Oleh Jamal Khashogji*
Middle East Monitor (28/11/2015)
Kita harus menanggapi secara serius ancaman tak
langsung Rusia dalam sebuah artikel di Koran Pravda yang
menyebut bahwa Arab Saudi, Qatar dan Turki harus diberi hukuman sebelum mereka
“dapat menyebabkan perang dunia ketiga dengan mendukung ISIS”. Ini adalah yang
diklaim Koran tersebut, sebuah Koran yang cukup dekat dengan Vladimir Putin.
Seorang mantan penasihat Putin secara kurang ajar diMoscow
Echo menulis
bahwa perlu menargetkan instalasi-instalasi militer dan minyak di Saudi dan
Qatar. Ya, Putin bodoh dan penuh darah. Dan lebih lanjut, dia tak dapat
dipercaya. Dan saya percaya dia juga membenci orang Saudi. Benar, kita harus
menganggap ancamannya serius.
Sejak ia mengambil alih kekuasaan di Kremlin 15
tahun yang lalu, mendapuk diri sebagai orang kuat Rusia, Putin telah bertualang
untuk mendasarkan popularitasnya dengan memprovokasi sentiment nasionalis dan
rasa kebanggaan. Dia mengobarkan api semi-fasis dalam pikiran bangsa Rusia
dalam usahanya untuk menutupi kegagalan ekonominya dan menutupi jurang kekayaan
yang besar antara kaum miskin dan kelas menengah, dan kelompok kaya minoritas
yang berkuasa dengan penuh skandal.
Putin mendorong kemenangan dari yang terjadi di
Chechnya, dimana dia melakukan kehancuran massal dan pembunuhan massal, hingga
di Ukraina dimana dia menganeksasi Crimea dalam pelanggaran terang-terangan
terhadap hukum internasional. Tetapi, kita hidup dimasa dimana Barack Obama,
sang presiden AS perlu seseorang untuk menerjemahkan pepatah arab, “Saya
menuangkan hinaan pada mereka saat mereka terus berjalan pergi dengan unta.”
Barat memprotes, panas dan marah tetapi akhirnya harus menerima status quo
baru. Lalu tsar Putin datang ke dunia arab mengklaim bahwa ia memiliki
“kepentingan vital” disana. Dia tanpa izin memasuki dan duduk dengan kaki
tersilang sementara membuat persekutuan dengan sebuah minoritas sektarian,
bergabung dengan mereka dalam mengejar pembunuhan dan penindasan dan memaksakan
kehendaknya sendiri.
Dia bahkan mencoba mengatur ulang rumah umat
islam. Dia bepergian ke sebuah tujuan dimana sebuah minoritas yang ia sukai
ada, membawa bersamanya sebuah cetakan bersejarah dari al-Quran yang tertulis
dalam bahasa Rusia. Dia duduk disamping Ayatullah Khamenei, sang pemimpin Iran,
seperti murid duduk di dekat gurunya, memberikan hadiah tersebut padanya dan
memegang tangannya dalam kepatuhan penuh dalam gesture simbolik yang tidak
dapat dilewatkan siapapun. Yang ia ingin katakan dengan gesture itu adalah
“disinilah otoritasnya, inilah islam” sementara disaat yang lama berani
menyerang apa yang ia sebut sebagai kebijakan “ islamisasi” di Turki. Hanya
masalah waktu. Dia dengan segera akan menyerang Saudi Arabia dan membuatnya
bertanggung jawab atas dosa-dosa yang terjadi di masa lalu dan masa sekarang
secara bersama.
Putin telah melalui serangkaian kemenangan yang
membentuk kalung, yang ia ingin pakai pada hari dimana ia menerima sumpah setia
dari pemegang kekuasaan yang mendominasi di wilayah yang berkembang dari Crimea
hingga Syam. Mimpinya hanya tertunda oleh kekeras-kepalaan tiga Negara yang menentang
rencananya dan menolak untuk tunduk padanya: Arab Saudi, Qatar dan Turki.
Hal ini terungkap pada hari Selasa saat angkatan
udara Turki menembak jatuh sebuah jet rusia yang jatuh ke daratan ditengah
teriakan “Allahu Akbar” oleh para revolusioner Suriah di pegunungan dekat
dengan perbatasan Suriah-Turki. Momen-momen yang sedikit ini sudah cukup
menjadi landasan bagi permainan politik baru di timur tengah.
Putin telah mengubah aturan main saat ia membawa
pesawatnya bergabung dengan Iran dan rezim Suriah dalam perang menghadapi
orang-orang yang menginginkan kebebasan. Presiden Recep Tayyip Erdogan sekarang
telah mengubah aturan main Putin dan dunia menunggu reaksi Putin untuk melihat
apakah ia akan menerima aturan baru atau sekali lagi membalikkan meja bagi
semuanya.
Insiden jet Rusia mungkin dapat terulang. Kita
hampir dalam keadaan perang dengan Rusia meski semua kunjungan, pertemuan penuh
senyuman. Cepat atau lambat Arab Saudi, Qatar dan Turki akan tampil di mata
Putin bersama dengan oposisi Suriah. Di saat ia gagal mengalahkan oposisi
Suriah ini ia akan mulai mencari kambing hitam, dan ia akan menemukan tidak
lain dan tidak bukan, kita.
Lalu, saat negosiasi di pertemuan Vienna
mendatang gagal (dan kemungkinan akan gagal), pihak-pihak yang berkonflik di
dalam Suriah tidak akan menemukan jalan lain selain meningkatkan konfrontasi
dalam tujuan untuk mencapai kemenangan akhir. Ini akan menuju kemunculan dua
kelompok berbeda: rakyat Suriah yang bebas dan sekutu mereka di satu sisi, dan
trio anti-kebebasan (Assad-Iran-Rusia) penuh sektarianisme dan sekutu mereka di
sisi lain.
Bahkan mungkin akan ada konfrontasi lain sebelum
Vienna. Insiden SU-24 merupakan tamparan bagi image Putin
sebagai Mr. invincible (tak tersentuh), dan kepada image yang ia pakaikan pada Rusia. Ini
tentunya akan mempersulit posisinya secara domestik, terutama dengan kembalinya
kantung mayat pertama dari tentara Rusia yang ikut campur dalam perang luar
negeri mereka yang pertama sejak kekalahan mereka di Afganistan. Mungkin dia
akan menantang Turki sekali lagi dan memiliki hasil jatuhnya Sukhoi lain, atau
bahkan sebuah MiG. Lalu dia akan marah-marah. Sekarang sang presiden Rusia
telah meluncurkan serangan tanpa pandang bulu di wilayah Turkmen Suriah. Ini
bukanlah perang, ini tindakan balas dendam. Siapa yang bisa menjamin bahwa
Sukhoi lain tak akan ditembak jatuh, kali ini oleh sebuah misil darat-ke-udara?
Sang beruang akan semakin murka. Dia akan menuduh Saudi Arabia atau Qatar atau
bahkan keduanya menyuplai misil ke para revolusioner dan menuntut mereka
bertanggung jawab. Memburuknya posisi ekonominya juga
menambah kemurkaannya. Dia telah kehilangan
posisi ekonomi sebagai terbesar ke-8 di dunia dan sekarang tertinggal di
belakang Spanyol dan Korea, keduanya telah melampauinya dalam hal Gross National Product. Di saat itu, dia bahkan dapat
menuduh Saudi Arabia menyebabkan jatuhnya harga minyak.
Bisakah kita menghadapi Rusia di tengah jalan
menuju Suriah untuk menghindari bencana? Saya rasa itu tak mungkin. Jika kita
akan mendefiniskan proyek kita di Suriah dan kawasan, itu akan menjadi sebuah
proyek yang tidak melibatkan intervensi tetapi berdasarkan kemerdekaan penuh
dan mendirikan sistem demokrasi pluralistic di Damaskus. Jika kita akan
mendefinisikan proyek Rusia, kita akan menemukannya berdasarkan sebuah tirani
minoritas dan intervensi asing dibawah topeng pemilu yang direkayasa dan
demokrasi palsu sama seperti di Rusia, dimana kebebasan publik mengalami
kemunduran dan Negara tumbuh semakin besar, dimana pers ketakutan karena harga
melakukan tugas mereka adalah sebuah peluru di kepala mereka oleh orang tak
dikenal.
Kedua proyek ini berkontradiksi antara satu
dengan lainnya di Vienna. Karena dua perbedaan inilah mereka tak pernah ada
kata setuju. Mereka juga akan berseteru mengenai wilayah Suriah sampai salah
satu mengalahkan yang lain. Sama seperti tak mungkin bagi Saudi untuk menerima
pengaruh permanen Iran di Suriah. Turki tak akan mau, dari sudut pandang
strategis, memiliki pengaruh Rusia di perbatasan selatannya. Perseteruan tak akan
terhindarkan. Sejak Putin tak memiliki sikap kesatria, dia tidak akan menerima
kekalahan dan mundur dalam semangat sportivitas; kemungkinan dia akan
melanjutkan konfrontasi. Dia akan meningkatkan ketegangan secara militer dan
mencoba memecah belah kita, karena memang ada celah yang bisa dieksploitasi.
Situasi kita mirip dengan Husein bin Ali. Kita memiliki sekutu yang pedangnya
bersama kita tapi hatinya melawan kita. Ini adalah mereka yang setuju dengan
Putin dalam proyek tertentu, yaitu regenerasi despotism di Suriah dibawah
topeng sistem demokrasi rusak yang hidup dengan cakar Assad. Mereka tak sedih
dengan ekspansi Iran-Suriah di Suriah tapi tak senang melihat kenaikan Saudi
Arabia sebagai pemimpin regional. Mereka menunjukkan lebih ketidaksukaan lagi kepada
aliansi Saudi dengan Turki dan tak senang melihat hubungan tersebut berkembang
hari demi hari saat mereka merencanakan masa depan bersama. Bila keseimbangan
kekuasaan di kawasan beralih menguntungkan Putin, mereka akan mengungkap jati
dirinya dan beralih mendukung sang tsar.
Terakhir, apakah Putin berani melakukan
operasi-operasi kotor di Saudi, Qatar atau Turki, seperti yang diminta
dilakukan oleh Pravda dan mantan penasihatnya? Akankah ia, misalnya,
menargetkan situs tertentu dan mengklaimnya sebagai kamp pelatihan teroris atau
gudang senjata untuk Suriah yang memiliki ancaman bagi “kedamaian dunia” dan
keselamatan pilot Rusia? Ini adalah bahaya yang harus dipertimbangkan. Mereka
menginginkan Eropa untuk tetap diam, yang akan memuaskan keinginan Putin. Orang
ini berperilaku seperti seorang pengintimidasi arogan dan tidak sebagai
politisi jujur, tapi seharusnya ini tak menjadi kejutan. Lagipula, dia adalah
lulusan sekolah kuno intelijen Soviet dan karena itu tidak akan ragu untuk
melakukan metode-metode terkotor, seperti pembunuhan mantan presiden Chechen
yang mengungsi di Doha pada tahun 2000 atau penghapusan lawan politik di London
pada 2006 menggunakan racun dalam cara yang terburuk. Para presiden republik
lain juga tidak luput dari kemurkaannya. Dia meracuni seorang mantan
presiden Ukraina sebagai bagian dari usahanya
untuk menundukkan mereka pada Rusia. Ini menuju pada rekayasa pemilu, lalu
sebuah revolusi rakyat yang berujung pada sebuah perang sipil yang masih
berkobar sampai sekarang. Ini adalah catatan buruk, namun Putin tetap penting
dan perlu untuk menghadapinya, juga karena dia memimpin sebuah superpower.
Saya tidak bermaksud melemahkan siapapun. Saya
juga tidak menyebut bahwa kita tak dapat menghadapinya. Yang saya maksud adalah
kita harus bersiap untuk yang terburuk dan, karena itu, harus berhati-hati.
Lebih lanjut, kita sedang dalam pertahanan dan tak bisa menarik diri dari
gelanggang Suriah. Dukungan kita kepada revolusi Suriah adalah tindakan
pertahanan untuk Negara kita sendiri. Apa yang penting adalah kita menjaga diri
saat kita menemukan diri kita wajib berjalan melalui hutan Rusia.
Tokoh Rusia Ini Ingin Hapus Istanbul Dengan Bom Nuklir
Tokoh politik Partai Demokrat Liberal Rusia,
Vladimir Zhirinovsky menyerukan Presiden Vladimir Putin untuk menghapus ibu
kota Turki, Istanbul. Hal itu sebagai respon atas ditembaknya pesawat Angkatan
Udara Rusia, Sukhoi SU-24 di wilayah perbatasan Turki dan Suriah.
Menurut Zhirinovsky,
keputusan Turki menembak jet tempur Rusia merupakan tindakan bodoh. Untuk ia,
ia mendesak agar Putin meluncurkan senjata nuklir guna menewaskan sembilan juta
warga Istanbul.
“Sebuah serangan nuklir
dapat menghancurkan Istanbul sangat mudah. Hanya satu bom nuklir di Selat
Istanbul akan menyapu bersih kota,” kata Zhirinovsky kepada Moscow Speaking
Radio, sebagaimana dilaporkan DailyStar, Sabtu (28/11).
Dengan menembakkan rudal
nuklir ke lautan, kata dia, nantinya Kota Istanbul akan terkena banjir bandang.
“Ini akan menjadi seperti banjir yang mengerikan, air akan naik menjadi antara
10m dan 15m dan kota akan [banjir],” ujar Zhirinovsky.
“Dan kemudian ada sembilan
juta jiwa (tewas),” kata pria yang berpangkat kolonel saat menjadi tentara
Rusia tersebut yang melabeli Turki sebagai “musuh nomor satu”.
Kata-kata dingin Zhirinovsky
datang sebagai bentuk respon terhadap ancaman Presiden Turki Recep Tayyip
Erdogan yang memperingatkan Putin untuk tidak “bermain dengan api”.
Hubungan yang memanas antara
Rusia dan Turki memunculkan ketakutan yang berkembang di masyarakat dunia
tentang kemungkinan terjadinya perang dunia ketiga. (em)