Friday, April 1, 2016

Bashar Assad Sebagai Akar Krisis Di Suriah. Direktur CIA: Assad Akan Tumbang.


Bashar Assad Sebagai Akar Krisis 
di Suriah
Ahad, 27 Mar 2016 11:06
Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Krisis Suriah kembali memasuki babak baru. Bashar Assad, memberikan pujian setinggi langit kepada dua sekutu utamanya, Rusia dan Iran. Rusia dan Iran dianggap telah memberikan kontribusi positif dalam memerangi terorisme. Pemimpin Suriah itu menuturkan, Iran dan Rusia bukan hanya memberikan bantuan secara militer kepada Suriah, tetapi keduanya juga memberikan bantuan secara politik.

Assad yang berbicara paska melakukan pertemuan dengan penasihat luar negeri pemimpin tertinggi spiritual Iran Ayatollah Ali Khemenei, Kamal Kharrazi. Dia mengatakan bahwa kemenangan Suriah dan sekutunya atas kelompok teror akan berdampak sangat luas. Pernyataan Assad ini berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi di lapangan. Rusia, yang berdalih memerangi kelompok ISIS, lebih banyak memuntahkan serangan udara mereka kepada kelompok oposisi dan warga sipil di Suriah. Sementara Iran sendiri, dikenal dekat dengan Bashar Assad karena kesamaan akidah syiah di antara mereka. (fokusislam.com.22/3/2016)
Krisis yang terjadi di Suriah berporos pada kepemimpinan. Bashar Assad merupakan pemimpin yang berfaham Syiah, sementara rakyatnya mayoritas berfaham Sunni. Kebijakan Bashar Assad dinilai lebih banyak menyinggung perasaan dan bertentangan dengan kelompok Sunni. Hal ini berakibat munculnya berbagai demonstrasi di Suriah. Bashar Assad bukan mengakomodir aspirasi yang disampaikan rakyatnya, tetapi justru menuduh rakyatnya sebagai pemberontak yang akan mengancam kekuasaannya. Hal ini berujung terjadinya pembunuhan besar-besaran yang dilakukan rezim Bashar Assad.
Iran sebagai penyokong utama faham Syiah, membantu sepenuhnya guna mengamankan kepemimpinan Bashar Assad. Sementara rakyatnya mengeluhkan hal itu dan menyampaikan aspirasi pentingnya pergantian kepemimpinan yang dianggap membahayakan kelompok Sunni.
Arab Saudi merupakan negara pelopor untuk merespon hal itu. Bersama negara-negara teluk. Arab Saudi menjalin kerjasama untuk membantu kaum muslimin yang dianiaya dan dibunuh oleh presidennya sendiri. Yang paling menonjol dalam pembelaan terhadap penderitaan rakyat Suriah adalah negara Arab Saudi dan Turki. Terlihat dengan jelas bahwa raja Salman bin Abdul Aziz dan Presiden Tayyip Recep Erdogan menunjukkan kepedulian mereka terhadap masalah yang menimpa Suriah. Di tengah ketegangan itu muncul Rusia yang diundang oleh presiden Suriah untuk memerangi kelompok pemberontak, ISIS. Kedatangan Rusia inilah yang membuat suasana tegang bukan hanya di Suriah tetapi membuat suasana panas di kawasan negara Teluk. Apalagi serangan yang dilakukan Rusia bukan mengarah ke sarang ISIS tetapi justru mengarahkan dan menghancurkan rakyat sipil.
Di tengah suasana tegang inilah peran presiden Erdogan dan Raja Salman begitu menonjol. Keduanya melihat bahwa tidak ada solusi atas konflik Suriah selama presiden Bashar Assad masih terus berkuasa. Keduanya meminta rezim dan sekutu Suriah untuk menghentikan serangan terhadap target warga sipil. Mereka mengatakan serangan itu membuat kondisi kemanusiaan semakin buruk. Namun keinginan itu mendapat respon negatif dari Iran yang terlebih dahulu proaktif dalam perang di Suriah. Iran bersikukuh bahwa Bashar Assad harus terus berkuasa di Suriah.
Seiring dengan berjalannya waktu, Rusia menarik pasukannya dari bumi Suriah. Sebagian pengamat menyebut bahwa penarikan pasukan Rusia merupakan kesempatan untuk warga sipil “menarik nafas.” Hal itu dikarenakan banyak warga sipil yang ternyata menjadi korban dari serangan militer Rusia. Dalam konflik yang sudah berlangsung lima tahun ini,  Rusia lebih banyak memuntahkan serangan udara ke wilayah kelompok pejuang dan warga sipil lainnya. Pengumuman penarikan mundur pasukan Rusia itu dinilai positif oleh pihak oposisi Suriah. Penarikan pasukan Rusia akan memberikan ketenangan dan menekan pemerintah Suriah untuk terbuka dalam melakukan dialog. Bahkan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir men yebut bahwa Rusia telah melakukan keputusan tepat dengan menarik pasukan mereka dari Suriah. (fokusislam.com.17/3/2016).
Apa yang terjadi di Suriah menunjukkan bahwa kepemimpinan Bashar Assad merupakan akar dari semua konflik ini. Kepemimpinannya yang otoriter dan tidak mengakomodir kepentingan kelompok mayoritas semakin memperuncing persoalan dalam negerinya. Mengundang negara asing seperti Rusia bukan justru meredam konflik, tetapi justru mengakselerasi konflik. Kontribusi Iran sejak awal yang menyokong Bashar Assad, karena kesamaan faham keagamaannya, semakin membuat situasi buruk. Dukungan Iran dan Rusia bukan hanya semakin memperkokoh kedudukan Bashar Assad, tetapi juga menjustifikasi keputusannya untuk membunuh rakyatnya sendiri.
Tidak ada pemimpin suatu negeri di era demokrasi ini yang membunuh rakyatnya sendiri dalam jumlah yang banyak, kecuali terjadi di Suriah. Banyak pihak sepakat bahwa Bashar Assad merupakan akar konflik, dan solusinya adalah menggantinya dengan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mayoritas rakyatnya. Iran sebagai penyokong sekaligus induk faham Syiah tidak membiarkan arus pergantian kepemimpinan di Suriah ini. Pergantian kepemimpinan di Suriah, yang mana rakyatnya berfaham Sunni, jelas-jelas akan meredupkan faham Syiah yang sudah berada di tangan Bashar Assad. Lepasnya Bashar Assad dari kursi presiden merupakan simbol runtuhnya dominasi Iran sebagai induk faham Syiah yang saat ini berkembang di seluruh dunia.
Penulis adalah dosen di UIN Sunan Ampel dan STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya

Direktur CIA: Assad Akan Tumbang

Selasa, 20 Jumadil Akhir 1437 H / 29 Maret 2016
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Moskow mengungkapkan bahwa direktur Badan Intelijen Pusat “CIA”, John Brennan, telah bertemu dengan pejabat penting Rusia memperbincangkan rencana pengunduran diri Presiden Syiah Bashar al-Assad.
Seperti dilansir kantor berita RIA Novosti dari sumber di Kedutaan Besar AS yang dirahasiakan namanya mengatakan, “Pembicaraan ini terjadi saat John Brennan mengunjungi ibukota Moskow pada awal bulan Maret ini, dalam rangka proses keberhasilan proses transisi politik di Suriah.
Tercatat selama bulan Maret ini Amerika Serikat telah 2 kali mengirimkan delegasinya ke Rusia untuk membicarakan masalah solusi damai di Suriah, dimana pada 24 Maret kemarin Menlu AS John Kerry datang ke Rusia untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.
Sementara itu di sisi lain, utusan khusus PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura, mengingatkan bahwa gagalnya proses transisi politik di Suriah dapat menyebabkan memburuknya krisis di negara tersebut melebihi konflik sebelumnya. (Skynewsarabia/Ram)