Friday, June 17, 2016

Benang Tipis: Antara Kemudahan Islam Dan Bermudah-Mudahan Dalam Mengamalkan Syariat Islam

Sesungguhnya Islamm itu mudah, ikhwah...

Meluruskan Pemahaman tentang Kemudahan 
Dalam Islam


A. Pengantar

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah dan menganjurkan kemudahan. Hal ini sangat dimaklumi bersama. Hanya saja masalahnya, banyak orang salah paham dan meletakkan kemudahan ini bukan pada tempatnya,  sehingga dengan dimotori oleh hawa nafsu dia mencari pendapat-pendapat yang paling ringan dan ganjil dengan alasan penyesuaian zaman dan kemudahan Islam sekalipun pendapat tersebut sangat lemah dan bertentangan dengan dalil-dalil yang shohih. Lalu, bila mereka diingkari, dengan entengnya mereka akan mengeluarkan senjata ampuhnya:

“Kita harus toleransi dan berlapang dada dalam masalah khilafiyyah (perselisihan ulama)”!!!

Ironisnya, orang-orang seperti itu malah banyak digemari masyarakat dengan menyebut mereka sebagai “ustadz gaul”, “dai bijak”, “kyai modern” dan gelar-gelar semu lainnya. Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk mendudukkan masalah ini agar kita memahaminya dengan baik dan tidak salah paham dengan kemudahan Islam.

B. Islam Agama Yang Mudah

Semua kita sepakat bahwa Islam merupakan agama yang mudah, mencintai dan menganjurkan kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, di antaranya:

a. Dalil Al-Qur’an

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqoroh: 185)

يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’: 28)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Haj: 78)

b. Dalil Hadits

Nabi bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama ini mudah” (HR. Bukhori: 39)

Tatkala Nabi mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, beliau berpesan kepada keduanya:

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا, وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا, وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا

“Hendaknya kalian mempermudah dan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat lari,  saling membantu dan jangan berselisih” (HR. Bukhori 3038 dan Muslim 1733)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ : مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا, فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ

Aisyah berkata: “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara kecuali beliau memilih yang paling ringan selagi hal tersebut bukan dosa. Adapun bila hal tersebut merupakan dosa maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya”. (HR. Bukhori 3560 dan Muslim 2327)

Masih banyak dalil-dalil lainnya lagi. Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.[1]

C. Macam-Macam Kemudahan

Kemudahan dalam Islam terbagi menjadi dua macam:

1.Kemudahan asli

Semua syari’at dan hukum Islam, semuanya adalah mudah. Inilah yang biasa dimaksud dalam banyak dalil. Imam Ibnu Hazm berkata: “Semua perintah Allah kepada kita adalah mudah dan tidak berat. Dan tidak ada kemudahan yang lebih daripada sesuatu yang mengantarkan manusia menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka”.[2]

2.Kemudahan karena ada sebab

Semua syari’at pada asalnya mudah, sekalipun demikian bila ada sebab maka Allah menambah kemudahan lagi, seperti orang safar diberikan keringanan untuk qoshor dan jama’, orang tidak bisa berwudhu diberi keriganan untuk tayammum dan seterusnya.

Kemudahan itu bila Sesuai dengan Dalil

Perlu diperhatikan bahwa maksud kemudahan Islam bukan berarti kita menyepelekan sebagian syari’at Islam, mencari-cari ketergelinciran atau pendapat lemah sebagian ulama, menyebarkan pendapat-pendapat ganjil, namun kemudahan itu dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Perhatikanlah dalil-dalil berikut:

Contoh Pertama:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ, فَرَخَّصَ لَهُ, فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ : فَأَجِبْ

Dari Abu Hurairah berkata: Pernah ada seorang lelaki buta datang kepada kepada Nabi seraya mengatakan: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid, lalu orang tersebut meminta agar Nabi memberikan keringanan baginya untuk sholat di rumahnya. Nabipun akhirnya memberikan keringanan kepadanya. Tatkala orang tersebut berpaling, Nabi memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan sholat? Dia menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: Kalau begitu penuhilah panggilan tersebut”. (HR. Muslim 653)

Dalam riwayat Ahmad 3/423 terdapat tambahan: “Sesungguhnya antara rumahku dan masjid ada pohon kurma dan pohon-pohon, sedangkan saya tidak mendapati penuntut setiap waktu”.

Dalam riwayat Abu Dawud 553 terdapat tambahan: “Sesungguhnya Madinah banyak binatang buasnya”.

Perhatikanlah wahai saudaraku, sekalipun orang tersebut telah mengajukan alasan-alasan yang begitu kuat, namun Nabi tidak memberikan udzur baginya untuk sholat di rumahnya.

Contoh Kedua:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ, وَأَنَّهَا مَرِضَتْ, فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا, فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا, فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

Dari Aisyah bahwa seorang gadis Anshor menikah lalu dia sakit sehingga rambutnya rontok. Akhirnya mereka ingin untuk menyambung rambutnya, maka merekapun bertanya kepada Rasulullah kemudian beliau bersabda: “Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan meminta untuk disambung rambutnya” (HR. Bukhori 5205, 5934 dan Muslim 2123)

Perhatikanlah wahai saudaraku, dalam hadits ini Nabi tidak memperbolehkan wanita tersebut untuk menyambung rambutnya padahal dia pengantin baru yang perlu berhias untuk suaminya.

Contoh Ketiga:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ تَقُولُ : جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنُهَا أَفَنَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ

Dari Ummu Salamah berkata: Ada seorang wanita datang kepada Nabi seraya berkata: Wahai rasululullah, putriku ditinggal mati oleh suaminya, sekarang matanya sakit, bolehkah kami memakaikan celak padanya? Rasulullah menjawab: “Tidak” sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau mengatakan: “Itu hanya empat bulan sepuluh hari, dahulu seorang wanita di antara kalian melempar kotoran selama setahun lamanya”. (HR. Bukhori 5336 dan Muslim 1488)

Perhatikanlah wahai saudaraku, dalam hadits ini Rasulullah yang diutus dengan membawa kemudahan, beliau tetap melarang wanita yang ihdad (dalam masa menanti) dari memakai celak, karena hal itu termasuk berhias diri, padahal wanita tersebut bermaksud untuk obat, bukan untuk berhias diri. Sekalipun demikian, Nabi tetap tidak membolehkan wanita tersebut memakai celak dengan alasan kemudahan!!

Demikianlah tiga contoh dari hadits Nabi. Seandainya saja masalah-masalah tersebut diajukan kepada para ustadz gaul bin bijak bin modern pada zaman kita sekarang, niscaya mereka dengan enjoy membolehkannya dengan dalih kemudahan Islam!!! Maka pikirkanlah; apakah mereka lebih memahami kemudahan daripada Nabi Muhammad?!!

D. Mencari-Cari Ketergelinciran Ulama

Al-Kisah, suatu saat Ismail al-Qadhi pernah masuk kepada khalifah Abbasiyah waktu itu, lalu disuguhkan padanya sebuah kitab yang berisi tentang keringanan dan ketergelinciran para ulama’. Setelah membacanya dia berkomentar:

“Penulis buku ini adalah zindiq[3], sebab orang yang membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mut’ah. Dan orang yang membolehkan nikah mut’ah tidaklah membolehkan nyanyian. Tidak ada seorang alimpun kecuali memiliki ketergelinciran. Barangsiapa memungut semua kesalahan ulama niscaya akan hilang agamanya”. Akhirnya, buku itu diperintahkan supaya dibakar.[4]

Sejarah berulang lagi saat ini!! Betapa banyak kita jumpai manusia pada zaman sekarang yang mengikuti arus hawa nafsunya dengan mencari-cari ketergelinciran ulama. Baginya:

musik boleh-boleh saja karena megikuti pendapat Ibnu Hazm!!
Wanita nikah tanpa wali hukumnya boleh karena mengikuti madzhab Hanafiyah!!
Binatang buas tidak haram karena mengikuti madzhab Malikiyah!!
Melafadzkan niat boleh karena mengikuti madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah!!
Demikianlah dia memborong segudang bencana pada dirinya[5]!!.

Para ulama salaf telah memberikan peringatan keras terhadap metode ini yaitu mencari-cari ketergelinciran ulama, pendapat-pendapat ganjil dan aneh.

Sulaiman at-Taimi mengatakan: “Apabila engkau mengambil  setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan”. Ibnu Abdil Barr berkomentar: “Ini adalah ijma’, saya tidak mendapati perselisihan ulama tentangnya”.[6]
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Seorang tidaklah disebut alim bila dia menceritakan pendapat-pendapat yang ganjil”.[9]
Hasan al-Bashri berkata: “Sejelek-jelek hamba Allah adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil untuk menipu para hamba Allah”.[8]
Al-Auza’i berkata: “Barangsiapa memungut keganjilan-keganjilan ulama, maka dia akan keluar dari Islam”.[7]
Imam Ahmad menegaskan bahwa orang yang mencari-cari pendapat ganjil adalah seorang yang fasiq.[10]
Bahkan Imam Ibnu Hazm menceritakan ijma (kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan madzhab tanpa bersandar pada dalil merupakan kefasikan dan tidak halal.[11]
Maka hendaknya seorang muslim takut kepada Allah dan mengingat bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah untuk dimintai pertangungjawaban, sehingga dengan mengingat hal itu dia tidak menggampangkan diri untuk mencari-cari ketergelinciran ulama dan menyebarkan pendapat-pendapat ganjil, karena hal itu bisa menggolongkan dirinya termasuk orang yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai senda gurau.

Imam Syathibi menyebutkan beberapa dampak negatif mencari-cari kesalahan ini, di antaranya:

Keluar dari agama, karena tidak mengikuti dalil tetapi mengikuti perselisihan.
Meremehkan agama
Mencampuradukkan pendapat sehingga keluar dari ijma’ ulama.
Meninggalkan sesuatu yang maklum menuju sesuatu yang bukan maklum.
Merusak undang-undang politik syar’I yang dibangun di atas keadilan sehingga akan mengakibatkan kerusakan.[12]
E. Patokan dan Syarat Kaidah Kemudahan

Para ulama telah meletakkan beberapa patokan dan syarat[13] untuk melaksanakan kaidah kemudahan, di antaranya:

Benar-benar ada udzur yang membolehkannya mengambil keringanan
Adanya dalil syar’I yang membolehkan untuk mengambil keringanan, sebab keringanan yang hakiki adalah dengan mengikuti dalil bukan dengan menyelisihinya.
Mencukupkan pada kebutuhan saja dan tidak melampui batas dari garis yang telah ditetapkan oleh dalil.
Demikianlah patokan-patokan ketat yang diletakkan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil, sehingga menjadikan mereka bisa meletakkan perkara pada tempatnya. Namun, dengan kemajuan zaman, asingnya agama dan lemahnya para pembela agama, maka bermunculanlah sekelompok manusia yang melenceng dari jalan yang lurus, sehingga mereka memungut pendapat-pendapat nyeleneh dan ganjil dalam masalah hukum, bahkan dalam masalah aqidah!!

F. Agungkanlah Syari’at Allah

Oleh karena itu, hendaknya bagi kita semua untuk mengagungkan syari’at Allah dan mendidik umat untuk pengagungan tersebut, karena dengan demikian kita akan meraih istiqomah (tegar) dalam ketaatan kepada Allah.

Sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa kebanyakan manusia apabila dikatakan kepada mereka: “Masalah ini diperselisihkan tentang wajibnya”, maka mereka akan malas melaksanakannya. Sebaliknya, bila dikatakan kepada mereka: “Masalah ini diperselisihkan keharamannya” maka mereka akan mudah menerjangnya, tanpa memperhatikan dalil-dalil ulama tersebut apakah kuat ataukah tidak.

Bilal bin Sa’ad berkata: “Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah keagungan Dzat yang kamu maksiati”.
Ishaq bin Rahawaih pernah mengingkari pembagian perbuatan dalam sholat menjadi sunnah dan wajib, beliau berkata: “Semua yang di dalam sholat hukumnya wajib”. Al-Hafizh Ibnu Rojab berkomentar: “Hal ini disebabkan karena ungkapan sunnah bisa menjadikan orang malas untuk melakukannya, meremehkan bahkan mungkin meninggalkannya. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan syari’at yang menganjurkan dan memberikan pendorong-pendorong untuk melaksanakannya. Demikian juga, terkadang dalam syari’at ada lafadz wajib tetapi menurut mayoritas ulama hanya untuk menunjukkan anjuran yang sangat, bukan berarti berdosa bila ditinggalkan”.[14]
Ibnul Qoyyim telah mengisyaratkan bahwa termasuk pengagungan terhadap hukum Allah adalah dengan tidak mencari-cari keringanan, beliau berkata: “Termasuk tanda-tanda pengagungan perintah dan larangan adalah dengan tidak mencari-cari keringanan sehingga dia terjerumus pada batas yang menjadikannya tidak lurus di atas jalan yang lurus”.[15]

G. Kemudahan Modern

Sangat disayangkan, banyak orang mensalahgunakan kemudahan syari’at ini bukan pada tempatnya, sehingga jatuhlah mereka dalam lembah kegelapan dan jalan yang meruwetkan, mereka memungut pendapat-pendapat ganjil ulama sesuai dengan hawa nafsu mereka, baik dalam masalah hukum, bahkan dalam masalah aqidah!!

Bukankah paham liberalisme yang menilai bahwa semua agama sama, semua agama menuju surga merupakan seruan yang meruntuhkan aqidah wala’ dan baro’?! Namun, semua itu oleh para pengusungnya dengan dalih bahwa Islam adalah agama yang rohmatan lil alamin (membawa kasih sayang bagi alam semesta)!!

Dalam masalah hukum, cukup banyak contohnya, bukankah para ulama telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin Negara[16]?! Bukankah para ulama telah bersepakat wajibnya memelihara jenggot[17]?! Bukankah para ulama telah bersepakat tentang haramnya jabat tangan dengan wanita[18]?! Lantas, bandingkanlah semua itu dengan hujatan para pengusung fiqih “kemudahan semu” yang mencabik-cabik ijma’ tersebut hanya dengan alasan kemoderan zaman dan kemudahan Islam?! Seperti inikah cara memahami kemudahan Islam?![19]

Ketahuilah wahai saudaraku, hendaknya kita tujuan utama kita adalah ridho Allah, janganlah kita terpedaya dengan keridhoan manusia sehingga mengotak-atik ayat dan hadits agar sesuai dengan kebanyakan masyarakat.

Dikisahkan ada seorang ahli ilmu pernah mengatakan: “Tatkala bencana cukur jenggot telah melanda negeri timur, sehingga orang yang dianggap alimpun ikut-ikutan cukur jenggot karena khawatir ditertawakan masyarakatnya, maka saya mencari-cari dengan penuh kesungguhan untuk mencari dalil yang membolehkan cukur jenggot, sehingga para alim tersebut terbebas dari keharaman…”[20]

Perhatikanlah, bagaimana dia menyakini terlebih dahulu baru kemudian mencari-cari dalilnya sehingga dia akan memaksakan dalil agar sesuai dengan keyakinan pertamanya. Sungguh ini adalah metode yang amat berbahaya sekali.

H. Untukmu Para Ahli Fatwa

Wahai orang-orang yang memikul beban berat di pundaknya, ketahuilah bahwa fatwa merupakan tugas yang sangat berat dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akherat.  Ada beberapa hal penting yang ingin kami tekankan di sini:

1. Ikhlaskan karena Allah

Bertaqwalah kalian kepada Allah, jadikanlah tujuan utama kalian dalam berfatwa adalah mencari ridho Allah, baik sesuai dengan keinginan manusia ataukah tidak. Hendaknya kalian berterus terang memberikan fatwa yang benar sesuai dalil, jangan karena mengikuti hawa nafsu manusia. Allah berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ

Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS. Al-Jatsiyah: 18)

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. Al-Maidah: 49)

Ibnul Qoyyim berkata:
“Banyak ahli fatwa yang tidak memberikan fatwa yang benar karena dia mengetahui bahwa jawabannya tidak sesuai dengan keinginan penanya..Ini sama sekali tidak diperbolehkan, hendaknya ahli fatwa berfatwa sesuai ilmu baik sesuai dengan keinginan penanya ataukah tidak”.[21]

2. Janganlah kalian menggampangkan

Imam Ibnu Sholah berkata: “Tidak boleh bagi orang yang berfatwa untuk menggampangkan dalam fatwanya, barangsiapa yang demikian keadaannya maka dia tidak boleh dimintai fatwa, yaitu bila dia tidak mengecek terlebih dahulu dan tergesa-gesa dalam fatwa sebelum dia memikirkannya secara mendalam. Mungkin dia akan beranggapan bahwa cepat dalam fatwa adalah suatu kehebatan dan lambat dalam fatwa merupakan kelemahan, namun ini adalah anggapan yang keliru, karena lambat tapi benar lebih baik daripada cepat tapi sesat dan menyesatkan”.[22]

Bandingkanlah nasehat berharga ini dengan keadaan para mufti sekarang yang sering nongol di TV, Radio atau majlis, bagaimana mereka dengan cepatnya memberikan fatwa tanpa mendengarkan pertanyaan terlebih dahulu secara sempurna!!

3. Jangan Bikin Pusing Orang Awam

Hendaknya ahli fatwa tidak melibatkan orang-orang awam dalam perincian masalah-masalah perselisihan ulama yang malah membingungkan mereka, sehingga nanti mereka punya asumsi bahwa seorang boleh milih pendapat yang dia suka dan meninggalkan dalil yang nyata. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan:

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ, أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

Bicaralah dengan manusia apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin kalau Allah dan rasulNya didustakan? (HR. Bukhori 127)

Ibnu Aqil berkata:

“Haram bagi seorang alim yang mengetahui suatu ilmu yang cukup berat untuk menyampaikannya kepada orang lemah yang tidak mampu menampungnya, karena hal itu akan merusaknya”.[23]

Demikianlah pembahasan kita kali ini. Kita memohon kepada Allah agar menganugerahkan keikhlasan kepada kita dan kekuatan dalam mengemban amanatNya.[24] Amiin.
[1] Al-Muwafaqot, 1/231.
[2] Al-Ihkam 2/176.
[3] Zindiq dalam defenisi para fuqaha’ adalah seorang yang menampakkan keislaman dan dan menyembunyikan selain Islam atau  orang yang mengingkari Pencipta, hari akhir dan amal shaleh. Adapun menurut defenisi ahli kalam dan umumnya manusia zindiq adalah pengingkar dan penentang. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 7/471)
[4] Sunan al-Kubro al-Baihaqi 10/211, Siyar A’lam Nubala’ adz-Dzahabi 13/465.
[5] Lihat contoh-contoh lainnya dalam risalah Zajru Sufaha’ ‘an Tatabbu’I Rukhas Fuqaha’ oleh Syaikh Jasim al-Fuhaid ad-Dausari.
[6] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/91-92.
[7] Sunan Kubro al-Baihaqi 10/211.
[8] Adab Syar’iyyah 2/77.
[9] Hilyatul Auliya Abu Nuaim 9/4.
[10] Al-Inshof al-Mardawi 29/350.
[11] Marotibul Ijma’ hlm. 175 dan dinukil asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot 4/134.
[12] Lihat al-Muwafaqot 4/222, tahqiq Masyhur bin Hasan.
[13] Lihat Qowaidul Ahkam al-Izzu bin Abdus Salam 2/7, Al-Asybah wa Nadhoir as-Suyuthi hlm. 80-81, al-Muwafaqot asy-Syathibi 1/302-303, Dhowabit al-Maslahah al-Buthi hlm. 278, Rof’ul Haroj Ibnu Humaid hlm. 143-146, Manhaj Taisir al-Mu’ashir ath-Thowil hlm. 55-56.
[14] Jami’ul Ulum wal Hikam hlm. 525-526.
[15] Al-Wabilu Shoyyib hlm. 24.
[16] Lihat Syarh Sunnah al-Baghowi 10/77, al-Fishol fil Milal wan Nihal 3/110-111, Tafsir al-Qurthubi 13/122-123.
[17] Lihat Marotibul Ijma’ Ibnu Hazm hlm. 57, al-Iqna’ fi Masail Ijma’ Ibnul Qoththon 2/299, al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiyyah hlm.10, al-Ibda’ fi Madhril Ibtida’ Ali Mahfudh hlm. 384.
[18] Lihat risalah Adillatu Tahrim Mushofahah Ajnabiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Ismail,
[19] Lihat contoh-contoh lainnya dalam kitab Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadh oleh Sholih bin Ali asy-Syamroni.
[20] Manhaj Taisir Mua’shir Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil hlm. 64 dan ad-Da’wah Ila Allah Taqiyuddin al-Hilali hlm. 162.
[21] I’lamul Muwaqqi’in 4/224.
[22] Adabul Mufti wal Mustafti hlm. 111.
[23] Adab Syari’yyah Ibnu Muflih 2/149.
[24] Penulis banyak mengambil manfaat dari muqoddimah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman as-Sa’ad terhadap kitab Kaifa Nafhamu Taisir? Oleh Syaikh Fahd bin Sa’ad Abu Husain, dengan beberapa tambahan referensi lainnya.

Related articles

Tidak Ada Masalah Sepele Dlm Agama Ini
( Bantahan Terhadap Syubhat 1)
Tidak Ada Masalah Kecil dalam Agama Ini
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang tersebar di Masyarakat (Bagian satu)
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang Tersebar di Masyarakat (Bagian kedua)
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang Tersebar di Masyarakat (Bagian ketiga)
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang tersebar di Masyarakat (Bagian keempat/ terakhir)