May 30, 2016
Kalau ingin mengenal
seseorang, maka bacalah tulisan-tulisannya. Kali ini kita mencoba
mengenali Prof Dr Nasaruddin Umar.
Berdasarkan tulisan-tulisannya di Republika, kita dapati bahwa dia adalah
seorang pengikut sufi. Dalam
salah satu tulisannya dia menulis bahwa Imam Al-Ghazali selalu meminta
konfirmasi Rasulullah saw tentang hadith-hadith lemah dalam kitab Ihya’
Ulumuddin.
Prof. Nasaruddin menulis:
“Suatu saat, Imam Al-Ghazali
ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer yang
dikutip dalam Ihya’ Ulumuddin. Lalu, Al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan sebuah hadis
dalam Ihya’ tanpa mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah. Jika
ada lebih dari 200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali
Imam Al-Ghazali berjumpa dengan Rasulullah.”
Prof.
Nasaruddin juga membahas pengalaman Ibnu Arabi yang mengaku bertemu
dengan Rasulullah saw dalam mimpi. Dalam mimpinya Rasulullah saw
berkata, “Ini kitab
Fushus Al Hikam. Ambil dan sebarkan kepada umat manusia agar mereka mengambil
manfaat darinya.” Berdasarkan
cerita itu, tampak bahwa Ibnu Arabi meyakini sepenuhnya bahwa apa yang dia tuliskan dalam
kitab tersebut merupakan ilham Ilahi. Ia hanyalah mesin pencetak bagi kitab
Fushus yang diberikan Nabi tanpa mengurangi maupun menambah sedikitpun.
Jadi golongan sufi ini sangat meremehkan
hadith-hadith sahih., karena mereka punya metode lain untuk menentukan sebuah
hadith itu sahih yaitu melalui konfirmasi dengan Nabi SAW di alam mimpi.
Metode ini sungguh sangat melecehkan usaha-usaha yang dilakukan oleh
ulama-ulama hadith sejak dulu kala.
Perjalanan
jauh yang ditempuh oleh Al-Imam Al-Bukhari dan para ahli hadits lainnya
dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi tampak menjadi pekerjaan
bodoh yang menghabiskan banyak waktu, energi serta biaya. Karena
sebenarnya ada cara mudah yaitu janjian sama Nabi shallallahu ‘alahi
wasallam untuk ketemuan lalu belajar langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam seperti yang dilakukan oleh Ibnu Arabi.
Juga kalau
mengikuti metode sufi, bisa diambil kesimpulan, kitab-kitab hadith yang ada
pada saat ini seperti shahih Al-Bukhari, shahih Muslim, Musnad Al-Imam Ahmad,
Sunan Abi Dawud, Sunan At-Thirmidzi, Sunan Ibni Maajah, Sunan An-Nasaai, Sunan
Ad-Daarimi, Sunan Al-Baihaqi, dll, jauh daripada lengkap. Karena ternyata masih banyak
hadith-hadith yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat “baru” yang bertemu dengan
Nabi dalam mimpi.
Itulah Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Seorang pengikut
sufi yang membenarkan bahwa dimungkinkan berguru dengan penghuni di alam lain. Bagi yang ingin mengikuti ajaran sunnah dengan benar, jauhi
ajaran-ajaran kiyai seperti ini, walaupun bergelar profesor. Pakar-pakar sufi
ini biasanya sangat bersahabat dengan golongan Syi’ah, kaum liberal, dan
aliran-aliran sesat lainnya. Namun mereka sangat keras dengan golongan sunnah.
Oleh: Prof Dr
Nasaruddin Umar
“Barangsiapa yang
bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa menyerupai
diriku.” (Hadis)
Suatu saat, Imam
Al-Ghazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer
yang dikutip dalam Ihya’ Ulumuddin.
Lalu, Al-Ghazali
menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya’ tanpa
mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah.
Jika ada lebih dari 200
hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam Al-Ghazali
berjumpa dengan Rasulullah.
Padahal, Imam Al-Ghazali
hidup pada 450 H/1058 M hingga 505 H/1111 M, sedangkan Rasulullah wafat tahun
632 M. Berarti, masa hidup antara keduanya terpaut lima abad.
Kitab Ihya’ yang terdiri
atas empat jilid itu ditulis di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang sunyi dari
hiruk pikuk manusia.
Pengalaman lain, Ibnu
Arabi juga pernah ditanya muridnya tentang kitabnya, Fushush Al-Hikam. Setiap
kali sang murid membaca pasal yang sama dalam kitab itu selalu saja ada
inspirasi baru.
Menurutnya, kitab Fushuh
bagaikan mata air yang tidak pernah kering. Ibnu Arabi menjawab, kitab itu
termasuk judulnya dari Rasulullah yang diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi
itu, Rasulullah berkata, “Khudz hadzal kitab, Fushuh Al-Hikam (ambil kitab ini,
judulnya Fushush al-Hikam).”
Kitab Jami’ Karamat
Al-Auliya’ karangan Syekh Yusuf bin Isma’il Al-Nabhani, sebanyak dua jilid,
mengulas sekitar 625 tokoh/ulama yang memiliki karamah, yaitu pengalaman luar
biasa mulai dari sahabat nabi hingga tokoh abad ke-19.
Sayang, di dalamnya
tidak dimasukkan sejumlah orang yang dapat dikategorikan sebagai wali yang
berasal dari Indonesia. Seperti beberapa ulama yang tergabung di dalam Wali
Songo. Dalam kitab ini,Subhanallah, ternyata pengalaman batin dan spiritual
hamba Allah SWT berbeda-beda.
Juga
di http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/03/02/m0921q-berguru-kepada-penghuni-alam-lain-
Khomainiy = Nasr Hamid Abu Zaid = Nasaruddin Umar,
Al-Qur'an Tidak Sempurna ( Belum Tuntas ) !
Nasaruddin Umar : Pemerintah Akan Mengawasi Gerakan
Anti-Syiah. Menteri Agama : Hina Sahabat ( Istri ? ) Nabi Muhammad Menistakan
Agama Atau Tidak ? Di Saudi/Sudan/Pakistan, Dihukum Sangat Berat Dan Jadi
Benalu Negara. Malaysia/Brunei Larang Syiah.
SYIAH
Bergembira Digantinya KH Ali Mustafa Yaqub Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal
Innalillahi..
Menag Lukman Angkat Nasaruddin Umar Penyanjung Anand Krishna Jadi Imam Besar
Masjid Istiqlal
Sejarah
Hidup Imam
Al Ghazali (1)
Al Ghazali (1)
Imam Al Ghazali, sebuah
nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh
terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki
pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah
dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan
kaum muslimin belum mengenalnya. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya.
Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah
dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran
Beliau
Beliau bernama Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’19/323 dan
As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian
mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al
Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu
Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan
Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al
Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek
kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan
penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu
menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul
Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali
adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang
pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada
penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari
keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama
kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran
para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu
penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas
dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam
catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki
seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan
As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan
194).
Kehidupan dan Perjalanannya
Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah
seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di
kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada
temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan
saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka
saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan
untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka
temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan
yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata,“Ketahuilah oleh kalian berdua,
saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan
miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk
ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang
dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya
melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu
enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil
dari Thabaqat Asy Syafi’iyah6/193-194).
Beliau pun bercerita,
bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil
pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling
mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah
semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis
dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah
nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak
yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah
mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang
faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah
nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai
belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad
Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu
dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke
Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalamThabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota
Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan.
Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih
khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun
memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang
menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al
Juwaini (Lihat Adz Dzahabi,Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan
As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah6/191).
Setelah Imam Haramain
meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena
majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat
kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya
menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke
sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di
Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau
berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam
diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap
filsafat, seperti kitabAt Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau
menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja
kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam
hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitabIkhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya
sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’,
Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat
dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di
dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong
sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa6/54).
Demikianlah Imam Ghazali
dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi
sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang
seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai
filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu
Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya.
Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat,
yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam
beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan
agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar
dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat
mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa.
Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu
Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah
binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada
filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami
(ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga
murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu
Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian
jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam
jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni
ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah,
ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji
dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau
masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul
Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid
Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al
Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di
sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al
Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih
jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10
tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10
tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’
Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin
Ubaidilah Al Hafshi.”(Dinukil oleh Adz
Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh
Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di
madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488
H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus
beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal
beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil
oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul
Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di
Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An
Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan
menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu
madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau
habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli
ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah
lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau
dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya.
Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya,
beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah
shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang,
niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat
meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi
menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil
cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu
dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.”Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di
kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui
Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat.
Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh
Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H
dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-
***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh
www.muslim.or.id
sumber
: http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html
Kitab Ihya’ Ulumuddin Imam al-Ghazali & Kritik
Hadits Didalamnya
Tak ada gading yang tak retak. Begitu kira-kira
permisalan bagi kitab Ihya’
Ulumuddin karya Al
Imam al-Ghzali rahimahullah. Disamping kemasyhuran dan faidah yang terkandung
padanya, sayang di dalamnya banyak terselip hadits lemah, sangat lemah bahkan
palsu.
Diakui, Imam al-Ghazali adalah seorang ulama pemuka
umat yang dihormati. Jasa dan sumbangsihnya dalam berbagai cabang ilmu agama
tidak dapat dipungkiri. Beliau adalah ahli fikir dan ushul yang
tersohor. Kendati dalam bidang hadits, beliau bukanlah ahli di dalamnya,
sebagaimana dinyatakan para pakar hadits. Makanya, mengkritik hadits-hadits
lemah dan palsu dalam kitab beliau, tidak berarti merendahkan kedudukan
al-Ghazali, karena kebenaran dan keselamatan agama berada di atas segalanya.
Simaklah pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi
kala menjelaskan kekeliruan yang ada dalam kitab al-Ihya’: “Aku katakan:
Al-Ghazali adalah imam yang besar, namun bukanlah menjadi syarat seorang alim
itu tidak melakukan kekeliruan’’. (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar
Alam al-Nubala 19/339,
al-Maktabah al-Syamilah).
Bahkan Imam besar dalam Mazhab Syafi’i yang selalu membela
al-Ghazali, Imam Tajuddin al-Subki pun mengakui hal ini dalam “Thabaqat”-nya:
“Adapun apa yang dianggap cela pada kitab al-Ihya' berupa kelemahan sebagian
hadits-hadistnya, maka itu kerana al-Ghazali dikenal bukanlah seorang pakar
dalam bidang hadits’’. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat
al-Syafi’yyah al-Kubra, 6/249, al-Maktabah al-Syamilah).
Nah, berikut beberapa komentar ulama mu’tabar terkait
kitab Ihya’ Ulumuddin:
Pertama: Imam al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan:
“Ketika berada di Damaskus dan Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya
Ihya' Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang luar biasa, mengandung banyak ilmu yang
berkaitan dengan syari’at, dan bercampur dengan kehalusan tasawuf serta amalan
hati. Namun sayang, di dalamnya banyak hadits yang gharib, mungkar dan bahkan
palsu’’. (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah
wa al-Nihayah, 12/214, al-Maktabah al-Syamilah).
Kedua: Imam Ibnul Jauzi berkata: “Kemudian datang Abu
Hamid al-Ghazali menulis untuk mereka (golongan sufi) kitab al-Ihya'
berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya itu dengan hadits-hadits
batil yang dia tidak ketahui kebatilannya’’. (Lihat: Ibnul Jauzi, Talbis
Iblis, hlm 149, al-Maktabah al-Syamilah).
Ketiga: Imam al-Hafidz al-Dzahabi mengomentari:
“Adapun kitab al-Ihya’ di dalamnya terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil.
Padanya terkandung kebaikan yang melimpah, andai saja tidak ada padanya adab,
cara dan zuhud yang diambil daripada ahli falsafah dan golongan sufi yang
menyeleweng. Kami memohon daripada Allah ilmu yang bermanfaat". (Lihat:
Al-Dzahabi, Siyar
‘Alam al-Nubala’, 19/339, Beirut: Dar al-Risalah, al-Maktabah
al-Syamilah).
Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Abu
Hamid (Al-Ghazali) tidak memiliki pengalaman (kepasitas) dalam atsar-atsar Nabi
serta riwayat-riwayat salaf sebagaimana dimiliki oleh ahli-ahli yang mengetahui
perkara itu yang sanggup membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih.
Olehnya, al-Ghazali menyebut dalam kitab-kitabnya hadis dan athar yang palsu
dan dusta, dimana kalau ia mengetahuinya tentu dia tidak akan menyebutnya”
(Lihat: Ibn Taimiyyah, Dar’u
Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, 3/370, al-Maktabah al-Syamilah).
Itulah Imam al-Ghazali dan kitabnya Ihya’
Ulumuddin. Tapi kebesaran dan kesohoran beliau di dunia Islam,
tidak menjadikan beliau tutup mata terhadap kekurangannya dalam bidang ilmu
hadits tersebut. Beliau mengakuinya, hingga di akhir-akhir hayatnya,
sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisy, bahwa
beliau mulai melakukan kajian-kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw, duduk
mendengar pelajaran dari ahli ilmu, serta mendalami kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, 4/111, dan al-Dzahabi,
Siyar al-A’lam al-Nubala, 19/325-326). Terbukti, saat ditemukan, beliau wafat
sambil memeluk kitab “Shahih al-Bukhari”. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh
al-Aql wa al-Naql, 1/162).
Semoga Allah merahmati al-Hafidz Abu al-Fadhl Abdur
Rahim al-Iraqi atas kerja keras dan upaya beliau melakukan pendalaman
dan takhrij (penjelasan) bagi hadits-hadits dalam kitab al-Ihya’,
kemudian beliau namakan takhrijnya tersebut “Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi
al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar”, yang dicetak bersamaan
dengan kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut.
*dari fb Rappung Samuddin (Jumat, 28/8/2015)
Tinjauan
Kritis Terhadap Beberapa Pemikiran Imam Al Ghazali Dalam Kitabnya
Ihya’ Ulumiddin
Ditulis
pada 18 Januari 2015 oleh abuzahrahanifa
PENDAHULUAN
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al
Ghazali ath Thusi asy Syafi’i yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al Ghazali
dilahirkan di kota Thûs pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal di Thûs pada
tahun 505 H (1111 M). Dikenal di dunia Barat pada abad pertengahan dengan
Algazel.
Berkun-yah Abu Hamid, karena salah
seorang anaknya bernama Hâmid. Sementara gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi
berkaitan dengan pekerjaan ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan tempat
kelahirannya yaitu Ghazâlah di Bandar Thûs, Khurasân, Persia (Iran). Sedangkan
gelar asy-Syâfi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.
Imam al-Ghazâli rahimahullah termasuk
penulis produktif, di antaranya menulis dalam bidang Ushûluddîn, Ushul Fiqh,
Fiqh, Mantiq, Tasawuf, dan lainnya. Tulisan dan kitab-kitab beliau tersebut
cukup banyak tersebar di kalangan kaum muslimin, meskipun di dalamnya banyak
terdapat substansi-substansi yang perlu dikoreksi dan diluruskan karena
penyelisihannya dari pemahaman yang benar.
Pada tulisan ini, akan sedikit diuraikan
beberapa pemikiran dan pemahaman Imam al- Ghazâli rahimahullah yang perlu
dikritisi, dalam rangka meluruskan kesalahan dan sebagai bentuk nasihat kepada
kaum umat Islam. Pembahasan ini diangkat dari kitab berjudul Waqafat ma’a Kitab
Ihya’ ‘Ulumiddîn lil Ghazali karya Sa’d bin ‘Abdirrahman al-Hushayyin.
PANDANGAN AL-GHAZALI rahimahullah DALAM
MASALAH KHOLWAT [1].
Beliau mengatakan,
“Adapun kehidupan berkholwat, maka di
antara faidahnya adalah meninggalkan kesibukan, menguatkan pendengaran dan
penglihatan, karena sesungguhnya keduanya (pendengaran dan penglihatan) adalah
saluran menuju ke hati. Dan tidaklah hal itu bisa sempurna kecuali dengan
berkholwat (menyendiri) di rumah yang gelap. Dan jika tidak ada tempat yang
gelap, maka hendaklah ia memasukkan kepalanya ke dalam baju, atau berselimut
dengan baju atau sarungnya, maka dalam keadaan ini ia akan mendengar seruan
kebenaran dan menyaksikan keagungan rubûbiyyah Allâh Azza wa Jalla .” [2].
Beliau berdalil dengan firman Allah Azza
wa Jalla:
يَاأَيُّهَا
الْمُدَّثِّرُ
“Hai orang yang
berkemul (berselimut)”. [al-Muddatstsir/74 :1]. Dan Firman Allah Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا
الْمُزَّمِّلُ
“Hai orang yang
berselimut (Muhammad)”. [al-Muzzammil/73 :1].
Sanggahan :
Apakah Allâh Azza wa
Jalla menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai dasar untuk merealisasikan jenis
kholwat semacam itu, ataukah ayat tersebut menjelaskan perintah meninggalkan
tempat tidur dalam rangka berdakwah mengajak ke jalan Allâh Azza wa Jalla
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dan apakah jenis
kholwat semacam itu diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?.
Al-Ghazali
rahimahullah juga mengatakan tentang kholwat,
“Dan hendaklah ia
menyendiri di ruangan khusus, dengan hanya melaksanakan perkara-perkara yang
wajib, dan tidak mengiringi keinginannya untuk membaca al-Qur’ân, tidak pula
menelaah tafsirnya, serta tidak pula menulis Hadits.” [3].
Sanggahan :
Pernahkah Rasûlullâh
Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , para Sahabat, dan para imam (panutan) beribadah
kepada Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan membaca al-Qur`ân,
mentadabburinya, dan menyebarkan Sunnah (Hadits)?.
Al-Ghazali
rahimahullah menambahkan mengatakan,
“Ketahuilah bahwa
orang yang masih dalam tahapan awal [4] , hendaklah tidak menikah terlebih
dahulu. Karena, hal itu (pernikahan) merupakan urusan yang mendatangkan
kesibukan dan akan menghalanginya dari menempuh perjalanan (suluk). Demikian
pula, hal itu akan mengantarkannya untuk berkasih-sayang dengan istrinya. Dan
barangsiapa berkasih-sayang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , itu akan
melalaikannya dari Allâh Azza wa Jalla . Janganlah ia tertipu dengan keberadaan
Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai banyak isteri. Karena
beliau adalah orang yang hatinya tidak terlalaikan dari mengingat Allâh Azza wa
Jalla dengan seluruh yang ada di dunia. Jadi, tidaklah bisa dikiaskan antara
malaikat dengan tukang besi……..Oleh karena itulah, Abu Sulaimân ad-Dârâni
berkata, “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah cenderung (tertarik) kepada
dunia.” [5].
Sanggahan :
Lihatlah pertentangan
perkataan tersebut dengan firman Allah Azza wa Jalla berikut :
وَجَعَلَ مِنْهَا
زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
“Dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”. [ al-A’raf/7:189].
Juga berseberangan
dengan perintah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لِأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Barang siapa di
antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah karena hal
itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan” [HR. al-Bukhari Muslim].
PANDANGAN AL-GHAZALI
BERKAITAN DENGAN AL-QUR’AN.
1). Ta’wil Batiniyah
Para pengikut
tharekat Sufiyah berpendapat seperti yang menjadi pendapat kaum batiniyah
secara umum, yaitu membagi ilmu syar’i menjadi ilmu yang bersifat lahir dan
ilmu yang bersifat batin, atau ilmu thariqah (jalan) dan ilmu hakikat. Dan
al-Ghazâli rahimahullah termasuk pemandu mereka dalam masalah ini, sebagaimana
kenyataan yang ada, dimana beliau telah mambuka pintu ajaran tasawuf kepada
para pengikut yang datang setelahnya. Dan juga memudahkan sarana untuk
menjadikan ajaran ini nampak, padahal sebelumnya ajaran ini tersembunyi dan
tidak terang-terangan.
Berikut ini contoh
penafsiran al-Ghazali rahimahullah terhadap beberapa ayat al-Quran :
Allah Azza wa Jalla
berfirman:
فَاخْلَعْ
نَعْلَيْكَ
“Maka tanggalkanlah
kedua terompahmu. [Thaha/20:12].
Al-Ghazâli
rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Aku mengatakan bahwa
Musa memahami perintah untuk menanggalkan kedua terompahnya, yang maksudnya
adalah menanggalkan kedua alam. Maka Musa melaksanakan perintah secara lahir
dengan menanggalkan terompah dan secara batin dengan menanggalkan kedua
alam.”[6].
Ibnu Taimiyah
rahimahullah (w. tahun 728 H) mengomentari penafsiran tersebut dengan
menyatakan, “Ini adalah kebiasaan ahli takwil, ahli filsafat….shabiah dan
orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Qaramithah, Bathiniyah dan para
pengikut aliran tasawuf”[7].
Beliau rahimahullah
juga mengatakan, “Dan dari sisi inilah orang-orang yang menyimpang dari
kalangan ahlul hulûl, ahlul wihdah, dan ahlul ittihâd [8]”[9].
Ibnul Jauzi
rahimahullah (w. tahun 597 H) juga menukil perkataan al-Ghazâli rahimahullah,
“Yang dimaksudkan dengan bintang-bintang dan bulan (yang dilihat Nabi Ibrâhîm)
[10] adalah cahaya-cahaya, yaitu hijab Allâh Azza wa Jalla , dan bukanlah yang
dimaksudkan adalah matahari dan bulan yang sudah dimaklumi.” Maka, Ibnul Jauzi
rahimahullah mengomentari perkataan ini dengan mengatakan, “Ini termasuk jenis
perkataan orang-orang Batiniyah.”[11].
Demikian pula,
Allah Azza wa Jalla
berfirman :
فَإِنْ آَنَسْتُمْ
مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ/4:6].
Al-Ghazali
rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan mengatakan
bahwa, orang yang sudah cukup bekal ilmunya, hendaklah dibukakan kepadanya
hakikat-hakikat ilmu, dan ia naik dari pengetahuan yang sifatnya lahiriyah dan
nampak kepada pengetahuan yang sifatnya rinci, tersembunyi, dan batin.” [12].
2). Membandingkan
al-Quran dan Nyanyian
Al Ghazali
rahimahullah menyebutkan dalam al-Ihya’ satu bab tentang al-ghina (nyanyian).
Secara panjang-lebar, beliau membicarakan tentang kondisi orang-orang yang
menekuninya, dan juga perasaan gembira yang mereka rasakan. Dan beliau
menyebutkan dalil-dalil orang yang berpendapat akan haramnya nyanyian, kemudian
membantahnya. Dan menyebutkan orang-orang yang berpendapat akan bolehnya
nyanyian dan kemudian mendukungnya.
Kemudian beliau
menjawab pertanyaan berkaitan dengan hal ini, yaitu pertanyaan, “Jika sudah
diketahui bahwa mendengar al-Quran jelas memberikan manfaat kepada jiwa, maka
mengapakah mereka masih berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari orang-orang
yang ahli dalam pembicaraan, bukan mendengar dari para pembaca al-Quran ?”.
Maka al- Ghazali
-rahimahullah- menjawabnya langsung,
“Ketahuilah,
sesungguhnya nyanyian lebih memberikan dorongan kepada jiwa daripada al-Qur’an
ditinjau dari tujuh sisi” (?!)[13] :
Sisi pertama :
Sesungguhnya tidak semua ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kondisi orang yang
mendengarkannya. Orang yang ditimpa kesedihan, rasa rindu, atau penyesalan,
dari sisi mana kondisinya sinkron dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ
فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan [an-Nisa/4:11].
Dan dari sisi mana
kondisinya sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik. [an-Nûr/24:4]. Jadi, yang bisa
menggerakkan perasaan dalam hati ialah hal-hal yang sesuai dengannya.
Sisi kedua :
Bahwasanya al-Quran telah banyak orang yang menghafalnya, sering didengar, dan
sering diresapi dalam hati. Ketika pertama kali didengar, maka pengaruhnya
terasa besar pada kalbu. Setelah mendengar kedua kalinya, pengaruhnya akan
menurun. Dan pada kali yang ketiga, seolah-olah pengaruhnya lenyap. Berkaitan
dengan apa yang kami sebutkan itu, Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu telah
mengisyaratkan kenyataan tersebut ketika ia melihat beberapa orang arab Badui
datang mendengarkan al-Qur`ân kemudian mereka menangis, maka ia
berkata,“Dahulunya kami juga menangis seperti kalian, akan tetapi sekarang
sudah keras hati kami.” Akan tetapi, berulang-ulangnya hati menelaah al-Qur`ân
mengakibatkan kerasnya hati, dan sedikitnya pengaruh yang dirasakan, disebabkan
kebiasaan dan seringnya mendengar al-Qur`ân. Menurut kebiasaan, tidak mungkin
seseorang mendengar satu ayat yang belum pernah didengar sebelumnya lalu ia
menangis, dan ia terus-menerus bisa menangis karenanya dalam jangka dua puluh
tahun, kemudian setiap kali ia mengulang ia selalu menangis” [14].
Sanggahan :
Sangat mengherankan,
bukankah alGhazali rahimahullah telah mengatakan tidak hanya sekali dalam
kitabnya Ihya Ulumiddin bahwa al Quran tidaklah usang dengan banyaknya diulang
? Dan bahwa hati tidaklah bosan dengannya?[15].
Dari manakah beliau
mendatangkan kisah palsu yang dihikayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu
tersebut? Sedangkan telah diriwayatkan dalam hadits yang shahîh dari ‘Aisyah
Radhyallahu anhuma , bahwasanya ia berkata :
إِنَّ أَبَا بَكْرٍ
رَجُلٌ رَقِيْقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَ عَلَيْهِ الْبُكَاءُ
“Sesungguhnya Abu
Bakar adalah orang yang sangat lembut hatinya, jika ia membaca al Quran, maka
ia tidak bisa menahan tangisnya [16].
Ini adalah riwayat
yang jelas menunjukkan kedustaan kaum yang menganggap telah sampai pada
tingkatan ma’rifah dan wushûl, dan mereka lebih mengedepankan nyanyian daripada
al Quran, dan berdalil dengan riwayat yang dibuat-buat (dipalsukan) atas nama
Abu Bakar Radhiyallahu anhu.
PANDANGAN AL-GHAZALI
DALAM ROJA DAN KHAUF [17].
Al-Ghazali
rahimahullah menyebutkan beberapa perkataan kaum Sufi dan pendapat-pendapat
mereka dalam masalah roja’ dan khauf. Di antaranya beliau mengatakan,
“Adapun orang yang
beramal karena mengharapkan surga dan takut neraka maka dia adalah seorang yang
mukhlis (ikhlas) jika ditinjau dari bagian yang didapatkannya segera. Jika
tidak demikian, maka hakikatnya dia sedang mencari pemenuhan kebutuhan perut
dan farji (kemaluan). Dan sesungguhnya yang benar-benar dituntut dari orang-orang
yang berakal adalah mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla semata (bukan
berharap surga dan takut dari neraka, pent)” [18].
Kemudian beliau
menukil perkataan Rabi’ah al ‘Adawiyah kepada Sufyân ats-Tsauri rahimahullah,
“Aku tidaklah
beribadah kepada-Nya karena takut dari neraka-Nya, tidak pula karena
menginginkan surga-Nya. Jika seperti itu, tentulah aku termasuk kuli yang buruk
(mengharap upah dam takut kena marah, pent). Akan tetapi, aku beribadah
kepada-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.[19].
Beliau juga
menceritakan bahwa Isa Alaihissallam pernah melewati sejumlah orang ahli ibadah
dan mereka sedang tekun beribadah. Mereka berkata,
“Kami takut akan
neraka dan kami mengharapkan surga.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Mengapa
kalian takut kepada makhluk (neraka) dan mengharapkan makhluk (surga)?”.
Kemudian Isa Alaihissallam melewati sekelompok orang lain yang mengatakan,“Kami
beribadah karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan kebesaran-Nya.”Maka Isa
Alaihissallam berkata, “Kalian adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla yang
sejati, dan bersama kalian lah aku diperintahkan untuk tinggal.”[20].
Sanggahan :
Allah Azza wa Jalla
berfirman dalam rangka menyampaikan tarhib [21]:
فَاتَّقُوا النَّارَ
الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Peliharalah dirimu
dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu”. [al-Baqarah/2:24].
Dan Allâh Azza wa
Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan targhib [22] :
وَسَارِعُوا إِلَى
مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah
kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. [Ali ‘Imran/3:133].
Maka, bagaimanakah
seseorang bisa disebut sebagai orang yang mengagungkan Allah Azza wa Jalla ,
sedangkan ia mendengar firman Allah Azza wa Jalla tersebut, kemudian ia tidak
mau memperhatikan ancaman yang menjadikan seseorang takut dari-Nya, dan tidak
pula mengharapkan kenikmatan yang telah Allâh Azza wa Jalla janjikan ( dalam
surga)?.
Apakah ia
berkeyakinan bahwa ia lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla dan lebih dekat
kepada-Nya daripada para Nabi yang telah dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dalam
firman-Nya :
وَيَدْعُونَنَا
رَغَبًا وَرَهَبًا
“Mereka berdoa kepada
kami dengan harap dan cemas [al-Anbiya/21:90].
Dan apakah ia
menganggap bahwa dirinya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada para
malaikat yang telah Allâh Azza wa Jalla puji dalam firman-Nya :
يَخَافُونَ
رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada
Rabb mereka yang di atas mereka” [an-Nahl/16:50].
Bukankah hakekat
pengagungan dan makna ketakwaan dengan seluruh maknanya adalah seseorang takut
akan hal-hal yang menjadi ancaman Allâh Azza wa Jalla , dan seseorang
mengharapkan kenikmatan yang telah dijanjikan Allâh Azza wa Jalla .
Tidakkah ia mendengar
firman Allâh Azza wa Jalla :
ذَلِكَ يُخَوِّفُ
اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ
“Demikianlah Allâh
mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai
hamba-hamba-Ku [az-Zumar/39:16].
Simaklah pernyataan
al-Qusyairi –seorang tokoh Sufi dan termasuk peletak pokok-pokok ajaran Tasawuf
– yang diriwayatkan dari perkataan Abu Sulaimân ad Darani, “Yang dimaksud
dengan ridha adalah engkau tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla, dan
tidak memohon perlindungan dari neraka.” [23].
Tidakkah ia
mengetahui bahwa ketidaktakutan seseorang terhadap ancaman Allâh Azza wa Jalla
termasuk sifat orang-orang yang melampaui batas, sebagaimana firman Allah Azza
wa Jalla :
وَنُخَوِّفُهُمْ
فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا
“Dan kami
menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar besar
kedurhakaan mereka” [al-Isrâ/17:60].
Sifat thughyan
(melampai batas) ini telah menimpa kaum Sufi dengan penyimpangan mereka dari
sunnah (petunjuk) Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , dan meremehkan
pahala dan siksaan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Mereka berpandangan bahwa
apabila seseorang takut akan neraka dan adzab Allâh Azza wa Jalla berarti ia
telah takut kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan bahwasanya hal itu termasuk
kategori syirik. Dalam hal ini, mereka telah melalaikan akan perintah Allah
Azza wa Jalla :
وَادْعُوهُ خَوْفًا
وَطَمَعًا
“Dan berdoalah
kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan” [al-A’raf/7:56].
Dengan demikian,
mereka tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula berlindung
dari neraka karena menganggap bahwa hal itu adalah tingkatan ridha kepada Allâh
Azza wa Jalla .
AL-GHAZALI MENGUTIP
KISAH TOKOH-TOKOH TASAWUF.
Al-Ghaza li
rahimahullah mengatakan,
“Dan diriwayatkan
bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi, suatu ketika ia merasa kagum terhadap seorang
pengikut tarekat Sufi. Ia pun mendekatinya dan menyediakan segala kebutuhannya,
sementara orang tersebut tetap sibuk dalam ritual ibadahnya. Kemudian Abu Turab
berkata kepadanya, “Seandainya engkau mau melihat Abu Yazid!” Maka orang itu
menjawab, “Celaka kamu, apa yang aku butuhkan dari Abu Yazid? Aku telah melihat
Allâh Azza wa Jalla (!?), maka aku tidak butuh kepada Abu Yazid.” Abu Turab
berkata, “Maka bergoncanglah perasaanku, dan aku pun tidak bisa menguasai
jiwaku, lalu aku pun berkata kepadanya, “Celakalah engkau, engkau telah terpedaya
dengan Allâh Azza wa Jalla . Kalau lah engkau melihat Abu Yazid sekali saja,
maka itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah Azza wa Jalla tujuh
puluh kali (!?)” [24].
Sanggahan :
Perkataan yang buruk
ini tidak perlu lagi untuk dikomentari, kecuali kita hanya berlindung kepada
Allah Azza wa Jalla dari penyimpangan setelah datangnya hidayah. Namun
demikian, al-Ghazâli rahimahullah tidak mengingkari perkataan tersebut,
demikian pula cerita-cerita lainnya dari tokoh-tokoh Sufi. Justru berkomentar
positif, “Ini adalah bagian awal dari perjalanan mereka (menuju Allah),
sekecil-kecil kedudukan mereka, dan semulia-mulia orang yang bertakwa(?! ).”
[25].
Imam al-Ghazali
rahimahullah juga menceritakan dari Ibnu al-Kuraibi bahwa ia berkata,
“Aku mendatangi suatu
tempat dimana penduduknya mengenalku sebagai orang shalih. Di situ, hatiku
menjadi gundah. Lalu aku masuk ke kamar mandi dan aku melihat ada sehelai baju
yang mewah. Aku mencurinya dan kemudian mengenakannya. Lalu aku pakai pakaianku
yang penuh tambalan di atas baju tersebut, kemudian aku keluar. Aku pun
berjalan pelan-pelan. Orang-orang pun menemuiku dan melepaskan baju luarku.
Selanjutnya, mereka mengambil pakaian yang mewah itu dan menampari dan
menyakitiku dengan pukulan. Sejak itu, aku dikenal sebagai seorang pencuri
barang-barang yang tertinggal di kamar mandi. Namun, dengan kasus itu lah
jiwaku menjadi tenang (?!).” [26].
Sanggahan :
Perkara ini jelas
menyelisihi syariat Allâh Azza wa Jalla dan sunnah (petunjuk) Nabi-Nya. Karena
pencurian termasuk perbuatan dosa besar.Allâh Azza wa Jalla menggandengkan
penyebutan tindak pencurian dengan dengan perbuatan zina yang diharamkan Allâh
Azza wa Jalla atas orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza
wa Jalla berfirman :
وَلَا يَسْرِقْنَ
وَلَا يَزْنِينَ
“Tidak akan mencuri
dan tidak akan berzina”. [al-Mumtahanah/60:12]. Dan Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
وَحُرِّمَ ذَلِكَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. [an-Nûr/24: 3].
TAUHID AL-GHAZALI DAN
KEYAKINAN AL-HALLAJ [27].
Para ulama telah
mengingkari pendapat al-Ghazali rahimahullah yang membagi tauhid menjadi empat,
yaitu :
Tingkatan pertama:
Seseorang mengucapkan kalimat La Ilaha illallah dengan lisannya, namun hatinya
ghoflah (lalai) darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang
munafik”. [28].
Sanggahan :
Telah dimaklumi bahwa
nifaq (kemunafikan) bukanlah satu tingkatan dari tauhid menurut para Ulama
Salaf. Bahkan sebaliknya, termasuk tingkaran kekufuran paling tinggi. Sementara
ghoflah (kelalaian) itu berbeda dengan inkâr (pengingkaran).
Tingkatan kedua:
“Seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya sebagaimana umumnya
kaum Muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-orang awam”.[29].
Tingkatan ketiga :
“Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan al-kasyf (penyingkapan)
melalui perantara cahaya dari Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah tingkatan
muqorrabîn (orang-orang yang didekatkan kepada-Nya). Yaitu, dengan melihat
benda-benda yang banyak, disertai keyakinan bahwa semuanya itu muncul dari satu
Dzat Yang Maha Mulia”.
“Maka, orang yang
menyaksikan adalah orang yang bertauhid, karena ia tidak menyaksikannya kecuali
(bersumber) dari perbuatan satu Dzat……dan tidak melihat satu pun perbuatan
secara hakiki kecuali (bersumber) dari yang satu.[30].
Tingkatan keempat:
“Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu hakikatnya
adalah satu. Ini adalah yang disaksikan oleh shiddîqîn. Para pengikut Tasawuf
menamainya dengan fanâ (melebur) dalam tauhid. Inilah puncak tertinggi dalam
tauhid.”[31].
Sanggahan :
Di sini kita
sampaikan satu pertanyaan, yaitu di manakah letak tauhid (aqidah) yang
diserukan oleh Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya
(mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh ibadah) di antara empat tingkatan
tauhid yang disebutkan tersebut, mengapa tidak ada bagiannya di sana?.
Dan apa benar puncak
tertinggi dalam tauhid diwujudkan dengan melihat segala apa yang ada sebagai
sesuatu yang hakikatnya satu? Apakah yang dimaksudkan satu tersebut adalah
Allâh Azza wa Jalla ? Jika demikian, maka ini adalah pemahaman wihdatul wujud.
[32].
Al-Ghazali
rahimahullah telah mengisyaratkan hal itu [33] ketika beliau mengatakan dalam
kitab Misykatul Anwar, “La ilaha illallah adalah tauhid (keyakinan) orang-orang
awam, dan ‘La huwa illa huwa’ (tidak ada dia kecuali dia) adalah tauhid
(keyakinan) orang-orang khusus.”[34].
Ketika al-Ghazâli
rahimahullah menyebutkan tingkatan keempat dari tauhid tersebut, beliau
mengatakan, “Jika engkau bertanya, “Bagaimana dapat dibayangkan seseorang tidak
melihat kecuali satu, padahal ia melihat langit, bumi, seluruh benda-benda yang
bisa dijangkau oleh panca indera, dan jumlahnya sangat banyak, maka bagaimana
bisa dikatakan yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang satu ?”.
Maka beliau menjawab
pertanyaan tersebut dengan membuat permisalan yang mengherankan, dan tidak
terbayang bahwa itu muncul dari seorang yang alim (berilmu) terhadap syariat
Allâh Azza wa Jalla , yang mestinya mengembalikan perkara ketika terjadinya
perselisihan kepada nash-nash wahyu dari Allâh Azza wa Jalla . Beliau menjawab
pertanyaan tersebut dengan mengatakan,
“Hal itu seperti pada
diri seorang insan, ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari ruhnya, jasadnya,
anggota badannya, urat-uratnya, tulang-tulangnya, dan juga lambungnya. Dan
ditinjau dari sisi lainnya, ia juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu.
Betapa banyak orang yang melihat orang lain, namun tidak terlintas di dalam
benaknya tentang banyaknya usus orang itu, urat-uratnya, anggota badannya,
rincian ruh dan jasadnya, demikian pula anggota tubuhnya yang lain. Demikian
pula segala sesuatu yang ada ini dari al- Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dan
seluruh makhluk mempunyai sisi penyaksian yang banyak dan beraneka ragam. Maka,
ditinjau dari satu sisi, semuanya itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu,
dan ditinjau dari sisi lainnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banyak,
sebagiannya lebih banyak dari sebagian yang lain.“[35].
Maka, makna dari
perkataan al-Ghazali rahimahullah tersebut bahwa puncak tertinggi tauhid adalah
wihdatul wujud dan bersatunya al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dengan
makhluk-Nya.
Inilah beberapa
kekeliruan dari kekeliruan Abu Hamid al-Ghazali yang banyak dalam kitabnya yang
sangat terkenal . Namun pemaparan yang sedikit ini kiranya dapat memberikan
gambaran tentang bahaya besar yang tidak (belum) disadari dari kitab Ihya’
‘Ulumiddin.
Tulisan ini bukanlah
untuk mencela ataupun menghina Imam al-Ghozali yang termasuk Ulama Islam yang
masyhur. Namun tujuannya sebagaimana disampaikan Syaikh Sa’d al-Hushayyin dalam
muqoddimah kitab yang menjadi sumber naskah ini, ”Kami memandang pentingnya
menyebarkan tulisan ini secara terpisah karena banyak orang yang menjadikan
Ihyâ’ ‘Ulumiddîn sebagai bahan rujukan namun tidak selektif. Kitab ini meskipun
juga memang memuat kebaikan, kebenaran dan petunjuk (yang benar), akan tetapi
juga berisi gulungan kejelekan dan kebatilan serta kesesatan, jauh dari
petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah. Hanya saja, orang-orang yang fanatik kepada
beliau, tetap menyebarkan kekeliruan dan kesalahan beliau di dalamnya.
Kewajiban kita tiada lain, memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla bagi
beliau dan kita semua, dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan pemikirannya
yang bertentangan dengan syariat, dalam rangka menjaga Allâh, Kitab-Nya,
Rasul-Nya, para penguasa dan kaum Muslimin pada umumnya”.
PENUTUP.
Di akhir pembahasan
ini, setelah kami menyebutkan beberapa pendapat dan pemikiran al-Ghazâli rahimahullah
yang dinukil dari kitab-kitab beliau sendiri, demikian pula dari kitab-kitab
yang menjelaskan biografi beliau, maka perlu kami sampaikan bahwa telah
disebutkan pernyataan tentang taubat beliau dari kesalahan-kesalahan tersebut.
Dan di akhir-akhir kehidupannya, beliau menyibukkan diri dengan menekuni hadits
dan ilmu-ilmunya. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau meninggal dengan kitab
Shahih al-Bukhâiari berada di atas dadanya. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196].
Footnote
1.Kholwat adalah
menyendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , pent)
2.al-Ihyâ’ 3/76
3.al-Ihyâ (3/19).
4.Dalam tahapan awal
dalam menempuh tarekat Sufi, Pent)
5.al-Ihyâ 3/110
6.Misykâh al-Anwâr,
hlm. 30
7.Majmû Fatâwâ 6/180
8.Maksudnya adalah
orang-orang yang berkeyakinan bersatunya Rabb dengan makhluk, Pen)
9.Dâr-u at-Ta’ârudh
al-‘Aql wa an-Naql 1/318
10Sebagaimana
disebutkan dalam QS. al An’âm : 77-78, Pen)
11.Talbîs Iblîs, hlm.
166
12.Mizân al-‘Amâl, hlm.
111
13.Di sini kami hanya
menyebutkan dua sisi yang disebutkan al-Ghazâli karena keterbatasan tempat.
(Pent)
14.al-Ihyâ (2/299).
15.al-Ihyâ (1/272-289).
16.HR. al-Bukhâri
(1/162, 165, 167) dalam Kitâb al-Adzân
17.Rojâ maknanya
mengaharpkan pahala dan surge Allâh Azza wa Jalla , sedangkan khauf maknanya
takut dari adzab dan neraka Allâh Azza wa Jalla . (Pen)
18.al-Ihyâ 4/381
19.al-Ihyâ 4/310
20.al-Arba’în min Ushûl
ad-Dîn 192
21.Tarhîb adalah hal-hal
yang menyebabkan seseorang takut akan ancaman dan siksaan Allâh Azza wa Jalla
(Pent)
22.Targhîb adalah
hal-hal yang menyebabkan seseorang bersemangat untuk mendapatkan pahala dan
kenikmatan yang dijanjikan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
23.ar-Risâlah
al-Qusyairiyah hlm. 90
24.al-Ihyâ 4/356, Bab
Hikâyatu al-Muhibbin wa Aqwâlihum wa Mukasyafâtihim
25.al-Ihyâ 4/357
26.al-Ihyâ 4/358
27.Al-Hallâj adalah
tokoh pemahaman wihdatul wujûd (segala yang ada di semesta merupakan perwujudan
Allâh Azza wa Jalla , Pent).
28.Al-Ihyâ 4/245
29.Al-Ihyâ 4/245
30.Idem.
31.Idem.
32.Yaitu pemahaman bahwa
segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent)
33.Yaitu pemahaman
wihdatul wujud. (Pen)
34.Misykâh al-Anwâr
(19/20).
35.Al-Ihyâ 4/246-247.
Kesesatan Al Ghazali & Ihya Ulumuddin
Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin,
kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran.
Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah
menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih
mengagungkannya.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu
umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta
bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang
yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
وَإِنَّمَا أَخَافُ
عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
“Yang paling aku
takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud,
4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no.
1586)
Abdurrahman bin Abu
Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya
memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap
mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata
tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam
(kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad
Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)
Ibnu Mas’ud z
berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka
menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke
belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)
Mengingat hal ini,
akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang selalu
dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan
bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa
kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara
global.
1. Dalam pembahasan
sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan
penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Ahlus Sunnah Wal
Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh
disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana
keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna
zhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula
mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal.
27-28)
Asy-Syaikh Muhammad
bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat
adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang telah Dia namakan
diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa
yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya
(kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan
mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)
Sebagai contoh,
Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan
istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah
menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
سَبِّحِ اسْمَ
رَبِّكَ اْلأَعْلَى
“Sucikan Rabbmu yang
Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)
إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya Allah
itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)
الرَّحْمنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman
ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا قَضَى اللهُ
الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Ketika Allah
menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di
sisi-Nya, di atas ‘Arsy…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak
mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah
diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu
Al-’Arsy, hal. 187)
2. Al-Ghazali berkata
tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang
melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu
kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
1/22)
Aqidah yang bersih
akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan
As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu
yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat
kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ
اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya telah
ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang
mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab:
21)
Asy-Syaikh As-Sa’di
rahimahullah: “Contoh yang baik adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan
yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah jalan
yang lurus.”
Al-Imam Al-Barbahari
rahimahullah: “Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu–,
sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan
kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat,
berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)
Ibnu Rajab
rahimahullah berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan
kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu
akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam
Ahmad: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan
Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli
ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu
‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)
Abdurrahman Muhammad
Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik,
Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan
mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu
sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal.
9)
Sungguh malang nasib
pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah k
dari hal itu).
3. Al-Ghazali membagi
ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu
muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu
kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)
Keyakinan bahwa ilmu
kasyaf merupakan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi!
Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali
Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa
melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam
hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal.
114)
Sungguh menakutkan
keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ
مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah: ‘Tidak
ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib
selain Allah.’” (An-Naml: 65)
عَالِمُ الْغَيْبِ
فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ
فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Maha
Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali
kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan
(dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata.
Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah n
bersabda:
خَمْسٌ لاَ
يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
“Ada lima perkara
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau
membaca ayat:
إِنَّ اللهَ
عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي
اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ
بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah,
hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353.
Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Jami’, 6/361]
Ibnu Hajar
rahimahullah berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dan segala perkara ghaib yang Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam
kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.
Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)
Adanya keyakinan
kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Penafsiran ayat
secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.
Sebagai contoh
Al-Ghazali menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاجْنُبْنِي
وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkan aku
serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan
bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya`
‘Ulumiddin, 3/235)
Cara seperti ini
merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan
menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah, jika
kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ
الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa
menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah
sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Ilmu batin menurut
Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh
orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa,
13/231)
Keadaan ini
menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara
ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji
bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa,
13/236)
5. Al-Ghazali
terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya`
‘Ulumiddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya
para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga
suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan
orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih
dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang
dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)
Bahkan hubungan manis
antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku
mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk
ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
Abdurrahman Al-Badawi
berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak
mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah
batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani.
(Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
Anggapan seperti ini
sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari
al-wala` wal-bara`.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَكُوْنُوا
كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr:
19)
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ
عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ
الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَتَتْبِعُنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ …
“Benar-benar kalian
akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no.
3456 dan Muslim no. 2669)
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa
menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dengan jelas menyatakan:
لاَ رَهْبَانِيَّةَ
فَي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak ada
kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah,
4/7)
Sungguh perilaku
Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola
liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is
every-thing).
6. Menurut
Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya
ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi,
ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga
ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal
ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti
berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin
Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)
Bahkan Al-Ghazali
berkata: “Sesungguhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang
haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan
tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh
terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau
menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu
cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji,
menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin,
3/18-19)
Beliau juga berkata:
“Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu
batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/
Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)
Abdurrahman Muhammad
Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan
kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga
kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.”
(Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
Abdurrahman Muhammad
Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali:
“Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran
malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati
kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa
Tashawwufuhu hal. 38)
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah
bahwa berita-berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam tidaklah
berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih
oleh setiap orang dengan musyahadah1, nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql
wan Naql, 5/347)
Al-Ghazali bahkan
menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama
dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)
Ibnul Jauzi
rahimahullah berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan
terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan
dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.”
(Talbis Iblis hal. 374)
Abdurrahman Muhammad
Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi
sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَكِنَّ
الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Akan tetapi
orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati
mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang
yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma
yang didoakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah
dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu
hal. 45)
Perilaku Shufiyyah
merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan
diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ
لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah Aku
sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan
telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
لَقَدْ مَنَّ اللهُ
عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah
memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara
mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka
Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
7. Tentang ajaran
wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin:
“Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka
melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan
alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan dengan pandangan tauhid. Hal ini
mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah
yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui
bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
4/86)
Bahkan terdapat
keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah
wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf
mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah:
Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di perut, di tempat-tempat
kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu
bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor,
tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian
dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)
Ahlus Sunnah meyakini
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah
serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.
Allah k berfirman:
الرَّحْمنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman
ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
إِنَّ رَبَّكُمُ
اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Rabb
kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa`
di atas Arsy.” (Yunus: 3)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidaklah Allah
serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
8. Ajaran khalwat
atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah.
Al-Ghazali berkata:
“Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian).
Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan
membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya
kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat
akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin,
3/78)
Syarat-syarat khalwat
menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan
dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri
dengan dzikir sehingga nampak Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya.
* Bertempat di
ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan
kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang
sebenarnya.
* Tidak boleh masuk
dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat
hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah
wal Yahudiyyah, hal. 186)
Ini merupakan
amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah
memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah bukanlah
khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar
tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila
telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa
Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah harus
dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional
atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil
Fitan)
9. Al-Ghazali lebih
mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada
membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata:
“Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu
yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
2/301)
Keganjilan kaum Shufi
ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang
diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian
pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul
at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya
menghalangi manusia dari Al-Qur`an.
Dan Yazid bin Harun
berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa,
11/569)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan
as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia
tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika
mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan
mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)
Orang-orang Shufi
telah melupakan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati
mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka
bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
أَلاَ بِذِكْرِ
اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah bahwa
dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
10. Kesalahan yang
fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus
ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu
hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal
keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan,
engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau
menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang
bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)
Hal ini sangatlah
berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Hendaknya kalian mengambil
bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Asy-Syaikh As-Sa’di
rahimahullah berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal
bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan
bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis
dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para
musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus
bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk
menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)
Al-Ghazali berkata:
“Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu,
maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang
dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
4/276)
Al-’Iraqi berkata
setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk
keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang
yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang
rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu
hal. 79)
Bahkan ketika
orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat
daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)
11. Menjauhi suatu
yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
seperti nikah.
Al-Ghazali berkata:
“Barang siapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya`
‘Ulumiddin, 3/101)
Hal ini sangat
menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
تَزَوَّجُوا
فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا
كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى
“Menikahlah kalian,
sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah
kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini
diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
Peringatan Ulama
Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3
Asy-Syaikh Abdul
Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau
(yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak
pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta
membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid
telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil
menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’.
Ibnul ‘Arabi, murid
Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu
filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”4
Abu ‘Ali Ash-Shadafi
berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki
karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan
waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah.
Beliau mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya
dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya.
Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri
Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan
menjauhi karyanya.”
Adz-Dzahabi berkata:
“Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
Ahmad bin Shalih
Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari
sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang
dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit.
Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin
untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para
wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia
mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”
Abu Bakr
Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai
kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidaklah ada
di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya
dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang
menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan
mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”
Semoga Allah
subhanahu wa ta’ala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar
setan.
Wallahu a’lam.
1 Musyahadah menurut
kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kemudian
memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia telah
bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
3 Diambil dari kitab
At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin
Abdurrahman Alusy Syaikh
4 Tentang akhir
kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena
itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan
tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk
melalui hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulailah ia
menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal
di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga
membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu,
yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal.
108, ed)