Bashar
Assad Sebagai Akar Krisis
di Suriah
Ahad, 27 Mar 2016 11:06
Oleh
: Dr. Slamet Muliono*
Krisis Suriah kembali memasuki babak baru. Bashar Assad,
memberikan pujian setinggi langit kepada dua sekutu utamanya, Rusia dan Iran.
Rusia dan Iran dianggap telah memberikan kontribusi positif dalam memerangi
terorisme. Pemimpin Suriah itu menuturkan, Iran dan Rusia bukan hanya
memberikan bantuan secara militer kepada Suriah, tetapi keduanya juga
memberikan bantuan secara politik.
Assad
yang berbicara paska melakukan pertemuan dengan penasihat luar negeri pemimpin
tertinggi spiritual Iran Ayatollah Ali Khemenei, Kamal Kharrazi. Dia mengatakan
bahwa kemenangan Suriah dan sekutunya atas kelompok teror akan berdampak sangat
luas. Pernyataan Assad ini berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi di
lapangan. Rusia, yang berdalih memerangi kelompok ISIS, lebih banyak
memuntahkan serangan udara mereka kepada kelompok oposisi dan warga sipil di
Suriah. Sementara Iran sendiri, dikenal dekat dengan Bashar Assad karena
kesamaan akidah syiah di antara mereka. (fokusislam.com.22/3/2016)
Krisis
yang terjadi di Suriah berporos pada kepemimpinan. Bashar Assad merupakan
pemimpin yang berfaham Syiah, sementara rakyatnya mayoritas berfaham Sunni.
Kebijakan Bashar Assad dinilai lebih banyak menyinggung perasaan dan
bertentangan dengan kelompok Sunni. Hal ini berakibat munculnya berbagai
demonstrasi di Suriah. Bashar Assad bukan mengakomodir aspirasi yang
disampaikan rakyatnya, tetapi justru menuduh rakyatnya sebagai pemberontak yang
akan mengancam kekuasaannya. Hal ini berujung terjadinya pembunuhan
besar-besaran yang dilakukan rezim Bashar Assad.
Iran
sebagai penyokong utama faham Syiah, membantu sepenuhnya guna mengamankan
kepemimpinan Bashar Assad. Sementara rakyatnya mengeluhkan hal itu dan
menyampaikan aspirasi pentingnya pergantian kepemimpinan yang dianggap
membahayakan kelompok Sunni.
Arab
Saudi merupakan negara pelopor untuk merespon hal itu. Bersama negara-negara
teluk. Arab Saudi menjalin kerjasama untuk membantu kaum muslimin yang dianiaya
dan dibunuh oleh presidennya sendiri. Yang paling menonjol dalam pembelaan
terhadap penderitaan rakyat Suriah adalah negara Arab Saudi dan Turki. Terlihat
dengan jelas bahwa raja Salman bin Abdul Aziz dan Presiden Tayyip Recep Erdogan
menunjukkan kepedulian mereka terhadap masalah yang menimpa Suriah. Di tengah
ketegangan itu muncul Rusia yang diundang oleh presiden Suriah untuk memerangi
kelompok pemberontak, ISIS. Kedatangan Rusia inilah yang membuat suasana tegang
bukan hanya di Suriah tetapi membuat suasana panas di kawasan negara Teluk.
Apalagi serangan yang dilakukan Rusia bukan mengarah ke sarang ISIS tetapi
justru mengarahkan dan menghancurkan rakyat sipil.
Di
tengah suasana tegang inilah peran presiden Erdogan dan Raja Salman begitu
menonjol. Keduanya melihat bahwa tidak ada solusi atas konflik Suriah selama
presiden Bashar Assad masih terus berkuasa. Keduanya meminta rezim dan sekutu
Suriah untuk menghentikan serangan terhadap target warga sipil. Mereka
mengatakan serangan itu membuat kondisi kemanusiaan semakin buruk. Namun
keinginan itu mendapat respon negatif dari Iran yang terlebih dahulu proaktif
dalam perang di Suriah. Iran bersikukuh bahwa Bashar Assad harus terus berkuasa
di Suriah.
Seiring
dengan berjalannya waktu, Rusia menarik pasukannya dari bumi Suriah. Sebagian
pengamat menyebut bahwa penarikan pasukan Rusia merupakan kesempatan untuk
warga sipil “menarik nafas.” Hal itu dikarenakan banyak warga sipil yang
ternyata menjadi korban dari serangan militer Rusia. Dalam konflik yang sudah
berlangsung lima tahun ini, Rusia lebih banyak memuntahkan serangan udara
ke wilayah kelompok pejuang dan warga sipil lainnya. Pengumuman penarikan
mundur pasukan Rusia itu dinilai positif oleh pihak oposisi Suriah. Penarikan
pasukan Rusia akan memberikan ketenangan dan menekan pemerintah Suriah untuk
terbuka dalam melakukan dialog. Bahkan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel
al-Jubeir men yebut bahwa Rusia telah melakukan keputusan tepat dengan menarik
pasukan mereka dari Suriah. (fokusislam.com.17/3/2016).
Apa
yang terjadi di Suriah menunjukkan bahwa kepemimpinan Bashar Assad merupakan
akar dari semua konflik ini. Kepemimpinannya yang otoriter dan tidak
mengakomodir kepentingan kelompok mayoritas semakin memperuncing persoalan
dalam negerinya. Mengundang negara asing seperti Rusia bukan justru meredam
konflik, tetapi justru mengakselerasi konflik. Kontribusi Iran sejak awal yang
menyokong Bashar Assad, karena kesamaan faham keagamaannya, semakin membuat
situasi buruk. Dukungan Iran dan Rusia bukan hanya semakin memperkokoh
kedudukan Bashar Assad, tetapi juga menjustifikasi keputusannya untuk membunuh
rakyatnya sendiri.
Tidak
ada pemimpin suatu negeri di era demokrasi ini yang membunuh rakyatnya sendiri
dalam jumlah yang banyak, kecuali terjadi di Suriah. Banyak pihak sepakat bahwa
Bashar Assad merupakan akar konflik, dan solusinya adalah menggantinya dengan
pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mayoritas rakyatnya. Iran sebagai
penyokong sekaligus induk faham Syiah tidak membiarkan arus pergantian
kepemimpinan di Suriah ini. Pergantian kepemimpinan di Suriah, yang mana
rakyatnya berfaham Sunni, jelas-jelas akan meredupkan faham Syiah yang sudah
berada di tangan Bashar Assad. Lepasnya Bashar Assad dari kursi presiden merupakan
simbol runtuhnya dominasi Iran sebagai induk faham Syiah yang saat ini
berkembang di seluruh dunia.
Penulis adalah dosen di UIN Sunan Ampel dan STAI Ali bin Abi
Thalib Surabaya
Direktur CIA: Assad Akan Tumbang
Selasa, 20 Jumadil Akhir 1437 H / 29 Maret 2016
Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Moskow mengungkapkan bahwa direktur Badan Intelijen
Pusat “CIA”, John Brennan, telah bertemu dengan pejabat penting Rusia
memperbincangkan rencana pengunduran diri Presiden Syiah Bashar al-Assad.
Seperti dilansir kantor berita RIA Novosti dari sumber di
Kedutaan Besar AS yang dirahasiakan namanya mengatakan, “Pembicaraan ini
terjadi saat John Brennan mengunjungi ibukota Moskow pada awal bulan Maret ini,
dalam rangka proses keberhasilan proses transisi politik di Suriah.
Tercatat selama bulan Maret ini Amerika Serikat telah 2 kali
mengirimkan delegasinya ke Rusia untuk membicarakan masalah solusi damai di
Suriah, dimana pada 24 Maret kemarin Menlu AS John Kerry datang ke Rusia untuk
bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.
Sementara itu di sisi lain, utusan khusus PBB untuk Suriah,
Staffan de Mistura, mengingatkan bahwa gagalnya proses transisi politik di
Suriah dapat menyebabkan memburuknya krisis di negara tersebut melebihi konflik
sebelumnya. (Skynewsarabia/Ram)