Perbuatan
Baik Bukan Jaminan Dia Adalah Ahli Surga, Dan Sebaliknya, Semua Akan Mengikuti
Takdirnya
Ketetapan Surga dan Neraka untuk Hamba
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
عن أبي عبدالرحمن
عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو الصادق
المصدوق ” إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم
يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات :
بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم
ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل
بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا
ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة
Dari Abu ‘Abdirrahman
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah telah
bersabda, – dan beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan –“Sesungguhnya
setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari
berupa nutfah, kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu
menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat
untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 hal:
rezeki, ajal, amal dan celaka/bahagianya.
Maka demi Allah yang
tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan
ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta
saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli
neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli
neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta
saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan
ahli surga dan ia masuk surga.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Bad’ul
Khalq)
:: Penjelasan Hadits
::
Maksud hadits “Maka
demi Allah yang tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang
mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga
kecuali sehasta saja,” adalah seseorang yang menurut pandangan mata manusia
mengerjakan amalan surga dan ketika sudah mendekati ajalnya mengerjakan amalan
penduduk neraka, kemudian ia dimasukkan ke dalam neraka. Jadi yang dimaksud
‘jaraknya dengan surga atau neraka tinggal sehasta‘ bukan tingkatan dan
kedekatannya dengan surga, namun waktu antara hidupnya dengan ajalnya tinggal
sebentar, seperti sehasta.
Yang patut kita
pahami dari hadits ini, bukan berarti ketika kita sudah
berusaha melakukan kebaikan dan amalan ibadah maka Allah akan menyia-nyiakan
amalan kita. Karena hadits di atas diperjelas dengan hadits lainnya,
yaitu,
“Sesungguhnya ada di
antara kalian yang beramal dengan amalan ahli Surga menurut pandangan manusia, padahal sebenarnya ia penduduk
Neraka.” (HR. Muslim no. 112 dengan sedikit perbedaan lafazh dari yang
tercantum)
Syaikh ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan maksud hadits ini, “Amalan ahli surga yang dia amalkan
hanya sebatas dalam pandangan manusia, padahal amalan
ahli surga yang sebenarnya menurut Allah, belumlah ia amalkan. Jadi yang
dimaksud dengan ‘tidak ada jarak antara dirinya dengan surga melainkan hanya
sehasta’ adalah begitu dekatnya ia dengan akhir ajalnya.”
Sedangkan maksud
hadits, “Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah
lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka,” artinya, kemudian
orang tersebut meninggalkan – kebiasaan – amalan ahli surga yang sebelumnya dia
amalkan. Hal itu disebabkan adanya sesuatu yang merasuk ke dalam hatinya
– semoga Allah melindungi kita dari hal ini – yang menjerumuskan orang tersebut
ke dalam neraka.
Hal ini
perlu diperjelas agar tidak ada prasangka buruk terhadap Allah ta’ala. Karena seorang hamba yang melaksanakan amalan ahli
surga dan ia melakukannya dengan jujur dan penuh keikhlasan, maka Allah tidak
akan menelantarkannya. Allah pasti memuliakan orang-orang yang beribadah
kepada-Nya. Namun bencana dalam hati bukan merupakan suatu perkara yang
mustahil – semoga Allah melindungi kita dari hal ini -.
Contoh kisah untuk
memperjelas hadits ini yang terjadi di zaman nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sebagai berikut:
Ada seorang sahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersama beliau dalam suatu
peperangan. Sahabat ini tidak pernah membiarkan
kesempatan untuk membunuh lawan melainkan ia pasti melakukannya,
sehingga orang-orang merasa takjub melihat keberaniannya dan mereka berkata, “Dialah yang beruntung dalam peperangan ini.”
Lalu Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia termasuk ahli Neraka.”
Pernyataan Rasulullah
ini menjadi perkara besar bagi para sahabat radhiallahu ‘anhumdan membuat
mereka bertanya-tanya keheranan. Maka seseorang diantara mereka berkata, “Aku
akan mengikutinya kemanapun dia pergi.”
Kemudian orang yang
pemberani ini terkena panah musuh hingga ia berkeluh kesah. Dalam keadaan itu
ia mencabut pedangnya, kemudian ujung pedangnya ia letakkan pada dadanya,
sedangkan genggaman pedangnya ia letakkan di tanah, lalu ia menyungkurkan
dirinya (ke arah depan), hingga pedang tersebut menembus punggungnya (alias ia
bunuh diri). Na’udzu billah.
Orang yang
mengikutinya tadi datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamdan
mengabarkan apa yang terjadi seraya berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah
utusan Allah.”
“Kenapa engkau
katakan itu?” sabda Rasulullah.
Ia berkata,
“Sesungguhnya orang yang engkau katakan tentangnya dia termasuk ahli neraka,
telah melakukan suatu tindakan (bunuh diri, ed.).” Maka setelah itu
Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang
itu telah beramal dengan amalan ahli surga pada pandangan manusia, padahal
sebenarnya ia penduduk neraka.” (HR. Bukhari (no.2898) dan Muslim (no.112))
Kisah lain adalah
seorang sahabat yang bernama al-Ushairim dari kabilah ‘Abdul Asyhal dari
kalangan Anshar. Dahulu ia dikenal sebagai penghalang
sekaligus musuh dakwah Islam. Tatkala para sahabat pergi ke perang Uhud,
Allah memberikan ilham kepadanya berupa iman, lalu ia ikut berjihad dan
berakhir dengan mati syahid. Setelah perang selesai, orang-orang mencari para
korban dan mendapatkan Ushairin dalam keadaan terluka.
Para sahabat
bertanya, “Wahai Ushairin, apa yang menndorongmu berbuat seperti ini, apakah
untuk membela kaummu ataukah kecintaanmu terhadap Islam?”
Ia menjawab, “Bahkan
karena kecintaanku terhadap Islam.”
Sebelum wafatnya, ia
meminta untuk disampaikan salamnya kepada Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa
sallam.
Maka,
meskipun dulunya Ushairin ini buruk dan suka mendzalimi kaum muslimin, namun
karena hatinya yang baik, Allah jadikan dia orang yang mati di medan jihad.
Semoga Allah
menjadikan kita hamba yang ikhlas dan beramal dan menjadikan akhir kehidupan
yang baik untuk kita. Aamiin.
***
Disusun ulang dari
Syarah Hadits Arba’in karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dengan
perubahan seperlunya oleh tim muslimah.or.id
Bagaimana Allah Manyiksa
Manusia Sedangkan Takdir Sudah Ditentukan Oleh-Nya
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya : “Ada polemik yang dirasakan
sebagian manusia, yaitu bagaimana Allah akan menyiksa karena maksiat, padahal
telah Dia takdirkan hal itu atas manusia ?”
Jawaban.
Sebenarnya hal ini bukanlah polemik. Langkah manusia untuk berbuat jahat
kemudian dia disiksa karenanya bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah
manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri
dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan :
“Lakukanlah perbuatan munkar itu”, akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya
sendiri.
Allah
telah berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka
adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur” [Al-Insan : 3]
Maka baik
kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan
menjelaskan tentang jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang
memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan
(Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua
dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal
Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal
ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara
sama. Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan
duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama kamu yakini mengandung kabaikan
untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu. Maka pastilah anda akan memilih
pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan
tidak mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk
lalu anda mengatakan : “Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha
kedua). Dengan demikian, apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan dunia
semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita dapat mengatakan :
Allah telah menawarkan di hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang
berupa amal-amal yang menyalahi syara’ dan amal shalih yang berupa amal-amal
yang sesuai dengan syara’. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda
memilih perbuatan yang baik, mengapa anda tidak memilih amal baik dalam amal
akhirat. Karena itu, seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat
sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara
Ilzam.
Adapun
cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang
telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman.
“Artinya :
Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok” [Luqman : 34]
Maka
ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas
pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan
perbuatan tersebut kepadanya. Oleh karena itu, sebagian ulama’ mengatakan :
“Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup”. Dan kita semua tidak pernah
mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan
tersebut telah terjadi. Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu
perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan
tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan
pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah
telah mentakdirkannya untuk kita.
Oleh
karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah
terjadinya perbuatan tersebut. Disebutkan dari Amirul Mu’minin, Umar bin
Kahtthab, sebuah kisah (mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa seorang
pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau.
Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan : “Tunggu dulu
hai Amirul Mu’minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar
Allah”. Umar mengatakan : “Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena
Qadar Allah”. Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan
pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam.
Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari’at, karena beliau
diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau
berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai
sasaran.
Berdasarkan
hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat
ma’siyat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan
dalam hal di atas. Allah berfirman.
“Artinya :
(Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi
peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah
adanya para rasul” [An-Nisa : 165]
Sementara
semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar
Allah. Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu
bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya. Dengan demikian jelas
bahwa tidak layak berbuat ma’siyat dengan alasan Qadha’ dan Qadar Allah, karena
dia tidak dipaksa untuk melakukannya.
Semoga
Allah memberi Taufiq.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
Tanya Jawab Tentang Qodho dan Qodar
https://shirotholmustaqim.wordpress.com/2010/05/31/bagaimana-allah-manyiksa-manusia-sedangkan-takdir-sudah-ditentukan-oleh-nya/
https://shirotholmustaqim.wordpress.com/2010/05/31/bagaimana-allah-manyiksa-manusia-sedangkan-takdir-sudah-ditentukan-oleh-nya/
Apakah Allah Tidak Adil Jika
Memasukkan Hambanya Ke Neraka? Menjawab Kerancuan Pemahaman Tokoh MTA
Kasihan Orang Yang Sudah DItakdirkan Masuk Neraka?
Assalamualaikum ustadz,
Ana pernah dengar kalau jodoh, rizki,
mati, takdir buruk/baik telah ditetapkan jauh sebelum kita lahir ke dunia.
Kalau memang demikian bukankah kalau
seseorang telah ditakdirkan (misalnya menjadi ahli neraka) padahal di dunia ia
berusaha untuk menjalankan ibadah sebaik mungkin sesuai syariat, kalau pada
akhirnya ia telah ditakdirkan masuk neraka, alangkah sedihnya dia..kasihan ya
ustadz..sia-sia apa yang telah dia kerjakan.
Mohon penjelasannya tentang takdir ini.
Syukron
Penanya : Akhwat
Daerah Asal : Jakarta
Jawab :
وعليكم السلام ورحمة
الله وبركاته
Ya, semua yang Anda
sebutkan telah ditentukan oleh Allah ta’ala. Ini didasarkan dari hadits:
حَدَّثَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوقُ، «إِنَّ
أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً
مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ
إِلَيْهِ مَلَكًا بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، فَيُكْتَبُ عَمَلُهُ، وَأَجَلُهُ،
وَرِزْقُهُ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ، فَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُ الجَنَّةَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الجَنَّةِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ،
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فَيَدْخُلُ
النَّارَ»
Telah bercerita
kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ialah orang yang jujur
serta berita yang dibawanya adalah benar: “”Setiap orang dari kalian telah
dikumpulkan dalam penciptaannya ketika berada di dalam perut ibunya selama
empat puluh hari kemudian menjadi ‘alaqah (zigot) selama itu pula kemudian
menjadi mudlghah (segumpal daging) selama itu pula kemudian Allah mengirim malaikat
yang diperintahkan dengan empat ketetapan (dan dikatakan kepadanya), tulislah
amalnya, rezekinya, ajalnya, sengsara serta bahagianya, lalu ditiupkan ruh
kepadanya. Dan sungguh seseorang akan ada yang beramal dengan amal-amal
penghuni neraka hingga tak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali
sejengkal saja lalu ia didahului oleh catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia
beramal dengan amalan penghuni surga kemudian masuk surga, dan ada juga
seseorang yang beramal dengan amal-amal penghuni surga hingga tak ada jarak
antara dirinya dengan surga kecuali sejengkal saja, lalu dia didahului oleh
catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka
lalu dia masuk neraka. HR. Bukhari no.3332 dan Muslim no.2643
Perlu difahami bahwa
ini tidak berarti bahwa Allah ta’ala mendholimi hambanya yang bertahun-tahun
banyak melakukan kebaikan, akan tetapi ada makna lain yang tidak nampak di
dhohir hadits tersebut yaitu orang yang termasuk ahli neraka itu melakukan
amalan kebaikan hanya dhohirnya saja, adapun batinnya maka niatnya tidaklah
murni karena Allah ta’ala. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits lain yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari juga:
عَنْ سَهْلٍ، قَالَ:
التَقَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالمُشْرِكُونَ فِي بَعْضِ
مَغَازِيهِ، فَاقْتَتَلُوا، فَمَالَ كُلُّ قَوْمٍ إِلَى عَسْكَرِهِمْ، وَفِي
المُسْلِمِينَ رَجُلٌ لاَ يَدَعُ مِنَ المُشْرِكِينَ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً
إِلَّا اتَّبَعَهَا فَضَرَبَهَا بِسَيْفِهِ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
أَجْزَأَ أَحَدٌ مَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ، فَقَالَ: «إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ»،
فَقَالُوا: أَيُّنَا مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، إِنْ كَانَ هَذَا مِنْ أَهْلِ
النَّارِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: لَأَتَّبِعَنَّهُ، فَإِذَا أَسْرَعَ
وَأَبْطَأَ كُنْتُ مَعَهُ، حَتَّى جُرِحَ، فَاسْتَعْجَلَ المَوْتَ، فَوَضَعَ
نِصَابَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ، وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثُمَّ تَحَامَلَ
عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَجَاءَ الرَّجُلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: «وَمَا
ذَاكَ». فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الجَنَّةِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ،
وَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَهُوَ مِنْ
أَهْلِ الجَنَّةِ»
Dari Sahal ia berkata;
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhadapan dengan Kaum Musyrikin di
peperangan beliau, lalu mereka saling menyerang. Kemudian masing-masing pasukan
bergabung dengan bala tentara mereka. Sementara diantara Kaum Muslimin terdapat
seseorang yang tidak menyisakan seorang musyrik pun kecuali ia terus
mengejarnya untuk dipenggal dengan pedangnya.
Seseorang berkata;
“Wahai Rasulullah, tidak ada seorangpun yang mendapat ganjaran pahala
sebagaimana yang didapat si fulan.”
Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh orang itu termasuk penduduk
neraka.”
Mereka balik
bertanya; “Kalau begitu siapa diantara kami yang menjadi penduduk surga bila
orang seperti ini termasuk penduduk neraka?.”
Kemudian seorang
laki-laki dari kaum Muslimin berkata; “Aku akan mengikutinya”. Maka dia
mengikuti orang tersebut, hingga ketika dia mempercepat langkah atau
memperlambatnya, aku selalu bersamanya. Akhirnya dia mendapatkan luka parah,
kemudian ia ingin segera mati, dia meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya
diletakkah diantara dua dadanya, lalu dia menekannya, akhirnya dia membunuh
dirinya sendiri.
Maka orang yang
mengikutinya tadi pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya
berkata; “Aku bersaksi bahwa tuan adalah benar-benar utusan Allah”.
Beliau bertanya:
“Kenapa kamu berkata begitu?”.
Orang itu mengabarkan
kepada beliau.
Beliau lalu bersabda:
“Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penduduk surga
berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia dari penduduk neraka. Dan ada
seseorang yang mengamalkan amalan penduduk neraka berdasarkan yang nampak oleh
manusia padahal dia dari penduduk surga.” HR. Bukhari no. 4207
Pendapat ini dipilih
oleh sebagian ulama’, termasuk syaikh Utsaimin. lih. Majmu’ Fatawa wa Rasail
Al-Utsaimin 2/100-101
sumber
: http://www.salamdakwah.com/m/baca-pertanyaan/ditakdirkan-menjadi-ahli-neraka.html#.U7HpTZSSxA0
Silahkan perhatikan
ucapan tokoh MTA dalam video ini yang menyatakan bahwa Allah tidak adil,
sungguh ucapan yang tidak layak diucapkan oleh orang yang memahami hadits
diatas dengan benar , bisa didengarkan mulai di menit 05:40
Sangat Fatal, Bagi Orang Yang Mengingkari
Takdir.. Plus VIDEO Pimpinan MTA Yang Salah Menjelaskan Tentang Takdir
Kalau Memang Sudah Ditaqdir, Buat Apa Allah Menyiksanya di
Neraka?
Ketika berdebat soal keyakinan dengan
orang-orang kafir, mungkin kita sering mendengarkan pertanyaan-pertanyaan aneh
yang muncul dari lisan mereka. Salah satunya ketika berbicara tentang
Al-Qur’an, mungkin mereka akan bertanya, “Menurut Al-Qur’an, Tuhan kalian telah
mencitapkan taqdir, sehingga sesatnya manusia juga bagian dari taqdir. Lalu
buat apa Dia menyiksa orang selama-lamanya di neraka?”
Menjawab pertanyaan ini, ada sebuah
jawaban yang cukup bagus yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Majid Subh ketika ada
orang bertanya dengan pertanyaan serupa,
beliau berkata: Jika kita serius mencermati pertanyaan tersebut, maka kita akan
menyimpulkan bahwa hal itu telah mencerminkan bentuk pengingkaran mereka
terhadap neraka dan surga.
Islam menganut prinsip bahwa iman yang
kokoh harus didasarkan pada akal, renungan, dan kebijaksanaan. Dalam Al-Qur’an
disebutkan:
وَمَثَلُ الَّذِينَ
كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ
“Dan perumpamaan
(orang-orang yang menyeru) orang orang kafir adalah seperti penggembala yang
memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.
Mereka tuli, bisu, dan buta. Oleh sebab itu, mereka tidak mengerti.” (Al Baqarah:
171).
Makin sering orang
merenungkan ciptaan, maka semakin kokoh imannya kepada Allah, Sang Khalik.
Al-Qur’an mengakui takdir Ilahi dan kehendak manusia. Pengakuan ini tersurat
jelas dalam ayat berikut:
وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي
مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa
yangdikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah
kamu kerjakan.” (An-Nahl: 93).
Al-Qur’an menolak
alasan para pendosa yang mengatakan bahwa takdir sudah menentukan mereka untuk
melakukan perbuatan dosa. Prinsip ini ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an:
Orang-orang yang
mempersekutukan Allah, akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami
dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami
mengharamkan sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah
mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah,
“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya
kepada kami?” Kamu tidak mengikuti selain persangkaan belaka, dan kamu tidak
lain hanyalah berdusta.” (Al An’am: 148).
Orang yang berpikiran
waras pasti tahu bahwa dunia ini meliputi takdir Allah dan kehendak manusia.
Manusia misalnya, tidak punya kehendak dalam menciptakan tubuh dan
anggota-anggota tubuhnya sementara dia punya kehendak sempurna dalam hal-hal
tertentu seperti makan, minum, tidur, bekerja, bermain, belajar, mengajar, dan
sebagainya. Maka dari itu, ia memikul tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan
itu.
Dalam buku Risalah
Tauhid, ulama terkemuka Muhammad Abduh mengatakan, “Karena orang yang berakal
sehat mengakui bahwa mereka ada dan karena itu tidak ada perlunya membuktikan
fakta ini. Mereka mengakui bahwa mereka punya kehendak tak terbantahkan
mengenai perbuatan-perbuatan yang bisa dipilih. Karena itulah mereka melakukan
atau menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan sengaja.”
Sekarang mari kita
renungkan kutipan dari Injil yang membahas masalah takdir Ilahi dan kehendak
manusia berikut ini:
“Tuhan menyerahkan
mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling
mencemarkan tubuh mereka. Sebab mereka menggantikan kebenaran Tuhan dengan
dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus
dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Tuhan menyerahkan mereka kepada hawa
nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang
wajar dengan yang tidak wajar.
Demikian juga
suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan
menyala-nyala dalam birahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka
melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima
dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.” (Roma1:
18-27).
Sehingga
Al-Qur’an—yang menganut prinsip takdir Ilahi maupun kehendak manusia—tidak
menyangkal agama-agama samawi lain. Sebagai kesimpulan, saya ingin mengarahkan
perhatian kalian pada fakta bahwa keyakinan kaum muslimin pada takdir Allah dan
pada tanggung jawab mereka atas perbuatan yang mereka lakukan membuat mereka
melaksanakan kewajiban mereka dalam menyebarkan kebajikan, kesejahteraan,
keadilan, dan moralitas ke seluruh dunia.
Disadur dari buku
“Mereka Bertanya, Islam Menjawab” karya Syekh Abdul Majid Subh, Penerbit Aqwam
Mungkin Ada Yang Bertanya, Kenapa
Allah Menciptakan Manusia Dan Memasukannya Ke Neraka?
Masuk Surga dan Neraka Sudah Ditakdirkan
Pertanyaan:
Mengapa Allah menakdirkan sebagian orang
masuk ke dalam neraka? Jazakumullah khairan
Jawaban:
Sesungguhnya Allah menakdirkan seseorang masuk
neraka bukan berarti Allah memaksa seseorang kufur. Ini bukanlah akidah yang
benar, Allah Ta’ala berlepas diri dari keyakinan demikian.
Allah Ta’ala mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh makhluk-makhluknya di dalam kehidupan mereka di dunia.
Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan
pena penulis takdir untuk menuliskan apa saja yang akan terjadi pada para
hamba-Nya.
Takdir tersebut tidak diketahui oleh satu
pun dari makhluk-Nya, baik malaikat-malaikat yang dekat dengan-Nya, tidak pula
para nabi. Tidak seorang pun mengetahui tentang takdir yang dituliskan di
lauhul mahfuzh untuknya. Dengan demikian tidak ada manfaatnya bagi orang-orang
yang mengkritisi takdir Allah.
Hamba-hamba Allah hanya diperintahkan
untuk beriman dan beramal. Allah Ta’ala akan memberi balasan bagi mereka pada
hari kiamat berdasarkan apa yang telah mereka usahakan bukan berdasarkan apa
yang Allah tetapkan bagi mereka di lauhul mahfuz (maksudnya seseorang melakukan
perbuatan atas pilihannya sendiri, bukan dipaksa ed.).
Allah pun telah mengutus para rasul
sebagai penegak hujjah-Nya. Para rasul telah memberikan kabar gembira dan
peringatan serta ancaman. Allah Ta’ala berfirman,
رُسُلاً
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ
بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka Kami utus)
selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu”. (QS. An-Nisa: 165)
Kalau seandainya
Allah tidak mengutus para rasul, maka masuk akal kalau seseorang hendak
mengkritik Allah Ta’ala, Maha Suci Allah dari yang demikian. Seseorang diadzab
di akhirat, tidak lain dikarenakan apa yang mereka amalkan setelah dijelaskan
kepada mereka mana yang salah dan mana yang benar, Allah Ta’ala telah
menetapkan hujjahnya. Oleh karena itulah, orang-orang yang belum sampai risalah
kenabian pada mereka memiliki alasan kelak di hari kiamat.
Syaikh Shaleh bin
Fauzan hafizhahullah ketika ditanya tentang seseorang yang tidak sampai padanya
ilmu, beliau menjelaskan. Yang dimaksud tidak sampai ilmu pada seseorang atau
seseorang dimaklumi jika tidak tahu adalah apabila seseorang tidak mengetahui
karena tidak memungkinkan baginya, maka hal ini dapat dimaklumi.
Misalnya seseorang
yang tidak menemukan seorang guru yang bisa mengajarinya, seperti seseorang
yang tinggal di negeri kafir yang tidak memiliki akses dengan negeri-negeri
Islam, maka dia dimaklumi tidak tahu.
Sedangkan mereka yang
tinggal di lingkungan orang-orang Islam, mendengar Alquran dan hadis dibacakan,
dan banyak dai yang menyerukan Islam, orang yang demikian tidak bisa dimaklumi
kalau dia tidak mengerti dan mengetahui. Sudah sampai kepada mereka risalah,
hanya saja mereka yang tidak memiliki perhatian. (Durus fi Syarhi Nawaqid
Al-Islam, Hal.31)
Apalagi pada zaman
sekarang, kemajuan teknologi sangat mendukung bagi seseorang untuk mengetahui
dan mempelajari agamanya. Tidak tersembunyi bagi seseorang bahwasanya Allah
Ta’ala telah menjelaskan mana jalan yang lurus dan mana pula jalan yang menyimpang,
tinggallah dirinya sendiri hendak menempuh jalan yang mana.
Seseorang yang
menempuh jalan yang lurus, maka ia akan masuk ke surga dan bagi mereka yang
menempuh jalan yang sesat bagi mereka neraka. Allah sama sekali tidak memaksa
mereka untuk menempuh jalan yang mana. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلِ الْحَقُّ مِن
رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا
بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا .
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ
أَحْسَنَ عَمَلاً . أُوْلَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ
الأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا
خُضْرًا مِّن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الأَرَائِكِ
نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا
Dan katakanlah:
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal shaleh, tentulah Kami tidak akan
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang
baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir
sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas
dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang
mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala
yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al-Kahfi: 29-31)
Ketika kita mengimani
Allah Ta’ala telah menakdirkan segala sesuatu dan Allah mengilmui tentang hal
tersebut, hendaknya kita berpikir positif Allah menakdirkan bagi kita hidayah
dan kebaikan.
Allah Ta’ala telah
mewajibkan bagi kita syariat-Nya dan memerintahkan kita dengan syariat
tersebut. Sehingga yang tersisa bagi kita hanya ada dua pilihan.
Pertama, kita
berprasangka baik bahwa Allah. Dia telah menetapkan takdir yang baik bagi kita
dan menakdirkan kita sebagai penghuni surga. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwasanya rahmat-Nya itu mendahului kemarahan-Nya, ridha-Nya lebih Dia
kedepankan dari pada rasa kebencian-Nya. Tempuhlah takdir yang demikian!
Berlakulah dengan perbuatan layaknya calon penghuni surga. Setiap orang akan
dimudahkan menuju takdirnya.
Kedua, kita
berprasangka buruk kepada Allah Ta’ala. Dia akan memasukkan kita ke neraka dan
kita memilih jalan-jalan yang mengantarkan kita ke neraka, wal’iyadzbillah.
Inilah keimanan kita
terhadap takdir Allah yang merupakan salah satu dari rukun iman yang enam.
Jangan sampai karena permasalahan ini tidak terjangkau oleh akal kita atau
karena kita belum memahaminya, kemudian kita lebih mendahulukan berburuk sangka
kepada Allah.Allahu a’lam
Disadur dari:
islamqa.com
Dengan tambahan dari
kitab Durus fi Nawaqdhu Al-Islam oleh Syaikh Shaleh Al Fauzan.
Artikel
www.KonsultasiSyariah.com