by alfanarku
Maaf, cukup lama tidak update karena
kesibukan yang mendera beberapa hari ini. Artikel ini adalah kelanjutan dari
artikel sebelumnya : https://alfanarku.wordpress.com/2009/12/23/tragedi-kamis-kelabu-bagian-1/ . Semoga
bermanfaat.
Ahlul bait Nabi memaksa Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam mengkonsumsi obat
Da’i Syi’ah menfitnah Umar bin Khattab
karena diduga “tidak ta’at” kepada perintah-perintah Nabi, meskipun
kenyataannya bahwa Umar begitu mencintai sang Nabi. Namun, dalam waktu-waktu
yang hampir bersamaan (hari-hari terakhir rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam) Ahlul bait Nabi (termasuk Ali, Abbas, Fatimah dan istri-istri Nabi )
juga “tidak ta’at” kepada Nabi karena kecintaan mereka kepada beliau. Kemiripan
antara dua kejadian tersebut sungguh akan menyebabkan Syi’ah memikirkan kembali
posisinya.
Ketika kondisi Nabi shalalallahu ‘alaihi
wa sallam terus memburuk, keluarga beliau berkumpul disekeliling beliau dan
meminta beliau meminum obat untuk penyakit beliau, tetapi Nabi menolaknya, dan
melarang ahlul bait beliau -termasuk Ali, Abbas, Fatimah dan istri-istri
beliau- untuk memberi beliau obat apapun. Namun, Keluarga Nabi tidak menaati
perintah langsung beliau, bahkan sebaliknya memilih memberikan secara paksa
obat tersebut kepada Nabi. Mereka berpendapat Nabi telah lalai dalam mengurus
diri beliau sendiri, hal itu karena sifat mulia beliau yang hanya khawatir
mengenai orang lain tanpa peduli apapun mengenai diri beliau sendiri. Intinya,
Nabi begitu marah dengan perlakuan ini maka beliau menghukum mereka dengan
membuat mereka sendiri meminum obat tersebut.
Di sini, kami meriwayatkan sedikit
riwayat-riwayat mengenai insiden ini :
Semua keluarga beliau – istri-istri
beliau, putri beliau (Fathimah), al-Abbas, dan Ali – berkumpul (di sekeliling
beliau). Asma berkata “sakit beliau ini tidak lain adalah radang selaput dada,
sehingga kita paksa beliau untuk meminum obat” dan kita melakukannya, dan
setelah beliau sembuh, beliau bertanya siapa yang telah melakukan itu pada
beliau.
(Tarikh at-Tabari Jilid 9, hal 178)
Lalu beliau (Nabi) datang dan memasuki
rumahnya dan rasa sakit bertambah sampai beliau kelelahan. Kemudian sebagian
istri beliau berkumpul di sekitarnya, Ummu Salamah dan Maimunah-dan beberapa
istri dari kaum Muslimin (di antara mereka Asma)-sementara paman beliau Abbas
ada bersama beliau, dan mereka setuju untuk memaksa beliau untuk meminum obat.
Abbas berkata, “Biarkan aku memaksanya,” tetapi mereka melakukannya (sebagai
gantinya). Ketika beliau sembuh, beliau bertanya siapa yang telah memperlakukan
dia (dengan obat-obatan) demikian. Ketika mereka mengatakan bahwa itu paman
beliau … beliau (Nabi) bertanya mengapa mereka melakukan itu .. ketika beliau
bertanya mengapa mereka melakukan itu, pamannya berkata: “Kami takut bahwa Anda
terkena radang selaput dada.” Dia (Nabi ) menjawab: “Ini adalah penyakit yang
Allah tidak akan menimpakannya kepadaku. Jangan biarkan seorangpun yang
berhenti di rumah ini sampai mereka telah dipaksa untuk meminum obat ini (yaitu
sebagai hukuman)”.
(Ibnu Ishak, Sirah Rasulullah, hal 680)
Mereka sepakat untuk memaksa beliau untuk
meminum obat. Al-Abbas berkata, “Biarkan aku memaksanya,” dan (Rasulullah)
dipaksa.
(Tarikh at-Tabari, Jilid 9, hal 178)
Kami (Ahlul Bait) memaksa Rasulullah
untuk meminum obat selama beliau sakit. Beliau mengatakan jangan memaksa
beliau, tapi kami mengatakan bahwa orang sakit tidak suka obat. Setelah beliau
sembuh, ia (Nabi) berkata: “Janganlah seorang pun tetap tinggal di rumah sampai
(semua orang dari kalian) telah dipaksa untuk meminum obat ini …”
(Tarikh at-Tabari, Jilid 9, hal 177)
Ketika mereka mengatakan bahwa mereka
takut bahwa beliau (Nabi) mungkin terkena radang selaput dada, beliau (Nabi)
berkata: “Ini adalah dari Setan dan Allah tidak akan menimpakan hal itu
padaku.”
(Tarikh at-Tabari, Jilid 9, hal 178)
Jika Syi’ah tersinggung dengan pernyataan
Nabi disebut “mengigau”, maka mereka tentunya juga tersinggung pada pernyataan
bahwa beliau menderita penyakit dari Setan? Apakah ada diantara Syi’ah ingin
mengkritik ketidaktaatan Ahlul Bait terhadap Nabi di sini? Sebaliknya, Syi’ah
-seperti kita- akan mengatakan bahwa mereka ahlul bait hanya khawatir akan
kondisi Nabi lebih dari Nabi khawatir tentang diri beliau sendiri. Itu semua
disebut “pembangkangan” karena kecintaan kepada Nabi dan mereka tidak dapat
dipersalahkan untuk hal itu. Demikian pula Umar meminta Nabi untuk beristirahat
tidak mungkin dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang tercela.
Apakah yang dimaksud Tragedi dalam Hadits
tersebut ?
Ibnu Abbas menyebut insiden kertas dan
tinta sebagai sebuah “Tragedi”, namun kita harus menganalisa apa dasar dia
mengatakan hal itu. Apakah Ibnu Abbas menyebut kejadian tersebut sebagai
tragedi karena penolakan Umar untuk memberikan kertas dan tinta? Ini adalah apa
yang Sy’ah klaim, tetapi klain ini tidak didasarkan pada pemahaman yang jauh
dari prasangka atas teks tersebut. Apa yang kami temukan adalah bahwa Ibnu
Abbas menyebut kejadian tersebut sebagai musibah tidak berkaitan dengan
penolakan Umar, melainkan berkaitan dengan kenyataan bahwa sahabat saling
berselisih pendapat di hadapan Nabi. Ini adalah perbedaan yang sangat penting
untuk menunjukkan apa yang dilakukan Syi’ah adalah isu-isu untuk menempatkan
pemahaman mereka ke dalam teks. Kita baca :
Ibnu Abbas keluar dan berkata : “ini
sangat disayangkan (kehilangan yang besar) bahwa Rasulullah tercegah dari
menuliskan sesuatu untuk mereka karena perselisihan pendapat dan kegaduhan.
(Shahih Bukhari, jilid 1, Buku 3, No.
114)
Ibnu Abbas sendiri berkata :
“Orang-orang (yang hadir di sana)
berselisih pendapat dalam kejadian ini, dan hal yang tidak pantas berselisih
pendapat di hadapan Nabi”.
(Shahih Bukhari, Jilid 5, Buku 59, No.
716)
Mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan orang-orang untuk pergi.
Kejadian yang serupa, Nabi marah dan
memerintahkan orang-orang untuk pergi bukan karena Umar menolak beliau
mengambil tinta dan kertas, melainkan karena orang-orang bertengkar dan membuat
keributan di hadapan beliau. Kita baca :
Ketika mereka menimbulkan keributan di
hadapan Nabi, Rasulullah berkata, “Pergi!” Dikisahkan oleh Ubaidullah: Ibn
Abbas pernah berkata, “Sangat disayangkan bahwa Rasulullah tercegah dari
menuliskan pernyataan untuk mereka disebabkan pertengkaran dan kegaduhan
mereka. “
(Shahih Bukhari, jilid 7, buku 70, no.
573)
Menjelang akhir hidup beliau, Nabi
mengalami sakit kepala yang parah, dan kegaduhan dari pertengkaran orang-orang
disekeliling beliau menyebabkan sakit pada kepala beliau. Kita baca:
Selama sakit beliau, Nabi Allah meminta
tinta dan kertas. Karena beliau kemudian mengalami sakit yang bertambah parah,
Umar turun tangan dan mengatakan beliau jangan dibebani oleh apapun dan
Al-Qur’an adalah cukup bagi kita sebagaimana beliau telah mengatakannya
(mungkin yang dimaksud Umar ra, Rasulullah telah bersabda di haji Wada’
mengenai Al-Qur’an). Tetapi sebagian sahabat mendukung untuk membiarkan beliau
mendikte. Nabi tidak menyukai keributan dan meminta orang-orang untuk pergi.
Pada saat itu beliau sedang menderita sakit kepala yang hebat dan ini adalah
alasan mengapa Umar menyarankan untuk tidak menyulitkan beliau dengan cara
apapun. Ketika rasa sakit beliau (Nabi) sudah berkurang, beliau memanggil
orang-orang ke dalam dan (meriwayatkan tiga hal).
(Tarikh Islam, Jilid 1, hal 244-245)
Dan itulah yang terjadi, suara-suara
keributan memperburuk sakit kepala Nabi, dan inilah yang menyebabkan Nabi
menjadi marah, bukan karena penolakan Umar. Sesudah semua itu, bukan penolakan
Umar yang memperburuk sakit kepala Nabi melainkan kegaduhan yang keras akibat
pertengkaran yang menyebabkannya. Kita baca:
Tetapi para sahabat Nabi berselisih
pendapat mengenai hal ini dan menimbulkan suara keributan. Oleh karena itu Nabi
berkata kepada mereka, “pergi (dan tinggalkan aku sendiri). Adalah hal yang
tidak pantas kalian bertengkar di hadapanku.” Ibnu Abbad keluar dan berkata,
“Sangat disayangkan (sebuah musibah yang besar) bahwa Rasulullah tercegah dari
menuliskan pernyataan untuk mereka disebabkan pertengkaran dan kegaduhan
mereka.”
(Shahih Bukhari, Jilid 1, buku 3, no 114)
Nabi sendiri telah menjelaskan alasan
mengapa beliau marah dimana beliau bersabda “pergi (dan tinggalkan aku
sendiri). Adalah hal yang tidak pantas kalian bertengkar dihadapanku”
perhatikan, Nabi marah atas pertengkaran mereka satu sama lain, dan bukan
karena Umar menolak memberikan beliau tinta dan kertas. Nabi tidak mengatakan
“pergi” ketika Umar menolak tinta dan kertas, melainkan beliau mengatakan
“pergi” saat orang-orang mulai bertengkar diantara mereka. Ini penting untuk
membuka mata syi’ah pada poin ini. Kita baca:
Ketika mereka terlibat pembicaraan yang
kacau dan mulai saling berdebat di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “bangun (dan pergi)” Ubaidullah berkata : Ibnu Abbas
selalu mengatakan: “itu adalah suatu kehilangan yang besar, sungguh suatu
kehilangan yang besar,sehubungan dengan pertengkaran dan kegaduhan mereka.”
(Shahih Muslim, Kitab 013, No. 4016)
Hal yang sangat penting untuk direnungkan
adalah bahwa Nabi berkata “pergi” ditujukan kepada semua orang yang berada di
ruangan, bukan hanya kepada Umar atau mereka yang menolak beliau akan tinta dan
kertas. Nabi berkata “pergi” bahkan ditujukan juga kepada mereka yang ingin
membawakan tinta dan kertas. Ini adalah
bukti yang sangat kuat bahwa Nabi marah kepada mereka semua, dan beliau marah
kepada mereka karena pertengkaran mereka satu sama lain. Jika Nabi hanya marah
kepada mereka yang berusaha menolak tinta dan kertas saja, maka sungguh hal
yang tidak masuk akal Nabi berkata dengan marah “pergi” kepada mereka yang
menghendaki untuk memenuhi permintaan beliau.
Logikanya, jika Nabi ingin menyampaikan
pesan, maka beliau seharusnya mengatakan “pergi” hanya untuk orang-orang yang
mencegah beliau dari hal itu, dan beliau seharusnya mengatakan “tetap tinggal”
kepada mereka yang berharap memenuhi permintaan beliau. Apa yang mencegah Nabi
untuk mengatakan hal yang mudah “Umar pergi” atau “pergi” ditujukan kepada kelompok
yang menolak permintaan beliau?, sebaliknya Nabi mengatakan “pergi” kepada
kedua belah pihak, menyalahkan mereka semua karena bertengkar satu sama lain.
Sungguh kita temukan bahwa kedua belah pihak meninggalkan ruangan, dan pada
akhirnya Nabi tidak menulis pesan untuk mereka. Jika paradigma Syi’ah benar,
maka seharusnya Nabi senang dengan mereka yang ingin memenuhi permintaan
beliau, tetapi justru Nabi marah kepada mereka dikarenakan mereka bertengkar.
Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
menunjuk Ali bin Abi Thalib ra sebagai pengganti beliau?
Da’i Syi’ah mengklaim bahwa Nabi meminta
tinta dan kertas agar beliau bisa menuliskan wasiat yang mana beliau diduga
ingin menunjuk Ali sebagai pengganti beliau. Mereka menuduh Umar mencegah Nabi
dari melakukan hal itu.
Jika Nabi benar ingin menuliskan wasiat
untuk menunjuk Ali sebagai pengganti beliau, maka mengapa beliau tidak
melakukan hal itu sebelum beliau wafat? Kejadian tinta dan kertas terjadi pada
hari Kamis, sedangkan Nabi wafat pada hari Senin. Nabi masih memiliki lebih
dari 3 hari untuk menulis wasiat semacam itu, namun beliau tidak melakukan hal
itu. Baik sumber Sunni maupun Syi’ah tidak menunjukkan bahwa Nabi menulis
wasiat itu dalam tiga hari setelah peristiwa hari Kamis. Syi’ah mengklaim bahwa
Umar mencegah Nabi dari menulis mengenai Ali dalam wasiat beliau, Kita tanyakan
kepada mereka, apakah Umar bin Khattab selalu bersama dengan Nabi 24 jam
berturut-turut selama masa tiga hari tersebut? Tentu saja tidak, Kita tahu
bahwa hal ini tidak terjadi, dan bahkan riwayat Syi’ah bercerita tentang
bagaimana Ali dan beberapa anggota keluarga dekat bersama dengan Nabi di
hari-hari terakhir. Namun, Nabi tidak menulis dokumen tersebut dalam tiga hari
terakhir tersebut.
Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa
Nabi tidak mengucapkan apa yang ingin beliau tuliskan hari itu, dan tak ada
seorangpun tahu, lalu mengapa dan bagaimana Syi’ah mengklaim bahwa mereka
mengetahui hal itu? Masalah itu adalah bagian dari hal yang ghaib, pengetahuan
yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, sehingga siapapun yang mengklaim
dirinya mengetahui dengan pasti mengenai informasi itu, maka mereka hanyalah
pembohong atau orang bodoh. Hari ini kita melihat bagaimana Syi’ah mengklaim
bahwa kejadian tersebut bersangkutan dengan penunjukkan Ali ra. Namun bagaimana
mereka bisa mengetahui hal itu sedangkan Nabi tidak pernah menyebutkannya,
tidak juga Ali, Abbas, Ibnu Abbas, Hasan ataupun Husein pernah mengklaim
mengetahui hal itu.
Jika Ali mengetahui bahwa Nabi menuliskan
sebuah wasiat yang menguntungkannya, maka mengapa dia tidak menggunakannya
sebagai bukti untuk hak kekhalifahannya? Ketika Ali diperlombakan dengan
khalifah Abu Bakar dan Utsman ra, dia (Ali) membawa banyak bukti untuk
mendukung klaim-klaimnya terhadap dua orang itu, tetapi dia tidak pernah
menyebutkan adanya wasiat yang ditulis atas namanya. Kita menemukan bahwa
cerita syi’ah adalah murni kira-kira : apa dasar mereka mengklaim bahwa wasiat
itu adalah wasiat penunjukkan Ali? Mengapa kita tidak bisa mengklaim bahwa Nabi
menginginkan menulis sesuatu seperti hari turunnya lailatul Qadar atau bahkan
penunjukkan Abu Bakar ra? Jika Syi’ah bersikeras bahwa Nabi akan menuliskan
wasiat untuk Ali, maka apa yang mencegah kami untuk mengklaim bahwa itu
sebenarnya untuk Abu Bakar? Tidak ada bukti apapun. Jika Syi’ah mengemukakan
bukti, maka kita pun memiliki bukti, seperti penunjukkan Abu Bakar sebagai Imam
Shalat!.
Hal lain yang menarik adalah Syi’ah
mengatakan bahwa Umar berusaha mencegah Nabi menuliskan wasiat untuk Ali. Kami bertanya-tanya,
bagaimana mungkin Umar mengetahui apa yang Nabi ingin tuliskan pada hari itu,
sedangkan hal tersebut adalah termasuk perkara ghaib? Ali sendiri pun bahkan
tidak tahu apa yang Nabi ingin tuliskan pada hari itu. Jadi bagaimana Umar bisa
tahu?.
Answering_Ansar (situs syi’ah) berkata :
Nabi meminta alat tulis di masa akhir
hidup beliau untuk memberikan perintah terakhir kepada kaum muslimin, tetapi
beliau dicegah untuk melakukan itu oleh sekelompok orang diantara sahabat.
Apa yang mencegah Ali ra untuk
mengambilkan Nabi sebuah tinta dan kertas dalam tiga hari terakhir kehidupan
beliau? Nabi mempunyai seluruh waktu tersisa di hari Kamis untuk menuliskan
wasiat itu,seperti halnya hari berikutnya (Jum’at), hari berikutnya (Sabtu),
dan hari selanjutnya (Minggu). Namun, dimanakah wasiat misterius itu? Mengapa
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menulisnya? Mari kita asumsikan bahwa
Nabi menghendaki menuliskan wasiat untuk Ali sehingga orang-orang tidak akan
sesat mengenai itu. Maka mengapa Nabi membiarkan umat menjadi sesat dengan
tidak menulis wasiat tersebut? Sebuah wasiat tertulis mengenai Ali akan
menyelesaikan semua perdebatan dan isu khalifah dan akan memberikan sebuah
bukti yang kuat untuk keimamahan Ali, namun kita tidak menemukan wasiat seperti
itu yang pernah ditulis, lalu mengapa Syi’ah menyalahkan selain Nabi mengenai
tidak ditulisnya wasiat tersebut? Jika kewajiban menunjuk Ali sebagai pemimpin
ada pada Nabi, maka Nabi telah gagal melakukannya, dan Ali gagal meminta Nabi
untuk menuliskan wasiat itu pada tiga hari terakhir hidup beliau. Sungguh, Nabi
telah memberikan begitu banyak nasehat pada tiga hari tersebut, dan beliau
menasehati tentang banyak hal pada tiga hari tersebut – bahkan sampai akhir
nafas beliau- namun Nabi tidak pernah kembali berbicara mengenai kejadian hari
Kamis tersebut. Mengapa?
Dr. Al-Tijani (Ulama Syi’ah) mengatakan:
Aku mendapati diriku bingung dengan
perilaku Umar terhadap perintah Rasulullah. Dan apa perintah itu! “Untuk
mencegah umat dari kesesatan”, karena pernyataan itu pasti di dalamnya
merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin dan akan meninggalkan mereka
dalam keadaan tanpa bayangan keraguan … Rasul yang ingin menuliskan nama Ali
sebagai penggantinya, dan Umar menyadari hal ini, sehingga ia mencegahnya.
Apakah Umar dan beberapa sahabat mencegah
Nabi dari menuliskan wasiat? Apakah Nabi sebagai tahanan Umar dan
sahabat-sahabatnya selama tiga hari terakhir sebelum beliau wafat? Apakah Umar
dan sahabat-sahabatnya berdiri berjaga-jaga atas Nabi pada saat menjelang ajal
beliau, sedemikian rupa sehingga beliau (nabi) tidak dapat menulis wasiat
bahkan dalam rentang waktu lebih dari 72 jam? Namun, kita tahu bahwa hal ini
tidak terjadi, karena Nabi hanya selalu bersama anggota keluarga beliau selama
tiga hari tersebut. Apa yang mencegah Nabi dari menuliskan wasiat pada saat itu
dan memberikannya kepada Ali? Namun kita temukan Ali tidak memiliki wasiat yang
seperti itu, dan tidak pernah mengklaimnya, tidak juga menggunakannya sebagai
bukti untuk kekhalifahannya. Jika wasiat tersebut diperlukan untuk memastikan
kekhalifahan Ali. maka itu adalah kesalahan Nabi karena tidak menulisnya dan
kesalahan Ali karena tidak memohon Nabi untuk menulis itu. Kita berlindung
kepada Allah dari penghujatan dan penghinaan seperti ini..
Apakah Nabi hidup dalam ketakutan
terhadap sabahat beliau, siapa yang mencegah penyampaian risalah oleh Nabi?
Kembali, kita berlindung kepada Allah dari penghujatan yang seperti ini. Adalah
merupakan inti keyakinan dalam Islam bahwa Nabi telah menyampaikan seluruh
risalah dengan sempurna, dan tidak ada seorang manusiapun dapat mencegah beliau
dari melaksanakan tugas suci beliau tersebut. Sepanjang kehidupan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, musuh beliau dari kalangan orang kafir dan
munafik berusaha mencegah Nabi dari menyampaikan risalah, tetapi Allah
memerintahkan kepada Nabi untuk tidak pernah takut terhadap mereka dan
menyampaikan risalah secara keseluruhan. Dan ini adalah keyakinan kami bahwa
Nabi telah sukses dalam misi beliau dan beliau telah menyampaikan risalah
secara keseluruhan, dan beliau telah menyelesaikan dengan baik misi beliau
sebagai seorang Nabi dan Rasul.
Saat ini adalah saat yang tepat untuk
mendiskusikan sebuah inkonsistensi yang besar pada klaim Syi’ah, bukankah
Syi’ah mengklaim bahwa Ali ra ditunjuk oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
di Ghadir Khum, dan mereka mengklaim dalam rangka itulah ayat Al-Maidah:67
diturunkan pada saat itu. Untuk memperingatkan Nabi agar menyampaikan apa yang
diturunkan oleh Allah dan apa bila Nabi tidak menyampaikan, maka Nabi tidak
menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungi beliau dari manusia.
Dalam sebuah kejadian yang sangat mirip,
Syi’ah berkata bahwa Nabi menghendaki menulis wasiat untuk menunjuk Ali pada
kejadian hari Kamis, tetapi beliau dicegah oleh orang-orang. Apakah ayat
Al-Maidah:67 tidak berlaku lagi saat itu? Mengapa Nabi tidak jadi menuliskan
wasiat mengenai kepemimpinan Ali hanya karena kegaduhan dan pertengkaran
orang-orang?, apakah ini berarti Nabi takut kepada orang-orang dan tidak
menta’ati perintah Allah dalam Al-Maidah:67?. Sekali lagi kita berlindung
kepada Allah Azza wa Jalla dari penghujatan dan penghinaan kepada diri Nabi
shalallahu ‘laihi wa sallam yang seperti ini.
Kita baca lagi perkataan Dr Al-Tijani :
Aku mendapati diriku bingung dengan
perilaku Umar terhadap perintah Rasulullah. Dan apa perintah itu! “Untuk
mencegah umat dari kesesatan”, karena pernyataan itu pasti di dalamnya merupakan
sesuatu yang baru bagi kaum muslimin dan akan meninggalkan mereka dalam keadaan
tanpa bayangan keraguan … Rasul yang ingin menuliskan nama Ali sebagai
penggantinya, dan Umar menyadari hal ini, sehingga ia mencegahnya.
Di atas Dr, Al-Tijani berpendapat bahwa
apapun yang dikehendaki Nabi untuk dituliskan adalah sungguh sesuatu yang
“baru”, maka kita Tanya : apakah sesuatu yang “baru” itu adalah penunjukkan Ali
sebagai khalifah? Syi’ah mengklaim bahwa Ali ditunjuk sebagai khalifah kaum
muslimin pada peristiwa Ghadir Khum, dimana kejadian tersebut terjadi sebelum
kejadian hari Kamis. Jika penunjukkan asli Ali pada saat di Ghadir Khum, dan
jika Syi’ah yakin bahwa dia ditunjuk lagi oleh Nabi saat kejadian kertas dan
tinta, lalu bagaimana dengan pernyataan ini : “pernyataan itu pasti di dalamnya
merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin” sebagaimana DR Al-Tijani klaim,
untuk itu tidak ada yang baru tetapi hal yang persis sama yang seharusnya
diturunkan di Ghadir Khum,
Hal ini membawa kita kepada pertanyaan
yang menarik lainnya, yaitu : “Apa yang signifikan dari peristiwa Ghadir Khum?
Dimana Syi’ah mengatakan kejadian itu disaksikan oleh ratusan ribu orang?
Apakah itu tidak cukup sebagai sebuah penunjukkan? Di sinilah letak
inkonsistensi syi’ah yang menganga lainnya; Syi’ah mengklaim bahwa Ghadir Khum
adalah bukti terbesar bagi Ali karena Nabi menunjuk Ali di depan ratusan ribu
kaum muslimin. Mereka berpendapat bahwa peristiwa tersebut akan membuat orang
tidak mungkin mengingkari keimamahan Ali atau menjadikan sesat mengenainya,
namun sekarang Syi’ah mengklaim bahwa tanpa selembar kertas yang ditulis pada
hari Kamis, umat akan selamanya sesat.
Dr. Al-Tijani berkata:
Saya pikir mayoritas sahabat bersama
Umar, dan itulah sebabnya Rasulullah merasa tidak ada gunanya untuk menulis
wasiat, karena beliau mengetahui bahwa mereka tidak akan menghormati beliau dan
tidak akan mematuhi perintah Allah dengan tidak mengangkat suara mereka
dihadapan beliau, dan jika mereka memberontak melawan perintah Allah, maka mereka
tidak akan pernah mematuhi perintah Rasul-Nya.
Pendapat bahwa Nabi merasa “tidak ada
gunanya” menyampaikan amanat tersebut adalah merupakan sebuah penghinaan
terhadap pribadi Nabi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
… “jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban
Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (QS 64:12)
Dan Allah berfirman lebih jauh:
“Jika mereka berpaling maka Kami tidak
mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah
menyampaikan (risalah).” (QS 42:48)
Nabi akan berdosa jika beliau gagal
menyampaikan risalah hanya dikarenakan protes dari orang-orang, karena Allah
memperingatkan:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS 5:67)
Da’i Syi’ah mengatakan bahwa Nabi tidak
menulis wasiat karena satu dari dua alasan : 1. Orang-orang mencegah beliau
dari melakukan hal itu; dan 2. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam marah kepada
mereka karena pembangkangan. Mari kita menganalisa klaim ini satu per satu.
Posisi pertama berarti Nabi telah melanggar ayat 5:67 (dan yang lain juga)
karena beliau gagal untuk menyampaikan amanat karena takut kepada orang-orang
(yaitu mereka mencegah beliau secara fisik mencegah beliau menyampaikan
amanat), walaupun Allah telah meyakinkan Nabi bahwa beliau akan dilindungi dari
manusia. Dan kita tahu dari Sirah Nabi, bahwa beliau tidak pernah gagal untuk
menyampaikan risalah Islam, kaum musyrikin Quraisy menganiaya beliau dan bahkan
mencoba membunuh beliau. Namun, itu tidak menghalangi Nabi untuk menyampaikan
risalah. Jadi bagaimana Syi’ah mengatakan bahwa Nabi kita yang tercinta gagal
untuk menuliskan beberapa wasiat agama karena takut atau karena intimidasi
fisik?
Kita baca kembali apa yang mereka
katakan:
Answering_Ansar (situs syi’ah) berkata :
Nabi meminta alat tulis di masa akhir
hidup beliau untuk memberikan perintah terakhir kepada kaum muslimin, tetapi
beliau dicegah untuk melakukan itu oleh sekelompok orang diantara sahabat
Bagaimana Syi’ah bisa mengklaim bahwa
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam gagal menyelesaikan misi beliau karena
orang-orang mencegah beliau dari melakukannya? Apakah orang Syi’ah tidak sadar
betapa hal ini adalah sebuah penghinaan kepada Nabi yang tidak pantas
diucapkan?.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak
dapat dicegah oleh siapapun dalam menyampaikan risalah dan kita meminta
perlindungan kepada Allah dari mengucapkan hujatan seperti ini, sekarang mari
kita menuju ke klaim mereka berikutnya, yaitu bahwa Nabi tidak menulis wasiat
karena kemarahan beliau kepada orang-orang atas pembangkangan mereka. Sekali
lagi, kita temukan bahwa Al-Qur’an menyalahkan hal seperti ini, bukan hanya
untuk Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam saja tetapi untuk seluruh
Nabi. Mari kita perhatikan kembali kisah Nabi Yunus, yang diperintahkan untuk
menyampaikan risalah kepada kaumnya, tetapi beliau frustasi dengan kaumnya
karena mereka tidak memperhatikan nasihatnya. Sehingga, Nabi Yunus memutuskan
untuk tidak menyampaikan risalah kepada mereka lagi sebagaimana dia berfikir
hal itu adalah tidak ada gunanya, dan sebaliknya dia pergi dengan marah. Namun
kita menemukan Allah menghukumnya. Allah berfirman:
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus),
ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan
mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat
gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku
adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS 21:87)
Jadi kita temukan bahwa tidaklah benar
bagi para Nabi gagal dalam menyampaikan risalah kepada manusia, tak peduli
betapapun menjengkelkan orang-orang itu. Ketika Nabi Yunus melakukan itu, Allah
memarahinya dan menghukumnya. Dan Syiah mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah
ma’shum atas segala kesalahan (dan mereka bahkan lebih ekstrim dalam hal ini),
jadi bagaimana bisa Syiah mengklaim bahwa Nabi gagal dalam menyampaikan pesan
hanya karena kemarahan? Imam kedelapan Syiah, Imam Ridha, mengatakan dalam
sebuah hadis shahih Sy’iah:
“Kemarahan orang mukmin tidak akan
menyimpangkan dia dari jalan yang benar”
(Chechel Hadith, p.123, http://smma59.wordpress.com/tag/hadithguidence-of-ahlulbayt/)
Bagaimana kemudian Syi’ah bisa menuduh
Nabi telah menyimpang dari jalan yang benar dalam menyampaikan amanat? Kita
temukan bahwa tidaklah pantas untuk Nabi mengatakan bahwa ia gagal menulis
wasiat karena takut, dipaksa, atau karena marah.
Mengapa Nabi tidak menuliskan wasiat
tersebut?
Pendapat yang mengatakan bahwa Nabi tidak
menuliskan wasiat karena sahabat mencegah beliau adalah keliru; tak seorangpun
dapat mencegah Nabi untuk menyampaikan amanat. Melainkan, alasan Nabi tidak
menuliskan wasiat adalah karena orang-orang saling bertengkar diantara mereka
sendiri dan karenanya Allah menghilangkan berkah darinya. Hal ini mirip dengan apa
yang terjadi ketika Nabi hendak menginformasikan kepada umatnya mengenai
tanggal terjadinya Lailatul Qadar. Kita baca:
Shahih Bukhari, jilid 3, buku 32, number
240
Diriwayatkan oleh Ubadah bin As-Shamit:
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam keluar
untuk menginformasikan kepada kami mengenai malam Laitul Qadar tetapi dua orang
kaum muslimin saling bertengkar. Sehingga Nabi bersabda, “Aku keluar untuk
memberitahukan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar tetapi orang-orang
ini saling bertengkar, sehingga berita mengenai ini telah ditarik kembali;
namun hal ini boleh jadi adalah untuk kebaikan kalian sendiri, jadi carilah itu
pada malam ke 29, 27, dan 25 (Ramadhan).
Saat Nabi menjumpai dua orang sedang
bertengkar, Allah menarik kembali pengetahuan tentang Lailatul Qadar, saat itu
juga, berkah pengetahuan tersebut telah lewat, hal yang serupa, saat kejadian
kertas dan tinta, waktu untuk pengetahuan itu telah lewat dan berkah telah
dihilangkan darinya. Karena itu Nabi tidak menulis untuk mereka sebuah wasiat.
Hal ini seharusnya dicatat bahwa –
seperti halnya tanggal datangnya malam Lailatul Qadar – pembatalan pengetahuan
ini “boleh jadi adalah untuk kebaikan kalian sendiri” dan ini berdasarkan
pemahaman bahwa Allah melakukan segalanya adalah untuk kebaikan umat manusia.
Ketika Nabi Adam ‘alaihi salam melanggar perintah Allah dengan mendekati pohon,
Allah mengusir dia dan istrinya dari surga. Orang Nashrani menganggap bahwa ini
adalah sebuah hukuman dari Tuhan, tetapi ini bukanlah keyakinan Islam; kaum muslimin
yakin bahwa Allah mengampuni Nabi Adam dan istrinya, dan bahwa pengusiran
mereka dari surga bukanlah sebuah hukuman tetapi merupakan salah satu rangkaian
peristiwa yang diperlukan dimana Allah menghendaki untuk menetapkan rencana
Ilahiah-Nya. Dalam jangka panjang, pengusiran Nabi Adam dari Surga adalah
rahmat untuknya dan untuk kebaikan dirinya sendiri.
Contoh analoginya dalam keseharian, jika
seorang guru memberikan PR tambahan kepada murid karena ia gagal dalam ujian,
maka mungkin si murid akan menganggap bahwa ini adalah hukuman. Namun
kenyataannya adalah sesungguhnya sang guru memberikan PR tambahan kepada si
murid untuk kepentingan si murid sendiri agar ia banyak berlatih dan menjadi
orang yang berhasil dalam hidupnya.
Seperti halnya kasus tanggal datangnya
malam Lailatul Qadar. Allah menarik kembali pengetahuan mengenai hal itu untuk
memberikan manusia sebuah pelajaran (adalah menahan diri dari pertikaian dan
perpecahan) tambahannya, itu adalah demi kepentingan mereka sendiri dengan
ditariknya pengetahuan tersebut, keuntungannya adalah orang akan akan shalat
sepanjang malam pada malam-malam di bulan Ramadhan daripada hanya satu malam
saja, itu sebabnya dikatakan untuk kebaikan mereka sendiri. Jika Nabi
mengungkapkan tanggal tepat datangnya malam Lailatul Qadar, maka orang-orang
akan hanya shalat sepanjang malam pada satu malam itu saja, dan akan
meninggalkan shalat pada malam-malam lainnya.
Demikian pula, kami meyakini bahwa adalah
untuk kebaikan kita sendiri Allah dan Rasul-Nya menarik kembali pengetahuan
dalam insiden tinta dan kertas. Hal ini ditulis dalam Fath Al-Bari oleh Syaikh
Al-Islam Ibnu Hajar bahwa ada kemungkinan pengetahuan dalam apa yang akan
dituliskan itu akan terlalu memberatkan kaum muslimin. Dan adalah untuk
kebaikan kaum muslimin Nabi menahan diri dari menyampaikan hal itu kepada
mereka. Sesuatu yang serupa telah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, di mana
pengetahuan ditarik dari umat karena takut bahwa mereka akan menjadi terlalu
longgar atau bermudah-mudahan:
Shahih Bukhari, Jilid 1 , buku 3, No. 130
Anas bin Malik ra meriwayatkan :
… Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Setiap hamba yang bersaksi bahwa: Tiada ilah yang berhak disembah
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, maka Allah
mengharamkan api neraka atasnya. Muadz berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah aku
memberitahukan hal ini kepada orang banyak agar mereka merasa senang?
Rasulullah saw. bersabda: Kalau engkau kabarkan, mereka akan menjadikannya
sebagai andalan (tidak beramal)”
Kesimpulan, Nabi memutuskan untuk tidak
jadi menulis wasiat karena : 1. Untuk mendidik kaum Muslimin dan 2. Untuk
kebaikan mereka sendiri dalam jangka panjang. Allahu ‘Alam.
Memainkan Permainan Syi’ah
Atas dasar apa Syi’ah mengatakan bahwa
Nabi menghendaki untuk menulis tentang Ali dalam wasiat beliau? Jika Syi’ah
mengklaim seperti itu, maka Sunni pun dapat dengan mudah mengklaim bahwa
sebenarnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang dikehendaki oleh Nabi untuk
ditunjuk pada hari itu. Betapa mudahnya hal ini! kenyataannya Imam An-Nawawi
menyatakan dalam Syarahnya bahwa Syufyan bin Uyainah berkata bahwa beberapa
ahli ilmu mengatakan bahwa Nabi berkeinginan untuk menunjuk Abu Bakar sebagai
Khalifah, dan kemudian Imam Nawawi menyatakan bahwa Nabi memilih untuk menarik
pengetahuan ini karena ketetapan Allah akan dipenuhi dengan cara yang lebih
baik. Jika Nabi telah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah atas kaum muslimin,
maka masyarakat luas akan merasa bahwa itu adalah tindakan seorang Tirani.
Kebiasaan bangsa Arab saat itu dalam memilih pemimpin mereka sendiri adalah
melalui musyawarah dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pendapat beberapa
ulama, penarikan pengetahuan mengenai penunjukkan Abu Bakar ditarik kembali
untuk kepentingan umat, sehingga mereka dapat memilih pemimpin mereka sendiri
yang hal tersebut terlihat lebih adil.
Jika Syi’ah mengklaim bahwa wasiat
tersebut mengenai Ali, maka apa yang mencegah kami untuk mengklaim bahwa wasiat
tersebut untuk Abu Bakar? Dan kami mempunyai bukti lebih besar,karena setelah
kejadian tersebut, Abu Bakar -bukan Ali- yang ditunjuk oleh Nabi sebagai Imam
Shalat. Dan kita tahu bahwa ketika Umar memulai untuk memimpin shalat, saat itu
Nabi menghentikannya, hingga beliau dapat memilih Abu Bakar saja untuk imam
shalat. Jadi jika Syi’ah suka menggambarkan cerita fiktif bahwa Umar
menghalangi penunjukkan Ali, maka mengapa tidak ada seorangpun yang mengklaim
bahwa Umar saat itu sedang menghalangi penunjukkan Abu Bakar? Yang benar dalam
hal ini adalah seseorang bisa mengklaim apa saja mengenainya.
Intinya adalah kita pun dapat memainkan
permainan Syi’ah dengan mudah dan menyatakan bahwa sebenarnya Abu Bakar lah
yang ditunjuk dalam wasiat yang hendak Nabi tuliskan. Namun, Ahlussunnah adalah
orang-orang yang jujur, dan kita tidak berbicara tentang hal yang ghaib. Posisi
terkuat adalah bahwa kita tidak tahu apa yang Nabi ingin tuliskan dalam dokumen
itu, sebagai pengetahuan yang tak terjangkau oleh kami. Dan yang lainnya adalah
hanya dugaan.
Ali ra Sendiripun Tidak Mengetahui
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنَ عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عَنْهُ خَرَجَ مِنْ
عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْعِهِ الَّذِي
تُوُفِّىَ فِيْهِ فَقَالَ النَّاسُ: يَا أَبَا الْحَسَنِ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللهِ بَارِئًا فَأَخَذَ
بِيَدِهِ الْعَبَّاسُ فَقَالَ لَهُ أَلاَ تَرَاهُ أَنْتَ وَاللهِ بَعْدَ ثَلاَثٍ
عَبْدُ الْعَصَا وَاللهِ إِنِّي َلأَرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَوْفَ تُوُفِّىَ فِي وَجْعِهِ وَإِنِّي َلأَعْرِفُ فِي وُجُوْهِ بَنِي
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ الْمَوْتَ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْأَلُهُ فِيْمَنْ هَذَا اْلأمْرُ؟ فَإِنْ كَانَ فِيْنَا
عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإْنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ فَأَوْصَى بِنَا.
قَالَ عَلِيُّ وَاللهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَمَنَعْنَاهَا لاَ يُعْطِيْنَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللهِ
لاَ أَسْأَلُهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رواه البخاري
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka
manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul
Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin
Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari
ini akan menjadi hamba tongkat (orang hina rendahan atau orang yang diperintah
oleh seseorang). Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah
anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan (wewenang) ini
dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun
diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya. atau kita minta agar
beliau mewasiatkan kepada kita. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah,
sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh
manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan
memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul
Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447; Tarikh
Ibnu Hisyam 2/654; Tarikh at-Tabari, jil 9, hal 175-176)
Beberapa hal yang
dapat diambil dari riwayat ini. Pertama, hal yang jelas bahwa Nabi telah pulih
kembali, namun Nabi masih tetap tidak menulis wasiat tersebut walaupun dalam
kenyataannya beliau masih hidup sampai paling tidak tiga hari selanjutnya.
Kedua, Abbas berusaha meyakinkan Ali untuk menanyakan kepada Nabi siapa yang
akan dipercaya untuk urusan kekhalifahan, dan ia tidak yakin kepada siapa Nabi
akan memberikannya. Bagaimana kemudian Syi’ah mengklaim bahwa wasiat tersebut
untuk Ali, ketika bahkan Abbas dan Ali tidak mengetahui kepada siapa Nabi akan
menunjuk? Ketiga, tidak ada korelasi antara wasiat tersebut dan penunjukkan
khalifah. Abbas meminta Ali menanyakan mengenai khalifah tapi tidak ada
korelasinya dengan wasiat tersebut.
Syi’ah bercerita
Bahwa Nabi menunjuk Ali di Ghadir Khum, jika kita menerima hal ini, maka
seharusnya tidak ada keraguan sama sekali dalam pikiran Ali dan Abbas mengenai
siapa yang akan diserahi kekhalifahan. Mungkin Syi’ah tidak akan menerima
riwayat dari Sunni sebagai bukti, tetapi kejadian yang serupa – Abbas
menanyakan kepada Nabi siapa yang akan diserahi urusan kekhalifahan –
diriwayatkan oleh Syaikh Mufit dalam kitab Al-Irsyad :
“Jika urusan ini
(kekhalifahan) diberikan kepada kami sesudah anda, maka beritahukanlah,”
Al-Abbas menanyakan kepada beliau. “jika anda (wahai Nabi) mengetahui bahwa
kami adalah yang diserahi, maka berikanlah kepada kami keputusan”.
(Kitab Al-Irsyad,
oleh Syaikh Mufid, hal 131)
Kejadian ini terjadi
tidak lama setelah peristiwa tinta dan kertas. Adalah jelas dari nukilan
tersebut bahwa Abbas, paman Nabi yang juga diakui oleh Syi’ah, tidak yakin
siapa yang akan menjadi khalifah dan harus menanyakan hal itu. Ini
menghancurkan argument Syi’ah bahwa Ali telah ditunjuk di Ghadir Khum; jika hal
itu memang terjadi, maka mengapa Abbas bertanya kepada Nabi siapa yang akan
ditunjuk setelah beliau? Dan Ali sendiri pun tidak yakin kepada siapa
kekhalifahan akan diserahkan; seandainya ia mengetahui bahwa itu adalah dirinya
sendiri, maka ia akan –menurut kata-katanya sendiri- meminta kepada Nabi untuk
mengumumkan itu dalam waktu tiga hari yang tersisa dalam kehidupan beliau. Pada
kenyataanya Ali tidak menekan Nabi dalam hal ini, membuat hal ini jelas bahwa
Ali tidak yakin jika Nabi akan menunjuk dirinya atau tidak; jika Ali sendiri
tidak yakin mengenai hal ini, lalu bagaimana bisa Syi’ah begitu yakin soal
ini?.
Kenyataannya, Syi’ah
mengklaim bahwa Umar mencegah Nabi dari menulis wasiat untuk Ali. Tetapi,
menurut sumber Syi’ah, tidak lama setelah kejadian tinta dan kertas, Nabi
kenyataannya meminta yang pertama kali kepada Abbas untuk menjadi khalifah!
Syaikh Mufid menulis :
Ketika mereka
(orang-orang) telah pergi (meninggalkan ruangan), beliau (Nabi) berkata:
“panggil kembali saudaraku (Ali) dan pamanku (Abbas).”
Mereka mengirim
seseorang untuk memanggil mereka dan membawa mereka. Ketika mereka telah duduk
dekat dengan beliau, beliau bersabda: “Paman Rasulullah, maukah engkau menerima
hibah wasiatku (Wasi), memenuhi janji-janjiku, dan melaksanakan agamaku?”
“Rasulullah, paman
anda adalah seorang yang sudah tua dengan memikul tanggung jawab sebuah
keluarga besar,” jawab Al-Abbas. “Anda telah bersaing dengan angin dalam
kebebasan dan kemurahan hati. Anda telah membuat janji-janji yang paman anda
tidak akan pernah bisa memenuhinya.”
Lalu beliau (Nabi)
berpaling kepada Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Saudaraku, maukah engkau
menerima hibah wasiatku (Wasi), memenuhi janji-janjiku, melaksanakan agamaku
atas namaku dan menjaga urusan keluargaku sesudahku?”
“Ya Rasulullah,” Ia
(Ali) menjawab.
(Kitab Al-Irsyad,
oleh Syaikh Mufid, hal 131)
Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam –menurut sumber Syi’ah- memanggil Ali dan Abbas ke kamar
beliau dan beliau meminta Abbas untuk menjadi khalifah. Lalu, mengapa Syi’ah
mengatakan bahwa Umar ingin mencegah Nabi dari menulis wasiat untuk Ali? Nabi
memberi prioritas dan preferensi kepada Abbas, jadi Syi’ah seharusnya berkata
bahwa Umar ingin mencegah kekhalifahan Abbas. Betapa rumit dan kacaunya cara
berfikir kaum Syi’ah! Lalu apa yang terjadi dengan Ghadir Khum, dimana Nabi
–menurut Syi’ah- telah menyelesaikan permasalahan khalifah dan telah
mempercayakannya kepada Ali? Kita baca berbagai website Syi’ah yang mengatakan
hal-hal seperti ini :
The Thaqalayn Muslim
Association berkata:
Ghadir Kum mewakili
pengangkatan dan proklamasi resmi Ali sebagai “pemimpin kaum muslimin” Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa alii wa sallam telah berusaha keras untuk
memastikan bahwa seluruh kaum muslimin mengetahui bahwa beliau telah menunjuk Ali
sebagai pengganti beliau dan Ali bahkan mendapatkan selamat dari para sahabat
terkemuka atas jabatannya yang baru diumumkan. Setelah pernyataan itu dibuat,
Agama Islam telah menjadi sempurna dan lengkap. Dengan semua bukti dari
teks-teks sunni yang tidak bisa diperdebatkan lagi, adalah mustahil untuk
menyimpulkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa alii wa sallam tidak mengangkat
pengganti.
Jadi mengapa Abbas
bingung mengenai hal tersebut bahkan setelah peristiwa Ghadir Khum berlalu?
Mengapa dia harus bertanya kepada Nabi tentang siapa yang akan mewarisi
kepemimpinan, bahkan sesudah penunjukkan resmi Ali? Jika Nabi telah berusaha
keras untuk memastikan kekhalifahan Ali, mengapa beliau menawarkannya pertama
kali kepada Abbas? Ketika Nabi menawarkan khalifah ke Abbas, mengapa Abbas
tidak memandang Nabi dengan ragu dan berkata “tetapi anda telah memberikannya
kepada Ali!”. Dari diskusi ini menjadi jelas bahwa Nabi tidak pernah menunjuk
Ali sebagai penggantinya, bahwa Abbas dan Ali tidak yakin tentang apa isi dari
wasiat tersebut atau siapa yang Nabi ingin tunjuk, dan bahwa Nabi telah
menawarkan kekhalifahan kepada Abbas mendahului Ali.
Perlu dicatat bahwa
Sunni menolak gagasan bahwa Nabi menawarkan kekhalifahan kepada Abbas ataupun
Ali; kita hanya menampilkan fakta bahwa terdapat terlalu banyak lubang dalam
kisah sejarah Syi’ah, dan lubang-lubang tersebut begitu besar sehingga pesawat
jumbo jet pun bisa terbang melaluinya.
Al-Qur’an sudah cukup
buat kita
Para da’i Syi’ah
kemudian akan mengkritik Umar bin Al-Khattab untuk apa yang dia katakan (yaitu
“Al-Quran sudah cukup bagi kita”). Syi’ah akan mengatakan bahwa yang dimaksud
Umar adalah menta’ati Sunnah itu tidak perlu. Namun, ini bukan pemahaman yang
tepat dari apa yang dikatakan Umar tersebut. Bahkan, Umar-sepanjang
hidupnya-menekankan pentingnya menta’ati Sunnah Nabi, sehingga tidak mungkin
untuk menuduh Umar sebagai salah satu yang disebut “Quraniyyun” atau
“Ingkarul-Hadits” (yaitu penolak Hadits).
Apa yang dikatakan
Umar sebenarnya hanyalah sebatas rasa kasihan dia terhadap kondisi nabi yang
parah saat itu dan tidak lebih, Umar merasa orang-orang mengganggu Nabi yang
sedang sakit parah dan susah untuk mengucapkan kata-kata, apalagi digambarkan
juga oleh sumber Syi’ah bahwa saat itu Nabi dalam keadaan sebentar pingsan
sebentar kemudian sadar lagi, hal ini sangat jelas dari perkataan tulus Umar
tanpa ada tendensi apapun “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah
untuk kita”. Bukan berarti Umar menyepelekan Nabi atau menganggap apa yang akan
dituliskan/didiktekan Nabi itu tidak penting, tetapi karena keadaan Nabi saat
itulah yang membuat Umar berkata seperti itu, hal itu dia lakukan karena rasa sayangnya
kepada Sang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin anda sekalian mengetahui
kisah bagaimana Umar seperti orang yang “kehilangan akal sehatnya” karena
kesedihan yang begitu dalam ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
dikhabarkan telah wafat, yang akhirnya disadarkan oleh Abu Bakar dengan
dibacakan Al-Qur’an.
Analogi yang tepat
untuk ini adalah jika seseorang yang sedang sakit keras ingin memberi anaknya
sejumlah uang. Tetapi satu dari anak-anaknya menyadari bahwa ayahnya sedang
membutuhkan banyak uang untuk pengobatan, sehingga dia mengatakan kepada
saudara-saudaranya: “tinggalkan ayah sendiri; apa yang kita dapat dari
pekerjaan adalah cukup buat kita”. Ini tidak berarti bahwa dia menyepelekan
ayahnya atau menganggap uang ayahnya tidak bernilai, tetapi ini hanya berarti
bahwa mereka masih mempunyai uang simpanan yang dapat diandalkan dan yang lebih
penting adalah saat itu bukanlah saat yang tepat dan pantas untuk menerima uang
dari ayah mereka dalam kondisi ayah mereka yang seperti itu.
Adapun perkataan Umar
“cukuplah Kitabullah untuk kita” hanyalah mengikuti apa yang disabdakan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya pada khutbah beliau di
padang Arafah pada haji Wada’ yang merupakan pesan-pesan atau wasiat beliau
yang terakhir dihadapan kaum muslimin dalam jumlah yang besar, dan itulah yang
dijadikan landasan Umar mengatakan hal itu. Mari kita baca :
وقد تركت فيكم ما لن
تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله وأنتم تسألون عني فما أنتم قائلون ؟ قالوا
نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فقال بإصبعه السبابة يرفعها إلى السماء وينكتها إلى
الناس اللهم اشهد اللهم اشهد ثلاث مرات
Dan sungguh telah aku
tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat apabila kalian
berpegang teguh dengannya, yaitu Kitabullah. Kalau kalian ditanya tentang aku,
maka apa yang akan kalian katakan? Mereka menjawab: Kami bersaksi bahwa engkau
telah menyampaikan dan telah menunaikannya, dan telah menasehati. Lalu beliau
berkata seraya mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada
orang-orang yang hadir: Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah”. Beliau
mengulanginya tiga kali…
(Shahih Muslim, 2/886
No. 1218)
Jelas sekali dalam
hadits shahih tersebut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan
sesuatu yang jika umat berpegang padanya maka tidak akan sesat selamanya yaitu
Kitabullah dan hari itu juga turun ayat Al-Maidah : 3 sebagai tanda bahwa
Al-Qur’an dan agama ini telah sempurna diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Kita bandingkan dengan apa yang dikatakan Rasulullah pada peristiwa kertas dan
tinta pada hari Kamis “kemarilah, aku akan menuliskan (mendiktekan) untuk
kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”. Menurut anda sekalian,
apakah wasiat yang akan dituliskan atau didiktekan Nabi tersebut akan melebihi
Kitabullah? Tentu saja tidak, karena Kitabullah adalah rujukan paling utama
bagi kaum muslimin, tidak ada lagi di atasnya dan Nabi telah dengan jelas
menyampaikannya pada Haji Wada’. Ataukah Nabi ingin mengulangi atau menekankan
kembali wasiat beliau dalam khutbah di hari Arafah pada peristiwa hari Kamis
tersebut? agar wasiat beliau tercatat dalam bentuk tulisan? Ataukah hal yang
lain? Allahu A’lam Bishawab, yang pasti Umar mempunyai landasan ilmu
(berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri) ketika mengatakan
hal itu.
Allahu ‘Alam
Bishawab.
Tulisan ini disadur
dan diterjemahkan secara bebas dengan beberapa perubahan dari tulisan Ibn al
Hashimi www.ahlelbayt.com
6 Responses
lihat rujukan
Siapa Yang Ribut Saat Nabi Sakit dan Apa Isi Wasiat
Nabi Saat Nabi Sakit ?
Tragedi Hari Kamis (Oleh:
Syekh Mamduh Farhan Al-Buhairi)
Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam