Meluruskan Pemahaman tentang
Kemudahan
Dalam Islam
A. Pengantar
Sesungguhnya agama
Islam adalah agama yang mudah dan menganjurkan kemudahan. Hal ini sangat
dimaklumi bersama. Hanya saja masalahnya, banyak orang salah paham dan
meletakkan kemudahan ini bukan pada tempatnya,
sehingga dengan dimotori oleh hawa nafsu dia mencari pendapat-pendapat
yang paling ringan dan ganjil dengan alasan penyesuaian zaman dan kemudahan
Islam sekalipun pendapat tersebut sangat lemah dan bertentangan dengan
dalil-dalil yang shohih. Lalu, bila mereka diingkari, dengan entengnya mereka
akan mengeluarkan senjata ampuhnya:
“Kita harus
toleransi dan berlapang dada dalam masalah khilafiyyah (perselisihan ulama)”!!!
Ironisnya,
orang-orang seperti itu malah banyak digemari masyarakat dengan menyebut mereka
sebagai “ustadz gaul”, “dai bijak”, “kyai modern” dan gelar-gelar semu lainnya.
Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk mendudukkan masalah ini agar kita
memahaminya dengan baik dan tidak salah paham dengan kemudahan Islam.
B. Islam Agama Yang
Mudah
Semua kita sepakat
bahwa Islam merupakan agama yang mudah, mencintai dan menganjurkan kemudahan.
Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, di antaranya:
a. Dalil Al-Qur’an
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqoroh: 185)
يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ
الإِنسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’: 28)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (QS. Al-Haj: 78)
b. Dalil Hadits
Nabi bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama ini mudah” (HR. Bukhori: 39)
Tatkala Nabi mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa
al-Asy’ari ke Yaman, beliau berpesan kepada keduanya:
يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا, وَبَشِّرَا وَلَا
تُنَفِّرَا, وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا
“Hendaknya kalian mempermudah dan jangan mempersulit,
berikanlah kabar gembira dan jangan membuat lari, saling membantu dan jangan berselisih” (HR.
Bukhori 3038 dan Muslim 1733)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا
قَالَتْ : مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا, فَإِنْ كَانَ
إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
Aisyah berkata: “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di
antara dua perkara kecuali beliau memilih yang paling ringan selagi hal
tersebut bukan dosa. Adapun bila hal tersebut merupakan dosa maka beliau adalah
orang yang paling jauh darinya”. (HR. Bukhori 3560 dan Muslim 2327)
Masih banyak dalil-dalil lainnya lagi. Imam
asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah
mencapai derajat yang pasti”.[1]
C. Macam-Macam Kemudahan
Kemudahan dalam Islam terbagi menjadi dua macam:
1.Kemudahan asli
Semua syari’at dan hukum Islam, semuanya adalah mudah.
Inilah yang biasa dimaksud dalam banyak dalil. Imam Ibnu Hazm berkata: “Semua
perintah Allah kepada kita adalah mudah dan tidak berat. Dan tidak ada
kemudahan yang lebih daripada sesuatu yang mengantarkan manusia menuju surga
dan menjauhkan mereka dari neraka”.[2]
2.Kemudahan karena ada sebab
Semua syari’at pada asalnya mudah, sekalipun demikian
bila ada sebab maka Allah menambah kemudahan lagi, seperti orang safar
diberikan keringanan untuk qoshor dan jama’, orang tidak bisa berwudhu diberi
keriganan untuk tayammum dan seterusnya.
Kemudahan itu bila Sesuai dengan Dalil
Perlu diperhatikan bahwa maksud kemudahan Islam bukan
berarti kita menyepelekan sebagian syari’at Islam, mencari-cari ketergelinciran
atau pendapat lemah sebagian ulama, menyebarkan pendapat-pendapat ganjil, namun
kemudahan itu dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Perhatikanlah dalil-dalil
berikut:
Contoh Pertama:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ,
إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي
بَيْتِهِ, فَرَخَّصَ لَهُ, فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : هَلْ تَسْمَعُ
النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ : فَأَجِبْ
Dari Abu Hurairah berkata: Pernah ada seorang lelaki
buta datang kepada kepada Nabi seraya mengatakan: Wahai Rasulullah, saya tidak
memiliki orang yang menuntunku ke masjid, lalu orang tersebut meminta agar Nabi
memberikan keringanan baginya untuk sholat di rumahnya. Nabipun akhirnya
memberikan keringanan kepadanya. Tatkala orang tersebut berpaling, Nabi
memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan sholat? Dia
menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: Kalau begitu penuhilah panggilan tersebut”. (HR.
Muslim 653)
Dalam riwayat Ahmad 3/423 terdapat tambahan:
“Sesungguhnya antara rumahku dan masjid ada pohon kurma dan pohon-pohon,
sedangkan saya tidak mendapati penuntut setiap waktu”.
Dalam riwayat Abu Dawud 553 terdapat tambahan:
“Sesungguhnya Madinah banyak binatang buasnya”.
Perhatikanlah wahai saudaraku, sekalipun orang tersebut
telah mengajukan alasan-alasan yang begitu kuat, namun Nabi tidak memberikan
udzur baginya untuk sholat di rumahnya.
Contoh Kedua:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ, وَأَنَّهَا مَرِضَتْ, فَتَمَعَّطَ
شَعَرُهَا, فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا, فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
Dari Aisyah bahwa seorang gadis Anshor menikah lalu
dia sakit sehingga rambutnya rontok. Akhirnya mereka ingin untuk menyambung
rambutnya, maka merekapun bertanya kepada Rasulullah kemudian beliau bersabda:
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan meminta untuk disambung
rambutnya” (HR. Bukhori 5205, 5934 dan Muslim 2123)
Perhatikanlah wahai saudaraku, dalam hadits ini Nabi
tidak memperbolehkan wanita tersebut untuk menyambung rambutnya padahal dia
pengantin baru yang perlu berhias untuk suaminya.
Contoh Ketiga:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ تَقُولُ : جَاءَتْ امْرَأَةٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنُهَا
أَفَنَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا هِيَ
أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ
Dari Ummu Salamah berkata: Ada seorang wanita datang
kepada Nabi seraya berkata: Wahai rasululullah, putriku ditinggal mati oleh
suaminya, sekarang matanya sakit, bolehkah kami memakaikan celak padanya?
Rasulullah menjawab: “Tidak” sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau
mengatakan: “Itu hanya empat bulan sepuluh hari, dahulu seorang wanita di
antara kalian melempar kotoran selama setahun lamanya”. (HR. Bukhori 5336 dan
Muslim 1488)
Perhatikanlah wahai saudaraku, dalam hadits ini
Rasulullah yang diutus dengan membawa kemudahan, beliau tetap melarang wanita
yang ihdad (dalam masa menanti) dari memakai celak, karena hal itu termasuk
berhias diri, padahal wanita tersebut bermaksud untuk obat, bukan untuk berhias
diri. Sekalipun demikian, Nabi tetap tidak membolehkan wanita tersebut memakai
celak dengan alasan kemudahan!!
Demikianlah tiga contoh dari hadits Nabi. Seandainya
saja masalah-masalah tersebut diajukan kepada para ustadz gaul bin bijak bin
modern pada zaman kita sekarang, niscaya mereka dengan enjoy membolehkannya
dengan dalih kemudahan Islam!!! Maka pikirkanlah; apakah mereka lebih memahami
kemudahan daripada Nabi Muhammad?!!
D. Mencari-Cari Ketergelinciran Ulama
Al-Kisah, suatu saat Ismail al-Qadhi pernah masuk
kepada khalifah Abbasiyah waktu itu, lalu disuguhkan padanya sebuah kitab yang
berisi tentang keringanan dan ketergelinciran para ulama’. Setelah membacanya
dia berkomentar:
“Penulis buku ini adalah zindiq[3], sebab orang yang
membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mut’ah. Dan orang
yang membolehkan nikah mut’ah tidaklah membolehkan nyanyian. Tidak ada seorang
alimpun kecuali memiliki ketergelinciran. Barangsiapa memungut semua kesalahan
ulama niscaya akan hilang agamanya”. Akhirnya, buku itu diperintahkan supaya
dibakar.[4]
Sejarah berulang lagi saat ini!! Betapa banyak kita
jumpai manusia pada zaman sekarang yang mengikuti arus hawa nafsunya dengan
mencari-cari ketergelinciran ulama. Baginya:
musik boleh-boleh saja karena megikuti pendapat Ibnu
Hazm!!
Wanita nikah tanpa wali hukumnya boleh karena
mengikuti madzhab Hanafiyah!!
Binatang buas tidak haram karena mengikuti madzhab
Malikiyah!!
Melafadzkan niat boleh karena mengikuti madzhab
Hanabilah dan Syafi’iyyah!!
Demikianlah dia memborong segudang bencana pada
dirinya[5]!!.
Para ulama salaf telah memberikan peringatan keras
terhadap metode ini yaitu mencari-cari ketergelinciran ulama, pendapat-pendapat
ganjil dan aneh.
Sulaiman at-Taimi mengatakan: “Apabila engkau
mengambil setiap ketergelinciran ulama,
maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan”. Ibnu Abdil Barr
berkomentar: “Ini adalah ijma’, saya tidak mendapati perselisihan ulama
tentangnya”.[6]
Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Seorang tidaklah
disebut alim bila dia menceritakan pendapat-pendapat yang ganjil”.[9]
Hasan al-Bashri berkata: “Sejelek-jelek hamba Allah
adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil untuk menipu para hamba
Allah”.[8]
Al-Auza’i berkata: “Barangsiapa memungut
keganjilan-keganjilan ulama, maka dia akan keluar dari Islam”.[7]
Imam Ahmad menegaskan bahwa orang yang mencari-cari
pendapat ganjil adalah seorang yang fasiq.[10]
Bahkan Imam Ibnu Hazm menceritakan ijma (kesepakatan
ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan madzhab tanpa bersandar pada
dalil merupakan kefasikan dan tidak halal.[11]
Maka hendaknya seorang muslim takut kepada Allah dan
mengingat bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah untuk dimintai
pertangungjawaban, sehingga dengan mengingat hal itu dia tidak menggampangkan
diri untuk mencari-cari ketergelinciran ulama dan menyebarkan pendapat-pendapat
ganjil, karena hal itu bisa menggolongkan dirinya termasuk orang yang
menjadikan ayat-ayat Allah sebagai senda gurau.
Imam Syathibi menyebutkan beberapa dampak negatif
mencari-cari kesalahan ini, di antaranya:
Keluar dari agama, karena tidak mengikuti dalil tetapi
mengikuti perselisihan.
Meremehkan agama
Mencampuradukkan pendapat sehingga keluar dari ijma’
ulama.
Meninggalkan sesuatu yang maklum menuju sesuatu yang
bukan maklum.
Merusak undang-undang politik syar’I yang dibangun di
atas keadilan sehingga akan mengakibatkan kerusakan.[12]
E. Patokan dan Syarat Kaidah Kemudahan
Para ulama telah meletakkan beberapa patokan dan
syarat[13] untuk melaksanakan kaidah kemudahan, di antaranya:
Benar-benar ada udzur yang membolehkannya mengambil
keringanan
Adanya dalil syar’I yang membolehkan untuk mengambil
keringanan, sebab keringanan yang hakiki adalah dengan mengikuti dalil bukan
dengan menyelisihinya.
Mencukupkan pada kebutuhan saja dan tidak melampui
batas dari garis yang telah ditetapkan oleh dalil.
Demikianlah patokan-patokan ketat yang diletakkan oleh
para ulama berdasarkan dalil-dalil, sehingga menjadikan mereka bisa meletakkan
perkara pada tempatnya. Namun, dengan kemajuan zaman, asingnya agama dan
lemahnya para pembela agama, maka bermunculanlah sekelompok manusia yang
melenceng dari jalan yang lurus, sehingga mereka memungut pendapat-pendapat
nyeleneh dan ganjil dalam masalah hukum, bahkan dalam masalah aqidah!!
F. Agungkanlah Syari’at Allah
Oleh karena itu, hendaknya bagi kita semua untuk
mengagungkan syari’at Allah dan mendidik umat untuk pengagungan tersebut,
karena dengan demikian kita akan meraih istiqomah (tegar) dalam ketaatan kepada
Allah.
Sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa kebanyakan
manusia apabila dikatakan kepada mereka: “Masalah ini diperselisihkan tentang
wajibnya”, maka mereka akan malas melaksanakannya. Sebaliknya, bila dikatakan
kepada mereka: “Masalah ini diperselisihkan keharamannya” maka mereka akan
mudah menerjangnya, tanpa memperhatikan dalil-dalil ulama tersebut apakah kuat
ataukah tidak.
Bilal bin Sa’ad berkata: “Janganlah engkau melihat
kecilnya maksiat tetapi lihatlah keagungan Dzat yang kamu maksiati”.
Ishaq bin Rahawaih pernah mengingkari pembagian
perbuatan dalam sholat menjadi sunnah dan wajib, beliau berkata: “Semua yang di
dalam sholat hukumnya wajib”. Al-Hafizh Ibnu Rojab berkomentar: “Hal ini
disebabkan karena ungkapan sunnah bisa menjadikan orang malas untuk
melakukannya, meremehkan bahkan mungkin meninggalkannya. Hal ini tidak sesuai
dengan tujuan syari’at yang menganjurkan dan memberikan pendorong-pendorong
untuk melaksanakannya. Demikian juga, terkadang dalam syari’at ada lafadz wajib
tetapi menurut mayoritas ulama hanya untuk menunjukkan anjuran yang sangat,
bukan berarti berdosa bila ditinggalkan”.[14]
Ibnul Qoyyim telah mengisyaratkan bahwa termasuk
pengagungan terhadap hukum Allah adalah dengan tidak mencari-cari keringanan,
beliau berkata: “Termasuk tanda-tanda pengagungan perintah dan larangan adalah dengan
tidak mencari-cari keringanan sehingga dia terjerumus pada batas yang
menjadikannya tidak lurus di atas jalan yang lurus”.[15]
G. Kemudahan Modern
Sangat disayangkan, banyak orang mensalahgunakan
kemudahan syari’at ini bukan pada tempatnya, sehingga jatuhlah mereka dalam
lembah kegelapan dan jalan yang meruwetkan, mereka memungut pendapat-pendapat
ganjil ulama sesuai dengan hawa nafsu mereka, baik dalam masalah hukum, bahkan
dalam masalah aqidah!!
Bukankah paham liberalisme yang menilai bahwa semua
agama sama, semua agama menuju surga merupakan seruan yang meruntuhkan aqidah
wala’ dan baro’?! Namun, semua itu oleh para pengusungnya dengan dalih bahwa
Islam adalah agama yang rohmatan lil alamin (membawa kasih sayang bagi alam
semesta)!!
Dalam masalah hukum, cukup banyak contohnya, bukankah
para ulama telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin
Negara[16]?! Bukankah para ulama telah bersepakat wajibnya memelihara
jenggot[17]?! Bukankah para ulama telah bersepakat tentang haramnya jabat
tangan dengan wanita[18]?! Lantas, bandingkanlah semua itu dengan hujatan para
pengusung fiqih “kemudahan semu” yang mencabik-cabik ijma’ tersebut hanya
dengan alasan kemoderan zaman dan kemudahan Islam?! Seperti inikah cara
memahami kemudahan Islam?![19]
Ketahuilah wahai saudaraku, hendaknya kita tujuan
utama kita adalah ridho Allah, janganlah kita terpedaya dengan keridhoan
manusia sehingga mengotak-atik ayat dan hadits agar sesuai dengan kebanyakan
masyarakat.
Dikisahkan ada seorang ahli ilmu pernah mengatakan:
“Tatkala bencana cukur jenggot telah melanda negeri timur, sehingga orang yang
dianggap alimpun ikut-ikutan cukur jenggot karena khawatir ditertawakan
masyarakatnya, maka saya mencari-cari dengan penuh kesungguhan untuk mencari
dalil yang membolehkan cukur jenggot, sehingga para alim tersebut terbebas dari
keharaman…”[20]
Perhatikanlah, bagaimana dia menyakini terlebih dahulu
baru kemudian mencari-cari dalilnya sehingga dia akan memaksakan dalil agar
sesuai dengan keyakinan pertamanya. Sungguh ini adalah metode yang amat
berbahaya sekali.
H. Untukmu Para Ahli Fatwa
Wahai orang-orang yang memikul beban berat di
pundaknya, ketahuilah bahwa fatwa merupakan tugas yang sangat berat dan akan
dimintai pertanggungjawabannya kelak di akherat. Ada beberapa hal penting yang ingin kami
tekankan di sini:
1. Ikhlaskan karena Allah
Bertaqwalah kalian kepada Allah, jadikanlah tujuan
utama kalian dalam berfatwa adalah mencari ridho Allah, baik sesuai dengan
keinginan manusia ataukah tidak. Hendaknya kalian berterus terang memberikan
fatwa yang benar sesuai dalil, jangan karena mengikuti hawa nafsu manusia.
Allah berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS.
Al-Jatsiyah: 18)
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلاَ
تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. (QS. Al-Maidah: 49)
Ibnul Qoyyim berkata:
“Banyak ahli fatwa yang tidak memberikan fatwa yang
benar karena dia mengetahui bahwa jawabannya tidak sesuai dengan keinginan
penanya..Ini sama sekali tidak diperbolehkan, hendaknya ahli fatwa berfatwa
sesuai ilmu baik sesuai dengan keinginan penanya ataukah tidak”.[21]
2. Janganlah kalian menggampangkan
Imam Ibnu Sholah berkata: “Tidak boleh bagi orang yang
berfatwa untuk menggampangkan dalam fatwanya, barangsiapa yang demikian
keadaannya maka dia tidak boleh dimintai fatwa, yaitu bila dia tidak mengecek
terlebih dahulu dan tergesa-gesa dalam fatwa sebelum dia memikirkannya secara
mendalam. Mungkin dia akan beranggapan bahwa cepat dalam fatwa adalah suatu
kehebatan dan lambat dalam fatwa merupakan kelemahan, namun ini adalah anggapan
yang keliru, karena lambat tapi benar lebih baik daripada cepat tapi sesat dan
menyesatkan”.[22]
Bandingkanlah nasehat berharga ini dengan keadaan para
mufti sekarang yang sering nongol di TV, Radio atau majlis, bagaimana mereka
dengan cepatnya memberikan fatwa tanpa mendengarkan pertanyaan terlebih dahulu
secara sempurna!!
3. Jangan Bikin Pusing Orang Awam
Hendaknya ahli fatwa tidak melibatkan orang-orang awam
dalam perincian masalah-masalah perselisihan ulama yang malah membingungkan
mereka, sehingga nanti mereka punya asumsi bahwa seorang boleh milih pendapat
yang dia suka dan meninggalkan dalil yang nyata. Ali bin Abi Thalib pernah
mengatakan:
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ, أَتُحِبُّونَ
أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
Bicaralah dengan manusia apa yang mereka ketahui,
apakah kalian ingin kalau Allah dan rasulNya didustakan? (HR. Bukhori 127)
Ibnu Aqil berkata:
“Haram bagi seorang alim yang mengetahui suatu ilmu
yang cukup berat untuk menyampaikannya kepada orang lemah yang tidak mampu
menampungnya, karena hal itu akan merusaknya”.[23]
Demikianlah pembahasan kita kali ini. Kita memohon
kepada Allah agar menganugerahkan keikhlasan kepada kita dan kekuatan dalam
mengemban amanatNya.[24] Amiin.
[1]
Al-Muwafaqot, 1/231.
[2] Al-Ihkam
2/176.
[3] Zindiq
dalam defenisi para fuqaha’ adalah seorang yang menampakkan keislaman dan dan
menyembunyikan selain Islam atau orang
yang mengingkari Pencipta, hari akhir dan amal shaleh. Adapun menurut defenisi
ahli kalam dan umumnya manusia zindiq adalah pengingkar dan penentang. (Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah 7/471)
[4] Sunan
al-Kubro al-Baihaqi 10/211, Siyar A’lam Nubala’ adz-Dzahabi 13/465.
[5] Lihat
contoh-contoh lainnya dalam risalah Zajru Sufaha’ ‘an Tatabbu’I Rukhas Fuqaha’
oleh Syaikh Jasim al-Fuhaid ad-Dausari.
[6] Jami’
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/91-92.
[7] Sunan Kubro
al-Baihaqi 10/211.
[8] Adab
Syar’iyyah 2/77.
[9] Hilyatul
Auliya Abu Nuaim 9/4.
[10] Al-Inshof
al-Mardawi 29/350.
[11] Marotibul
Ijma’ hlm. 175 dan dinukil asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot 4/134.
[12] Lihat
al-Muwafaqot 4/222, tahqiq Masyhur bin Hasan.
[13] Lihat
Qowaidul Ahkam al-Izzu bin Abdus Salam 2/7, Al-Asybah wa Nadhoir as-Suyuthi
hlm. 80-81, al-Muwafaqot asy-Syathibi 1/302-303, Dhowabit al-Maslahah al-Buthi
hlm. 278, Rof’ul Haroj Ibnu Humaid hlm. 143-146, Manhaj Taisir al-Mu’ashir
ath-Thowil hlm. 55-56.
[14] Jami’ul
Ulum wal Hikam hlm. 525-526.
[15] Al-Wabilu
Shoyyib hlm. 24.
[16] Lihat
Syarh Sunnah al-Baghowi 10/77, al-Fishol fil Milal wan Nihal 3/110-111, Tafsir
al-Qurthubi 13/122-123.
[17] Lihat
Marotibul Ijma’ Ibnu Hazm hlm. 57, al-Iqna’ fi Masail Ijma’ Ibnul Qoththon
2/299, al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiyyah hlm.10, al-Ibda’ fi Madhril Ibtida’ Ali
Mahfudh hlm. 384.
[18] Lihat
risalah Adillatu Tahrim Mushofahah Ajnabiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad
Ismail,
[19] Lihat
contoh-contoh lainnya dalam kitab Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadh oleh
Sholih bin Ali asy-Syamroni.
[20] Manhaj
Taisir Mua’shir Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil hlm. 64 dan ad-Da’wah Ila Allah
Taqiyuddin al-Hilali hlm. 162.
[21] I’lamul
Muwaqqi’in 4/224.
[22] Adabul Mufti
wal Mustafti hlm. 111.
[23] Adab
Syari’yyah Ibnu Muflih 2/149.
[24] Penulis
banyak mengambil manfaat dari muqoddimah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
as-Sa’ad terhadap kitab Kaifa Nafhamu Taisir? Oleh Syaikh Fahd bin Sa’ad Abu
Husain, dengan beberapa tambahan referensi lainnya.
Related articles
Tidak Ada Masalah Sepele Dlm Agama Ini
( Bantahan Terhadap Syubhat 1)
Tidak Ada Masalah Kecil dalam Agama Ini
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang tersebar
di Masyarakat (Bagian satu)
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang Tersebar
di Masyarakat (Bagian kedua)
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang Tersebar
di Masyarakat (Bagian ketiga)
Bantahan Terhadap Syubhat-Syubhat yang tersebar
di Masyarakat (Bagian keempat/ terakhir)