Kekuatan-kekuatan Barat –AS dan Eropa– menganggap
orang-orang yang tewas dan menjadi korban di Aleppo itu sebagai manusia
seutuhnya atau hanya semi-manusia, atau bahkan bukan manusia !
Aleppo – Apa yang sedang terjadi di Suriah beberapa hari
terakhir betul-betul di luar batas yang bisa kita bayangkan. Aksibrutalisme-barbar
rezim Assad dengan dukungan sekutu-sekutunya membombardir daerah pemukiman
warga sipil terutama di Aleppo, yang notabene merupakan rakyat mereka sendiri.
Lebih menyedihkan lagi, aksi yang dilakukan dengan tanpa membedakan target
serangan tersebut, masih juga belum mampu membuat dunia internasional mengambil
tindakan segera untuk menyelamatkan warga sipil yang menjadi korban serta
melindungi warga lainnya.
Situasi yang sedemikian chaos ini menimbulkan pertanyaan besar di
benak kita, apakah kekuatan-kekuatan Barat –AS dan Eropa– menganggap
orang-orang yang tewas dan menjadi korban di Aleppo itu sebagai manusia
seutuhnya atau hanya semi-manusia, atau bahkan bukan manusia, sehingga tidak
perlu diberikan perlindungan. Pertanyaan yang sama juga layak disampaikan
kepada entitas negara-negara yang selama ini mengaku menjunjung tinggi hak-hak
manusia secara adil dan beradab, bahwa dengan kekuasaan dan sumber daya
sedemikian besar yang mereka miliki, apakah orang-orang di Aleppo itu manusia
atau bukan yang layak dibela dan dilindungi?
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap Liga Arab,
juga Organisasi Konferensi Islam, yang sama sekali tidak menunjukkan ada
tanda-tanda kehidupan sebagai sebuah organisasi induk/payung yang diharapkan
mampu melindungi warga sipil daribrutalisme rezim
diktator semacam Bashar Assad. Euforia hasil KTT Organisasi Kerjasama Islam
(OIC) di Istanbul bulan April kemarin yang mengecam Iran –sekutu dekat Basyar
Assad– sebagai negara sponsor terorisme seharusnya tidak sekedar kata-kata “Oo.. I See” (O..I..C)
tanpa tindakan nyata. Warga sipil Suriah adalah manusia juga yang harus
dilindungi dan diberi keberpihakan dari kejahatan penguasa, terlepas apa
keyakinan mereka, ras, etnis, dan warna kulitnya.
Berbagai
laporan berita di media menyebutkan lebih dari 600 orang tewas di Aleppo hanya
dalam rentang waktu dua hari. Dan dunia hanya menyaksikan melalui media sosial
ataupun TV sebuah kota yang diluluhlantakkan dan diratakan dengan tanah,
sementara penduduknya dibantai dengan darah dingin.
Sementara
AS dan sejumlah kekuatan Eropa masih saja gembar-gembor dan sibuk sendiri dalam
perang “virtual”
melawan ISIS. Rezim Suriah nyata-nyata melakukan kejahatan perang di depan mata
mereka dan dunia, dan tidak perlu menggunakan peralatan canggih semacam satelit
intelijen untuk membuktikan kejahatan yang sangat mengerikan tersebut.
Jadi,
jangan-jangan perang Barat –AS dan Eropa– melawan ISIS di Iraq dan Suriah
adalah perang yang salah? Karena pada dasarnya ISIS hanyalah sebuah gejala
ataupun efek derivatif dari sebuah kejahatan perang sistemik seperti yang
sedang terjadi ini? Di Suriah, kejahatan itu diperankan oleh rezim Assad dengan
dukungan sekutu-sekutunya: Rusia, Iran, Syiah Hizbullah, dan milisi-milisi
Syiah lainnya; sementara di Iraq kejahatan perang itu dimainkan oleh penguasa
“terpilih” yang (juga) didominasi oleh elemen Syiah, termasuk skandal
penyiksaan di penjara Abu Ghuraib oleh militer Amerika Serikat dan CIA.
Bukankah
rezim Bashar Assad merupakan akar segala sebab bencana kemanusiaan yang terjadi
di Suriah hari ini? Sehingga secara tidak langsung mendorong munculnya
kelompok-kelompok “teror” perlawanan semacam ISIS? Daily Telegraph di Inggris
baru-baru ini mengungkap bahwa transaksi bisnis antara rezim Assad dengan
kelompok ISIS mencapai US$ 40 juta per bulan.
Sebuah
kesepakatan, sebagaimana klaim koran tersebut, telah dibuat sejak 2014 antara
rezim Assad & Daesh untuk menjual minyak ke wilayah yang mereka kontrol.
Al-Araby 21 juga melaporkan, tertanggal 26 April 2016, bahwa sumber informasi
terungkapnya “skandal” ini adalah dari dokumen-dokumen rahasia yang diperoleh
pasukan khusus Inggris dan Amerika saat mereka menangkap pemimpin terkemuka
ISIS, Abu Sayyaf yang juga menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Keuangan
kelompok ISIS.
Jumlah
pemasukan yang begitu besar dari hasil penjualan minyak kepada rezim Assad
menjelaskan sumber daya logistik yang luar biasa yang dimiliki ISIS. Demikian
juga, unjuk kekuatan (militer) yang dipertontonkan oleh kelompok tersebut
mengungkap hal yang sama, termasuk kemampuan militer non-konvensional yang
dimiliki oleh sebuah entitas kelompok yang diserang oleh kekuatan-kekuatan
besar negara-negara Barat.
Laporan-laporan
terkini dari berbagai media, termasuk Komisi HAM PBB, memberikan testimoni
terjadi bencana kemanusiaan yang terus meningkat di wilayah-wilayah lainnya,
seperti di Homs, Damaskus dan sekitarnya, Idlib, dan Deir Ezzor. Realitas
tragis ini membuat kita terus bertanya: Apakah perang yang selama ini
dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan besar melawan ISIS adalah perang yang salah?
Apakah (diam-diam) mereka sedang mencoba mengalihkan perhatian masyarakat
internasional dari masalah/bencana yang sesungguhnya? Dan, nampaknya mereka
akan terus memelihara/menjaga supaya rezim Assad terus hidup, sementara setiap
hari kita menyaksikan penghancuran rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, dan
infrastruktur lainnya yang masih ada yang menopang kehidupan warganya yang
tersisa.
Barangkali
bahwa para pemimpin oposisi Suriah yang baru-baru ini menyatakan mundur dari
proses perundingan damai karena memang disebabkan oleh tidak adanya kesungguhan
apalagi ketulusan dari delegasi rezim. Dan penolakan mereka untuk menerima
Assad sebagai bagian dari solusi masa depan Suriah, telah berkonskuensi pada
sanksi atau “hukuman” dari rezim Assad. Assad mencoba mem-fetakompli faksi-faksi oposisi Suriah: menerima
konsesi terkait Assad, atau akan terus menghadapi gempuran yang lebih besar.
Ketika
kita tahu bahwa rezim Assad lah yang sebetulnya bertanggung jawab atas
munculnya ISIS serta menopang kekuatan mereka melalui penyediaan rute yang aman
bagi transaksi minyak, kita menyadari bahwa perang seharusnya bukan diarahkan
untuk melawan ISIS, tetapi melawan rezim sektarian Bashar Assad dan
sekutu-sekutunya.
Stigma
terkait dengan bencana yang terjadi di Suriah akan terus melekat dengan Assad
hingga beberapa tahun yang akan datang. Jika kekuatan-kekuatan dunia masih
membisu dan tidak mengambil langkah konkrit secara cepat, maka bisa dianggap
mereka juga terlibat dalam kejahatan tersebut. Dan tangan-tangan mereka akan
berlumuran darah orang-orang yang lemah dan tak berdosa, termasuk wanita dan
anak-anak.
Penulis: Yasin Muslim
Editor: Hunef Ibrahim
Breaking News ! Menlu Polandia Sebut Rusia Lebih
Berbahaya Dari Islamic State (IS) ! Fakta 100 % Muslim ( Suni ) Arab Mengangap
Barbar Komunis Rusia ( Juga Syiah ) Musuh Bersama Dan Lebih Berbahaya Dari Isis
Apakah Amerika
Sedang Kebingungan dalam
Mengatur Militernya?
Tidak ada
yang menyangkal bahwa pasukan militer Amerika Serikat saat ini sedang terlibat
perang & pertempuran di Iraq dan Suriah, termasuk di sejumlah negara
lainnya seperti Afghanistan, kecuali (mungkin) Presiden Barack Obama dan
beberapa pejabat di pemerintahannya yang terus menolak cara pandang semacam
itu.
Argumentasi-argumentasi semantik Washington
yang menggunakan permainan bahasa terkait ada-tidaknya pasukan (darat)
Amerika telah mengaburkan fakta di mana ribuan personil militer AS bersenjata
saat ini sedang berada di Iraq dan Suriah. Obama berulang kali mengatakan –
lebih dari belasan kali – bahwa Washington tidak akan mengerahkan pasukan
tempur di Iraq & Suriah, sementara pada saat yang sama terjadi peningkatan
kekuatan dan jumlah personil militer Amerika di kedua negara tersebut.
Pekan lalu, Menteri Pertahanan Ash Carter
mengakui personil militer mereka di Iraq & Suriah terlibat pertempuran. Ia
mengatakan, “Kita harus menyatakan hal tersebut secara jelas”. Jadi, kapan
suatu pasukan bisa dikatakan telah berada di medan/darat dan terlibat
pertempuran, dan apa maksud dari semua itu?
Pasukan AS di Iraq dan Suriah
Lebih dari 5.500 orang personil militer AS
saat ini berada di Iraq. Namun demikian, Pentagon memberikan data jumlah
personil militer tersebut dengan angka yang lain. Baru-baru ini, Obama
memberikan otorisasi penambahan jumlah pasukan yang bisa dikerahkan ke Iraq
untuk memberikan nasehat dan bantuan kepada pasukan Iraq dalam memerangi
kelompok ISIS. Jumlah serdadu Amerika pada pekan lalu bertambah dari 3.870
menjadi 4.087 personil.
Tetapi sejumlah personil militer tidak
dimasukkan dalam angka penjumlahan tersebut disebabkan pihak militer punya
“sistem” penghitungan sendiri. Misalnya, bahwa jumlah pasukan militer yang
ditugaskan untuk mengamankan kantor Kedutaan AS, atau unit-unit lain yang
dikirim ke Iraq untuk misi-misi tertentu berjangka pendek dan bersifat
sementara adalah di luar angka 4.087 tersebut.
Menteri Pertahanan Ash Carter saat berada di
Stuttgart, Jerman, untuk menghadiri upacara serah terima tugas komando militer
pada hari Selasa (03/05) pekan ini mengungkap adanya seorang tentara Amerika
yang tewas dalam pertempuran di Iraq di suatu lokasi dekat Irbil. Seorang
pejabat militer AS di lapangan memberikan keterangan dengan kondisi anonim,
bahwa tentara Amerika itu tewas saat bertugas melaksanakan misinya sebagai
penasehat militer milisi Peshmerga – Kurdi. Tentara naas tersebut tewas oleh
tembakan langsung setelah para jihadis dari kelompok ISIS berhasil menembus
garis depan pertahanan Peshmerga. Pejabat anonim itu mengatakan, posisi tentara
Amerika ketika itu berada pada jarak dua hingga tiga mil di belakang front
pertempuran.
Pekan lalu Pentagon mengumumkan penambahan
jumlah personil pasukan AS yang akan ditempatkan atau bertugas di Suriah dari
50 menjadi 300 tentara. Unit pasukan tersebut, terutama berasal dari pasukan
khusus Angkatan Darat, saat ini diklaim sedang bekerja sama dengan pasukan
lokal oposisi Suriah. Dan penambahan kekuatan baru itu termasuk unit medis dan
logistik.
Membangun Basis di Iraq,
Bekerja “Jarak Jauh” di Suriah
Di Iraq, di sana ada para penasehat militer,
pelatih/instruktur, unit pasukan operasi khusus, dan pasukan-pasukan lainnya
yang ditempatkan di basis-basis militer Iraq dan bekerja sama dengan personil
militer Iraq. Pekan lalu, Menteri Pertahanan Ash Carter mengumumkan, beberapa
penasehat militer akan mulai bekerja dengan militer Iraq di tingkat brigade dan
batalyon. Selama ini mereka sudah bekerja dengan personil militer Iraq di
tingkat headquarter Divisi. Perubahan ini akan berdampak ditempatkannya
unit-unit yang lebih kecil tim penasehat militer yang kemungkinan besar akan
lebih dekat dengan pertempuran.
Di Suriah, Amerika memiliki 50 personil
pasukan operasi khusus yang masuk ke wilayah Suriah dari negara tetangganya
untuk bekerja sama dengan pasukan lokal oposisi Suriah. Mereka tidak berbasis
di Suriah, sehingga posisi mereka bergerak keluar masuk, sesekali berada di
negara tersebut dalam beberapa hari. Menurut sumber dari sejumlah pejabat,
penambahan kekuatan sebanyak 250 personil itu akan melakukan misi yang sama.
Mereka juga tidak akan membangun basis di Suriah, karena akan sangat rentan dan
menjadi sasaran empuk para jihadis. Sebaliknya, pasukan Amerika itu akan
bekerja secara Long-Distance dari negara-negara tetangganya, seperti Iraq &
Turki. Dan mereka berada di sana, tidak untuk bertempur bersama dengan pasukan
oposisi Suriah, melainkan hanya memberikan nasehat dan bantuan-bantuan lainnya.
Re-definisi Pentagon
Sejak 2013, para pejabat pemerintahan Obama
secara konsisten menyampaikan kepada publik Amerika bahwa mereka tidak akan
mengerahkan pasukan darat untuk bertempur di Iraq dan Suriah. Argumentasi
mereka itu berdasarkan pada asumsi bahwa tidak ada pasukan darat konvensional
atau reguler AS dalam jumlah besar yang akan bertempur melawan para jihadis
secara langsung. Pernyataan ambigu “tidak ada pasukan darat AS” ini menurut
perspektif pemerintah Amerika maksudnya adalah pasukan AS tidak berada di garis
depan untuk berperang. Sebaliknya, pasukan militer AS akan mengambil peran
memberikan nasehat dan bantuan kepada pasukan Iraq dan oposisi Suriah, termasuk
melatih, memberikan dukungan intelijen dan logistik dari garis belakang
pertempuran.
Susunan kata-kata tersebut dimaksudkan untuk
membedakan pola penanganan dalam menghadapi konflik terbaru menghadapi para jihadis
termasuk ISIS, dengan perang-perang sebelumnya di Iraq & Afghanistan di
mana ribuan pasukan reguler AS dikerahkan dan terlibat pertempuran konvensional
dengan “musuh” dalam unit-unit kecil hingga setingkat regu, serta dalam
situasi pertempuran jarak dekat. Pola pendekatan ini dianggap tidak efektif dan
berbiaya tinggi bagi AS di samping berisiko akan jatuhnya banyak korban, karena
sama saja dengan memaksa pasukan reguler Amerika untuk menghadapi determinasi
pasukan jihadis yang secara taktis lebih mengenal medan dan terbiasa berlatih
dengan intensitas tinggi.
Carter menyampaikan kepada Komisi Militer di
Senat pekan lalu bahwa pasukan AS tidak akan terjun secara langsung ke dalam
perang & pertempuran dengan menggantikan peran pasukan lokal, tetapi
akan mencoba membuat pasukan sekutu lokal menjadi lebih kuat sehingga cukup
mampu mengusir para militan teroris dengan dukungan Amerika. Dan ketika Amerika
memberikan dukungan kepada pasukan sekutu lokal, Carter mengatakan, “Kami
menempatkan orang-orang kami dalam situasi yang berbahaya. Maka, kami meminta
mereka bertempur”.
Serangan Udara dan Operasi
Pasukan Khusus adalah Pengecualian
Jenderal Joseph Dunford, panglima Kepala Staf
Gabungan memperjelas fakta keterlibatan pasukan Amerika dalam pertempuran saat
menghadiri agenda dengar pendapat dengan Senat AS pekan lalu. Dunford
mengatakan bahwa jet-jet tempur Amerika yang melancarkan serangan udara di Iraq
dan Suriah itu sedang melaksanakan misi tempur.
Pentagon tidak berbicara mengenahi berbagai
operasi rahasia, yang sedang dilaksanakan oleh unit pasukan komando AS,
termasuk Delta Force dari matra Darat atau SEALs dari Angkatan Laut,
di mana saja mereka berada. Dan pasukan khusus AD atau Green Berets yang
berada di negara-negara yang tengah dilanda perang, memberikan pelatihan dan
bantuan, karena itu adalah salah satu pekerjaan utama mereka.
Dalam beberapa kasus, pejabat-pejabat
Washington mengakui adanya misi-misi yang bersifat khusus untuk menangkap atau
membunuh target-target ber-profil tinggi, termasuk juga misi-misi penyelamatan
sandera. Namun, misi-misi semacam itu tidak dianggap “pasukan darat” karena
mereka bergerak dan berpindah dengan cepat, dan berada di suatu area tertentu
dalam waktu yang tidak lama.
Kontemplasi Kegagalan
Sebelumnya
Amerika Serikat telah belajar dari kesalahan
strategi di masa lampau dalam kebijakan kontra-terorisme terutama selama dekade
pertama pasca 11/9. Kampanye militer tunggal di
satu negara tertentu terbukti tidak memberikan dampak keberhasilan permanen dan
berjangka panjang. Keberhasilan invasi AS tahun 2001 di Afghanistan dalam
menjatuhkan pemerintahan Taliban ternyata merupakan keberhasilan temporer. Lima
tahun kemudian, Taliban mulai bangkit dengan kekuatan baru yang lebih segar
mengancam rezim boneka di Kabul, sementara al-Qaidah semakin berkembang dan
beroperasi di lebih dari 20 negara di dunia. Kampanye militer AS di Iraq juga
mendorong munculnya kelompok-kelompok ultra militan semacam ISIS.
Bagi AS, aliansi “nyaman” dengan
komposisi negara-negara atau entitas tertentu yang relatif tetap, seperti
aliansi antara Rusia dengan Iran, Suriah, dan Syiah Hizbullah masih dianggap
tidak efektif dan tidak akan memberikan dampak keberhasilan permanen jangka
panjang. Demikian juga, pengerahan pasukan atau invasi berskala besar juga
bukan solusi yang tepat.
Strategi Baru Kontra Terorisme
Amerika
Pasca empat tahun revolusi Arab Spring dan
setelah pasukan AS secara resmi ditarik dari Iraq, Amerika juga telah belajar
bahwa, “Jika kita (Amerika) tidak melakukan sesuatu, musuh akan menjadi semakin
kuat, semakin kaya, dan semakin luas menguasai suatu wilayah”. Pada akhirnya,
musuh akan mengancam: kepentingan-kepentingan Amerika, sekutu-sekutu Amerika,
dan negara Amerika sendiri.
Dalam strategi baru Pentagon yang terus
dikembangkan, untuk mengalahkan “teroris” diperlukan upaya di segala bidang,
termasuk kampanye militer yang di-sinkronisasi dengan langkah & upaya-upaya
diplomatik, ideologi, dan politik. Strategi di bidang militer, berfokus
pada upaya mengurangi kemampuan musuh untuk melakukan kekerasan di berbagai
wilayah dan negara yang menyebar di seluruh dunia. Untuk menghadapi tantangan
itu diperlukan kemitraan, bukan ekspedisi militer besar-besaran. Kehadiran
militer AS akan diperlukan, tetapi mereka harus memanfaatkan pasukan sekutu
lokal di setiap negara.
Diplomasi semantik yang dilakukan Washington
dalam menjelaskan keberadaan pasukan militer negaranya merupakan
manifestasi kebijakan AS dalam menghadapi perang generasi terbaru. Tidak
dipungkiri, pasukan militer negara superpower ini memiliki kemampuan atrisi
(menghancurkan musuh) luar biasa yang masif & berskala besar, termasuk
ratusan arsenal senjata nuklir yang tersebar di seluruh dunia. Namun
dalam perang yang oleh sebagian pengamat dan akademisi strategi militer
dikategorikan sebagai perang generasi IV ini, sumber daya destruktif
tersebut tidak bisa serta merta digunakan begitu saja, melainkan harus tunduk
di bawah narasi-narasi yang dibangun dengan merujuk pada strategi yang
diterapkan.
Sumber: Military
Penulis: Yasin Muslim