Friday, March 25, 2016

John Kerry Dan Vladimir Putin Tidak Serius Mengakhiri Perang Suriah? Gencatan Senjata AS-Rusia Adalah Rekayasa ( Kesepakatan ) Untuk Perangi Islam

John Kerry dan Vladimir Putin Tidak Serius Mengakhiri Perang Suriah?

John Kerry dan Vladimir Putin Tidak Serius Mengakhiri Perang Suriah?

Menlu Amerika Serikat Negeri John Kerry diharapkan bertindak tegas, dan melakukan tekanan terhadap Presiden Vladimir Putin agar Rusia mennerima sebuah transisi politik di masa depan yang akan menentukan nasib Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Gencatan senjata yang rapuh di Suriah dan perang tetap berkecamuk di tengah pembicaraan damai di Jenewa. Di mana John Kerry ingin menekankan pada masalah pokok tentang masa depan Assad, kata seorang pejabat Departemen Luar Negeri Amerika, Rabu, 23/03/2016.
Amerika Serikat ingin Assad pergi meninggalkan kekuasaannya, tetapi Rusia mengatakan hanya rakyat Suriah yang dapat memutuskan nasib Assad melalui kotak suara dan Rusia siap menghadapi setiap pembicaraan tentang perubahan rezim.
Kerry sedang mengadakan pembicaraan dengan Presiden Vladimir Putin di Kremlin, Kamis, 24/03/2016. Dibalik pertemuan antara John Kerry dengan Putin itu, di mana Presiden Putin membuat pernyataan yang sangat mengejutkan 14 Maret lalu bahwa Putin meninggalkan dukungan terhadap Assad dan menarik pasukannya dari Suriah.
"John Kerry ingin benar-benar mendengar langsung pandangan dari Presiden Putin dalam tentang transisi politik" di Suriah, kata pejabat AS sesudah Kerry tiba di Moskow.
"Jelas apa yang kita cari, dan apa yang kita telah mencari, adalah bagaimana kita akan melihat transisi Suriah dan minggirnya Assad," kata pejabat itu, yang berbicara tanpa menyebut nama.
Setelah lima tahun konflik yang telah menewaskan hampir 500.000 orang dan 12 penduduk Suriah mengungsi, dan telah menyebabkan krisis pengungsi terburuk di dunia. Sementara itu, Washington dan Moskow mencapai kesepakatan penghentian perang tiga minggu yang lalu, selanjutnya memungkinkan pengiriman bantuan ke daerah-daerah yang terkepung.
Pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan pertemuan dengan Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov akan mengevaluasi gencatan senjata dan mencoba mengakhiri pelanggaran dan meningkatkan bantuan kemanusiaan.
Sebaliknya, Oposisi Suriah menuduh pasukan pemerintah justru meningkatkan pengepungan dan kampanye pemboman di seluruh Suriah.
Di Jenewa, di mana fihak-fihak yang terlibat dalam perang belum menunjukkan adanya kesepakatan mengakhiri konflik. Bahkan, pejabat pemerintah Suriah menolak diskusi apapun tentang nasib Assad. Para pemimpin oposisi mengatakan Bashar al-Assad harus pergi meninggalkan kekuasaannya sebagai bagian dari transisi menuju perdamaian.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan pembicaraan damai Suriah akan panjang dan sulit, dan terlalu dini berbicara tentang kegagalan. Karena, Amerika dan Rusia tidak ingin adanya sebuah pemeritahan baru yang merugikan bagi kepentingan mereka di Timur Tengah, termasuk menjadi ancaman negeri Zionis-Israel.
Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura mengatakan, bahwa ia berharap pertemuan antara Menteri Luar Negeri AS-Rusia akan memberikan dorongan bagi perundingan perdamaian, di mana masalah transisi politik membuat perundingan tidak mencapai kemajuan.
Seorang aktivis Suriah, Jihad Makdissi, mengatakan kepada de Mistura, ia berencana menerbitkan sebuah makalah tentang "visi bersama" bagi penyelesaian konflik dan perang di Suriah.
Kondisi yang terjadi di Suriah dan Irak benar-benar telah memprihatinkan. Di mana krisis kemanusiaan dan tragedi telah terjadi. Kota-kota di Irak dan Suriah telah luluh lantak dan porak-poranda. Tak tersisa lagi. 12 juta orang mengungsi dari Suriah, dan sudah lebih 400.000 orant tewas.
Di Irak lebih dari 2 juta dan 3 juta orang anak yatim. Perantg yang berlangsung sejak zamannya Presiden AS, George Bush Sr sampai di lanjutkan oleh Bush Jr, dan sekarang dilanjutkan oleh Presiden Barack Obama, membuat “Negeri 1001 Malam” itu, hanyalah tinggal puing-puing.
Amerika dan Rusia terus memperpanjang perang, dan membiarkan perang berkecamuk, tanpa henti. Karena tujuannya melakukan pemusnahan massal terhadap rakyat di wilayah itu.
Basa-basi tentang gencatan senjata, hanyalah sebuah retorika politik, dan tidak pernah sungguh menyelesaikan perang, karena Washington dan Moskow menginginkan perang tetap berlansung.
Suriah, Irak dan Palestina menjadi kesedihan yang sangat mendalam bagi Muslim di seluruh dunia. Di mana negeri di wilayah "Billadussyam" sekarang menjadi puing-puing akibat di koyak perang, terutama perang yang dilancarkan oleh Bashar al-Assad terhadap rakyatnya, dan kemudian di beri lebel sebagai "teroris". Wallahu'alam.

Gencatan Senjata AS-Rusia Adalah Kesepakatan untuk Perangi Islam

Kesepakatan gencatan senjata sementara selama dua minggu (hasil Kesepakatan Munich, 22 Februari 2016 M/13 Jumadil Awal 1437 H) di Suriah yang diusung oleh Amerika Serikat dan Rusia –dan kemudian diaminkan oleh PBB—dikabarkan mulai berlangsung Sabtu (27/02/2016) waktu 00.00 (GMT Damaskus).
Dalam teks kesepakatan tersebut dijelaskan bahwa Federasi Rusia dan Amerika Serikat, dalam kapasitas mereka sebagai pemimpin masyarakat internasional dalam rangka mendukung Suriah, dan untuk mencapai penyelesaian krisis di Suriah, dengan penghormatan penuh terhadap peran organisasi PBB.
Sepenuhnya meyediakan fasilitas untuk menghentikan krisis di Suriah dan menciptakan kondisi transisi yang kondusif. Kesepakatan ini juga ditentukan oleh masyarakat Suriah dengan dukungan PBB untuk implementasi penuh Deklarasi Munich (11 Februari 2016), Resolusi Dewan Dewan Keamanan PBB 2254, Deklarasi Wina 2015, dan Deklarasi Jeneva di tahun 2012.
Teks kesepakatan tersebut juga menyatakan bahwa untuk menyertakan dalam kesepakatan tersebut, semua oposisi bersenjata yang terlibat di Suriah, dengan pengecualian organisasi ISIS, oposisi Jabah Nusrah dan kelompok lainnya yang diidentifikasi teroris oleh PBB.
Bagi kaum muslim yang terus mencermati lima tahun Revolusi Suriah –yang diberkati—, adanya gencatan senjata, kesepaktan damai, deklarasi, meja perundingan, dan diplomasi lainnya, benang merahnya adalah strategi Amerika Serikat (sebagai sutradara) untuk menekan pihak oposisi militer Suriah, sekaligus istirahat sejenak, memfokuskan diri, mengumpulkan kekuatan baru untuk kembali menggempur mujahidin ikhlas di Suriah.
Kesepakatan gencatan senjata ini hakikatnya adalah kesepakatan –Amerika Serikat dan Rusia—untuk bersepakat memerangi para mujahidin yang tetap ikhlas memperjuangkan tegaknnya Syari’ah Islam dan Khilafah Islamiyah di Suriah. Taktik ini telah dilakukan berulangkali oleh musuh-musuh Islam untuk memadamkan cahaya Allah SWT.
Sudah menjadi catatan sejarah, bahwa kaum muslimin secara militer sangat sulit ditaklukkan. Bagi mujahidin yang ikhlas dalam berjihad, Allah akan membantu mereka dengan balatentara malaikat dari langit dalam setiap peperangan. Sementara kaum kafir, tentara Rusia, Rezim Assad dan sekutunya, meski dilengkapi dengan persenjataan yang canggih dan modern, mereka selalu stress, lelah, dan memerlukan “istirahat” dalam setiap peperangan.
Peperangan bagi mereka adalah neraka dunia. Sementara bagi mujahidin, perang (jihad) adalah “rekreasi” yang sangat menggembirakan dengan garansi surga dari Allah SWT. Tidak ada kata “kalah” dalam jihad fi sabilillah.
Tabiat busuk menjelang gencatan senjata juga telah ditampakkan oleh Rusia. Selang sebelum gencatan senjata ini –27 Februari 2016– jet-jet tempur Rusia melancarkan serangan operasi besar-besaran menargetkan wilayah oposisi Suriah. Kepala Observatorium HAM Suriah, Rami Abdel Rahman melaporkan bahwa pesawat tempur Rusia terpantau mengintensifkan serangan di wilayah oposisi Suriah di Ghauta, Homs, dan Aleppo (Kiblat.net).
Sehingga sikap pemimpin Jabhah Nusrah adalah tepat, yakni menolak adanya gencatan senjata di Suriah dan meminta faksi oposisi untuk meningkatkan serangan melawan rezim Assad beserta sekutunya. Dalam sebuah pesan audio yang diterbitkan pada hari Jum’at (26/02), Abu Muhammad Al-Jaulani menyeru faksi oposisi Suriah untuk memilih antara berjuang bersama saudara seimannya, atau melaksanakan gencatan senjata dengan rezim Assad.
“Waspadalah terhadap trik dari Barat dan Amerika ini, karena mereka hanya akan mendorong anda untuk kembali di bawah ibu jari rezim yang menindas,” katanya.

Adalah tabiat Amerika –dan sekutunya–, bahwa kondisi nyata dari hal ini bukanlah gencatan senjata, bukan pula untuk mencapai perdamaian, apalagi untuk menghentikan pertumpahan darah. Gencatan senjata ini hahikatnya akan memfokuskan Amerika, Iran, Rusia, Eropa dan Basyar Assad untuk membom yang mereka identifikasi dengan teroris.
Bahkan menurut Al Jazira, beberawa waktu yang lalu Amerika Serikat dan Rusia telah membentuk tim untuk memetakan wilayah yang dikontrol kelompok yang dianggap teroris, untuk selanjutnya menjadi target serangan (Al- Jazeera.net). Dan tidak ada maksud lain yang mereka sebut dengan teroris ini adalah kecuali mujahidin yang ikhlas di Suriah.
Taktik gencatan senjata –dengan rangkaian persoalan nyata yang terjadi– bukan hal baru bagi Amerika dan Sekutunya. Ingatan kita belum hilang pada peristiwa Konferensi Riyadh akhir tahun 2015, oposisi ditarik ke meja perundingan –dengan peran gencar KSA–, namun Rusia secara massif membom mujahidin Suriah. AS membiarkan, dan negeri-negeri muslim menonton. Dan petinggi Rusia sendiri beberapa kali mengungkap bahwa sasaran mereka “meleset” terhadap kelompok ISIS.
Gencatan senjata ini juga merupakan bentuk arogansi Amerika dan Rusia untuk terus “memaksa” pihak-pihak oposisi, negeri-negeri Islam, dan masyarakat dunia untuk “mengaminkan” berbagai kesepakatan (Deklarasi Munich, Resolusi PBB 2254, Deklatasi Wina 2015, dan Deklarasi Jenewa 2012) yang sudah disiapkan Amerika Serikat–termasuk PBB—untuk membentuk masyarakat Sekuler rencana mereka. Bagi Amerika, di Suriah apakah Basyar Assad atau bukan, itu sudah tidak penting lagi. Yang penting Suriah masa depan tetap dalam kontrol mereka. Dan siapa saja yang tidak sepakat hal tersebut dengan mudah dicap dengan teroris.
Umat ini sesungguhnya memiliki pengalaman berharga tentang gencatan senjata dari revolusi Palestina selang waktu 1936-1939. Adalah setiap kali pejuang (mujahidin) Palestina mencetak berbagai kemenangan militer atas penjajah Yahudi. Segera pendukung Yahudi berteriak untuk melakukan gencatan senjata. Para penguasa Muslim –pengkhianat– kemudian berlomba-lomba melindungi orang-orang Yahudi atas serangan Mujahidin.
Gencatan senjata tersebut memberikan kesempatan Yahudi untuk beristirahat, memperbaharui aktivitas, memantapkan konspirasi dan kekuatan mereka.
Yahudi kemudian kembali memulai serangan –meski harus melanggar kesepakatan gencatan senjata dan itu diaminkan oleh PBB–, sampai mereka meraih kemenangan dengan menyatakan negara mereka Yahudi pada tahun 1948. Kemudian tahun 1967 pertempuran kembali terjadi, Yahudi melawan kekuatan sisa dari pejuang Palestina. Akhirnya negara Yahudi menjadi sebuah realitas yang diterima oleh hampir semua pihak internasional.
Apa yang terjadi dengan revolsi Suriah –yang diberkati—tidak jauh berbeda. Amerika Serikat sebagai sutradara terus menggunakan kekuatan diplomasi, dibantu dengan kekuatan fisik (Rezim Assad, Iran, Eropa, dan Rusia) untuk mencapai tujuan mereka seperti mereka mendirikan negara Yahudi di Palestina.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali Imran 200).
Ditulis oleh: Luthfi Hidayat, pengamat Timur Tengah

Gencatan Senjata Suriah dalam Rekayasa Amerika dan Rusia

Sabtu 2 Jamadilakhir 1437 / 12 Maret 2016 10:30
Oleh: Salsabila, Mahasiswi Sastra Arab Universitas Padjadjaran
APA yang terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata “Suriah”? Negeri muslim dengan berbagai problematika di dalamnya. Bukankah Suriah adalah bumi Syam yang diberkahi Allah? Lalu apa yang sebenarnya terjadi dibumi yang Allah berkahi itu? Korban sipil berjatuhan sudah sekian banyak.
Pengungsian sudah menjadi pembahasan dunia internasiona. Berbagai konferensi dan perundingan internasional sudah dilakukan. Namun hingga kini, masalah Suriah seolah tidak menemukan solusi yang berarti.
Amerika Serikat dan Rusia, dua partisipan utama dalam kelompok internasional untuk mendukung Suriah dan kelompok kerja penghentian peperangan, pada 22 Februari 2016 mengumumkan pengadopsian syarat-syarat gencatan senjata di Suriah.
Masing-masing mengumumkan komitmen dan penerimaan atas syarat-syarat gencatan senjata, di antaranya: melaksanakan Resolusi DK PBB no. 2254 secara penuh; siap berpartisipasi dalam perundingan politik yang dijalankan oleh PBB; menghentikan serangan dengan jenis senjata apapun termasuk rudal, mortir, rudal anti tank; dan berhenti mendapatkan atau berusaha mendapatkan wilayah dari pihak lain yang terlibat dalam gencatan senjata.
Pihak oposisi riyad dan diktator rezim suriah setuju dengan adanya gencatan senjata suriah. Namun tetap melanjutkan upaya militer memerangi terorisme melawan ISIS, Jabhah an-Nushrah, organiasi teroris lainnya dan al-Qaeda sesuai pengumuman Rusia-Amerika.
Jika kita meneliti dan menganalisis gencatan senjata Suriah yang dilakukan Amerika dan Rusia tersebut bahwa dibalik itu semua tidak lain hanyalah salah satu cara yang digunakan untuk melindungi rezim suriah yang berkuasa saat ini, sebelum rezim Bashar Al-Assad tumbang dan digantikan dengan antek Amerika selanjutnya.
Gencatan senjata ini tidak akan menjaga keamanan bagi faksi-faksi hingga yang moderat sekalipun, bahkan juga warga sipil Suriah. Amerika dan Rusia telah memperluas makna kata teroris. Setiap orang yang menolak rekonsiliasi yang menghinakan dan khianat itu, dalam pandangan AS dan Rusia, akan dipandang sebagai teroris. Sungguh ini adalah tipu daya yang dibuat Amerika dan Rusia. Dipandang baik padahal punya rencana busuk bagi kaum muslim.
Permasalahan Suriah harus segera diselesaikan. Tidak cukup hanya dengan mengganti rezim saja, namun haruslah perubahan itu dari akarnya (asas) yaitu sistem. Yang dimana sistem yang diterapkan di banyak negara dewasa ini adalah sistem yang rusak.
Karena itu penyelesaian dari konflik Suriah ini, bila arahnya adalah menuju Revolusi Islam, harus difokuskan bukan hanya untuk menumbangkan rezim yang ada, namun harus didorong menuju tegaknya Islam secara kaffah melalui dukungan penuh dari umat Islam