlu mengingatkan bahwa
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallambersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا
بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
“Bukanlah dari kami, orang yang
memukul pipinya, menyobek kantong bajunya, serta menyeru dengan seruan
jahiliyah.” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu‘anhû]
[1] Disadur dari kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya
Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîrrahimahullâh.
[2] Disadur dari Kasyf Al-Asrâr Wa Tabriah Al-A`immah
Al-Athhâr hal. 14-18 karya Sayyid Husain Al-Musawy, seorang
ulama Najaf.
[3] Diringkas dari Huqbah Min At-Târikh karya
‘Utsmân Al-Khumayyis hal. 229-259,Al-‘Aqidah
Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân
As-Suhaimy hal. 490-504, dan Man Qatala Al-Husain karya Abdullah bin ‘Abdul
‘Aziz.