by alfanarku
Kaum Syi’ah
meributkan tentang apa yang disebut oleh mereka dengan “Insiden Kertas dan
Tinta” atau apa yang mereka menyebutnya sebagai “Kamis Kelabu”. Syi’ah begitu
berlebihan dengan hadits ini, dan menggunakannya sebagai bukti untuk
menyerang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Namun, kebenaran pada kejadian
tersebut menunjukkan bahwa klaim mereka tidak ada artinya dan hanya sekedar
sensasi yang berlebihan, kita akan menguji kejadian tersebut dengan cara yang
obyektif dan masuk akal, dan setelahnya kita akan tanggapi tuduhan-tuduhan Syi’ah.
Sebuah Tinjauan
atas Insiden Kertas dan Tinta
Sakit yang dialami
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau berangkat dari dunia ini
terjadi selama dua minggu, selama masa-masa itu, kondisi beliau perlahan-lahan
memburuk dan menjadikan beliau hanya bisa terbaring di tempat tidur. Beliau
mengalami demam yang tinggi, sakit kepala, dan bahkan pingsan, kadang sadar
kadang tidak sadar kembali. Kejadian yang disebut sebagai “insiden kertas dan
tinta” terjadi empat hari sebelum beliau meninggal, yaitu pada hari Kamis.
Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta untuk menuliskan (mendiktekan)
beberapa nasehat agama bagi kaum muslimin. Tetapi, tiba-tiba setelah meminta
kertas dan tinta, Nabi pingsan dan tidak sadarkan diri. Ketika Nabi terbaring
tidak sadar, seseorang bangkit mengambil kertas dan tinta, tetapi Umar bin
Khattab memanggil kembali orang tersebut. Umar merasa bahwa mereka seharusnya
tidak mengganggu Nabi dengan meminta beliau untuk menuliskan nasehat, tetapi
mereka seharusnya membiarkan beliau untuk mendapatkan kesadaran beliau kembali,
beristirahat, dan menjadi pulih kembali. Oleh karena itu, Umar berkata kepada
kaum Muslimin yang lain : “Nabi sedang sakit parah dan kalian mempunyai
Al-Qur’an, Kitabullah sudah cukup buat kita”.
Umar bin Khattab
berpikir – dan ini adalah benar – bahwa permintaan akan kertas dan tinta
tidak berlaku lagi sekarang karena Nabi sedang pingsan. Umar merasa mereka
seharusnya membiarkan Nabi beristirahat. Tetapi walau begitu, beberapa sahabat
merasa mereka seharusnya mendapatkan kertas dan alat tulis bagaimanapun juga
dan bahwa mereka seharusnya memohon Nabi untuk menulis untuk mereka,
orang-orang ini berkata : “bawakan untuk beliau (alat untuk menulis) maka
Rasulullah akan menulis sesuatu untuk kalian dan kalian tidak akan sesat
setelahnya”.
Beberapa sahabat
merasa bahwa mereka seharusnya membiarkan Nabi beristirahat dan menanyakan
kepada beliau mengenai nasehat ruhani nanti, yang lain merasa mereka seharusnya
segera mendapatkan tulisan Nabi sesudah beliau kembali sadar. Hal ini membawa
pertengkaran diantara sahabat, mereka mulai berbantah-bantahan dengan suara
keras. Saat itu Nabi bangun dari pingsannya, ditengah-tengah kegaduhan dan
suara yang keras . Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakit kepala,
sehingga kegaduhan membuat beliau sangat kesal. Sehubungan dengan pertengkaran
dengan suara yang keras inilah sehingga beliau memerintahkan mereka yang ada di
ruangan untuk pergi dan meninggalkan beliau sendiri.
Penjelasan
Sederhana
Hal yang sangat menakjubkan
berapa banyak drama yang Syi’ah bisa ciptakan, dan betapa mudahnya mereka
menyesatkan orang. Penjelasan untuk kejadian tersebut begitu sederhana dan
langsung ke sasaran bahwa hal yang sangat aneh bahwa Syi’ah tidak memahami hal
ini! Coba kita minta mereka untuk menghubungkan kejadian ini pada kehidupan
mereka sendiri.
Mari kita
pertimbangkan scenario berikut ini : seorang guru sedang memberikan pelajaran
kepada muridnya, dan dia meminta kepada muridnya untuk membawakan sebuah kapur
tulis untuk menulis di papan tulis. Tetapi kemudian tiba-tiba sang guru
terjatuh dan pingsan. Sekarang, ceritakan kepada kami, apakah murid tersebut
tetap meneruskan untuk pergi keluar ruangan untuk mencari kapur tulis? Adakah
orang waras yang akan melakukan hal itu? melainkan, murid tersebut akan
bergerak dengan cepat berada di sisi guru tersebut, berusaha menyadarkan
kembali gurunya, mengambilkannya bantal, mengangkat kakinya dan lain-lain.
Kemudian, ketika sang guru siuman, akankah sang murid langsung menyodorkan kapur
tulis ke tangan sang Guru? Dan berkata “ajari kami lagi!” sungguh tidak!
Tetapi, perawat sekolah akan segera dipanggil masuk ke ruangan, sang Guru
segera dipindahkan ke unit medis, dan sang Guru akan mendapatkan cuti untuk
beristirahat. Bahkan jika seandainya sang Guru bersikeras bahwa ia merasa lebih
baik dan dia sanggup meneruskan pelajaran, yang lain akan membujuk sang Guru
bahwa dia seharusnya mengambil cuti dan beristirahat.
Sekarang misalnya,
salah seorang murid di ruang kelas ini khawatir mengenai ujian hari berikutnya,
sehingga dia mencoba menyodorkan kapur tulis ke tangan sang Guru sesaat setelah
sang Guru siuman, apa yang akan dikatakan murid yang lain kepada murid macam
ini, mereka akan marah terhadap murid tersebut dan meminta dia untuk berhenti
khawatir soal dirinya sendiri tetapi khawatir kepada keadaan sang Guru?
Murid-murid yang lain akan berkata kepada murid tersebut untuk tidak khawatir
mengenai pelajaran dan bahwa “ buku diktat sudah cukup bagi kita untuk
dipelajari dalam menghadapi ujian”
Dapatkah seseorang
membayangkan seorang guru jatuh pingsan, kemudian sadar dari pingsannya dan
dengan segera menulis di papan tulis dengan sebuah kapur tulis? Para
thalabul ilmi tidak akan berani mendekati syaikh-syaikh mereka ketika para
syaikh tersebut sedang keletihan atau sedang mengantuk, sebagaimana itu
merupakan hal yang tidak sopan mengganggu mereka di saat seperti itu. Bahkan
jika seandainya syaikh bersikeras untuk mengajar, para pelajar akan berkata
dengan sopan “Anda seharusnya istirahat Syaikh, dan kita dapat melanjutkan
pelajaran besok.” Ini adalah tata karma: sekarang bayangkan situasi
ketika seorang syaikh sedang berbaring di tempat tidurdalam keadaan tidak
sadar; akankah ada pelajar yang meminta pelajaran agama darisyaikh tersebut
dalam situasi seperti itu?.
Sesudah Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta, beliau pingsan
dengan tiba-tiba dan itulah sebabnya Umar ra meminta kepada orang-orang untuk
tidak jadi mengambil kertas dan tinta karena Nabi sedang dalam keadaan sakit
berat. Itu adalah merupakan pendapat Umar ra (dan tentunya kami sependapat
dengan beliau), adalah merupakan sebuah kejahatan mengganggu Nabi dalam keadaan
seperti itu. Orang-orang mendesak Nabi untuk memberikan nasehat padahal beliau
sedang dalam keadaan setengah sadar, para dokter masa kini akan mengatakan
bahwa jika seorang pasien sedang dalam keadaan tidak setabil, sadar
kemudian tidak sadar lagi, maka pasien seperti itu seharusnya distabilkan
terlebih dahulu dan tidak membuat dia dalam situasi dituntut untuk berbicara,
menyusahkan dirinya, atau hal-hal yang membuat dia tegang; seharusnya pasien
dibiarkan untuk istirahat.
Sakit terakhir
“Ayatullah” Khomeini terjadi sebelas hari selama dia ada rumah sakit. Para
pengikut syi’ah nya berada di luar ruangannya dan tidak mengganggunya dengan
urusan negara. Tak seorangpun diperbolehkan untuk mengganggunya, walaupun
situasi politik saat itu sangat membutuhkan input dari pemimpin Negara.
Bagaimana bisa Syi’ah memperlakukan ayatollah Khomeini mereka lebih sopan
daripada perlakuan kepada Nabi Allah? Sungguh para Nabi lebih utama dari jenis
ayatollah apapun, dan jika ayatollah tidak seharusnya diganggu selama dalam
keadaan sakitnya yang terakhir, maka pasti kita lebih hati-hati dengan Nabi
Allah.
Untuk memberikan
contoh yang simple dalam keseharian, jika seorang laki-laki meminta anaknya
mengambilkan remote TV, tetapi kemudian tiba-tiba dia mendapatkan serangan
jantung sesudah mengatakan hal itu, maka sang anak akan berfikir bahwa serangan
jantung lah yang harus diambil tindakan terlebih dahulu dan membatalkan
permintaan remote TV. Sebagai ganti memberikan remote, sang anak akan segera
berada di sisi ayahnya. Secara akal sehat, permintaan Nabi akan kertas dan
tinta tidak relevan lagi, sebagai mana faktanya ketidaksadaran beliau harus
diambil tindakan terlebih dahulu daripada permintaan beliau tersebut. Jika Nabi
dalam keadaan sehat, dan meminta diambilkan kertas dan tinta, tetapi
orang-orang menolaknya, maka situasi akan berbeda. Tetapi di sini, Nabi tidak
sadarkan diri setelah permintaan tersebut dan itu merubah situasi seluruhnya.
Hal ini adalah
seperti perkara yang mudah bahwa hal ini kadang mengejutkan akal kita betapa
Syi’ah dapat membuat hal seperti ini menjadi begitu menghebohkan sehingga
menyebutnya dengan “Insiden” kertas dan tinta. Seseorang dalam posisi Umar bin
Khattab, dia akan melakukan hal yang sama, sebagaimana dilakukan Umar, terbukti
banyaknya kejadian yang bisa kita jadikan contoh di atas.
Umar
Prihatin terhadap Kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Selama masa akhir
sakit beliau, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menderita berbagai rasa sakit
yang sangat, demam yang hebat, sakit kepala yang parah dan tidak sadarkan diri.
Meskipun dalam kondisi kesehatan yang seperti itu, Nabiyullah shalallahu
‘alaihi wa sallam seorang yang mengutamakan orang lain dan tidak memperdulikan
keadaan diri beliau sendiri, tetapi perhatian beliau masih fokus dalam
membimbing kaum muslimin.
Dari sudut pandang
medis, Nabi direkomendasikan harus istirahat tidur yang ketat dan bebas
dari lingkungan yang tegang. Jangankan mengikuti hal ini, Nabi justru tetap
teguh membantu kaum muslimin, bahkan pada saat kondisi beliau sedang sangat
memburuk. Kita baca:
Meskipun
beliau sedang sakit, tidak mencegah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
dari menjalankan perintah Allah dan membela agama-Nya.
(Tarikh
at-Tabari, Jilid 9 hal 7)
Dalam kitab yang
sama, at-Tabari menulis bagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
meng-organisir ekspedisi militer dari tempat tidur beliau. Ada saat-saat di
beberapa hari terakhir Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam hampir tidak dapat
berbicara, tetapi beliau tetap menginstruksikan kepada para komandannya,
memerintahkan mereka untuk melakukan kampanye militer melawan Nabi Palsu
(Tulaihah dan Musailamah dan lain-lain) dan kaum murtad di Yamamah, Yaman dan
lain-lain. Bukan hanya melakukan instruksi militer saja, tetapi beliau juga
memberi kan nasehat-nasehat keagamaan. Kaum muslimin datang di sisi tempat
tidur Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, meminta beliau untuk memberikan
nasehat-nasehat, dimana Nabi akan memberikannya meskipun beliau dalam keadaan
sakit parah.
Umar bin Khattab
radhiyallahu ‘anhu adalah mertua Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dengan hal
yang demikian, dia begitu sangat khawatir mengenai kesehatan dan kondisi Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, lebih daripada rasa khawatir Nabi terhadap diri
beliau sendiri. Pada hari-hari terakhir, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
mengalami kesulitan untuk bicara, karena rasa sakit yang timbul untuk melakukan
hal itu. Mari kita baca :
Ketika
sakit rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertambah parah, dia (sahabat)
dan orang-orang datang ke Madinah dan dia menuju ke rumah Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam yang sedang tidak dapat berkata-kata. Beliau mulai mengangkat
tangan beliau ke arah langit dan menurunkan ke atasnya (sahabat tersebut),
dimana dia mengetahui bahwa Nabi sedang memberkatinya.
(Ibnu
Ishak, Sirah Rasulullah, hal 680).
Hal yang serupa
diriwayatkan di Tarikh at-Tabari (jilid 9, hal 178-179), dimana Nabi shalallahu
‘laihi wa sallam tidak dapat berbicara sehubungan dengan sakit yang tak
tertahankan. Ini adalah konteks yang hilang dari cerita Syi’ah. Hal ini
seharusnya dicatat bahwa kejadian ini terjadi pada hari Kamis ketika kondisi Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat memburuk sedemikian rupa sehingga
orang-orang mengatakan tanda-tanda kematian terlihat nyata di wajah beliau yang
mulia. Ketika sekelompok sahabat sedang berkumpul di sekitar Nabi meminta
beliau untuk memberikan nasehat mengenai masalah-masalah yang ada, Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta dibawakan kertas dan tinta sehingga beliau
bisa mendiktekan sedikit nasehat untuk mereka.
Pembaca yang
tanggap seharusnya mempertimbangkan bahwa pada hari Kamis Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam mengalami sakit yang lebih parah daripada sebelumnya, dan
mungkin hal ini sebabnya sehingga beliau meminta untuk dibawakan kertas dan
tinta karena beliau sedang mengalami kesulitan bicara dengan keras dan beliau
menghendaki untuk mendikte dengan pelan apa yang mesti ditulis oleh orang yang
paling dekat dengan beliau sehingga mereka dapat menyampaikannya kepada
yang lain. Kita melihat bahwa saat itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang
mengalami sakit yang tak tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan
rasa sakit dan tidak nyaman; itulah alasan mengapa Umar bin Khattab ra berharap
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara seperti itu agar beliau tidak
perlu merasakan sakit. Ini adalah tanda cinta dan sayang, bukan pembangkangan
atau perlawanan. Mari kita baca Shahih Muslim 3/1257 No. 1637:
22 – ( 1637 ) وحدثني محمد بن رافع وعبد بن حميد ( قال عبد أخبرنا
وقال ابن رافع حدثنا عبدالرزاق ) أخبرنا معمر عن الزهري عن عبيدالله بن عبدالله بن
عتبة عن ابن عباس قال
Y لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب فقال
النبي صلى الله عليه و سلم ( هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده ) فقال عمر إن رسول
الله صلى الله عليه و سلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف
أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم
كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند
رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا )
قال عبيدالله فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى
الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
[ ش ( لما حضر ) أي حضره الموت ]
(3/1257)
Ibnu
Abbas menceritakan : Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah
hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang dan salah satunya
adalah Umar bin Khattab ra. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“kemari, aku akan menuliskan (mendiktekan) untuk kalian wasiat, agar kalian
tidak sesat setelahnya”. Kemudian Umar berkata : “sesungguhnya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada
Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita” kemudian orang-orang yang ada dalam
rumah tersebut saling berselisih pendapat. Sebagian berkata, sediakan apa
yang diinta oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan
bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian
lainnya mengatakan sama sebagaimana ucapan Umar. Dan ketika keributan dan
pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau memerintahkan: “Keluarlah kalian dari sini!” Ubaidullah berkata : Ibnu
Abbas selalu berkata : “Itu adalah musibah yang besar, sungguh sebuah musibah
yang besar, disebabkan pertengkaran dan kegaduhan, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam tidak menuliskan (mendiktekan) wasiat untuk mereka”.
Umar bin Khattab
menginginkan orang-orang meninggalkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
karena beliau sedang sakit parah dan berkata-kata akan menimbulkan rasa sakit
pada beliau.
Umar
tidak berdebat dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Ketika Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta Ali ra untuk menghapus sesuatu selama
perjanjian Hudaibiyah, Ali ra menolak melakukannya dan berdebat dengan Nabi
mengenai hal itu. Di lain pihak, Umar tidak berdebat dengan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam : saat Umar mengatakan apa yang dia katakan, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan pingsan atau tidak sadarkan diri. Umar
berkata kepada sahabat yang lain ketika ia berkata : “sesungguhnya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada
Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita”.
Umar merasa – dan
kami setuju dengannya – bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
tidak dapat dilakukan lagi sehubungan dengan kenyataan Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam sedang tak sadarkan diri. Ini bukan masalah ketidaktaatan tetapi
merupakan ijtihad sederhana Umar bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam tidak lagi dapat dilakukan dalam situasi seperti itu (Nabi sedang tidak
sadarkan diri). Lebih jauh, posisi Umar adalah berdasarkan cintanya yang dalam
kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dia tidak suka melihat
beliau dalam keadaan kesakitan dan menderita.
Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak sadarkan diri berdasarkan sumber Syi’ah
Poin yang sebagian
besar da’i Syi’ah tidak pernah menghendaki untuk menyebutkan adalah
kenyataannya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tak sadarkan diri secara
tiba-tiba setelah meminta kertas dan tinta. Mungkin beberapa dari mereka
mencoba untuk menolak hal ini, tetapi kami menemukan bahwa hal ini tertulis
pada kitab-kitab mereka sendiri. Syaikh Mufid, ulama klasik Syi’ah dari abad 10
menulis :
Beliau (Nabi) tak sadarkan diri karena kelelahan yang menimpa
beliau dan kesedihan yang dirasakan oleh beliau.
Beliau tidak sadar dalam waktu yang singkat sementara kaum
muslimin menangis dan istri-istri beliau serta para wanita, anak-anak kaum
muslimin dan semua yang hadir berteriak meratap. Rasulullah kembali sadar dan
melihat mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari
kulit) sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak
akan tersesat”.
Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang
hadir bangkit mencari tinta dan kertas.
“Kembalilah”, Umar memerintahnya (orang tersebut)…
(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 130)
Dari cerita ini
sangat jelas betapa parah kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saat itu.
Nabi mengalami pingsan dan beliau sadar kemudian tidak sadar kembali. Sesaat
setelah beliau meminta tinta dan kertas, beliau pingsan. Ini adalah poin kunci
yang da’i Syi’ah tidak menyebutkannya! Hanya sesaat setelah Nabi pingsan Umar
bin Khattab berkata kepada orang-orang (bukan kepada Nabi) bahwa membawakan
tinta dan kertas tidak lagi relevan dengan keadaan Nabi yang sedang pingsan.
Propagandis Syi’ah menggambarkan kejadian tersebut seolah-olah Nabi mengatakan
sesuatu dan kemudian Umar menolak Nabi dihadapan beliau. Jauh dari seperti itu!
Nabi meminta kertas dan tinta, tetapi kemudian beliau pingsan; sesaat setelah
Nabi pingsan, Umar merasa permintaan Nabi tersebut tidak lagi perlu dilakukan
dalam situasi yang berubah seperti itu.
Dari cerita syaikh
Mufid tentang kejadian tinta dan kertas tersebut, satu hal yang sangat jelas:
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pingsan dengan tiba-tiba setelah beliau
meminta dibawakan kertas dan tinta. Ketika Nabi mendapatkan kesadarannya
kembali, beliau terbangun dalam keadaan ruangan penuh dengan suara-suara orang yang
sedang bertengkar. Saat Umar memerintahkan kepada orang tersebut untuk tidak
jadi mengambil tinta dan kertas, hal ini terjadi saat Nabi sedang dalam keadaan
tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, Umar tidak sedang berbicara kepada Nabi
atau hal yang seperti itu. Nabi sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri saat
itu dan orang-orang sama sekali tidak menolak perintah Nabi dihadapan beliau.
Nabi terbangun dengan kegaduhan dan kekacauan dari perselisihan pendapat
diantara mereka, dan inilah yang membuat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi marah. Saat Nabi meminta tinta dan kertas, beliau dalam keadaan sadar,
tetapi situasi –menurut Umar bin Khattab – telah berubah saat Nabi pingsan dan
tidak sadarkan diri.
Fitnah
Syi’ah terhadap Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
Kaum Syi’ah
mengklaim bahwa Umar mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
berbicara meracau atau yang mereka klaim bahwa dia bertanya apakah Nabi
mengigau. Namun, ini adalah dusta terang-terangan yang nyata! Dalam
hadits-hadits sama sekali tidak ada disebutkan Umar mengucapkan kata-kata
seperti itu. Kejadian tersebut diriwayatkan dalam berbagai hadits, termasuk
dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Namun, tak ada satu kata pun, baik
dalam shahihain maupun kumpulan hadits-hadits untuk kejadian itu adalah
kata-kata itu dinisbahkan kepada Umar bin Khattab. Hanya Syi’ah yang membuat
klaim bahwa Umar yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi kita menuntut mereka
untuk menunjukkan kepada kita bukti , dan mereka tidak akan pernah bisa melakukannya,
yaitu karena Umar tidak pernah mengucapkan hal seperti itu dan tidak juga
pernah sesuatu yang seperti itu dinisbahkan kepada dirinya (selain dari
kitab-kitab Syi’ah). Satu-satunya penjelasan atas penolakan Umar terhadap
permintaan Nabi adalah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam
keadaan sakit yang sangat parah dan Umar berharap untuk meringankan rasa sakit
dan beban Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Apakah
yang dimaksud dengan “Mengigau” ?
Ini adalah kalimat
“dia sedang mengigau” yang Syi’ah gunakan untuk menyerang Ahlus Sunnah. Sebelum
kita memutuskan siapa yang mengucapkan kata-kata ini, mari kita jelaskan apa
maksud dari kata-kata “apakah dia mengigau?” beberapa orang Syi’ah terkesan
terlalu emosional dengan kata “mengigau”; dalam kenyataannya, arti kata
“igauan” (English :delirium) hanyalah berarti “gangguan kesadaran”
(English : disturbance of consciousness). Di Amerika, psikiater
mendasarkan pada skema klasifikasi DSM-IV-TR; kami menemukan, – menurut
kriteria DSM-IV-TR – “gangguan kesadaran” adalah ciri khas inti dari
igauan. Igauan dapat –dan seringkali – bersamaan dengan gejala yang lain
seperti halusinasi; namun, ini tidak selalu terjadi bahkan sering tidak
terjadi. Gejala-gejala lain seperti halusinasi hanyalah ikutan, tetapi bukan
cirri khas inti dari igauan.
Pada kenyataannya,
igauan tidak dimasukkan dalam ilmu penyakit kejiwaan, tetapi lebih
diklasifikasikan sebagai kondisi fisiologis atau organic. Salah satu penyebab
yang paling umum gangguan kesadaran adalah demam yang tinggi. Pasien yang
menderita demam yang tinggi akan seringkali kabur kesadarannya, dan inilah yang
dikenal dengan istilah igauan (delirium), terlepas dari gejala lain yang
mungkin mengikut atau mungkin tidak. Dengan kata lain, orang yang sedang dalam keadaan
mengigau tidak dianggap sebagai orang gila atau penyakit kejiwaan, melainkan
seorang pasien yang sedang menderita kondisi medis biologis yang parah –bukan
berasal dari kejiwaan- .
Jika kita melihat
definisi dari kata yang digunakan dalam hadits, kita menemukan :
hajara;
yahjuru; hajran; hijranan; ahjara :To desert, forsake, leave, renounce,
abandon ( meninggalkan, meninggalkan, pergi, meninggalkan, meninggalkan)
tahajara;
ihtajara :- To depart from one another, separate, or forsake one
another; become alienated (berangkat meninggalkan sesamanya, terpisah, atau
mengabaikan satu sama lain; menjadi terasing)
(Sumber
: Wortabet’s Arabic – English Dictionary )
dalam konteks
hadits, kata tersebut digunakan dalam memaknai seseorang yang pergi atau
berangkat dari keadaan pikirannya yang asli; lebih spesifik, istilah ini
dikenakan kepada orang yang memisahkan diri dari manusia dan dunia, seperti
dalam keadaan kehilangan kesadaran. Dengan kata lain, orang yang bertanya
“apakah Nabi mengigau” tidak berarti bahwa Nabi berbicara tanpa akal sehat atau
beliau telah gila. Tetapi, lelaki tersebut hanya bertanya apakah Nabi dalam
keadaan sadar atau tidak, dan kita tahu dari cerita syaikh Mufid mengenai
kejadian tersebut bahwa Nabi dalam keadaan tidak sadar.
Kata “apakah
beliau mengigau” tampak dalam shahih Bukhari, berikut ini :
Sakit
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih buruk (pada hari Kamis)
dan beliau berkata, “Ambilkan aku sesuatu sehingga aku dapat menuliskan sesuatu
untuk kalian dan setelah itu kalian tidak akan tersesat selamanya.” Orang-orang
(yang hadir di sana) saling berbantah-bantahan dalam kejadian ini, dan adalah
sesuatu yang tidak pantas mereka saling berbantahan di depan seorang Nabi.
Sebagian mereka berkata, “ada apa dengan beliau? (apa kalian mengira) beliau
mengigau (sakit yang serius)? Tanyalah kepada beliau (untuk memahami keadaan
beliau).”
(Shahih
Bukhari, 6/9, No. 4431)
Pada riwayat di
atas, seseorang bertanya “apakah beliau mengigau?” dengan ini, dia ingin
mengatakan “apakah beliau sedang mengalami perubahan kesadaran?” dalam shahih
Muslim, kita baca:
Sakit
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semakin serius (pada hari Kamis), dan
beliau bersabda : “kemarilah, sehingga aku dapat menuliskan untuk kalian
sesuatu tulisan yang kalian tidak akan sesat sesudahku.” Mereka (sahabat yang
mengelilingi beliau) berdebat, dan itu adalah hal yang tidak pantas berdebat di
hadapan Nabi. Mereka berkata : “bagaimana (keadaan Rasulullah)? Apakah
beliau telah kehilangan kesadaran? Coba pelajari dari beliau (hal ini).”
(Shahih
Muslim, 3/1257
No. 1637-20 atau baca terjemahan Shahih Muslim dalam Bahasa Inggris buku 013,
No. 4014 olehAbdul Hamid Siddiqui)
Dan sekali lagi:
… dia
(periwayat) berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“bawakan aku tulang belikat dan tinta, sehingga aku dapat menuliskan untuk
kalian sebuah tulisan kalian tidak akan sesat.” Mereka berkata : “Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri”
(Shahih
Muslim, , 3/1257
No. 1637-21 atau baca terjemahan Shahih Muslim dalam Bahasa Inggris buku 013,
No. 4015 olehAbdul Hamid Siddiqui)
Orang yang
menanyakan pertanyaan ini hanya bertanya-tanya apakah Nabi dalam keadaan sadar
atau tidak. Dia tidak bermaksud mengungkapkan hal yang tidak hormat. Dan oleh
karenanya orang itu berkata “Tanyalah kepada beliau (untuk memahami keadaan
kesadaran beliau) dan coba pelajari dari beliau (hal ini)”. Ini adalah sebuah
bukti jelas bahwa orang tersebut tidak bermaksud bahwa Nabi berbicara meracau,
karena jika itu terjadi, maka tidak ada gunanya dia minta untuk bertanya kepada
Nabi seperti itu. Praktisi medis dan psikiater mengatakan bahwa mereka yang
menderita psychosis (yaitu yang keluar dari kenyataan, halusinasi dan
lain-lain) tidak memiliki “pemahaman” dalam sakit mereka: mereka sendiri tidak
mau mengakui bahwa mereka “gila”. Ini hal yang masuk akal : seseorang tidak
akan bertanya kepada seseorang yang sedang bicara meracau jika memang dia
menganggap orang itu benar-benar sedang bicara meracau.
Orang tersebut
berkata “Tanya kepada beliau” dan “coba belajar dari beliau” dimana artinya
bahwa dia berharap kepada mereka untuk melihat apakah Nabi sedang dalam keadaan
sadar. Dalam dunia medis, dokter secara rutin menggunakan “Glasgow Coma
Scale” (GCS Exam) untuk mengetes tingkat kesadaran pasien. Tes GCS
dilakukan dengan menanyai pasien dengan berbagai pertanyaan untuk melihat
respon si pasien, dan respon dari pasien menunjukkan tingkat kesadaran pasien
tersebut. Dalam bahasa Inggris yang artinya untuk mengecek apakah seseorang
dalam keadaan sadar atau tidak, hal terbaik yang dilakukan adalah bertanya
kepadanya apakah dia baik-baik saja. Pada kenyataannya, ini adalah langkah
pertama dari CPR: untuk mengecek apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak,
hal pertama yang dilakukan adalah dia akan bertanya “are you OK?” (kamu
baik-baik saja?) jika dia menjawab baik-baik saja, maka tidak ada masalah,
tetapi jika tidak, tindakan CPR segera dilakukan.
Untuk menyimpulkan
kejadian tersebut, Syi’ah tidak seharusnya terlalu emosi dengan istilah
“mengigau”, karena semua yang dimaksud dengan itu adalah “kesadaran” atau
“tidak sadarkan diri”. Dan syaikh Mufid sendiri yang mengatakan bahwa Nabi
sedang tidak sadarkan diri saat itu. Dia menulis dalam kitabnya (kami tekankan
kembali) :
Beliau (Nabi) tak sadarkan diri (pingsan) karena
kelelahan yang menimpa beliau dan kesedihan yang dirasakan oleh beliau. Beliau
tidak sadar dalam waktu yang singkat sementara kaum muslimin menangis
dan istri-istri beliau serta para wanita, anak-anak kaum muslimin dan semua
yang hadir berteriak meratap.Rasulullah kembali sadar dan melihat
mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit)
sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan
tersesat”.
Kembali beliau tidak sadarkan diri dan
satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas.
“Kembalilah”, Umar memerintahnya (orang tersebut). “beliau
mengigau.”
Orang tersebut kembali. Orang-orang yang hadir menyesalkan
kelalaian (yang telah mereka tunjukkan)dalam mengambil tinta dan kertas dan
bertengkar satu sama lain. Mereka selalu mengatakan: “Kami adalah milik Allah
dan kepada-Nya kami akan kembali, tetapi kita menjadi cemas akan kedurhakaan
kita kepada Rasulullah, semoga Allah memberkati beliau dan keluarga beliau”
Ketika beliau (Nabi) shalallahu ‘alaihi wa sallam kembali
sadar…
(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 130)
Riwayat ini
ditemukan dalam satu dari sekian kitab-kitab syi’ah yang paling diandalkan, ini
adalah akhir dari perdebatan dengan mereka. Berdasarkan riwayat di atas, kita
temukan urutan kejadiannya adalah sebagai berikut :
Nabi meminta tinta
dan kertas
Berikutnya, Nabi
pingsan
Setelah itu,
seorang lelaki bangkit untuk mendapatkan tinta dan kertas
Umar memerintahkan lelaki
tersebut untuk kembali. (Kitab syi’ah melekatkan kata “mengigau” kepada Umar
tetapi kita tahu bagian ini adalah keliru, bahwa orang lain yang berkata
seperti itu)
Perkataan “beliau
mengigau” diucapkan
Orang-orang
bertengkar
Sesaat kemudian
Nabi kembali sadar
Dari cerita ini
menjadi jelas bahwa kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi
sedang tidak sadarkan diri (sebelum beliau kembali sadar)! Apakah seorang yang
sedang tidak sadar (pingsan) dapat bicara? tentu tidak! Ini adalah pukulan
telak atas argument Syi’ah, dan dimanapun syi’ah membuat kehebohan tentang
kata-kata “apakah beliau mengigau”, maka kita akan langsung ke bagian ini. Jika
kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi sedang dalam keadaan
tidak sadarkan diri, maka tidak ada yang namanya “bicara meracau” sebagaimana
seorang yang sedang tidak sadarkan diri (pingsan) tidak dapat berbicara,
apalagi berbicara meracau. Dengan kata lain, yang dimaksud dari kata “mengigau”
sebenarnya adalah sebuah gangguan kesadaran. Jadi pengertiannya adalah;
seseorang yang sedang tidur dalam ketidaksadaran dikatakan sebagai “berangkat”
(hajara) dari manusia dan dunia ini.
Untuk menyimpulkan
hal ini, orang yang bertanya : “apakah beliau mengigau” bermakna menanyakan
tentang tingkat kesadaran sang Nabi dan tidak lebih. Dia tidak mengatakan hal
itu dengan nada sinis atau merendahkan, melainkan dia mengajukan pertanyaan
dengan tulus. Orang ini tidak dapat disalahkan atas hal itu lagi sebagaimana
telah diceritakan oleh syaikh Mufid sendiri bahwa Nabi telah tak sadarkan diri.
Siapakah
yang bertanya apakah Nabi sedang mengigau
Walau bagaimanapun
juga, bukan Umar yang mengajukan pertanyaan itu, ahli ilmu mengatakan bahwa
orang yang bertanya tersebut adalah orang yang baru masuk Islam. Syi’ah akan
menuntut bukti tekstual untuk klaim ini, dan untuk ini, kita mengakui bahwa
tidak ada bukti seperti itu yang kita dapat sediakan. Alasannya karena
hadits-hadits tersebut tidak menyebutkan sama sekali siapa yang mengucapkan
kata-kata itu! Melainkan, hanya dikatakan “sebagian mengatakan” tanpa
menyebutkan siapa orang-orang itu. Namun, ini adalah bukti untuk melawan klaim
Syi’ah : tidak ada jalan untuk mereka dapat mengklaim bahwa Umar yang
mengucapkan hal itu; jika mereka mengatakan itu, maka mana buktinya? Ada begitu
banyak orang di ruangan saat itu, dan tidak fair menuduh Umar yang mengucapkan
itu.
Nyatanya, yang
benar adalah jika Umar yang mengucapkan hal seperti itu, maka tentunya
periwayat akan menyebutkan hal ini. Dimanapun periwayat menyebutkan sesuatu
yang Umar katakan, ia melakukannya dengan menyebut nama. Kita baca:
Umar
berkata, “Nabi sedang dalam keadaan sakit parah dan kalian mempunyai Al-Qur’an;
cukuplah kitabullah buat kita”.
Namun, ketika
perawi menyebutkan Nabi sedang mengigau, dia menyebutkan “sebagian mengatakan”
Sebagian
mengatakan, “Ada apa dengan beliau? (kamu pikir) dia mengigau?”
Jika Umar yang
mengucapkan itu, maka perawi akan telah menyebutkannya. Hal yang tidak masuk
akal perawi mengatakan “Umar berkata ini, dan kemudian seseorang mengatakan
ini” jika dia memang berbicara tentang orang yang sama. Jika itu diucapkan oleh
Umar, maka akan disebutkan dengan jelas bahwa dia (Umar) adalah orang yang
mengucapkan hal itu. Metodologi perawi dan penyusun hadits adalah mereka akan
mencatat pribadi yang penting (sahabat-sahabat senior) sedangkan mereka akan
menggunakan istilah umum (contoh : “mereka”, “sebagian”)untuk menggambarkan
figure yang kurang penting. Oleh karena itu, jika itu diucapkan oleh Umar -atau
sahabat utama yang lain- maka akan disebutkan namanya.
Yang benar adalah
bacaan yang tidak bias menunjukkan bahwa sama sekali bukan Umar yang bertanya
apakah Nabi sedang mengigau, dan tidak ada dimanapun kecuali ada dalam
imajinasi Syiah yang telah mengaitkan kata-kata ini padanya. Umar menolak untuk
membawakan Nabi tinta dan kertas tidak ada alasan lain selain fakta bahwa ia
merasa sang Nabi sedang sakit keras dan akan menimbulkan sakit jika beliau
berbicara; ini adalah kasih kepada Nabi, dan sama sekali bukan sebagai sebuah
bentuk penghinaan sebagaimana klaim Syi’ah.
Ali
radhiyallahu ‘anhu telah kehilangan akal sehatnya menurut sumber Syi’ah?
Syi’ah memprotes
keras kata-kata “apakah beliau mengigau?”. Mari kita analisa apakah kemarahan
mereka tersebut ditujukan kepada kata-kata itu ataukah kepada orang yang
mengucapkannya. Dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang terkenal, kita membaca
sebuah riwayat Syi’ah dimana Ali bin Abi Thalib ra sedang terluka dan berdarah;
Ali memerintahkan putranya Abdullah, untuk menggosokan pipinya di tanah (untuk menghentikan
pendarahan). Menurut Syi’ah, ketika Abdullah mendengar permintaan ini, ia
mengira ayahnya telah hilang akal sehatnya dan ia menolak permintaan tersebut.
Kita baca riwayat Syi’ah berikut ini :
Ketika Amirul Mukminin (Ali) sedang terluka, orang-orang berada
di sisi beliau. Sekujur tubuh beliau (Ali) bersimbah darah dan dia belum
melakukan shalat shubuh. beliau diberitahu “Shalat, ya Amirul Mukminin!”.
Beliau mengangkat kepalanya dan berkata : “seseorang yang
meninggalkan shalat tidak mempunyai saham dalam Islam!” kemudian beliau berdiri
tersentak dan darah menyembur keluar dari luka beliau. Beliau berkata: “berikan
saya selembar pakaian.” Beliau membalut lukanya, mulai mengerjakan shalat dan
menyebut nama Allah; kemudian dia berkata kepada putranya Abdullah: “ya
Abdullah, gosokkan pipiku ke atas tanah.”
Abdullah berkata :
“Aku tidak melakukannya, aku pikir dia telah kehilangan akal
sehatnya! Dia (Ali) mengulangi hal yang sama: “Anakku, gosokkan pipiku ke atas
tanah.” Aku tidak melakukannya lagi. Ia (Ali) mengulanginya lagi untuk ketiga
kalinya, (berkata): “mengapa kamu tidak menggosokkan pipiku ke atas tanah?”
sekarang aku dapat melihat dia dengan pikiran sehatnya. Dia tidak dapat
melakukannya sendiri karena begitu sakit dan lemah. Aku menyentuhkan pipinya ke
tanah. Aku melihat rambut luar janggutnya; tertutup oleh debu. Dia menangis
sampai debu melekat pada matanya.
(Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid)
Bukankah Syi’ah
begitu marah dengan kata “mengigau” dengan sedikit sombong ketika kami menemukan
bahwa keturunan Ali ra, satu dari ahlul bait, mengatakan bahwa Imam Ma’shum
pertama mereka “telah hilang akal sehatnya?” ini sangat jelas dari riwayat ini
bahwa Abdullah telah mengira ayahnya telah menjadi gila; Abdullah mengira bahwa
Ali sedang membuat permintaan yang tidak masuk akal.
Syi’ah meyakini
bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah ma’shum sebagaimana Nabi; bukankah
seharusnya mereka memprotes atas pertanyaan putra Ali sendiri jika “dia telah
hilang akal sehatnya?”. Mengapa Syi’ah memaafkan putra Ali, Abdullah tetapi
mereka mengeluarkan ludah beracun mereka kepada Umar bin Khattab yang diduga
mengucapkan hal yang mirip? Kenyataannya, kata-kata “apakah beliau mengigau”
lebih ringan daripada “dia telah kehilangan akal sehatnya”. Perlu diingat
bahwa Syi’ah mempunyai opini yang tinggi terhadap Abdullah yang merupakan putra
Imam ma’shum mereka; oleh karena itu, apapun akan mereka ma’afkan untuk apa
yang Abdullah katakana, maka pastinya pemaafan yang sama dapat diberikan kepada
orang yang mengira Nabi sedang mengigau.
Pembaca yang cerdas
seharusnya mencatat bahwa kaum Sunni tidak pernah mengemukakan hadis Syiah ini
untuk memfitnah Abdullah (radhiyallahu ‘anhu). Ini bukan sifat Ahlus Sunnah
untuk memfitnah dan menghina, apalagi kepada pahlawan besar Islam. Namun jika
dalam riwayat tersebut yang mengucapkan kata-kata tersebut adalah Umar bukan
Abdullah misalnya, hampir bisa dipastikan Syi’ah akan menggunakan ini sebagai
semacam “bukti” untuk menyerang Umar! Kita akan temukan da’i Syi’ah menyembul
diantara kita dengan membawa tongkat dan bertanya kebingungan : ”Apa yang Umar
maksudkan dengan mengucapkan bahwa “Ia telah kehilangan akal sehatnya?” yang
demikian ini adalah standar ganda kaum Syi’ah. Ini adalah sifat bermuka dua
Syi’ah yang tidak jujur. Sekumpulan orang yang mengkhususkan diri dengan
menyempal dan menyukai hal-hal yang bias.
27 Responses lihat rujukan
Siapa Yang Ribut Saat Nabi Sakit dan Apa Isi Wasiat
Nabi Saat Nabi Sakit ?
Tragedi Hari Kamis (Oleh:
Syekh Mamduh Farhan Al-Buhairi)
Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam