Jumat, 6 Mei 2016
Oleh
: Dr. Slamet Muliono*
Menarik untuk mengeksplorasi daurah yang diselenggarakan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang mengambil tema “Naqdh Aqo’id Asy Syi’ah Al Imamiyah” dengan menghadirkan seorang pakar ajaran Syi’ah,
Syaikh Ali bin Abdullah Al Amary. Setidaknya ada empat informasi penting yang
bisa diambil dari daurah ini.
Pertama, ajaran Syiah berujung mengkafirkan para
sahabat nabi. Kedua, Syiah memiliki bermacam aliran yang
mengkafirkan satu sama lain. Ketiga, Syi’ah meyakini bahwa
konsekuensi cinta kepada ahlul bait adalah membenci sahabat nabi. Keempat,
Syiah membenci Ahlus Sunnah dan bisa bergaul dengan orang Yahudi dan Nasrani.
(Fokusislam.com.5/5/2016)
Apa
yang diungkap oleh Syaikh Ali bin Abdullah Al-Amiry setidaknya mengungkap jati
diri Syiah sehingga bisa untuk membaca dinamika Syiah-Sunni yang penuh dengan
perseteruan dan konflik yang sulit didamaikan. Secara teoritik akademik,
konflik dua aliran keagamaan itu ingin segera diakhiri dengan berbagai upaya
untuk didekatkan. Banyak pihak berupaya untuk melakukan pendekatan, dan bahkan
hingga mencari persamaan di antara keduanya.
Namun
upaya itu lebih banyak bersifat basa basi, dan tidak berhasil mengungkap akar
masalahnya. Konflik yang tidak segera berakhir, disamping karena disulut oleh
kepentingan politik, juga karena ajaran Syiah sendiri memang berlawanan dengan
apa yang diajarkan Ahlussunnah.
Kalau
dilihat dari akar dan genealogi, ajaran yang digagas Abdullah bin Saba’
itu, lebih banyak dipenuhi dengan laknat kepada para sahabat nabi. Kalau
merujuk kepada kitab rujukan asli yang ditulis oleh ulama Syiah, banyak
dijumpai ajaran yang mengkafirkan sahabat. Bahkan hampir seluruh sahabat
Nabi dinyatakan keluar dari Islam kecuali tiga saja, yakni Salman Al-Farisi,
Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Aswad. Syiah bukan hanya mengkafirkan tetapi
juga melaknatnya.
Dua
Sahabat Terbaik
Terlebih
yang dilaknat oleh kelompok syiah bukan sahabat biasa, tetapi sahabat agung dan
mulia, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Padahal dua
manusia yang dijamin masuk surga itu, tidak lain mertua Nabi sekaligus sahabat
terbaik. Dua sahabat besar ini memiliki kontribusi yang agung bagi umat Islam
dan berkontribusi dalam meneguhkan peradaban Islam. Syiah menjuluki keduanya
sebagau “Al-jibtu wa al-thoghut”.
Dalam
sejarah disebutkan bahwa prestasi gemilang Abu Bakar adalah keberhasilannya
dalam mengembalikan umat Islam dari kemurtadan dan memperbaiki agama mereka.
Sementara Umar disamping dikenal sebagai pemimpin yang adil, juga berhasil
memperluas wilayah Islam dan meruntuhkan imperium Persia dan imperium Romawi.
Syi’ah
memang memiliki sejumlah varian dan bermacam-macam pemikiran, dan satu sama
lain saling mengkafirkan dan sulit dipersatukan. Di antara aliran Syiah itu,
ada aliran yang dekat dengan Ahlussunnah, yaitu Syiah Zaidiyah, dimana mereka
menerima kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Sementara Syi’ah secara umum serta
yang ekstrem lainnya seperti Rafidha, Hutsi dan Jarudiyah, bukan hanya
meniadakan kepemimpinan dua khalifah itu, tetapi melakukan pengkafiran kepada
dua khalifah itu.
Syiah
bukan hanya berbeda dengan Ahlussunnah tetapi bertentangan dalam ajarannya
dalam hal yang sangat prinsip. Kalau Syiah menganggap bahwa mencintai Ahlul
Bait berkonsekuensi membenci para sahabat, maka Ahlussunnah menyakini bahwa
mencintai Ahlul Bait berarti juga mencintai sahabat nabi semuanya. Kesalahan
pemahaman dalam mencintai Ahlul Bait, dengan membenci para sahabat, memiliki
dampak dan konsekuensi. (1) Pencitraan bahwa Syiah adalah kelompok yang paling
cinta dan loyal terhadap Ahlul Bait. (2) Pencitraan bahwa Ahlussunnah merupakan
kelompok yang benci Ahlul Bait. Dua hal ini memiliki konsekuensi bahwa kalau
masyarakat cinta Ahlul Bait maka mereka harus mencintai Syiah dan membenci
Ahlussunnah.
Terjadinya
pandangan yang terdistorsi seperti itu sangat wajar bila melahirkan
sejumlah pertentangan antara Syiah dan Ahlussunnah. Salah satu di antaranya
adalah spirit Syiah yang ingin memusnahkan keberadaan Ahlussunnah sebagaimana
yang bisa kita saksikan dengan sepak terjang Iran di beberapa negara di kawasan
Timur Tengah. Hal ini bisa kita lihat beberapa fakta seperti Yaman dengan
Hutsinya, Libanon dengan Hizbullahnya, dan Suriah dengan Bashar Assadnya. Bukti
empirik permusuhan Syiah terhadap Ahlussunnah, sebagaimana diungkapkan Syaikh
Al-Amary, dengan ketiadaan masjid Ahlussunnah yang berdiri tegak di Iran.
Beberapa sumber terpercaya menyebutkan bahwa muslim Sunni yang ingin shalat di
masjid harus sembunyi-sembunyi. Bahkan kalau mau shalat harus datang ke masjid
di komplek Kedubes Saudi yang ada di Iran. Hal ini karena Syi’ah yang menaruh
kebencian yang besar kepada Ahlussunnah. Sementara keberadaan Sinagog (tempat
ibadah Yahudi) bisa ditemukan di negara para Mullah itu.
Fakta
empirik di lapangan menunjukkan kedekatan hubungan antara Syiah dengan Yahudi
dan Nasrani. Syiah mau bergaul dengan siapapun, meskipun dengan orang Yahudi
dan Nasrani, tapi tidak demikian halnya dengan kelompok Ahlussunnah. Bukti empiriknya,
ribuan website, tak ada satupun melakukan bantahan kepada Yahudi dan
Nasrani, tetapi bantahan senantiasa ditujukan kepada Ahlussunnah.
Fakta-fakta
tentang pengkafiran terhadap para sahabat nabi, cinta kepada ahlul bait dengan
membenci sahabat nabi, dan kebencian Syiah terhadap Ahlus Sunnah serta
kedekatannya dengan orang Yahudi dan Nasrani, maka hal itu menunjukkan sulitnya
menuju persatuan antara Syiah dan Ahlussunnah. Hal itu bisa kita lihat fenomena
di Suriah, dimana Bashar Assad, yang berideologi Syiah dengan dukungan kuat
Iran, tega membunuh rakyatnya sendiri yang mayoritas Ahlussunnah.
Surabaya,
6 Mei 2016
*Penulis adalah dosen di UIN Sunan Ampel dan STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya
http://fokusislam.com/3001-mengungkap-akar-konflik-syiah-sunni.html
http://fokusislam.com/3001-mengungkap-akar-konflik-syiah-sunni.html