Tuesday, May 10, 2016

Politik Luar Negeri AS: Rakyat Muslim Suriah Yang Seharusnya Pergi, Bukan Dajjal Syi’ah Assad !

Hasil gambar untuk guerra en siria 2014

Banyak  pihak yang percaya bahwa Presiden AS Barack Obama sejatinya tidak memiliki kebijakan mengenai masalah konflik dan perang di Suriah. Meskipun demikian, ketiadaan suatu kebijakan sebenarnya merupakan bagian dari strategi itu sendiri dalam artian bahwa tidak punya kebijakan di Suriah bukan sesuatu yang mustahil bagi pemerintah Amerika, karena itu merupakan strategi Washington untuk memperkuat peran Rusia dan Iran di wilayah itu serta mengisi kekosongan akibat mundurnya Amerika.
Obama Cuma Omdo Alias Omong Doang
Selama lima tahun konflik Suriah berlangsung, pemerintahan Obama secara konsisten mengatakan pemimpin rezim Suriah Basyar Assad telah kehilangan ligitimasi. Namun, selama itu pula tidak ada tindakan apapun yang diambil pemerintah Amerika untuk menghukum Assad maupun melengserkannya. Ketika revolusi rakyat Suriah pecah pada bulan Maret 2011, warga sipil terus menerus mengalami pembunuhan secara kasat mata, dan selama enam bulan tidak ada perlawanan.
Pada saat tidak ada tindakan apapun dari dunia internasional untuk menghentikan kebrutalan rezim Damaskus, para personil militer Suriah mulai membelot dan membentuk sebuah organisasi cair yang populer dengan nama Jaisyul al-Hurr atau FSA (Free Syrian Army) untuk membela rakyat sipil. Demikian juga kelompok-kelompok Islamis-Jihadis yang sudah lama mengakar namun masih bergerak secara rahasia, saat itu mulai muncul dan tampil secara terbuka berjuang bersama rakyat Suriah.
Selama periode 2011 dan 2013, pemerintah AS terus mencari alasan pembenaran untuk menjustifikasi sikap negatifnya terhadap revolusi Suriah dengan menekankan “itikad baik” Amerika seolah-olah Amerika tidak ingin melakukan intervensi militer ke Suriah. Padahal,  rakyat Suriah juga tidak pernah meminta Amerika untuk melakukan intervensi. Mereka (rakyat Suriah) hanya menuntut diberi bantuan senjata untuk membela diri melawan Assad dan sekutu-sekutunya, juga untuk mencegah dukungan luar dari Iran, Iraq, Syiah Hizbullah, dan Rusia terhadap Assad sehingga pertempuran akan menjadi fair & seimbang antara “Assad versus Revolusi Rakyat”.
Obama menolak kedua-duanya – intervensi & bantuan senjata – , ia juga secara konsisten menolak tuntutan dibangunnya sebuah zona aman untuk menjamin keselamatan rakyat sipil dan para pengungsi. Lebih dari itu, pemerintah AS juga menekan sekutu-sekutu regionalnya untuk tidak mensuplai oposisi dengan senjata-senjata berteknologi canggih terutama rudal yang bisa melumpuhkan jet-jet tempur Assad. Terdapat beberapa kasus di mana Washington memaksa untuk menghentikan pengapalan atau pengiriman senjata ke FSA.
Tolak Propoposal NSC (National Security Council)
Pada tahun 2012, Obama memiliki peluang yang bersejarah untuk membuat perubahan signifikan di Suriah dan di kawasan sekitarnya ketika seluruh unsur/anggota Dewan Keamanan Nasional, NSC (National Security Council) yang terdiri dari: Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Direktur CIA, Panglima militer atau Chief of Staff, mendukung sebuah proposal untuk mempersenjatai oposisi Suriah. Tetapi, sekali lagi Obama menolak proposal yang diajukan oleh para penasehatnya sendiri.
Bahkan, ketika itu Gedung Putih menerima rencana detil CIA yang berisi 50 opsi untuk melengserkan Basyar Assad dari kursi kekuasaan. Direktur CIA saat itu, David Petraeus dan sejumlah pejabat lainnya yang mendukung skenario tersebut meyakini bahwa rencana mereka akan mampu mencegah kebangkitan kelompok-kelompok jihadis, termasuk ISIS, juga mencegah penggunaan senjata kimia oleh Assad, krisis pengungsi di Eropa, serta kematian puluhan ribu warga sipil.
Hubungan Rahasia dengan Teheran
Pada gilirannya, Obama lebih tertarik untuk memenuhi tuntutan rezim Mullah di Teheran daripada memenuhi tuntutan bagi kebebasan rakyat Suriah dengan revolusi mereka, atau bahkan membangun sistem demokrasi ala Barat di negeri tersebut. Dan karena Obama khawatir akan membahayakan hubungan rahasianya dengan rezim Iran, ia menghindari langkah apapun yang bisa membuat marah Teheran atau berada pada posisi berseberangan dengan Iran, termasuk tentu saja mendukung oposisi Suriah serta menggulingkan sekutu strategis Iran di kawasan tersebut, yaitu Basyar Assad.
Kebijakan pemerintahan Obama ini bukanlah sesuatu yang bersifat insidental. Hal itu merupakan manifestasi sebuah “kebijakan” atau strategi yang sudah ada sebelumnya. Pada tahun 2009, Washington tidak cukup memberikan perhatian terhadap “Revolusi Hijau” di dalam negeri Iran demi tetap mempertahankan hubungannya dengan rezim para Mullah. Sikap Amerika ini membuat pasukan Garda Revolusioner Syiah Iran (IRGC) semakin berani dan brutal memberangus ribuan demonstran yang menuntut reformasi serta menghentikan revolusi tersebut tanpa menerima sanksi & konskuensi apapun atas tindakan keras yang mereka lakukan.
Tahun 2010, Gedung Putih mencapai kesepahaman dengan Iran terkait isu Iraq yang pada akhirnya mengakhiri demokrasi yang baru saja tumbuh di negara tersebut. Washington bukannya menghormati hasil pemilu rakyat Iraq yang memilih Iyad Allawi, seorang Syiah Iraq yang didukung oleh mayoritas warga Sunni untuk menjadi perdana menteri terpilih, sebaliknya atas kesepakatan dengan Teheran malah mendorong Nouri al-Maliki ke tampuk kekuasaan. Nouri al-Maliki tercatat sebagai diktator paling buruk dalam sejarah Iraq dengan berbagai kebijakan-kebijakannya yang bersifat sektarian, eksklusif, serta memecah belah sehingga mendorong munculnya kelompok ultra militan semacam ISIS.
Definisi Ganda “Pejuang Asing”
Tahun 2011, ketika gelombang revolusi melanda Suriah, terjadi pertemuan rahasia antara perwakilan Teheran dengan sejumlah pejabat AS. Oleh karena itu, bisa dipahami meskipun pada tahun 2012 masyarakat internasional menyaksikan adanya aliran milisi-milisi Syiah yang dikendalikan oleh Garda Revolusi Iran memasuki Suriah, Obama tidak melakukan sesuatu untuk menghentikan mereka sebagaimana yang ia lakukan terhadap para “foreign-fighter” dari negeri-negeri Islam yang tergerak untuk ikut membela rakyat Suriah. Pemerintah Amerika memiliki standar & definisi ganda untuk mengkategorikan “pejuang asing”. Selanjutnya, Obama memutuskan untuk melakukan negosiasi rahasia dengan Iran di Oman pada tahun 2013.
Selama periode itu, Assad menggunakan berbagai macam jenis senjata untuk membunuhi rakyatnya. Pada bulan Agustus 2013, Assad menantang masyarakat internasional dengan aksinya menggunakan senjata kimia hingga menewaskan 1400 warga sipil. Meskipun tindakan barbar Assad tersebut masuk dalam kategori state-terorism, dan telah melewati batas apa yang selama ini disebut Obama sebagai “garis merah”, namun Obama masih memaafkan dan memberi peluang Assad untuk mengoreksi kesalahan strategisnya itu. Tetapi sekali lagi, bukannya menghukum Assad dan menggulingkannya, Presiden Obama malah memutuskan untuk membuat kesepakatan mengenai senjata kimia dengan Rusia.
Kritik dari Dalam Negeri
Senator John McCain yang mengetuai Komite Dinas Kemiliteran di Senat mengomentari keputusan Gedung Putih, “(Keputusan tersebut) bukan hanya menciderai kewajiban moral di mana kita harus mencegah kejahatan masal dan menghukum pelaku yang menggunakan senjata kimia, tetapi hal itu juga berarti memberi lampu hijau kepada Assad untuk lebih mengakselerasikan perang sektariannya terhadap oposisi moderat. Lebih dari itu, tidak adanya tindakan dari presiden telah menghancurkan kredibilitas AS di mata negara-negara partner kita di kawasan itu di mana mereka telah siap mendukung misi AS, dan hal itu telah mengguncang sekutu-sekutu Amerika di seluruh dunia.”
Hubungan dengan Teheran Berlanjut
Dalam rentang waktu sebulan menyusul serangan senjata kimia tersebut, Obama menelepon Presiden Iran Hassan Rouhani – pembicaraan telepon pertama kali oleh petinggi Amerika sejak 1979 – . Sebagai tindak lanjut pembicaraan tersebut, mereka mencapai kesepakatan yang kemudian disambut sebagai kesepakatan “historis” pada akhir tahun 2013. Sebagai hasilnya, selama tahun 2014, Iran telah merealisasikan tujuan jangka panjangnya dengan mengendalikan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah baik secara politik maupun militer. Sebagai contoh, Iran ikut berperan menentukan nasib presiden di Iraq, Iran juga terlibat dalam penggulingan presiden Lebanon, menggantung nasib presiden di Yaman, serta melindungi diktator Suriah Basyar Assad. Dengan kata lain, Iran ikut mencampuri dan mengendalikan negara-negara tersebut tanpa ada satu reaksi apapun dari pemerintah AS. Hal itu terlihat dengan adanya pengakuan resmi Washington terhadap legitimasi lingkup pengaruh Iran
Setelah memuaskan rezim Iran, AS lalu fokus pada upaya untuk memberikan Rusia peran yang lebih besar di Suriah. Peran langsung Rusia di negara itu dimulai dengan keterlibatan Moskow dalam kesepakatan bersama mengenai senjata kimia, yang kemudian disahkan di awal tahun 2014 yang lalu melalui Perjanjian Jenewa II mengenai Suriah. Untuk menjustifikasi kebijakan/langkah sebelumnya, Washington mulai “sedikit” berbicara tentang niatnya untuk mendukung oposisi moderat di Suriah. Namun keputusan ini bagi sebagian pihak sudah sangat terlambat karena sikap negatif Washington telah membuat Assad menciptakan situasi yang kondusif bagi muncul dan berkembangnya kelompok-kelompok jihadis, terutama setelah insiden senjata kimia. Dan sekali lagi, Obama memanfaatkan isu ini untuk membela kebijakannya yang miskin tindakan terhadap Assad.
Washington Membantu PYD Afiliasi Teroris
Pada akhir tahun 2014, AS mulai membantu PYD, milisi Kurdi Suriah afiliasi PKK yang secara resmi masuk dalam daftar kelompok teroris. Lebih jauh, AS telah menarik battery missile (sistem rudal PATRIOT) dari perbatasan Turki yang berarti memberi lampu hijau kepada Rusia untuk melakukan intervensi militer ke Suriah atas nama “perang melawan terorisme”.
Kebijakan AS ini telah sukses membangkitkan kemarahan sekutu-sekutu Amerika di kawasan itu, seperti Turki dan Arab Saudi, karena dianggap membahayakan kepentingan keamanan nasional mereka, di sisi lain juga memperkuat musuh-musuh mereka. Yang pasti, kebijakan pemerintah Amerika ini berkonskuensi seperti melakukan pembiaran terhadap penghancuran Suriah, pembunuhan ratusan ribu warga sipil, serta menyebabkan jutaan lainnya mengungsi.
Menolak Tawaran Koalisi Regional
Sejak Gedung Putih menganggap “perang melawan terorisme” sebagai prioritas, Amerika masih selalu menolak berbagai macam solusi yang ditawarkan oleh negara-negara tersebut di atas, seperti membangun zona aman, mensuplai oposisi moderat dengan senjata canggih untuk menekan Assad supaya lengser dari kekuasaan, atau menciptakan suatu kondisi yang dibutuhkan bagi penggulingannya.  Pemerintah Amerika sebelumnya meyakini bahwa dengan fokus pada isu terorisme akan membantu Amerika menahan konflik kepentingan antara Rusia dan Iran di satu sisi, dengan Turki dan Arab Saudi di sisi lain.
Padahal kenyataannya, bila mengandalkan pada ide bahwa ketika semua pihak berada pada jalur yang sama – melawan terorisme – , maka masalah Assad akan terabaikan dan pada akhirnya terlupakan. Dan apa yang terjadi selanjutnya sama sekali berbeda dan bertolak belakang. Turki dan Saudi selalu bersikeras bahwa tanpa melengserkan Assad, ekstrimisme, sektarianisme, terorisme, dan eksodus pengungsi akan semakin meningkat. Situasi akan semakin parah, sehingga tidak akan ada hasil yang signifikan bagi koalisi dalam upaya perang melawan ISIS.
Pra-Kondisi Intervensi Rusia
Pada pertengahan 2015, persiapan Rusia untuk menggelar intervensi militer di Suriah dalam rangka mendukung Assad bertepatan dengan Pertemuan Wina I & II. Kedua pertemuan tersebut dimanfaatkan untuk memberikan legitimasi politik bagi intervensi Rusia di Suriah, serta menekankan fakta bahwa semua dikondisikan untuk melemahkan oposisi moderat, mengakhiri revolusi rakyat, dan memperkuat rezim Assad.
Ketika itu, pemerintah AS menekankan bahwa Rusia akan menekan Assad, dan Iran akan mengambil langkah mundur supaya semua pihak – termasuk yang berseberangan – mau hadir di meja perundingan. Dan sekali lagi, faktanya sama sekali berbeda dan bertolak belakang.
Selama tahap/proses perundingan tahun 2016 ini, Basyar Assad bahkan tidak dipaksa supaya mematuhi hukum internasional dan Resolusi DK PBB No. 2254 terutama terkait dengan serangan terencana dan sistematis oleh rezim Assad dalam menargetkan warga sipil dan infrastruktur/fasilitas sipil lainnya dengan menggunakan rudal maupun bom barel. Assad juga tidak menerima tekanan apapun atas kejahatannya yang telah menjadikan rakyat sipil kelaparan dan menjadikannya sebagai senjata, atau supaya membebaskan ribuan tawanan yang ditangkap dengan semena-mena.
Akhirnya, Rakyat Suriah yang Harus Pergi
Di awal bulan Maret 2016, dikutip pernyataan Obama saat interview dengan majalah The Atlantik bahwa ia “sangat bangga” tidak harus menargetkan Assad yang telah melakukan pembunuhan masal dengan menggunakan senjata kimia. Selanjutnya di akhir Maret 2016, rezim Obama setuju untuk menunda pembicaraan mengenai masa depan Assad pada perundingan selanjutnya.  Kesimpulannya, kita bisa secara jelas melihat bagaimana Gedung Putih telah mengubah retorika politiknya dalam menyikapi krisis Suriah. Pada mulanya rezim Obama menyatakan “Assad harus lengser” pada tahun 2011, kemudian menjadi “Assad tidak bisa tiba-tiba turun”, setelah itu “Kami tidak keberatan bila Assad untuk sementara bertahan,” dan akhirnya pada kebijakan saat ini di mana Washington memutuskan bahwa “Seharusnya rakyat Suriah yang pergi, bukan Assad!”
Sumber: Anadolu Agency
Penulis: Yasin Muslim