Apakah Imam Madzhab Itu Lebih Tahu
Seluruh Hadits Daripada Ulama Setelahnya?
[Jawaban Dungu Web Syiah] Kenapa Imam
Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
Tidak Benar Anggapan Imam Madzhab Lebih
Tahu Berbagai Hadits Dibanding Ulama Setelahnya
Makin Dekat Ke Jaman Nabi.. Betul hadits
itu terjaga, tapi para ulamanya berpencar karena berdakwah..
Sehingga hadits belum terkumpulkan,.
Sehingga Para Imam Madzhab pun tidak
mengetahui seluruh hadits tersebut, makanya mereka berijtihad,.
Kalau mereka paham dan mengetahui hadits
tentang suatu permasalahan, tentu mereka tidak berani berijtihad dalam masalah
yang sudah tegas dan jelas haditsnya,..
Di jaman Sahabat saja, tidak semua
sahabat mengetahui satu hadits yang Rasulullah sampaikan, apalagi setelah para
sahabat tersebut berpencar untuk berdakwah,. dan jaman dahulu sarana
transportasi dan komunikasi tidak secanggih sekarang,..
Berikut perkataan para imam
madzhab yang merupakan bukti bahwa mereka tidak mengetahui seluruh hadits
:
Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf
berkata,
لاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ بِقَوْلِنَا
حَتَّى يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ
“Tidak boleh bagi seorang pun mengambil
perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan tersebut
(artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[1]
Imam Malik berkata,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَأُصِيْبُ
فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا
بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang
bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al
Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al
Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[2]
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i
berkata,
إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Jika hadits itu shahih, itulah
pendapatku.”[3]
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي
الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ
قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka
lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas
jalan, maka itulah pendapatku.”[4]
Imam Ahmad berkata,
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barangsiapa yang menolak hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam
jurang kebinasaan.”[5]
Berikut ini bagaimana perjalanan ulama
dalam mengumpulkan hadits… sangat berat, tidak semudah sekarang, seluruh
hadits sudah dibukukan,.
Peta Perjalanan Imam
Bukhari Mencari Ilmu dan Hadits
Siapa tak kenal Imam al-Bukhari? Beliau
adalah tokoh Islam terkemuka, penulis kitab hadits paling shahih di muka bumi
ini.
Nama asli beliau adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi
al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari (Lahir 196 H/810 M – Wafat 256 H/870
M)
Lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia
Tengah. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari
Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih.
Dalam meneliti hadis beliau 16 tahun
mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan
menyeleksi hadis-hadis shahih. Dari mulai Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah,
Madinah), Kufah, Baghdad dan negara-negara Asia Barat lain.
Di Baghdad, imam Bukhari sering bertemu
dan berdiskusi dengan ulama besar terutama Imam Ahmad bin Hanbali.
Menurut riwayat, ia bertemu dengan 80.000
perawi. Tidak semua hadis yang ia hafal diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu
diseleksi dengan sangat ketat.
Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya
imam Bukhari hanya menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam Al Jami’al-Shahih yang
dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Sejarah Kodifikasi Hadits
Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah
adalah satu dari dua sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Fungsi hadits dalam
syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadis yang paling penting
adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak
terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah
seorang ulama berkata, “Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada
Sunnah kepada Al-Qur`an.”
Dahulu, para sahabat yang biasa
mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi
secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau
kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi.
Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh
manusia.
Sejak jaman kenabian, hadis adalah ilmu
yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin. Hadits mendapat tempat
tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang datang setelah
mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan sesuai dengan tingkat
keilmuan dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat termotivasi untuk
mempelajari dan menghafal hadis-hadis Nabi melalui proses periwayatan. Tidak
heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer
demi mencari satu hadits saja.
Di awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum
muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan
hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an.
Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah kaum
muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut
dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang
datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya
mengumpulkan hadis dengan menuliskannya.
Masa Sahabat
Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan
pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya
beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari
apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu,
bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada
seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih
banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis
sementara aku tidak.”
Namun, kebanyakan mereka hanya cukup
mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya
adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis
karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa
Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku
selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..”
(HR Muslim)
Masa Tabi’in dan setelahnya
Tradisi periwayatan hadis ini juga
kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga datang masa
kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau,
kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.
Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya,
kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul ‘aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin
Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan
lenyapnya para ulama.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil
faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum
muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar bin Abdul aziz merasa khawatir
–padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan meninggalnya
para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat melanggengkannya.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh
ashfahan kisah ini dengan redaksi, “Umar bin Abdul ‘aziz memerintahkan kepada
seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kumpulkanlah.”
Diantara yang pertama kali mengumpulkan
hadis atas perintah Umar bin Abdul ‘aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu
Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak
para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya dalam
kitab mereka.
Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan
kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”. Di
madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w 151 H) menyusun kitab “as-sunan” dan
“al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H) menyusun “al-Muwaththa”. Di Bashrah
Sa’id bin ‘Arubah (w 157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad bin
Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H)
menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”,
“al-Itiqad”
Al-‘Auza’I di Syam, Husyaim di Washith,
Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan.
Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka
masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’iin.
Begitulah juga penulisan hadis ini
menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan seterusnya. Hingga datang
zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab Musnad Ahmad dan
kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari, seorang
ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan
hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama “shahih
al-Bukhari”. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih
muslim”.
Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah
menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Dalam
bentuk majaami, sunan, masanid, ‘ilal, tarikh, ajzaa` dan lain-lain.
Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis. Tidak
ada riwayat yang diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam
kitab-kitab itu kecuali riwayat-riwayat yang tidak diperhitungkan.
Rujukan Utama:
Muqaddimah Mushahhih Kitab “Ma’rifah
‘Ulum al-Hadis”, al-Hakim an-Naisaburi.
Al-Manhaj al-Muqtarah lii fahmi
al-Musthalah, Syaikh DR. Syarif Hatim al-‘Auni
Fathul Bariy, al-Hafidz ibnu Hajar.
dll
—
Penulis: Ustadz
Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc (Alumni Universitas Al Azhar Mesir)
Artikel Muslim.Or.Id
sumber artikel :
[1] I’lamul Muwaqi’in, 2/211, Darul Jail
[2] I’lamul Muwaqi’in, 1/75
[3] Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah,
1/39, 41
[4] Majmu’ Al Fatawa, 20/211, Darul Wafa’
[5] Ibnul Jauzi dalam Manaqib, hal. 182.
Dinukil dari sifat Shalat Nabi hal. 53
(web ini ada gangguan teknis)
Imam Malik adalah gurunya imam syafii,
imam syafii melakukan perjalanan menemui imam malik, bahkan di usia yang sangat
muda, imam syafii adalah gurunya imam ahmad,
Jadi mereka adalah guru dan murid,. tapi
banyak hadits yang tidak diketahui oleh imam malik, tapi diketahui oleh imam
syafii, dan ada haits yang tidak diketahui imam syafii, tapi diketahui oleh
imam ahmad,.
Ada hadits yang menurut imam syafii itu
shahih, tapi menurut imam ahmad itu dhaif, contoh dalam kasus ini adalah
masalah qunut shubuh terus menerus, menurut imam syafii itu shahih, sedangkan
menurut muridnya yaitu imam ahmad, itu adlah dhaif, sehingga imam syafii
menetapkan qunut shubuh itu sunnah, sedangkan menurut imam ahmad itu bidah,..
tapi beliau tidak mencela imam syafii,.. dan yang betul memang hadits qunut
shubuh itu dhaif atau lemah sehingga tidak boleh diamalkan
Tidak betul, mereka dalam hal AKIDAH itu
SATU,. tidak ada perbedaan, dan ini yang tidak diterapkan oleh kaum muslimin
indonesia yang mengaku sebagai pengikut imam syafii, akidah imam syafii kok
tidak diambil, tapi hanya masalah fikih saja yang diambil,.
Padahal akidah imam yang empat itu sama,
karena mereka mengikuti manhaj salaf,.
Tapi mereka memilih akidah asy’ariyah
yang menyimpang, saya sudah
posting disini
Betul,.. ulama-ulama sekarang
mengumpulkan hadits-hadits dari ulama-ulama dulu,.
Kalau ulama dulu, belum tentu paham
hadits yang ada di ulama lain yang sejaman dengannnya,..
secara logika saja mudah dipahami,
Bukan terbalik memahaminya, karena ulama
dahulu lebih dekat ke jaman sahabat, berarti hadits yang dterima itu lebih
banyak… tergantung,..
Kalau logikanya seperti itu, tentu para
sahabat yang lebih banyak menguasai hadits-hadits,. tapi nyatanya,. hadits-hadits
itu diriwayatkan dari banyak sahabat, bukan satu sahabat saja, dan haditsnya
berbeda-beda,.
Hakikat Yang Terlupakan Dari Imam
Asy-Syafi'i Dan Kesamaan Aqidah Imam Empat
Sebagian ‘Aqidah Para Imam Ahli Hadits
Akidah Imam Yang Empat Itu Adalah SATU…
Yaitu Akidah Yang BENAR..Bukan Akidah Asy’ariyah, Maturidiyah
Aqidah Imam Empat
akidah imam syafiiOleh : Ustadz Muslim Al
Atsari
“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan
Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami
sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh
Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.
Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah
memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i.
Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya
shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.
Ini di antara contoh sekian banyak kasus
fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4].
Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza
wa Jalla berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang
bersaudara. [Ali ‘Imran : 103].
Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi
para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah
yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?
Benar, ternyata banyak di antara para
pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka.
Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di
antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau
Shufiyah atau lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.
IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat
Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1.Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H – 150 H).
2.Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari
Madinah (hidup th 93 H – 179 H)
3.Imam Syafi’i Muhammad bin Idris
rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau
bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th
150 H – 204 H).
4.Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari
Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H – 241 H).
Empat ulama ini sangat masyhur di
kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.
AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama
Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu,
jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari
nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan,
atau perkataan manusia.
Mereka mempunyai pandangan yang jernih,
bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi
kedudukannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku,
atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan
RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang
telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an
wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti,
seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah
berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah)
yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari
mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka,
dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari
daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas
jalan yang satu, bentuk yang satu.
Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah)
satu. Penukilan mereka satu.
Engkau tidak melihat perselisihan dan
perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya
engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka
nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya
seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]
Termasuk Imam Empat, mereka berada di
atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis
aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.
Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini
antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah
Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas
Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya
Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin
Sa’ud.
IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah berkata: “Aku
berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab
Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah . Jika aku tidak mendapatkannya
di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada
perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan
orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki
di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan)
mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam
Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al
Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321
H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang
kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan
perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di
atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi,
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy
Syaibani g , dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan
cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath
Thahawiyah]
As Subki rahimahullah memberikan komentar
terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini
–segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang
mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim
[7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq.
Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh
oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil
Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].
Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath
Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu
dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi
penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi.
Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam
syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di
dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para
ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.
IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas dikenal sebagai
ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang
masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan)
ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi)
Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam
itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan
agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]
Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani
rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah
risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama
lainnya.
IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’I t berkata: “Selama ada Al Kitab
dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah
mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita
kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi , atau salah satu
dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35.
Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].
Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i
rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah
(yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman
kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi
Muhammad , Pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam
Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang
ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya
dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan
kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada
Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa
yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [10].
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat
Rasulullah n berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]
Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin
Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah,
menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang
bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah:
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang
datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha
Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka.
Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau
mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama
dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena
Rasulullah telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya,
telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah.
Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham
(yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para
sahabat Rasulullah n di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah
kafir”. [11]
KESALAHAN YANG WAJIB
DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus
dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:
1.Anggapan bahwa beragamnya madzhab
(pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para
imam.
Anggapan ini batil, sebagaimana telah
kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya,
anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah,
(tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal .
Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para
pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi . Ini adalah aqidah Muhammad
“. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.
2.Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah
dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti
perbedaan di antara madzhab empat.
Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir
muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara
Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah,
madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna
‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu
Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana
kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu
Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat
bahwa mereka adalah ahli bid’ah.
Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam
Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah,
bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan
mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka
dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq.
Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang
mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang
menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang
mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm.
171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah
(2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm.
73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah
dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy
Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam
Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al
Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5,
karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.
Apakah disana ada perbedaan antara akidah
dengan manhaj? simak penjelasan Syaikh Shalih Al Fauzan berikut ini
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Soal:
Apakah disana ada perbedaan antara akidah
dengan manhaj?
Jawab:
Manhaj lebih luas daripada akidah. Manhaj
itu mencakup dalam hal akidah, perilaku/suluk, akhlak, mu’amalah, bahkan ia
meliputi segala sisi kehidupan seorang muslim. Setiap garis ketentuan yang
harus dipatuhi oleh seorang muslim maka itu disebut dengan manhaj.
Adapun akidah, maka yang dimaksud
dengannya adalah pokok keimanan, makna kedua kalimat syahadat serta konsekuensi
dari keduanya. Inilah yang dimaksud dengan akidah.
Sumber : al-Ajwibah al-Mufidah ‘ala
As’ilah al-Manahij al-Jadidah, hal. 123
—
Penerjemah: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id – 25 June 2014
الفرق بين العقيدة والمنهج
س / سئل الشيخ العلامة صالح الفوزان حفظه الله هل
هناك فرق بين العقيدة والمنهج ؟؟
**********
ج / المنهج أعم من العقيدة ، المنهج يكون في
العقيدة وفي السلوك والأخلاق والمعاملات وفي كل حياة المسلم ، كل الخطة التي يسير
عليها المسلم تسمى المنهج .
أما العقيدة فيراد بها أصل الأيمان ، ومعنى
الشهادتين ومقتضاهما هذا هي العقيدة . اهـ
[ الأجوبة
المفيدة عن أسئلة المناهج الجديدة لشيخ الفوزان 75]
sahab.net
Antara ahlus-sunnah wal-jama’ah dengan
manhaj salaf
Pertanyaan.
Ana mau bertanya tentang manhaj
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan kaitannya dengan manhaj Salaf
(Salafi/Salafush-Shâlih). Apakah keduanya hakikatnya manhaj yang sama?
Jazakallah khair.
Jawaban.
Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sama
dengan manhaj Salaf atau Salafi atau Salafush-Shâlih. Disebut dengan manhaj
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, karena jalan kebenaran itu adalah jalan orang-orang
yang berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada engkau untuk
bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin),
walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barang siapa hidup
setelahku, ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka engkau wajib berpegang
kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus.
Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam
agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah
adalah sesat.[1]
Adapun jalan yang ditempuh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat itulah yang disebut dengan
al-jama’ah, sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ
وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى
وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ
فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ
Dari ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang-orang Yahudi
telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok, satu di dalam surga, 70 di dalam
neraka. Orang-orang Nashara telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok, 71 di
dalam neraka, satu di dalam surga. Demi (Allah), Yang jiwa Muhammad di
tangan-Nya, umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di
dalam surga, 72 di dalam neraka”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:
“Wahai Rasulullah! Siapakah mereka itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Al-Jama’ah”.[2]
Pada hadits lain disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي
مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ
مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ
ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي
النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu
, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Benar-benar
akan datang kepada umatku, apa yang telah datang pada Bani Israil, persis
seperti sepasang sandal. Sehingga jika di antara mereka ada yang menzinahi
ibunya terang-terangan, di kalangan umatku benar-benar ada yang akan
melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Isra’il telah bercerai-berai menjadi 72
agama, dan umatku akan bercerai-berai menjadi 73 agama, semuanya di dalam
neraka kecuali satu”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu itu, wahai
Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apa yang aku dan
para sahabatku berada di atasnya”. [3]
Para sahabat serta generasi yang
mengikutinya adalah Salafush-Shalih, disingkat dengan Salaf. Artinya, ialah
orang-orang yang terdahulu yang shalih. Sedangkan orang yang mengikutinya
disebut Salafi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Salaf tersebut
dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku
(yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu
generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi
tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, riwayat Bukhâri, dan lainnya)
Namun yang perlu kita ketahui juga, bahwa
tidak setiap orang yang menyatakan dirinya Salafi, kemudian dia benar-benar
berada di atas manhaj Salaf. Karena kebenaran itu tidak hanya dengan perkataan
dan pengakuan saja, tetapi juga memerlukan dukungan yang dibuktikan dengan amal
perbuatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]
________
Footnote
[1] HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi
(2676), ad-Dârimi, Ahmad, dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah.
[2] HR Ibnu Majah (no: 3992), Ibnu Abi
‘Ashim (no. 63), al-Lalikai (1/101). Hadits ini derajatnya hasan. Dishahihkan
oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibni Majah, no. 3226.
[3] Hadits Shahîh lighairihi, riwayat
at-Tirmidzi, al-Hakim, dan lainnya. Dishahîhkan oleh Imam Ibnul-Qayyim dan
asy-Syathibi. Dihasankan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dan Syaikh al-Albâni. Syaikh
Salim al-Hilali menulis kitab khusus untuk membela hadits ini, yaitu Daf’ul
Irtiyab ‘an Haditsi mâ Ana ‘alaihi wal- Ash-hab.