John
Kerry dan Vladimir Putin Tidak Serius Mengakhiri Perang Suriah?
Menlu Amerika Serikat Negeri John Kerry diharapkan
bertindak tegas, dan melakukan tekanan terhadap Presiden Vladimir Putin agar
Rusia mennerima sebuah transisi politik di masa depan yang akan menentukan
nasib Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Gencatan senjata yang rapuh di Suriah dan perang tetap
berkecamuk di tengah pembicaraan damai di Jenewa. Di mana John Kerry ingin
menekankan pada masalah pokok tentang masa depan Assad, kata seorang pejabat
Departemen Luar Negeri Amerika, Rabu, 23/03/2016.
Amerika Serikat ingin Assad pergi meninggalkan
kekuasaannya, tetapi Rusia mengatakan hanya rakyat Suriah yang dapat memutuskan
nasib Assad melalui kotak suara dan Rusia siap menghadapi setiap pembicaraan
tentang perubahan rezim.
Kerry sedang mengadakan pembicaraan dengan Presiden
Vladimir Putin di Kremlin, Kamis, 24/03/2016. Dibalik pertemuan antara John
Kerry dengan Putin itu, di mana Presiden Putin membuat pernyataan yang sangat
mengejutkan 14 Maret lalu bahwa Putin meninggalkan dukungan terhadap Assad dan
menarik pasukannya dari Suriah.
"John Kerry ingin benar-benar mendengar langsung
pandangan dari Presiden Putin dalam tentang transisi politik" di Suriah,
kata pejabat AS sesudah Kerry tiba di Moskow.
"Jelas apa yang kita cari, dan apa yang kita
telah mencari, adalah bagaimana kita akan melihat transisi Suriah dan
minggirnya Assad," kata pejabat itu, yang berbicara tanpa menyebut nama.
Setelah lima tahun konflik yang telah menewaskan
hampir 500.000 orang dan 12 penduduk Suriah mengungsi, dan telah menyebabkan
krisis pengungsi terburuk di dunia. Sementara itu, Washington dan Moskow
mencapai kesepakatan penghentian perang tiga minggu yang lalu, selanjutnya
memungkinkan pengiriman bantuan ke daerah-daerah yang terkepung.
Pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan pertemuan
dengan Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov akan mengevaluasi gencatan
senjata dan mencoba mengakhiri pelanggaran dan meningkatkan bantuan
kemanusiaan.
Sebaliknya, Oposisi Suriah menuduh pasukan pemerintah
justru meningkatkan pengepungan dan kampanye pemboman di seluruh Suriah.
Di Jenewa, di mana fihak-fihak yang terlibat dalam
perang belum menunjukkan adanya kesepakatan mengakhiri konflik. Bahkan, pejabat
pemerintah Suriah menolak diskusi apapun tentang nasib Assad. Para pemimpin
oposisi mengatakan Bashar al-Assad harus pergi meninggalkan kekuasaannya
sebagai bagian dari transisi menuju perdamaian.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan
pembicaraan damai Suriah akan panjang dan sulit, dan terlalu dini berbicara
tentang kegagalan. Karena, Amerika dan Rusia tidak ingin adanya sebuah
pemeritahan baru yang merugikan bagi kepentingan mereka di Timur Tengah,
termasuk menjadi ancaman negeri Zionis-Israel.
Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura
mengatakan, bahwa ia berharap pertemuan antara Menteri Luar Negeri AS-Rusia
akan memberikan dorongan bagi perundingan perdamaian, di mana masalah transisi
politik membuat perundingan tidak mencapai kemajuan.
Seorang aktivis Suriah, Jihad Makdissi, mengatakan
kepada de Mistura, ia berencana menerbitkan sebuah makalah tentang "visi
bersama" bagi penyelesaian konflik dan perang di Suriah.
Kondisi yang terjadi di Suriah dan Irak benar-benar
telah memprihatinkan. Di mana krisis kemanusiaan dan tragedi telah terjadi.
Kota-kota di Irak dan Suriah telah luluh lantak dan porak-poranda. Tak tersisa
lagi. 12 juta orang mengungsi dari Suriah, dan sudah lebih 400.000 orant tewas.
Di Irak lebih dari 2 juta dan 3 juta orang anak
yatim. Perantg yang berlangsung sejak zamannya Presiden AS, George Bush Sr
sampai di lanjutkan oleh Bush Jr, dan sekarang dilanjutkan oleh Presiden Barack
Obama, membuat “Negeri 1001 Malam” itu, hanyalah tinggal puing-puing.
Amerika dan Rusia terus memperpanjang perang, dan
membiarkan perang berkecamuk, tanpa henti. Karena tujuannya melakukan
pemusnahan massal terhadap rakyat di wilayah itu.
Basa-basi tentang gencatan senjata, hanyalah sebuah
retorika politik, dan tidak pernah sungguh menyelesaikan perang, karena
Washington dan Moskow menginginkan perang tetap berlansung.
Suriah, Irak dan Palestina menjadi kesedihan yang
sangat mendalam bagi Muslim di seluruh dunia. Di mana negeri di wilayah
"Billadussyam" sekarang menjadi puing-puing akibat di koyak perang,
terutama perang yang dilancarkan oleh Bashar al-Assad terhadap rakyatnya, dan
kemudian di beri lebel sebagai "teroris". Wallahu'alam.
Gencatan
Senjata AS-Rusia Adalah Kesepakatan untuk Perangi Islam
Kesepakatan gencatan
senjata sementara selama dua minggu (hasil Kesepakatan Munich, 22 Februari 2016
M/13 Jumadil Awal 1437 H) di Suriah yang diusung oleh Amerika Serikat dan Rusia
–dan kemudian diaminkan oleh PBB—dikabarkan mulai berlangsung Sabtu
(27/02/2016) waktu 00.00 (GMT Damaskus).
Dalam teks kesepakatan
tersebut dijelaskan bahwa Federasi Rusia dan Amerika Serikat, dalam kapasitas
mereka sebagai pemimpin masyarakat internasional dalam rangka mendukung Suriah,
dan untuk mencapai penyelesaian krisis di Suriah, dengan penghormatan penuh
terhadap peran organisasi PBB.
Sepenuhnya meyediakan
fasilitas untuk menghentikan krisis di Suriah dan menciptakan kondisi transisi
yang kondusif. Kesepakatan ini juga ditentukan oleh masyarakat Suriah dengan
dukungan PBB untuk implementasi penuh Deklarasi Munich (11 Februari 2016),
Resolusi Dewan Dewan Keamanan PBB 2254, Deklarasi Wina 2015, dan Deklarasi
Jeneva di tahun 2012.
Teks kesepakatan
tersebut juga menyatakan bahwa untuk menyertakan dalam kesepakatan tersebut,
semua oposisi bersenjata yang terlibat di Suriah, dengan pengecualian
organisasi ISIS, oposisi Jabah Nusrah dan kelompok lainnya yang diidentifikasi
teroris oleh PBB.
Bagi kaum muslim yang
terus mencermati lima tahun Revolusi Suriah –yang diberkati—, adanya gencatan
senjata, kesepaktan damai, deklarasi, meja perundingan, dan diplomasi lainnya,
benang merahnya adalah strategi Amerika Serikat (sebagai sutradara) untuk
menekan pihak oposisi militer Suriah, sekaligus istirahat sejenak, memfokuskan diri,
mengumpulkan kekuatan baru untuk kembali menggempur mujahidin ikhlas di Suriah.
Kesepakatan gencatan
senjata ini hakikatnya adalah kesepakatan –Amerika Serikat dan Rusia—untuk
bersepakat memerangi para mujahidin yang tetap ikhlas memperjuangkan tegaknnya
Syari’ah Islam dan Khilafah Islamiyah di Suriah. Taktik ini telah dilakukan
berulangkali oleh musuh-musuh Islam untuk memadamkan cahaya Allah SWT.
Sudah menjadi catatan
sejarah, bahwa kaum muslimin secara militer sangat sulit ditaklukkan. Bagi
mujahidin yang ikhlas dalam berjihad, Allah akan membantu mereka dengan
balatentara malaikat dari langit dalam setiap peperangan. Sementara kaum kafir,
tentara Rusia, Rezim Assad dan sekutunya, meski dilengkapi dengan persenjataan
yang canggih dan modern, mereka selalu stress, lelah, dan memerlukan
“istirahat” dalam setiap peperangan.
Peperangan bagi mereka
adalah neraka dunia. Sementara bagi mujahidin, perang (jihad) adalah “rekreasi”
yang sangat menggembirakan dengan garansi surga dari Allah SWT. Tidak ada kata
“kalah” dalam jihad fi sabilillah.
Tabiat busuk menjelang
gencatan senjata juga telah ditampakkan oleh Rusia. Selang sebelum gencatan
senjata ini –27 Februari 2016– jet-jet tempur Rusia melancarkan serangan
operasi besar-besaran menargetkan wilayah oposisi Suriah. Kepala Observatorium
HAM Suriah, Rami Abdel Rahman melaporkan bahwa pesawat tempur Rusia terpantau
mengintensifkan serangan di wilayah oposisi Suriah di Ghauta, Homs, dan Aleppo
(Kiblat.net).
Sehingga sikap pemimpin
Jabhah Nusrah adalah tepat, yakni menolak adanya gencatan senjata di Suriah dan
meminta faksi oposisi untuk meningkatkan serangan melawan rezim Assad beserta
sekutunya. Dalam sebuah pesan audio yang diterbitkan pada hari Jum’at (26/02),
Abu Muhammad Al-Jaulani menyeru faksi oposisi Suriah untuk memilih antara
berjuang bersama saudara seimannya, atau melaksanakan gencatan senjata dengan
rezim Assad.
“Waspadalah terhadap trik dari Barat dan Amerika ini, karena mereka hanya akan
mendorong anda untuk kembali di bawah ibu jari rezim yang menindas,” katanya.
Adalah tabiat Amerika
–dan sekutunya–, bahwa kondisi nyata dari hal ini bukanlah gencatan senjata,
bukan pula untuk mencapai perdamaian, apalagi untuk menghentikan pertumpahan
darah. Gencatan senjata ini hahikatnya akan memfokuskan Amerika, Iran, Rusia,
Eropa dan Basyar Assad untuk membom yang mereka identifikasi dengan teroris.
Bahkan menurut Al
Jazira, beberawa waktu yang lalu Amerika Serikat dan Rusia telah membentuk tim
untuk memetakan wilayah yang dikontrol kelompok yang dianggap teroris, untuk
selanjutnya menjadi target serangan (Al- Jazeera.net). Dan tidak ada maksud
lain yang mereka sebut dengan teroris ini adalah kecuali mujahidin yang ikhlas
di Suriah.
Taktik gencatan senjata
–dengan rangkaian persoalan nyata yang terjadi– bukan hal baru bagi Amerika dan
Sekutunya. Ingatan kita belum hilang pada peristiwa Konferensi Riyadh akhir
tahun 2015, oposisi ditarik ke meja perundingan –dengan peran gencar KSA–,
namun Rusia secara massif membom mujahidin Suriah. AS membiarkan, dan
negeri-negeri muslim menonton. Dan petinggi Rusia sendiri beberapa kali
mengungkap bahwa sasaran mereka “meleset” terhadap kelompok ISIS.
Gencatan senjata ini
juga merupakan bentuk arogansi Amerika dan Rusia untuk terus “memaksa”
pihak-pihak oposisi, negeri-negeri Islam, dan masyarakat dunia untuk
“mengaminkan” berbagai kesepakatan (Deklarasi Munich, Resolusi PBB 2254,
Deklatasi Wina 2015, dan Deklarasi Jenewa 2012) yang sudah disiapkan Amerika
Serikat–termasuk PBB—untuk membentuk masyarakat Sekuler rencana mereka. Bagi
Amerika, di Suriah apakah Basyar Assad atau bukan, itu sudah tidak penting
lagi. Yang penting Suriah masa depan tetap dalam kontrol mereka. Dan siapa saja
yang tidak sepakat hal tersebut dengan mudah dicap dengan teroris.
Umat ini sesungguhnya
memiliki pengalaman berharga tentang gencatan senjata dari revolusi Palestina
selang waktu 1936-1939. Adalah setiap kali pejuang (mujahidin) Palestina
mencetak berbagai kemenangan militer atas penjajah Yahudi. Segera pendukung
Yahudi berteriak untuk melakukan gencatan senjata. Para penguasa Muslim
–pengkhianat– kemudian berlomba-lomba melindungi orang-orang Yahudi atas
serangan Mujahidin.
Gencatan senjata
tersebut memberikan kesempatan Yahudi untuk beristirahat, memperbaharui
aktivitas, memantapkan konspirasi dan kekuatan mereka.
Yahudi kemudian kembali
memulai serangan –meski harus melanggar kesepakatan gencatan senjata dan itu
diaminkan oleh PBB–, sampai mereka meraih kemenangan dengan menyatakan negara
mereka Yahudi pada tahun 1948. Kemudian tahun 1967 pertempuran kembali terjadi,
Yahudi melawan kekuatan sisa dari pejuang Palestina. Akhirnya negara Yahudi
menjadi sebuah realitas yang diterima oleh hampir semua pihak internasional.
Apa yang terjadi dengan
revolsi Suriah –yang diberkati—tidak jauh berbeda. Amerika Serikat sebagai
sutradara terus menggunakan kekuatan diplomasi, dibantu dengan kekuatan fisik
(Rezim Assad, Iran, Eropa, dan Rusia) untuk mencapai tujuan mereka seperti
mereka mendirikan negara Yahudi di Palestina.
“Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga
(di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”
(Ali Imran 200).
Ditulis oleh: Luthfi
Hidayat, pengamat Timur Tengah
Gencatan Senjata Suriah
dalam Rekayasa Amerika dan Rusia
Sabtu 2 Jamadilakhir 1437 / 12 Maret 2016 10:30
Oleh: Salsabila, Mahasiswi
Sastra Arab Universitas Padjadjaran
APA yang terlintas dalam pikiran ketika mendengar
kata “Suriah”? Negeri muslim dengan berbagai problematika di dalamnya. Bukankah
Suriah adalah bumi Syam yang diberkahi Allah? Lalu apa yang sebenarnya terjadi
dibumi yang Allah berkahi itu? Korban sipil berjatuhan sudah sekian banyak.
Pengungsian sudah menjadi pembahasan dunia
internasiona. Berbagai konferensi dan perundingan internasional sudah
dilakukan. Namun hingga kini, masalah Suriah seolah tidak menemukan solusi yang
berarti.
Amerika Serikat dan Rusia, dua partisipan utama dalam
kelompok internasional untuk mendukung Suriah dan kelompok kerja penghentian
peperangan, pada 22 Februari 2016 mengumumkan pengadopsian syarat-syarat
gencatan senjata di Suriah.
Masing-masing mengumumkan komitmen dan penerimaan
atas syarat-syarat gencatan senjata, di antaranya: melaksanakan Resolusi DK PBB
no. 2254 secara penuh; siap berpartisipasi dalam perundingan politik yang
dijalankan oleh PBB; menghentikan serangan dengan jenis senjata apapun termasuk
rudal, mortir, rudal anti tank; dan berhenti mendapatkan atau berusaha
mendapatkan wilayah dari pihak lain yang terlibat dalam gencatan senjata.
Pihak oposisi riyad dan diktator rezim suriah setuju
dengan adanya gencatan senjata suriah. Namun tetap melanjutkan upaya militer memerangi
terorisme melawan ISIS, Jabhah an-Nushrah, organiasi teroris lainnya dan
al-Qaeda sesuai pengumuman Rusia-Amerika.
Jika kita meneliti dan menganalisis gencatan senjata
Suriah yang dilakukan Amerika dan Rusia tersebut bahwa dibalik itu semua tidak
lain hanyalah salah satu cara yang digunakan untuk melindungi rezim suriah yang
berkuasa saat ini, sebelum rezim Bashar Al-Assad tumbang dan digantikan dengan
antek Amerika selanjutnya.
Gencatan senjata ini tidak akan menjaga keamanan bagi
faksi-faksi hingga yang moderat sekalipun, bahkan juga warga sipil Suriah.
Amerika dan Rusia telah memperluas makna kata teroris. Setiap orang yang
menolak rekonsiliasi yang menghinakan dan khianat itu, dalam pandangan AS dan
Rusia, akan dipandang sebagai teroris. Sungguh ini adalah tipu daya yang dibuat
Amerika dan Rusia. Dipandang baik padahal punya rencana busuk bagi kaum muslim.
Permasalahan
Suriah harus segera diselesaikan. Tidak cukup hanya dengan mengganti rezim
saja, namun haruslah perubahan itu dari akarnya (asas) yaitu sistem. Yang
dimana sistem yang diterapkan di banyak negara dewasa ini adalah sistem yang
rusak.
Karena itu penyelesaian dari konflik Suriah ini, bila
arahnya adalah menuju Revolusi Islam, harus difokuskan bukan hanya untuk
menumbangkan rezim yang ada, namun harus didorong menuju tegaknya Islam secara
kaffah melalui dukungan penuh dari umat Islam