Sunday, November 22, 2015

Padamkan Syariat Allah Dan Rampok Kekayaan Negeri Muslim, Alasan Dibalik Invasi Perancis Atas Mali. Human Rights Watch Tahun 2013 Minta Perancis Diadili Atas Kekejaman Dan Kejahatan Perangnya Di Mali.

tuareg

Padamkan Syariat Allah dan Rampok Kekayaan Negeri Muslim, Alasan Dibalik Invasi Perancis Atas Mali

Senin, 11 Safar 1437 H / 23 November 2015
Republik Mali adalah sebuah negara yang berada di Afrika bagian Barat, terkurung dalam daratan yang berbatasan dengan 6 negara; Aljazair, Niger, Burkina Faso, Pantai Gading, Guinea dan Mauritania. Negeri yang di era imperialisme ini berada di bawah jajahan Perancis, menjadi perbincangan di dunia internasional paska menguatnya keberadaan kelompok Islam di Mali bagian utara.
Secara global Mali dibagi menjadi dua wilayah; utara dan selatan. Ibukota Mali yang bernama Bamako berada di wilayah selatan. Sedangkan wilayah utara yang kemudian dideklarasikan oleh kelompok Islam di sana sebagai negara Azawad yang luasnya dua pertiga dari total negara Mali, banyak terdapat gurun pasir dan berpenduduk sekitar dua juta jiwa. Mayoritas mereka beragama Islam dan dihuni oleh suku Tuareg.
Penduduk muslim negeri terbesar di Afrika Barat ini prosentasinya sebanyak 90%, sedangkan mereka yang Kristen sebanyak 5% sisanya adalah agama kepercayaan sebanyak 5%.
Kudeta Militer di Mali
Apa yang terjadi saat ini di Mali tidak bisa dilepaskan dari peristiwa kudeta yang dilakukan oleh Komisi Nasional untuk Restorasi Demokrasi dan Negara yang dibentuk oleh tentara Mali yang membangkang. Mereka menggulingkan presiden Mali, Amadou Toumani Toure karena dianggap tak mampu memadamkan pemberontakan. Kudeta militer ini dipimpin oleh Mayor Amadou Haya Sanogo pada tanggal 22 Maret 2012. Paska kudeta karena tekanan dari blok Masyarakat Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) dan negara-negara Barat akhirnya ditunjuk ketua parlemen Mali, Dioncounda Traore untuk menjabat sebagai presiden sementara. Dengan harapan militer kembali ke posisinya semula.

mali

Dampak dari kudeta ini dimanfaatkan oleh Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA) untuk mengambil alih kekuasaan di wilayah utara Mali. Dalam tiga hari berturut-turut mereka berhasil mengusir tentara pemerintah dari tiga kota terbesar di Mali bagian utara yakni, Kidal, Gao, dan Timbuktu. Kelompok ini menginginkan suku Tuareg berdiri sendiri menjadi negara terpisah dari Mali.
Pada 5 April, setelah berhasil merebut wilayah Douentza, MNLA menyatakan tujuannya telah tercapai dan menghentikan serangannya. Esoknya, kemerdekaan Azawad dideklarasikan, dengan 3 wilayah besarnya yakni Kidal, Gao, dan Timbuktu. Kelompok Islamis Ansharuddin juga ikut serta dalam perebutan wilayah tersebut. Berbeda dengan MNLA yang berbasis sekuler, Kelompok Ansharuddin berjuang untuk mendapatkan wilayah demi penerapan Syariat Islam di seluruh Mali.
Setelah pertempuran melawan tentara pemerintahan Mali berakhir, terjadi konflik antara kelompok sekuler dan Islamis Tuareg. Pada tanggal 27 Juni 2012 Islamis dari Movement for Oneness and Jihad in West Africa (MOJWA) menyerang MNLA dalam Pertempuran Gao, yang mengakibatkan terlukanya sekretaris-jenderal MNLA Bilal Ag Acherif dan jatuhnya Gao ke tangan mereka. Pada tanggal 17 Juli 2012, MOJWA dan Ansharuddin berhasil mengusir MNLA dari semua kota-kota besar di Azawad.
Kelompok Islam berkuasa di Mali Utara dan bercita-cita mendirikan negara Islam Mali. Komandan militer dari kelompok Islam Ansharuddin, Umar Hamaha mengatakan, bahwa rakyat Mali yang mayoritas muslim menginginkan tegaknya syariat Islam, namun yang ada mereka kini justru diperangi, ditambah lagi dengan mendatangkan bantuan dari tentara Eropa dan Barat yang dipimpin oleh Perancis.
Juru bicara Ansharuddin, Sandih Walad Buamama mengatakan, bahwa invasi Perancis ini bertujuan untuk membidik Aljazair. Yang tujuannya tidak lain adalah berkuasa kembali di wilayah yang pernah didudukinya dulu, dimana Mali dan Aljazair di masa kolonial merupakan wilayah yang berada di bawah jajahan Perancis.
Gerakan di Mali Utara
Wilayah Azawad yang didiami oleh suku Tuareg menjadi wilayah yang banyak memilik banyak gerakan. Dua gerakan terbesar adalah MNLA dan Ansharuddin.
1. Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA)

Merupakan gerakan yang berpaham liberal berjuang untuk memerdekakan wilayah Azawad dari Mali. Berdiri pada November 2010. Pasukannya adalah sisa-sisa dari militan Azawad yang dikirim ke Libya membantu kubu loyalis Qadafi ketika revolusi Arab Spring terjadi di sana.

Mereka masih memiliki persenjataan super canggih dan amunisi lengkap sisa-sisa dari perjuangan mereka membela mendiang presiden Libya, Muammar Qadafi.
2. Kelompok Islam di Azawad

Mayoritas mereka adalah suku Tuareg, yang berbasiskan faham Salafi Jihadi, dan memiliki jaringan yang luas dengan aktivis salafi di Afrika Barat.

Kelompok Islam lainnya di Azawad adalah Movement for Oneness and Jihad in West Africa (MOJWA) dan juga Organisasi Al-Qaeda. Dimana ketiga kelompok Islam ini saling berbagi wilayah di Azawad. Namun mereka sepakat menjadikan Ansharuddin sebagai representatif dari kelompok Islam yang ada di Azawad.
Penerapan Syariat Cemaskan Perancis
Kendati sudah merdeka, mantan penjajah negara Mali yakni Perancis nampaknya masih berambisi untuk memiliki pengaruh di wilayah tersebut. Kelompok Islam militan yang paling berpengaruh di Mali, Ansharuddin mengirimkan dokumen kepada presiden negara tetangganya, Burkina Faso yang isinya kelompok tersebut akan menerapkan Syariat Islam dan akan memperluas wilayahnya di Mali (islmatoday). Setelah mengetahui akan didirikannya negara Islam di Mali hal ini membuat Barat dan Eropa kepanasan, mereka lalu mengatur strategi untuk menggelar invasi militer ke Mali.
Sampai pada puncaknya pada hari Kamis (10/1/2013) Kelompok Islam ini bergerak ke Selatan dan menguasai kota Kuna yang posisinya cukup strategis. Tepat satu hari setelahnya, Perancis langsung menggelar invasi militer terhadap kekuatan Islam yang berpusat di Mali Utara ini, dimana agenda awalnya adalah mendukung militer Mali untuk mendapatkan kembali Mali Utara tanpa harus turun tangan langsung mengirimkan militer.
Dengan didukung oleh NATO dan Amerika, Perancis akhirnya mengirimkan tentaranya berupaya menghentikan laju kelompok Islam ke wilayah selatan Mali, karena kalau tidak dikhawatirkan Kelompok Islam tersebut akan dengan mudah menguasai wilayah Selatan, dikarenakan kondisi Mali Selatan yang tidak stabil, sibuk dengan perseteruan politik.
Perancis memahami hal ini dan tidak ingin terlambat, membiarkan kelompok Islam menguasai wilayah Selatan tentu akan lebih sulit lagi kondisinya, sehingga diambil tindakan invasi dalam waktu singkat.
Mengapa Barat dan NATO Mengutus Perancis?
Ini yang menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa bukan Amerika yang langsung turun tangan, atau militer NATO misalnya. Namun yang pasti dan harus dijadikan catatan adalah, bahwa invasi yang dilakukan militer Perancis ini tidak untuk kepentingan Mali, melainkan lebih kepada sebuah kekhawatiran bagi mereka akan berdirinya negara Islam berdaulat di Mali, dan tentunya juga karena ingin menguasai kekayaan alam yang ada di Mali.

malia

Letak Mali yang berada di Afrika Barat posisinya cukup dekat dengan wilayah negara anggota NATO. Tentu harus segera dihentikan sebelum berlanjut. Disamping itu, Mali merupakan negara bekas jajahan Perancis, dimana bahasa Perancis digunakan di negara tersebut dan sekitarnya yang dulu dijajah oleh Perancis, seperti Aljazair, Maroko, Tunisia. Perancis pun masih memiliki pengaruh dengan pemerintahan di Mali.
Amerika tidak mengekseskusi dalam masalah ini secara langsung bisa jadi dikarenakan negeri adidaya tersebut sudah merasakan kerugian yang besar akibat peperangan yang ia lakukan di Irak dan Afghanistan.
Antara Mali dan Suriah?
Hal ini juga melahirkan tanda tanya besar, mengapa Mali, sedangkan Suriah yang Barat dan sekutunya tidak berani melakukan invasi terhadap rezim Asad di sana? Serangan mereka ke Mali bahkan sudah mendapati restu dari PBB. Dengan Mali, Perancis begitu antusias mengerahkan tentaranya dengan persenjataan lengkap untuk menyerang wilayah tersebut. Apakah ini dikarenakan target di Mali adalah kelompok Islam militan sedangkan yang di Suriah sudah cukup diwakili oleh rezim Asad untuk membantai kaum muslim Sunni di sana?
Barat sepertinya tidak ingin kecolongan untuk kesekian kalinya setelah Tunisia, Libya dan Mesir yang berhasil melewati revolusi dan memberikan ruang gerak lebih kepada kelompok Islam. Membantu Revolusi Suriah bagi Barat sepertinya hanya akan memberi kesempatan kelompok Islam untuk berkembang dan bangkit di sana.
Seperti yang diberitakan oleh kantor berita Perancis AFP, bahwa keberadaan kelompok Islam di Mali dapat memberikan ancaman bagi Eropa karena akan dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi para “teroris”, ini yang disampaikan oleh Menteri Pertahan Perancis, Jean Yves Le Drian.
Perancis yang sekuler cemas dengan negeri persemakmurannya dimana ideologi sekuler yang sudah mereka tanam di Mali oleh kelompok Islam di sana. Ini yang tidak bisa mereka terima, mereka tak akan tinggal diam membiarkan Mali kembali kepada identitasnya semula sebagai negara muslim.
Dibalik Invasi Perancis ke Mali
Dengan dalih misi kemanusiaan dan ancaman terhadap Eropa, Perancis maju seakan sendirian untuk mengurusi permasalahan ini. Seorang analis di situ berbahasa Arab Islamtoday, Hisyam An-Najar menyebut ada beberapa alasan mengapa Perancis menginvasi Mali:
Pertama, Perancis ingin menguatkan hagemoninya di wilayah jajahannnya di masa imperialisme dulu. Dimana di dalamnya telah ditanam benih-benih sekuler lengkap dengan bahasa dan budaya Perancis.
Kedua, Perancis ingin membayar kekalahannya di Afghanistan, setelah pasukannya harus menanggung malu kalah ditarik dari negeri para Mullah itu. Tentara Perancis harus keluar dari Afghanistan dengan membawa kerugian yang besar baik secara materi maupun SDM para tentaranya. Dan banyak dari tentaranya yang mati sia-sia di sana.
Ketiga, upaya untuk menggagalkan berdirinya sebuah negara yang dapat menampung milisi bersenjata dari kelompok Islam dari berbagai negara, yang dikhawatirkan akan lahir sebuah negara baru berlandaskan Islam yang mengancam eksistensi negara Barat dan Eropa di Afrika dan sekitarnya. Agenda seperti ini pulalah yang dipakai oleh Amerika ketika akan melakukan invasi terhadap Irak, Afghanistan dan Somalia.
Keempat, krisis ekonomi yang menimpa negara-negara Eropa, dimana majalah pekanan terbitan Perancis, Le Journal du Dimanche menyebut Presiden Perancis yang mengirimkan pasukannya ke Perancis melakukan itu untuk membangun image setelah selama ini Perancis diberikan stempel sebagai negara yang lemah karena krisis ekonomi dan sosial. Dengan cara ini Francois Hollande berusaha mengalihkan perhatian publik dari krisis yang melanda negerinya, sehingga dapat mengangkat kembali popularitas Perancis.
Kelima, wilayah selatan Mali memang dikenal memiliki kekayaan yang luar biasa, kaya dengan uranium, gas dan fosfat. Pihak Perancis melihat adanya cadangan minyak di wilayah Taodney Meuretania dan juga wilayah timur di Azawad. Pemerintah sebelumnya yang dikudeta telah memberikan kesempatan kepada 6 perusahaan asing untuk mengeksplore wilayah tersebut.
Bagi Perancis membiarkan kelompok Islam menguasai wilayah kaya alam di Mali adalah sebuah kerugian besar, karena pastinya mereka tidak akan memberikan izin kepada perusahaan asing seperti Perancis untuk masuk ke sana. Kalaupun bisa, tentunya akan ada kesepakatan yang keuntungannya justru akan memperkuat kelompok Islam yang berkuasa, dan ini sangat merugikan bagi Perancis dan negara Barat dan Eropa.
Apa yang terjadi di Mali hakekatnya adalah perlawanan terhadap kekuatan Islam. Dengan diwakili Perancis invasi ke Mali ini memberikan pesan bahwa mereka tidak akan membiarkan Islam berjaya di belahan bumi manapun. Disamping itu Perancis juga ingin menancapkan kembali kekuasaannya di Mali.
Namun sayang, sepertinya Perancis salah langkah, karena ia justru akan melewati perang panjang di Mali, sama seperti apa yang dirasakan oleh sekutunya Amerika, bagaimana perang di Afghanistan dan Irak tak kunjung berakhir. Di Mali perang gerilya akan dilancarkan oleh Kelompok Islam dan tidak akan membiarkan Perancis menjajah kembali dan mengeruk semua kekayaan alam yang dimiliki tanah air mereka. Wallahu Al Musta’an.
*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Al-Intima’ edisi 37/ Februari 2013 (ts/ditulis oleh Muhammad Syarief. Lc,peneliti di PSI-Wasathiyah dan Pemred Majalah Dakwah Islam Al-Intima.)

Human Rights Watch Tahun 2013 Minta Perancis Diadili Atas Kekejaman dan Kejahatan Perangnya di Mali

British Islamists protest outside the French Embassy in London January 12, 2013. REUTERS/Suzanne Plunkett
Senin, 11 Safar 1437 H / 23 November 2015
Human Rights Watch (HRW) menyerukan penyelidikan atas dugaan pembunuhan tanpa alasan yang dilakukan oleh tentara Prancis pada saat penyerangan yang dilakukan militer Prancis di negara Afrika Barat Mali, sebuah negeri Muslim, akan memasuki minggu keempat.
Pada hari Kamis (31/1/2013), kantor cabang Afrika dari kelompok HAM, yang berbasis di Johannesburg, juga meminta pasukan Prancis untuk meminimalkan kekejaman yang dilakukan terhadap warga sipil.
Direktur kelompok untuk Afrika, Tiseke Kasambala mengeluarkan pernyataan, yang mengatakan bahwa pasukan Prancis harus “meminimalkan kekejaman dan kematian warga sipil.”
Hal ini datang pada saat batalyon pasukan dari Niger dan dari Togo telah tiba di kota Mali Gao untuk memperkuat pasukan Prancis. Kota ini awalnya dikuasai oleh pejuang anti-pemerintah selama hampir 10 bulan, namun direbut oleh pasukan Perancis pekan lalu.
Dewan Keamanan PBB sendiri sedang mempertimbangkan rencana untuk menyebarkan pasukan penjaga perdamaian untuk membantu pasukan Prancis di Mali.(ts)