Padamkan Syariat Allah dan
Rampok Kekayaan Negeri Muslim, Alasan Dibalik Invasi Perancis Atas Mali
Senin, 11 Safar 1437 H / 23
November 2015
Republik Mali adalah sebuah negara yang berada di
Afrika bagian Barat, terkurung dalam daratan yang berbatasan dengan 6 negara;
Aljazair, Niger, Burkina Faso, Pantai Gading, Guinea dan Mauritania. Negeri
yang di era imperialisme ini berada di bawah jajahan Perancis, menjadi
perbincangan di dunia internasional paska menguatnya keberadaan kelompok Islam
di Mali bagian utara.
Secara global Mali dibagi menjadi dua wilayah; utara
dan selatan. Ibukota Mali yang bernama Bamako berada di wilayah selatan.
Sedangkan wilayah utara yang kemudian dideklarasikan oleh kelompok Islam di
sana sebagai negara Azawad yang luasnya dua pertiga dari total negara Mali,
banyak terdapat gurun pasir dan berpenduduk sekitar dua juta jiwa. Mayoritas
mereka beragama Islam dan dihuni oleh suku Tuareg.
Penduduk muslim negeri terbesar di Afrika Barat ini
prosentasinya sebanyak 90%, sedangkan mereka yang Kristen sebanyak 5% sisanya
adalah agama kepercayaan sebanyak 5%.
Kudeta Militer di Mali
Apa yang terjadi saat ini di Mali tidak bisa
dilepaskan dari peristiwa kudeta yang dilakukan oleh Komisi Nasional untuk
Restorasi Demokrasi dan Negara yang dibentuk oleh tentara Mali yang
membangkang. Mereka menggulingkan presiden Mali, Amadou Toumani Toure karena
dianggap tak mampu memadamkan pemberontakan. Kudeta militer ini dipimpin oleh
Mayor Amadou Haya Sanogo pada tanggal 22 Maret 2012. Paska kudeta karena
tekanan dari blok Masyarakat Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) dan
negara-negara Barat akhirnya ditunjuk ketua parlemen Mali, Dioncounda Traore
untuk menjabat sebagai presiden sementara. Dengan harapan militer kembali ke
posisinya semula.
Dampak dari kudeta ini dimanfaatkan oleh Gerakan
Nasional Pembebasan Azawad (MNLA) untuk mengambil alih kekuasaan di wilayah
utara Mali. Dalam tiga hari berturut-turut mereka berhasil mengusir tentara
pemerintah dari tiga kota terbesar di Mali bagian utara yakni, Kidal, Gao, dan
Timbuktu. Kelompok ini menginginkan suku Tuareg berdiri sendiri menjadi negara
terpisah dari Mali.
Pada 5 April, setelah berhasil merebut wilayah
Douentza, MNLA menyatakan tujuannya telah tercapai dan menghentikan
serangannya. Esoknya, kemerdekaan Azawad dideklarasikan, dengan 3 wilayah
besarnya yakni Kidal, Gao, dan Timbuktu. Kelompok Islamis Ansharuddin juga ikut
serta dalam perebutan wilayah tersebut. Berbeda dengan MNLA yang berbasis
sekuler, Kelompok Ansharuddin berjuang untuk mendapatkan wilayah demi penerapan
Syariat Islam di seluruh Mali.
Setelah pertempuran melawan tentara pemerintahan Mali
berakhir, terjadi konflik antara kelompok sekuler dan Islamis Tuareg. Pada
tanggal 27 Juni 2012 Islamis dari Movement for Oneness and Jihad in West Africa
(MOJWA) menyerang MNLA dalam Pertempuran Gao, yang mengakibatkan terlukanya
sekretaris-jenderal MNLA Bilal Ag Acherif dan jatuhnya Gao ke tangan mereka.
Pada tanggal 17 Juli 2012, MOJWA dan Ansharuddin berhasil mengusir MNLA dari
semua kota-kota besar di Azawad.
Kelompok Islam berkuasa di Mali Utara dan bercita-cita
mendirikan negara Islam Mali. Komandan militer dari kelompok Islam Ansharuddin,
Umar Hamaha mengatakan, bahwa rakyat Mali yang mayoritas muslim menginginkan
tegaknya syariat Islam, namun yang ada mereka kini justru diperangi, ditambah
lagi dengan mendatangkan bantuan dari tentara Eropa dan Barat yang dipimpin
oleh Perancis.
Juru bicara Ansharuddin, Sandih Walad Buamama
mengatakan, bahwa invasi Perancis ini bertujuan untuk membidik Aljazair. Yang
tujuannya tidak lain adalah berkuasa kembali di wilayah yang pernah didudukinya
dulu, dimana Mali dan Aljazair di masa kolonial merupakan wilayah yang berada
di bawah jajahan Perancis.
Gerakan di Mali Utara
Wilayah Azawad yang didiami oleh suku Tuareg menjadi
wilayah yang banyak memilik banyak gerakan. Dua gerakan terbesar adalah MNLA
dan Ansharuddin.
1. Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA)
Merupakan gerakan yang berpaham liberal berjuang untuk memerdekakan wilayah
Azawad dari Mali. Berdiri pada November 2010. Pasukannya adalah sisa-sisa dari
militan Azawad yang dikirim ke Libya membantu kubu loyalis Qadafi ketika
revolusi Arab Spring terjadi di sana.
Mereka masih memiliki persenjataan super canggih dan
amunisi lengkap sisa-sisa dari perjuangan mereka membela mendiang presiden
Libya, Muammar Qadafi.
2. Kelompok Islam di Azawad
Mayoritas mereka adalah suku Tuareg, yang berbasiskan faham Salafi Jihadi, dan
memiliki jaringan yang luas dengan aktivis salafi di Afrika Barat.
Kelompok Islam lainnya di Azawad adalah Movement for
Oneness and Jihad in West Africa (MOJWA) dan juga Organisasi Al-Qaeda. Dimana
ketiga kelompok Islam ini saling berbagi wilayah di Azawad. Namun mereka
sepakat menjadikan Ansharuddin sebagai representatif dari kelompok Islam yang
ada di Azawad.
Penerapan Syariat Cemaskan
Perancis
Kendati sudah merdeka, mantan penjajah negara Mali
yakni Perancis nampaknya masih berambisi untuk memiliki pengaruh di wilayah
tersebut. Kelompok Islam militan yang paling berpengaruh di Mali, Ansharuddin
mengirimkan dokumen kepada presiden negara tetangganya, Burkina Faso yang
isinya kelompok tersebut akan menerapkan Syariat Islam dan akan memperluas
wilayahnya di Mali (islmatoday). Setelah mengetahui akan didirikannya negara
Islam di Mali hal ini membuat Barat dan Eropa kepanasan, mereka lalu mengatur
strategi untuk menggelar invasi militer ke Mali.
Sampai pada puncaknya pada hari Kamis (10/1/2013)
Kelompok Islam ini bergerak ke Selatan dan menguasai kota Kuna yang posisinya
cukup strategis. Tepat satu hari setelahnya, Perancis langsung menggelar invasi
militer terhadap kekuatan Islam yang berpusat di Mali Utara ini, dimana agenda
awalnya adalah mendukung militer Mali untuk mendapatkan kembali Mali Utara
tanpa harus turun tangan langsung mengirimkan militer.
Dengan didukung oleh NATO dan Amerika, Perancis
akhirnya mengirimkan tentaranya berupaya menghentikan laju kelompok Islam ke
wilayah selatan Mali, karena kalau tidak dikhawatirkan Kelompok Islam tersebut
akan dengan mudah menguasai wilayah Selatan, dikarenakan kondisi Mali Selatan
yang tidak stabil, sibuk dengan perseteruan politik.
Perancis memahami hal ini dan tidak ingin terlambat,
membiarkan kelompok Islam menguasai wilayah Selatan tentu akan lebih sulit lagi
kondisinya, sehingga diambil tindakan invasi dalam waktu singkat.
Mengapa Barat dan NATO Mengutus
Perancis?
Ini yang menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa
bukan Amerika yang langsung turun tangan, atau militer NATO misalnya. Namun
yang pasti dan harus dijadikan catatan adalah, bahwa invasi yang dilakukan
militer Perancis ini tidak untuk kepentingan Mali, melainkan lebih kepada
sebuah kekhawatiran bagi mereka akan berdirinya negara Islam berdaulat di Mali,
dan tentunya juga karena ingin menguasai kekayaan alam yang ada di Mali.
Letak Mali yang berada di Afrika Barat posisinya cukup
dekat dengan wilayah negara anggota NATO. Tentu harus segera dihentikan sebelum
berlanjut. Disamping itu, Mali merupakan negara bekas jajahan Perancis, dimana
bahasa Perancis digunakan di negara tersebut dan sekitarnya yang dulu dijajah
oleh Perancis, seperti Aljazair, Maroko, Tunisia. Perancis pun masih memiliki
pengaruh dengan pemerintahan di Mali.
Amerika tidak mengekseskusi dalam masalah ini secara
langsung bisa jadi dikarenakan negeri adidaya tersebut sudah merasakan kerugian
yang besar akibat peperangan yang ia lakukan di Irak dan Afghanistan.
Antara Mali dan Suriah?
Hal ini juga melahirkan tanda tanya besar, mengapa
Mali, sedangkan Suriah yang Barat dan sekutunya tidak berani melakukan invasi
terhadap rezim Asad di sana? Serangan mereka ke Mali bahkan sudah mendapati
restu dari PBB. Dengan Mali, Perancis begitu antusias mengerahkan tentaranya dengan
persenjataan lengkap untuk menyerang wilayah tersebut. Apakah ini dikarenakan
target di Mali adalah kelompok Islam militan sedangkan yang di Suriah sudah
cukup diwakili oleh rezim Asad untuk membantai kaum muslim Sunni di sana?
Barat sepertinya tidak ingin kecolongan untuk kesekian
kalinya setelah Tunisia, Libya dan Mesir yang berhasil melewati revolusi dan
memberikan ruang gerak lebih kepada kelompok Islam. Membantu Revolusi Suriah
bagi Barat sepertinya hanya akan memberi kesempatan kelompok Islam untuk
berkembang dan bangkit di sana.
Seperti yang diberitakan oleh kantor berita Perancis
AFP, bahwa keberadaan kelompok Islam di Mali dapat memberikan ancaman bagi
Eropa karena akan dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi para “teroris”,
ini yang disampaikan oleh Menteri Pertahan Perancis, Jean Yves Le Drian.
Perancis yang sekuler cemas dengan negeri
persemakmurannya dimana ideologi sekuler yang sudah mereka tanam di Mali oleh
kelompok Islam di sana. Ini yang tidak bisa mereka terima, mereka tak akan
tinggal diam membiarkan Mali kembali kepada identitasnya semula sebagai negara
muslim.
Dibalik Invasi Perancis ke Mali
Dengan dalih misi kemanusiaan dan ancaman terhadap
Eropa, Perancis maju seakan sendirian untuk mengurusi permasalahan ini. Seorang
analis di situ berbahasa Arab Islamtoday, Hisyam An-Najar menyebut ada beberapa
alasan mengapa Perancis menginvasi Mali:
Pertama, Perancis ingin menguatkan hagemoninya di
wilayah jajahannnya di masa imperialisme dulu. Dimana di dalamnya telah ditanam
benih-benih sekuler lengkap dengan bahasa dan budaya Perancis.
Kedua, Perancis ingin membayar kekalahannya di
Afghanistan, setelah pasukannya harus menanggung malu kalah ditarik dari negeri
para Mullah itu. Tentara Perancis harus keluar dari Afghanistan dengan membawa
kerugian yang besar baik secara materi maupun SDM para tentaranya. Dan banyak
dari tentaranya yang mati sia-sia di sana.
Ketiga, upaya untuk menggagalkan berdirinya sebuah
negara yang dapat menampung milisi bersenjata dari kelompok Islam dari berbagai
negara, yang dikhawatirkan akan lahir sebuah negara baru berlandaskan Islam
yang mengancam eksistensi negara Barat dan Eropa di Afrika dan sekitarnya.
Agenda seperti ini pulalah yang dipakai oleh Amerika ketika akan melakukan
invasi terhadap Irak, Afghanistan dan Somalia.
Keempat, krisis ekonomi yang menimpa negara-negara
Eropa, dimana majalah pekanan terbitan Perancis, Le Journal du Dimanche
menyebut Presiden Perancis yang mengirimkan pasukannya ke Perancis melakukan
itu untuk membangun image setelah selama ini Perancis diberikan stempel sebagai
negara yang lemah karena krisis ekonomi dan sosial. Dengan cara ini Francois
Hollande berusaha mengalihkan perhatian publik dari krisis yang melanda
negerinya, sehingga dapat mengangkat kembali popularitas Perancis.
Kelima, wilayah selatan Mali memang dikenal memiliki
kekayaan yang luar biasa, kaya dengan uranium, gas dan fosfat. Pihak Perancis
melihat adanya cadangan minyak di wilayah Taodney Meuretania dan juga wilayah
timur di Azawad. Pemerintah sebelumnya yang dikudeta telah memberikan
kesempatan kepada 6 perusahaan asing untuk mengeksplore wilayah tersebut.
Bagi Perancis membiarkan kelompok Islam menguasai
wilayah kaya alam di Mali adalah sebuah kerugian besar, karena pastinya mereka
tidak akan memberikan izin kepada perusahaan asing seperti Perancis untuk masuk
ke sana. Kalaupun bisa, tentunya akan ada kesepakatan yang keuntungannya justru
akan memperkuat kelompok Islam yang berkuasa, dan ini sangat merugikan bagi
Perancis dan negara Barat dan Eropa.
Apa yang terjadi di Mali hakekatnya adalah perlawanan
terhadap kekuatan Islam. Dengan diwakili Perancis invasi ke Mali ini memberikan
pesan bahwa mereka tidak akan membiarkan Islam berjaya di belahan bumi manapun.
Disamping itu Perancis juga ingin menancapkan kembali kekuasaannya di Mali.
Namun sayang, sepertinya Perancis salah langkah,
karena ia justru akan melewati perang panjang di Mali, sama seperti apa yang
dirasakan oleh sekutunya Amerika, bagaimana perang di Afghanistan dan Irak tak
kunjung berakhir. Di Mali perang gerilya akan dilancarkan oleh Kelompok Islam
dan tidak akan membiarkan Perancis menjajah kembali dan mengeruk semua kekayaan
alam yang dimiliki tanah air mereka. Wallahu Al Musta’an.
*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Al-Intima’ edisi 37/ Februari
2013 (ts/ditulis oleh Muhammad Syarief. Lc,peneliti di PSI-Wasathiyah dan
Pemred Majalah Dakwah Islam Al-Intima.)
Human Rights Watch Tahun 2013 Minta Perancis Diadili Atas Kekejaman dan
Kejahatan Perangnya di Mali
Senin, 11 Safar 1437 H / 23
November 2015
Human Rights Watch (HRW) menyerukan penyelidikan atas
dugaan pembunuhan tanpa alasan yang dilakukan oleh tentara Prancis pada saat
penyerangan yang dilakukan militer Prancis di negara Afrika Barat Mali, sebuah
negeri Muslim, akan memasuki minggu keempat.
Pada hari Kamis (31/1/2013), kantor cabang Afrika dari
kelompok HAM, yang berbasis di Johannesburg, juga meminta pasukan Prancis untuk
meminimalkan kekejaman yang dilakukan terhadap warga sipil.
Direktur kelompok untuk Afrika, Tiseke Kasambala
mengeluarkan pernyataan, yang mengatakan bahwa pasukan Prancis harus
“meminimalkan kekejaman dan kematian warga sipil.”
Hal ini datang pada saat batalyon pasukan dari Niger
dan dari Togo telah tiba di kota Mali Gao untuk memperkuat pasukan Prancis.
Kota ini awalnya dikuasai oleh pejuang anti-pemerintah selama hampir 10 bulan,
namun direbut oleh pasukan Perancis pekan lalu.
Dewan Keamanan PBB sendiri sedang mempertimbangkan
rencana untuk menyebarkan pasukan penjaga perdamaian untuk membantu pasukan
Prancis di Mali.(ts)