Beberapa hari yang lalu,
seorang ustadz dari salah satu kelompok Salafi memberikan ceramah kontroversial
di sebuah masjid di Depok. Sang ustadz menyatakan bahwa asal mula dari
kekacauan yang terjadi di Suriah hari ini adalah demonstrasi penduduk terhadap
pemerintah Basyar Asad. Demonstrasi tersebut disikapi secara keras oleh
pemerintahan Basyar Asad itu sehingga jatuh banyak korban. Rakyat pun bangkit
dan melakukan perlawanan bersenjata terhadap Basyar Asad.
Sang ustadz menjelaskan bahwa
jihad penduduk Suriah dan mujahidin Suriah melawan pemerintahan Basyar Asad di
Suriah adalah sebuah fitnah. Seharusnya penduduk mendengar dan taat kepada
pemerintahan Basyar Asad. Sang ustadz menyitir lantas sebuah ungkapan salaf
“pemerintah yang zalim itu lebih baik dari fitnah yang berlangsung
terus-menerus”.
Dalam ceramahnya tersebut,
sang ustadz mengesankan bahwa Basyar Asad adalah seorang muslim. Kewajiban
rakyat terhadap penguasa muslim adalah mendengar dan menaati, sekalipun
penguasa tersebut berbuat zalim, memukul punggung mereka, dan merampas harta
mereka. Maka jihad rakyat Suriah melawan Basyar Asad bisa dikatakan adalah
sebuah fitnah.
Pernyataan sang ustadz
tersebut perlu mendapatkan beberapa catatan:
Pertama, rezim Basyar Asad yang berkuasa di Suriah adalah rezim yang
menganut agama Nushairiyah. Nushairiyah adalah sebuah agama kekafiran dan
kesyirikan. Maka Basyar Asad adalah seorang kafir dan musyrik, bukan seorang
muslim. Rezim Basyar Asad adalah rezim kafir dan musyrik, bukan rezim Islam.
Kedua, sepanjang
perjalanan sejarah, penganut agama Nushairiyah senantiasa bekerja sama dengan
musuh-musuh Islam dalam memerangi kaum muslimin. Penganut Nushairiyah bekerja
sama dengan tentara Salibis Eropa dan tentara musyrik Tartar dalam memerangi
kaum muslimin di bumi Syam.
Dalam perang Arab – Israel,
penganut Nushairiyah telah melakukan konspirasi dengan pasukan Salibis Perancis
dan pasukan zionis Israel. Hafizh Asad dan kelompok Nushairiyah dengan
menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Israel tanpa perlawanan apapun,
sehingga sebagai hadiahnya Hafizh Asad dan kelompok Nushairiyah dijadikan
penguasa negara Suriah.
Ketiga, Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan ijma’ menegaskan umat Islam haram mengangkat orang Yahudi, Nasrani,
dan kafir lainnya sebagai pemimpin. Lihat Ali Imran: 28, An-Nisa’: 138-139,
141, 144, Al-Maidah: 51, 57, 80-81, Al-Mumtahanah: 1. Imam Ibnu Mundzir (318 H)
berkata, “Seluruh ulama telah bersepakat bahwa seorang kafit tidak memiliki hak
kepemimpinan atas seorang muslim dalam kondisi apapun.” (Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, Ahkamu Ahli Dzimmah, 2/787)
Qadhi Iyadh bin Musa
Al-Yahsabi Al-Maliki (544 H) berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa
kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang yang kafir. Bila setelah
menjabat menjadi kafir, maka ia harus dipecat. Demikian pula apabila penguasa
muslim tidak melaksanakan shalat dan tidak mengajak rakyat untuk shalat.”
“Sekiranya penguasa muslim
melakukan kekafiran atau mengubah syariat atau melakukan bid’ah, maka ia telah
keluar dari kedudukannya sebagai penguasa, gugurlah kewajiban taat kepadanya
dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan melengserkannya serta mengangkat
imam yang adil jika mereka mampu melakukannya. Jika pelengseran itu tidak mampu
dilaksanakan kecuali oleh sekelompok orang, maka wajib atas kelompok tersebut
untuk melengserkan penguasa tersebut. Adapun penguasa yang berbuat bid’ah tidak
harus dilengserkan, kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu.”
(An-Nawawi, Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 12/317)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Fathul Bari mengutip perkataan Imam Ibnu Tien, “Para ulama
telah bersepakat bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau
bid’ah, maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat jika khalifah merampas
harta, menumpahkan darah, dan melanggar kehormatan, apakah ia dilawan atau
tidak?”
Al-Hafizh Ibnu Hajar lalu
mengomentarinya dengan perkataan beliau, “Pernyataan beliau tentang adanya
ijma’ ulama tentang hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid’ah ini
tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid’ah yang jelas-jelas membawa kepada
kekafiran yang nyata.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih
Bukhari, 13/124)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani juga menyatakan, “Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar
ijma’ kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Barang
siapa kuat melaksanakannya maka baginya pahala. Barang siapa yang berkompromi
dengannya, maka baginya dosa. Adapun orang yang tidak mampu (lemah), maka ia
wajib hijrah dari bumi tersebut.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh
Shahih Bukhari, 13/132)
Keempat, usaha untuk
memecat penguasa kafir Nushairiyah dan menggantinya dengan penguasa muslim
terkadang mengharuskan dilakukan jihad fi sabilillah, karena penguasa kafir
Nushairiyah tersebut memegang kekuatan politik, ekonomi, dan militer.
Jihad fi sabilillah melawan
penguasa kafir Nushairiyah tersebut sudah tentu menimbulkan korban harta benda
dan nyawa di pihak kaum muslimin. Terbunuhnya sebagian umat Islam, hancurnya
harta benda mereka, dan terusirnya sebagian mereka sebagai pengungsi adalah
sebuah kerugian dan kerusakan. Namun kerugian dan kerusakan tersebut lebih
kecil daripada hidup di bawah pemerintahan kafir Nushairiyah yang menindas
mereka dan menimpakan fitnah terhadap dien mereka.
Dalam jihad fi sabilillah,
terbunuh ataupun luka-luka bukanlah fitnah. Terbunuh dalam jihad fi sabilillah
adalah sebuah kemenangan dan kemuliaan di sisi Allah. Terluka dan cedera juga
merupakan sebuah kemenangan dan kemuliaan di sisi Allah.
Maslahat jihad fi sabilillah dari tinjauan agama dan akhirat jauh lebih besar
daripada keuntungan duniawi yang hanya sesaat, yaitu “hidup tenang, tenteram,
damai, dan tidak ada keributan” seperti yang diklaim oleh sang ustadz dalam
ceramahnya tersebut.
Benarkah umat Islam Suriah
hidup dalam kedamaian, ketenteraman, keamanan, dan kebebasan beribadah selama
berkuasanya rezim Nushairiyah? Bukankah rakyat muslim Suriah menentang rezim
Nushairiyah karena penindasan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan rezim
Nushairiyah?
Memang benar, ulama melarang
kudeta dan penggulingan kekuasaan bila menimbulkan kerusakan yang lebih
besar. Syaikh Bin Baz berkata, “Kecuali bila kaum muslimin melihat
kekafiran yang nyata, mereka memiliki hujjah di hadapan Allah, maka tidak
masalah bagi mereka memberontak kepada penguasa ini dengan tujuan untuk
menggulingkannya.
Itu jika kaum muslimin
memiliki kekuatan. Adapun jika kaum muslimin tidak memiliki kekuatan mereka
tidak boleh melawan atau jika melawan menyebabkan keburukan yang lebih banyak,
maka mereka tidak boleh melawan demi menjaga kemaslahatan umum. Didasarkan pada
kaidah syar’i yang disepakati yaitu “tidak boleh memberantas keburukan jika
menimbulkan keburukan yang lebih besar.” (Al-Fatawa 8/302)
Bila kasus perlawanan ahli
Sunnah secara historis komprehensif, apakah yang mereka lakukan bertentangan
dengan “kemaslahatan umum” seperti disebut oleh Syaikh Bin Baz? Selama hampir
40 tahun, ahli sunnah Suriah ditindas oleh rezim Nushairiyah, dilarang
mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, anak-anak muda dilarang
shalat berjamaah di masjid. Maka dengan jihad mereka, hari ini ahli sunnah
menikmati kebebasan beribadah dan bertauhid kepada Rabb. Meskipun harus dibayar
dengan harta dan nyawa yang tidak sedikit. Manakah yang lebih layak disebut
kemaslahatan umum umat Islam? Apa definisi keamanan dan ketenteraman hari ini
telah hilang dan berganti kondisi carut-marut dalam konteks Suriah hari ini?
Dengan demikian, jihad bukan
sumber fitnah, tetapi ujian menuju kemuliaan yang sering dianggap fitnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Karena dalam amar ma’ruf nahi
mungkar dan jihad terdapat beragam cobaan dan ujian yang menghantarkan
seseorang kepada fitnah, ada saja orang yang mencari-cari alasan untuk meninggalkan
kewajibannya dalam perkara (amar ma’ruf, nahi mungkar, dan jihad) tersebut
dengan dalih ia mencari keselamatan dari fitnah. Sebagaimana firman Allah
tentang orang-orang munafik:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا
تَفْتِنِّي أَلَا فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوا
“Dan di antara mereka (yaitu
orang-orang munafik) ada orang yang mengatakan ‘Berilah saya izin untuk tidak
berjihad dan janganlah engkau menjerumuskanku kepada fitnah’. Ketahuilah,
justru mereka itu telah terjatuh ke dalam fitnah.” (At-Taubah: 49)
Ayat ini turun berkenaan
dengan Jad bin Qais saat Nabi SAW memerintahkannya untuk mempersiapkan
perbekalan guna perang melawan Romawi. Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah
engkau tertarik para kaum wanita bani Asfar (Romawi)?”
Jad bin Qais menjawab, “Wahai
Rasulullah, saya adalah laki-laki yang tidak tahan terhadap (godaan) wanita.
Saya khawatir terkena fitnah (godaan) wanita bani Asfhar. Maka berilah saya
izin (untuk tidak ikut berjihad) dan janganlah engkau menjerumuskan saya ke
dalam fitnah.”
Perlu kita ingat bahwa bawah
sebatang pohon. Ia bersembunyi di bawah seekor unta merah. Tentang dirinya
terdapat sebuah hadits bahwasanya semua orang yang ikut dalam Bai’at Ridhwan
diampuni dosanya, kecuali orang yang bersembunyi di bawah seekor unta merah.
Jad bin Qais meminta izin
untuk tidak berjihad, agar ia selamat dari fitnah wanita, sehingga ia tidak
terkena godaan mereka. Allah berfirman maksudnya adalah justru tindakannya
tidak menunaikan kewajiban jihad, kelemahan imannya, dan penyakit hatinya yang
menghiasinya untuk tidak berjihad merupakan sebuah fitnah yang besar, yang ia
telah terperosok ke dalamnya. Bagaimana ia mencari selamat dari sebuah fitnah
kecil yang belum menimpanya, dengan cara ia terjerumus ke dalam fitnah besar
yang telah menimpanya? Padahal Allah SWT berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka
sehingga tidak terjadi lagi fitnah (yaitu kesyirikan, kekafiran, dan
pemurtadan) dan seluruh dien (yaitu ketaatan dan ketundukan umat manusia) hanya
tertuju kepada Allah.” (Al-Anfal [8]: 39)
Maka barang siapa
meninggalkan peperangan yang telah Allah perintahkan agar tidak terjadi fitnah,
niscaya ia telah terjatuh ke dalam fitnah itu sendiri disebabkan oleh ia
ragu-ragu hatinya, sakit pikirannya, dan ia meninggalkan jihad yang telah Allah
SWT perintahkan kepadanya.” (Majmu’ Fatawa, 28/166-168). Jadi dapat disimpulkan
bahwa jihad Suriah merupakan berkah yang agung, karunia yang besar bagi ahli
sunnah. Mereka telah melalui beberapa dekade dalam ketidaktenteraman, kemudian
dibebaskan dari itu semua dengan jihad fi sabilillah!. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Penulis: Miftahul Ihsan &
Fauzan
Editor: Salem