Tak Satupun Media Beritakan
Penderitaan Muslim Suriah, Ada Ada dengan Pers Kita?
06 Mei 2016
Ada
Apa dengan Pers Kita?
Shulhan Syamsur Rijal | Global Philanthropy Media -
ACT Foundation
Memprihatinkan,
jika bangsa yang pengakuan kemerdekaannya disokong banyak bangsa bahkan oleh
bangsa-bangsa yang sedang tertindas, saat merdeka malah tak peka dan enggan
bersikap atas krisis kemanusiaan bangsa lain.
Dua
pekan terakhir, Aleppo berdarah, hancur lebur dihantam konflik. Walaupun
begitu, isu ini seperti tak menarik minat jurnalis negeri ini sigap meresponnya
sebagai informasi yang bernilai berita? Padahal di saat yang sama, kepekaan dan
kepedulian bangsa ini atas isu kemanusiaan di Aleppo menyeruak hebat. Berbagai
media sosial cukup riuh berisi simpati, kecamam dan ajakan kepedulian. Alih-alih
bersimpati, pers menuliskannya saja tidak. Di puncak penghilangan nyawa warga
sipil Suriah, sama sekali tak muncul satu pun artikel, baik itu opini, feature,
softnews, apalagi hardnews tentang isu Aleppo. ‘Gugatan nurani’ ini berdasar
pada penelusuran online di Antaranews. Ketik kata 'Aleppo' di kolom
pencariannya, kita takkan menemukan satupun artikel yang bercerita tentang
Aleppo.
Tulisan
terakhir yang bercerita tentang Suriah dirilis oleh Kantor Berita Antara
tanggal 22 April dengan judul Amerika Serikat Terpecah Akibat Kebijakan Rusia
di Suriah. Kemudian tulisan berikutnya yang bercerita tentang Aleppo dirilis
tanggal 12 April mengambil judul Militer Suriah Kerahkan Balatentara ke Aleppo.
Selain dua tanggal itu, tak ada lagi pemutakhiran tentang Aleppo dan Suriah
oleh kantor berita Antara.
Ini
menggelitik. Bukankah Antara kantor berita nasional yang menjadi kiblat,
rujukan informmasi dan data dari berbagai media nasional lainnya di Tanah Air?
Jika Antara saja tak menulis tentang Aleppo, maka media lokal lain pun bisa
dipastikan takkan menuliskannya.
Saya
mencatat hanya Kompas.com - media milik kelompok usaha Gramedia - menulis kisah
Aleppo dalam hari-hari terakhir meskipun krisis kemanusiaan yang menyeruak
hebat di Aleppo tetap tak jadi agenda utama apalagi fokus utamanya.
Framing
yang demikian oleh media daring nasional kita mengisyaratkan pemerintah dan
media tak ingin terlibat terlalu jauh dengan Aleppo sehingga harus berdiri di
"jarak aman". Meskipun harus menutup mata terhadap hilangnya nyawa
dan sengsaranya ribuan orang sebagai akibat penanganan bersenjata di Suriah
beberapa hari belakangan ini.
Hasil
pencarian dengan mesin pencari google bertolakbelakang untuk kata kunci
"Aleppo". Media internasional arusutama seperti Aljazeera,
theguardian, New York Times, thehufftingtonpost, BBC, Deutsche Welle,
middleeastonline, terus memperbarui kabar Aleppo dalam hitungan menit. Tiap
memperbarui laman internet di mesin pencari google, kita bisa menemukan isu
baru tentang Aleppo.
Judul-judul
yang diangkat oleh ragam media online internasional ini pun amat variatif. Ini
sebagian diantaranya: Crisis in Aleppo on UN Security Council's Agenda (RTE.ie
media Rusia), Syrian Peace Talks Move to Berlin with Aleppo on the Brink
(Deutsche Welle, media Jerman), In Aleppo, We Are Running Out of Coffins (New
York Times, media Amerika), Hanging By Thread: Aleppo Hostilities Risk Pushing
Syria to Point of No Return (Times of India, media India), Rebuilding Syria's
Aleppo Under Fire (Aljazeera, media Qatar), Aleppo Hospital Hit as City
Faces Humanitarian Catastrophe (theguardian media Inggris), Dozens Killed in
Aleppo Battle” oleh (Channel News Asia, media internasional Asia), Rebels
Launch Assault in Syria's Aleppo (dailytelegraph.com.au, media
australia).
Bayangkan
saja beragam judul tulisan dari puluhan media internasional itu, sama sekali
tak menjadi rujukan. Tergantikan dengan judul-judul atau peristiwa-peristiwa
yang "kering kemanusiaan" di media nasional kita. Apa yang salah?
Mengapa media lokal enggan mengedukasi masyarakat tentang krisis di Aleppo? Sangat
mungkin ini imbas dari ‘global stigmatic terror’ yang memukul rata sikap
empatik atas krisis Suriah segaris dengan simpati atas ISIS. Sekumpulan besar
orang-orang lintas negara yang muncul dari antah-berantah, memberi warna kusam
pada perjuangan (warga) Islam di belahan Timur Tengah yang tengah menginginkan
perubahan besar di negerinya.
Krisis
kemanusiaan dalam situasi apapun, di mana nyawa manusia dibuat tak berharga,
adalah info sangat layak berita. Padahal peran suci media massa, yang memegang
‘satu hukum besi jurnalisme’ harus menginformasikan apa yang berguna, terutama
yang membela harkat kemanusiaan. Bukankah hakikat berita itu tentang dan demi
manusia? Kalau krisis kemanusiaan sehebat tragedi Aleppo luput dari publikasi
media nasional Indonesia, media sedang meninggalkan pilar prinsipilnya. Ia
mengurangi kesungguhan dalam menyandang mandat atau hukum bekerja atas
eksistensinya sebagai bagian dari jurnalisme.
Tak
ada cara lain untuk memulihkan ini, kecuali segera bersikap obyektif dan
berdiri di atas landasan moral demi kemanusiaan. Lalu ikut menghidangkan terus
fakta terkini Aleppo. Jika tidak, siap-siap kehilangan trust, yang jadi pilar
penting penopang eksistensi media massa. Saya percaya, LKBN Antara dan media
nasional kita segera bangkit mengatasi ‘stigmatic terror’ ini dan lebih
obyektif menyebarluaskan informasi yang pro-kemanusiaan. (act.id)
Saat Alepo Terbakar, Mengapa
Eropa Hanya Jadi Penonton?
Oleh Sodikin
Maulana
AntiLiberalNews
– DEWAN Eropa,
Komisi Eropa dan Parlemen Eropa kini hanya menjadi penonton tragedi di Aleppo,
Suriah tanpa rasa peduli. Sebuah tragedi kemanusiaan besar kini tengah dialami
warga Aleppo, menjadi babak akhir yang paling penting di Suriah.
Ratusan
warga sipil Aleppo gugur akibat serangan bom yang dilakukan oleh kelompok
pembunuh profesional milik rezim diktator Bashar Assad, bersama dengan serangan
udara dari angkatan udara Rusia. Warga Muslim Aleppo berjuang untuk
menyelamatkan tetangga mereka yang terjebak di bawah puing-puing. Mereka juga
mencoba membuat suara yang bisa didengar oleh dunia melalui media sosial dengan
hashtag “Aleppo terbakar.” Namun seperti yang kita lihat, tidak ada yang
bersedia untuk memperhatikan Aleppo, terutama Uni Eropa dan Parlemen Eropa,
meski anggota-anggotanya dicap sebagai negara yang kerap memperjuangankan hak
asasi manusia.
Ada
peningkatan tanda-tanda yang menunjukkan prajurit Assad tengah mempersiapkan
operasi darat besar, menyusul pemboman intensif. Dunia, khususnya masyarakat Eropa
tetap bersikap acuh tak acuh, saat jet Rusia menghujani kota dengan peluru dan
Assad mengambil keuntungan dari ketidakpedulian dunia ini.
Berapa lama
anggota Parlemen Eropa akan menjadi penonton pembantaian di Aleppo, di saat
rumah sakit dan klinik juga dihancurkan? Untuk beberapa alasan, mereka yang
mengatur pertemuan “bagi kemanusiaan dan perdamaian” di Eropa, tidak melakukan
apa-apa untuk Muslim yang dibantai di Suriah.
Dalam 12
hari terakhir, sekitar empat rumah sakit dan tiga mesjid Aleppo telah diratakan.
Banyak warga sipil yang gugur akibat serangan secara langsung.
Ketika para
militan dari organisasi teroris PKK membunuh ratusan warga sipil dan baru-baru
ini telah mengubah Turki menjadi arena pertumpahan darah, Barat justru
memunculkan kebohongan. Mereka menyebut anggota PKK yang tewas dalam bentrokan
dengan pasukan keamanan dengan “Pemerintah Turki membantai Kurdi.” Eropa
mengangkat kasus ini sebagai alat propaganda. Namun anehnya, Eropa tidak
membuat propaganda serupa pada kasus Suriah. Apakah mereka masih memiliki hati
nurani?
Apa bukti
Uni Eropa membela nilai-nilai mereka yang sangat terhormat? Apakah
mempertahankan nilai-nilai Uni Eropa berarti mendukung pembunuh, namun bersikap
acuh tak acuh terhadap orang yang tidak bersalah? Mungkin kita harus menulis
ini ratusan kali untuk membuat Eropa memahami realitas bahwa “Aleppo terbakar
dan Anda hanya jadi penonton.”
Namun,
mereka yang bersikap acuh tak acuh akan menyesal esok hari.
Uni Eropa
akhir-akhir ini merasa lega sampai batas tertentu pada masalah krisis
pengungsi, berkat Turki. Perlu diingat, jika Aleppo jatuh maka orang-orang di
dalam dan sekitar Aleppo akan melarikan diri ke Turki untuk bertahan hidup.
Pada akhirnya Uni Eropa juga akan dipengaruhi oleh hal ini.
Pihak
berwenang Uni Eropa akan menyadari bahwa ketidakpedulian mereka terhadap
pembantaian warga Muslim oleh Assad dan Rusia di Suriah akan langsung
menyebabkan ratusan ribu pengungsi baru menuju Eropa.
Uni Eropa
tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan krisis pengungsi hanya dengan
menandatangani beberapa perjanjian. Apalagi jika tindakan barbar Assad dan
Rusia dibiarkan, maka masalah pengungsi akan tumbuh jauh lebih rumit.
Saat ini
kita dapat memantau krisis demokrasi yang tengah berlangsung di negara-negara
Uni Eropa dengan keprihatinan yang mendalam.
Di Austria,
Partai Kebebasan Austria pimpinan Norbert Hofer menerima pangsa suara tertinggi
di putaran pertama pemilihan presiden dengan 35,1 persen. Dia bertepuk tangan
setelah rencananya untuk menggunakan senjata Glock-26 demi melawan para
pengungsi bisa berhasil. Fenomena “Glock Norbert” adalah salah satu contoh yang
paling jelas menunjukkan bagaimana Eropa telah menjadi aib dalam krisis
pengungsi.
Minggu lalu,
Partai Rasis Alternatif Jerman (AFD), telah mencapai keberhasilan penting dalam
pemilihan terakhir. AFD telah mengumumkan bahwa Islam tidak boleh ada di Jerman
pada pertemuan partai kongres di Stuttgart. Pengumuman ini mengkhawatirkan bagi
demokrasi Jerman.
Semua ini
terjadi karena jumlah pengungsi Muslim yang tiba di negara Uni Eropa berada di
atas ekspektasi. Jumlah pengungsi Muslim yang meningkat di negara-negara Uni
Eropa membuat pihak rasis berang. Terlepas dari itu semua, orang-orang seperti
“Glock Norbert” dan Ketua AFD Frauke Petry telah menawarkan solusi seperti “semua
pengungsi yang melintasi perbatasan secara ilegal harus ditembak.” Cara kejam
seperti ini jelas amat mengkhawatirkan.
Untuk alasan
ini, sikap Uni Eropa sangat penting. Uni Eropa yang mengklaim sebagai ‘agen’
yang memberikan contoh kepada dunia untuk hak asasi manusia dan demokrasi,
harus melakukan intervensi di Suriah, terutama di Aleppo sesegera mungkin.
Sikap keras
terhadap Assad dan beberapa sanksi juga harus dijatuhkan pada Rusia, yang telah
menumpahkan darah di Suriah, seakan membalas dendam pada Uni Eropa.
Aleppo
terbakar dan Uni Eropa seharusnya tidak lagi menjadi penonton belaka.
Sumber: Islampos
Edit: Adiba Hasan
Edit: Adiba Hasan
99% Mujahidin Ahlus Sunnah Yang Memerangi Kekejaman
Syiah Shafawiyah –Nushairiyah, Negara-Negara Besar Salibis, Komunis Adalah
Penduduk Asli Suriah ! Kenapa Organisasi Islam Besar Di Indonesia Diam/Tidak
Ada Ghirahnya ? Mungkin Pimpinannya Terkooptasi Dengan Propaganda Duniawi Syiah
Iran ( Membenci Arab ) Dan Cenderung Membela Salibis/ Komunis/Syiah ! Bukan
Mustahil Kejadian di Suriah Menimpa Mereka/Negeri Kita. Naudzubillahimindzalik