Wednesday, June 1, 2016

Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 2)



Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' 
Di blog ini telah dituliskan artikel singkat tentang pajak (= orang yang bekerja sebagai pemungut pajak) dan bagaimana syari’at memandangnya.[1] Pada kesempatan ini, saya akan coba tuliskan bahasan lain tentang pendapat sebagian ulama yang ‘membolehkan’ pajak dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut sebagian ulama, pajak diperbolehkan dalamkeadaan darurat apabila pendapatan negara yang sah[2] yang telah ditetapkan tidak mencukupi anggaran belanja (= kas di baitul-maal kosong). Pajak tersebut dipungut dari orang-orang kaya dari sisa kebutuhan pokoknya. Pemungutan pajak bertujuan untuk memelihara keamanan kaum muslimin, mendatangkan maslahat dan menghindarkan mafsadat dari mereka.
Mereka berdalil dengan beberapa nash sebagai berikut :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” [QS. An-Nisaa’ : 36].
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” [QS. Al-Israa’ : 26].
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” [QS. Al-Insaan : 8].
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” [QS. Al-Baqarah : 215].
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian” [QS. Adz-Dzariyaat : 19].
Ayat-ayat di atas menjelaskan kewajiban orang-orang yang berharta untuk mencukupi kebutuhan mereka-mereka yang kekurangan dan memerlukan uluran bantuan dengan menginfakkan sebagian harta mereka.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّ فِي الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya dalam harta itu terdapat kewajiban selain zakat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 659-660, Ad-Daarimiy no. 1677, Ad-Daaruquthniy no. 2016-2017, Al-Baihaqiy 4/84, Ath-Thabaraaniy 24/403-404 no. 979, Al-Baghawiy 6/68-69 no. 1592, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/27 no. 3043 dan dalam Ahkaamul-Qur’aan no. 639, Ath-Thabaraaniy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/80, Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 1548, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 5/19 no. 888, dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 3418 no. 7800; semuanya dari jalan Syariik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya’biy, dari Faathimah binti Qais, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syariik mempunyai mutaba’ah dari Hammaad bin Salamah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/404 no. 980].
Hadits ini tidak shahih karena kelemahan Syariik bin ‘Abdillah An-Nakha’iy dan Abu Hamzah Maimuun Al-A’war. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah melemahkan hadits ini dalam Dla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 70-71 (Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H).
Akan tetapi matan hadits tersebut berkesesuaian dengan ayat :
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat” [QS. Al-Baqarah : 177].
Allah ta’ala telah menyebutkan ketetapan bagi kaum muslimin untuk memberikan (sebagian) harta mereka kepada para kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musaafir, dan orang-orang yang meminta-minta; sebelum ketetapan zakat.
Para ulama telah sepakat bahwa jika zakat tidak dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin, maka orang-orang kaya wajib mengeluarkan hartanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ عَلَى رَاحِلَةٍ لَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ يَصْرِفُ بَصَرَهُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ لَهُ، وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا زَادَ لَهُ "، قَالَ: فَذَكَرَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ مِنَّا فِي فَضْلٍ
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami Abul-Asyhab, dari Abu nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Ketika kami berada di  tengah safar bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang laki-laki di atas kendaraannya. Ia menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang padanya ada kelebihan tempat pada kendaraannya, hendaklah ia memberikan kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal, hendaklah ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai bekal”. Abu Sa’iid berkata : “Lalu beliau menyebutkan macam-macam harta hingga kami memandang bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang mempunyai hak atas kelebihan harta tadi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1728].
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو عُثْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّ أَصْحَابَ الصُّفَّةِ كَانُوا أُنَاسًا فُقَرَاءَ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ كَانَ عِنْدَهُ طَعَامُ اثْنَيْنِ فَلْيَذْهَبْ بِثَالِثٍ، وَإِنْ أَرْبَعٌ فَخَامِسٌ أَوْ سَادِسٌ
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Utsmaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr : Bahwasannya ashhaabush-shuffah itu termasuk orang-orang fakir. Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Barangsiapa mempunyai makanan yang cukup untuk dua orang, hendaklah ia pergi mengundang orang yang ketiga; dan barangsiapa mempunyai makanan yang cukup untuk empat orang, hendaklah ia pergi mengundang orang yang kelima atau keenam….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 602].
Dan di antara alasan lain yang membolehkan pajak saat darurat untuk kemaslahatan kaum muslimin adalah bahwa harta itu hakekatnya milik Allah ta’ala. Dan bagi manusia, ia hanyalah titipan dan amanah yang mesti dikelola sebagaimana mestinya (sebagaimana yang diperintahkan).
أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَلا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
”Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya).”[QS. Yunus : 55].
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” [QS. Al-Hadid : 7].
Dalam hal ini, pemerintah Islam bertanggung jawab atas segala permasalahan rakyatnya, menghindarkan segala kemudlaratan, mendatangkan segala kemaslahatan, dan mewujudkan keadilan. Ini terkait dengan prinsip maslahat mursalah.
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata :
إذا قررنا إماما مطاعا مفتقرا إلى تكثير الجنود لسد الثغور، وحماية الملك المتسع الأقطار، وخلا بيت المال وارتفعت حاجات الجند إلى ما لا يكفيهم ، فللإمام إذا كان عدلاً أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافياً لهم في الحال ، إلى أن يظهر مال بيت المال
“Apabila kita menetapkan seorang imam yang ditaati dan saat itu ia sedang membutuhkan penambahan jumlah pasukan untuk menjaga pos-pos perbatasan dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas; sedangkan baitul-maal kosong dan kebutuhan pasukan (perang) membengkak sehingga kas baitul-maal tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, maka imam – seandainya ia seorang yang ‘adil – hendaknya meminta orang-orang kaya untuk mencukupi kebutuhan tersebut hingga kasbaitul-maal terisi kembali…” [Mukhtashar Kitaab Al-I’tishaam oleh ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 103; Daarul-Hijrah, Cet. 1/1418].
Ibnu Hazm rahimahullah juga mengungkapkan hal senada :
وَفُرِضَ عَلَى الأَغْنِيَاءِ مِنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ أَنْ يَقُومُوا بِفُقَرَائِهِمْ, وَيُجْبِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ, إنْ لَمْ تَقُمْ الزَّكَوَاتُ بِهِمْ,
“Dan diwajibkan bagi orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakirnya, dan sulthaan/penguasa dapat memaksa mereka untuk hal tersebut seandainya zakat tidak mampu menanggulanginya…” [Al-Muhallaa, 6/156 no. 725; Daarul-Fikr].
Jika kita cermati penjelasan dan pendalilan yang dipakai, pertanyaan yang muncul kemudian adalah : “Apakah konteks pajak yang diberlakukan secara umum di era sekarang sesuai dengan hal tersebut di atas ? Apakah pajak yang dipungut sekarang tepat dikatakan ‘darurat’ sehingga mencocoki perkataan sebagian fuqahaa’ ?[3] Apakah pajak dipungut dari orang-orang berharta dan kemudian dialokasikan benar-benar untuk kemaslahatan umum yang diakui syari’at ?”. Dan seterusnya dan seterusnya…..
Ini saja yang dapat saya tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
[Abu Al-Jauzaa’ – ngaglik, sleman, Yogyakarta, 1432 - banyak mengambil faedah dari penjelasan Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad Ash-Shaalih dalam bukunya At-Takaaful Al-Ijtimaa'iy fisy-Syarii'atil-Islaamiyyah dengan beberapa tambahan].
Sebagai tambahan referensi, silakan baca :

[2]Seperti pemasukan/pendapatan dari zakat, infaq, shadaqah, ghanimah, fai’, pengelolaan asset, dan lainnya yang dibenarkan oleh syari’at.
[3]Dikatakan ‘darurat’ tentu saja jika kondisi ‘tidak darurat’ memang benar-benar telah diusahakan. Contoh mudahnya : Kita diperbolehkan makan daging babi apabila makanan halal lain benar-benar tidak ada, dan kita sudah berusaha mencarinya. Jika kita ‘ujug-ujug’ memilih daging babi tanpa didahului usaha mencari makanan halal secara optimal (bahkan maksimal), apakah layak itu disebut ‘darurat’ ?.

COMMENTS

Rie mengatakan...
Terimakasih...
Adi Ziyad mengatakan...
Assalamualaikum ustadz. Apakah bekerja sebagai pemungut pajak layak dikatakan perbuatan "darurat" juga ustadz?
Anang Dwicahyo mengatakan...
: “Apakah konteks pajak yang diberlakukan secara umum di era sekarang sesuai dengan hal tersebut di atas ? jawaban ana : tidak bahkan jauh dari konteks diatas , Apakah pajak yang dipungut sekarang tepat dikatakan ‘darurat’ sehingga mencocoki perkataan sebagian fuqahaa’ ? jawab ana : tidak karena program pemerintah itu hasil warisan dari penjajah kaum kufar jaman dahulu , [3] Apakah pajak dipungut dari orang-orang berharta dan kemudian dialokasikan benar-benar untuk kemaslahatan umum yang diakui syari’at ?” jawaban ana : tidak , bahkan lebih banyak dipungut dari kaum berpenghasilan rendah ( karyawan ).

Lepas itu semua kita harus tetap tunduk patuh kepada ulil amri meskipun dia mengambil harta kita ( pajak ) bahkan kalau dengan memukul kitapun , bener kan ustadz?

Pertanyaan ana , bagaimana kalau kita tidak jujur dalam mengisi SPT , boleh nggak ya ?

Karena dalam pemahaman ana , kita semaksimal mungkin tidak harus mematuhi perintah yang bathil.


Mohon dijelaskan ustadz.

Suwun

Kring Pajak mengatakan...
Seandainya saya berjalan dalam manhaj ini lebih lama dan tau hukum tentang pajak ini lebih dini.....

maka saya tidak akan masuk STAN dan bekerja di instansi ini.

karena jika anda sudah terlanjur masuk di dalamnya maka akan sangat berat untuk keluar dari pekerjaan ini.



berbahagialah bagi temen2 saya yang dimudahkan oleh Allah dalam mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang baik....
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya berharap tulisan di atas tidak menimbulkan polemik baru, namun sebagai 'pencerahan' sehingga kaum muslimin lebih bersemangat dalam mencari jalan nafkah yang 'halal'.... tidak terkecuali penulis artikel di atas......
Anonim mengatakan...
Sukron akhi
Anonim mengatakan...
bismillaah

jadi halal dan bekerja di kantor pajak halal?

mengapa tulisan ustadz aris mengatakan dan ustadz sebeumnya harom??

mohon pencerahan karena ini masalah dapur orang dan anak istri makan dr harta halal apa harom

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
apa yang ditulis di atas bukan sedang mengatakan bahwa pajak itu halal. Namun, mengajak para pembaca sekalian memahami penjelasan singkat sebagian ulama yang membolehkannya, kemudian apakah pembolehan itu selaras dengan pajak-pajak yang ada di jaman sekarang. [jawabnya : tidak sama].
konsultan pajak mengatakan...
thans infonya gan,,

tentang pembolehan pajak yang berdasarkan agama,

gunn mengatakan...
Syukron tadz atas artikel yg bgus ini,

(baru sempet baca nih)

barokallahufiik. :)

sepakat dgn isi artikel.

Tp kalo boleh saya ingin menambah sdikit catatan utk msalah perpajakan ini

sperti yg prnah dijelaskan jg oleh ust. DR Muhammad Arifin Badri di web pengusahamuslim.com).


1. Keharaman perpajakan itu sifatnya tidak mutlak,
-sbagian memang jelas haram,
-sbagian lg disyari'atkan,
-sbagian diperbolehkan/udzur dlm keadaan tertentu (sperti kas negara kosong td)
2.
-Yg haram, sperti pajak bg kaum Muslim
-Yg disyari'atkan, sperti jizyah (yg dkenakan pd kuffar), & msh ada bbrapa lainnya
-Yg diperbolehkan/udzur (dipungut dr orang kaya Muslim) jika negara mmbutuhkan dana utk mnjalankan pemerintahan (bayar gaji, perang dll), sdangkan kas negara kosong.
yg kalo gak salah dsebut dhoribah ya tadz?
tp saya lupa apakah ustadz Arifin Badri jg mnjelaskan tentang cntoh yg ke-3 ini

nah, realita kondisi yg terjadi di negara ini, (sbatas yg saya tau)
kas negara kita itu bknnya kosong, tp malah defisit/minus krn utang.
jd jalan, jembatan, dan sarana2 lain yg dibangun oleh pemerintah itu umumnya dibiayai dgn utang,
dan pajak yg kmudian dipungut itu sbagiannya dipakai untuk melunasi utang brikut bunganya.

3. Perpajakan di Indonesia, mengandung 3 jenis pajak tersebut (baik yg haram, halal, maupun yg mndapat udzur)
contoh yg haram, halal dan yg mndapat udzur sdh saya sbutkan di atas,
dan pajak yg dikumpulkan dlm setahun itu,
mungkin sbagian bsarnya justru diambil dari pajak yg halal (jizyah yg dikenakan atas kafir dzimmi td)

4. Saya (pribadi) setuju, bahwa secara umum, penerapan perpajakan di Indonesia ini msh dzholim
namun yg msti diingat, bahwa negri ini diberikan aparatur negara yg mmbuat peraturan yg mendzholimi warganya ini,
disebabkan oleh rakyatnya dulu yg dzholim (baik trhadap diri sndiri, pnguasanya, atau kpada Tuhannya).
jd kurang fair kalau kita hnya menyalahkan atau mnuntut pmerintah untuk berlaku adil.

Allahua'lam. :)

Anonim mengatakan...
Dari Ardiles Renato:

Assalamu`alaikum 

Ustadz Abul-Jauzaa yang terhormat,

Ada teman saya sedang berwirausaha dan tak mengerti perpajakan Indonesia,kebetulan saya pernah kursus pajak. Teman saya mengetahui saya pernah kursus pajak,atas hal ini dia mau ingin berkonsultasi pajak dengan saya dan menawarkan sejumlah uang atas jasa konsultasi dengan saya soal pajak. Pertanyaan saya bolehkah kita menerima komisi karena memberikan jasa atas konsultasi pajak tersebut? Mohon penjelasannya

Anonim mengatakan...
Syarat utama agar itu semua dapat diterapkan adalah berjalannya sistem pemerintahan Islam berdasarkan syari'at Islam. 
Karena di sana ada kewajiban zakat.

Kalau zakat sudah, ada baitul maal yang bisa mengayomi muslimin yang miskin, baru bisa jalan.

Ketiadaan pelaksanaan syariat Islam sendiri adalah keadaan darurat....


Pajak Dalam Islam , Bagaimana Siksa Yang Didapatkan Oleh Pemungut Pajak Kelak Di Akherat?

Allah Subhanahu wa Ta’alatidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]
Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialahsikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.
DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr [2] atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[4]
Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[5]
MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
– Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
– Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
– Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
– Pajak Barang dan Jasa
– Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
– Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
– Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM ISLAM?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.
1). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-NIsa : 29]
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]
Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah :“Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatandan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal inilantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]
KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.
Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” [8]
PAJAK BUKAN ZAKAT
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [9]
Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.
1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
2). Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin
3). Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].
4). Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]
PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK
1). Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]
2). Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.
“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]
Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]
3). Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam [13]
4) Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”
5). Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr. Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.
6). Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.
7). Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA
Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”
Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]
Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah: [16]
BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”
Jawabnya.
Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan.Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata.
Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat” [15]
Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim). [16]
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu”[HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka.
Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) [17]
DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA
Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah.
1). Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.
2). Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. [18]
3). Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya. [19]
4). Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui mal.
5). Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.
6). Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.
7). Hasil tambang dan semisalnya.
Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.
PENUTUP
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]
Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.
Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman.
“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]
Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samara.
Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.
Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia.
Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A’lam.
Oleh : Abu Ibrahim Muhammad Ali
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya’ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
__________
Footnotes
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11]. Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366
[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157
[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282
[15]. HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu
[16]. Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676, dan Ahmad 4/126.
[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93
[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385
[19]. Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2437/slash/0

17 COMMENTS ON PAJAK DALAM ISLAM , BAGAIMANA SIKSA YANG DIDAPATKAN OLEH PEMUNGUT PAJAK KELAK DI AKHERAT?
lalu bagaimana gaji PNS yang berasal dari pajak. apakah halal atau haram?
Beda gaji PNS yang dari pajak, dan PNS yang kerja di Perpajakan,.
Kalau gaji PNS yang dari pajak itu halal, tapi PNS yang kerja di perpajakan itu haram,
Yang buat artikel inj adalah orang yang gagal paham…
Filosofi pajak yang ada dalam dalil2 sdh sangat beda dengan pajak yang ada saat ini…
pajak di zaman nabi atau sebelumnya tidak diperuntukkan untuk kemakmuran rakyatnya tapi hanya untuk kebutuhan penguasa…
Sadar tidak mas?? dijaman nabi tidak ada pajak yang ditarik dari rakyat yang muslim,. mudah2an anda tidak gagal paham,
istilah tepatnya adalah PALAK kalo saat ini…
baiknya anda renungkan dulu sebelum menyimpulkan sesuatu…
hasil curian kalo tau itu berbuatan bathil ya haram…
Ya,. memang pajak itu seperti memalak atau membegal, itu bukan kata saya, tapi kata ulama,. sudah saya posting lagi disini
Mencuri haram, hasil curiannya juga haram, tapi jika si pencuri memberikan kepada orang lain, baik dengan cara memberi atau dibelikan sesuatu, maka harta tersebut tidak haram bagi yang diberi, atau bagi pedagang yang dibeli barangnya,.
Mudah-mudahan anda tidak gagal paham,
sekarang pajak dibilang haram pemungutannya termasuk pekerjaannya…
hasil anda bilang halal…
Yang haram adalah kegiatan memungut pajak dari rakyat muslim, ini HARAM, pelakunya termasuk bekerjasama dalam hal yang diharamkan,
itu ciri2 orang munafik…
blm layak anda jadi ustadz kalo sedangkal ini memahami sebuah dalil…
apa itu ciri2 orang munafik? anda tahu apa itu munafik?
orang lugu bisa anda cuci otaknya…
tapi si negeri ini sdh banyak yang pake otak mikir…
gak pake dengkul kayak ustadz kawe kawean ini…
Orang lugu aja tahu, dibacakan hadits rasul langsung paham, jika masih normal tentunya,. bukan emosi dulu yang keluar sehingga penjelasan yang begitu sangat mudah dipahami, terasa susah, berat, akhirnya gagal paham,
Ehm….betapa negara kita telah terlena dengan pelanggaran besar ini ya…..
Mas admin, kalau kita bayar pajak apa tidak berarti kita menyetujui pelanggaran ini? Kalau tulisan/majalah tadi disebarkan di dinas Perpajakan dan sejenisnya mungkin sangat dahsyat pengaruhnya….
Lantas muncul juga di benak kita, kapan ya kita mengakhiri praktek pelanggaran ini?
Membayar pajak itu beda dengan kerja di perpajakan,.
Membayar pajak itu dalam rangka mentaati pemerintah, dan itu adalah kedzaliman pemerintah yang mana pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak di akherat,.
Adapun sebagai rakyat, jika didzalimi oleh pemerintah, maka bersabar, tidak usah protes, apalagi demo, jadi kita membayar pajak itu bukan berarti kita menyetujui dan mendapatkan dosa karena mbayar pajak,.
Jangankan mbayar pajak, seandainya pemerintah mengambil tanah kita, rumah kita, jika pemerintah yang melakukan, maka kita tidak boleh melawan pemerintah,. kita disuruh bersabar, tidak boleh melawan atau memberontak kepada pemerintah,.
Makanya, kita doakan kebaikan kepada pemerintah kita, bukan kita beberkan aib2nya di umum, di media, di mimbar jumat,. ini hanya akan menambah keburukan,.
gimana bisa bilang, ” gaji PNS yang dari pajak itu halal, tapi PNS yang kerja di perpajakan itu haram.”
bukankah yg didapat dari jalan yg batil, hasilnya juga akan ikut batil (haram sababi).
pendapatan negara 70% dari pajak. jadi gaji semua pns itu 70% HARAM.
itu kalo menurut anda ya ~
Terimakasih Safa,.
Analoginya begini saja,.
Menabung di bank, bagi penabung HARAM memakan riba dari tabungannya, tapi jika uang riba tersebut diberikan kepada orang lain, maka halal bagi orang lain tsb,.
Demikian pula pajak,. orang yang bekerja di perpajakan, itu pendapatannya atau gajinya itu haram, jadi yang bermasalah adalah karena dia bekerja di tempat tersebut, sama halnya orang-orang yang bekerja di BANK RIBAWI, bank kovensional, itu gajinya HARAM,. tapi jika diberikan utk menafkahi keluarganya, maka halal bagi anggota keluarganya, tapi bagi dirinya sendiri itu haram,
Jika negara menggaji PNS dari uang pungutan pajak, maka halal bagi PNS tersebut,.
Tapi bagi orang yang bekerja di perpajakan, maka HARAM,. walaupun uang gajinya tidak diambilkan dari uang pajak,.
Jadi,.. profesi dia sebgai pegawai pajak,. itu yang membuat haram,.
Analogi lainnya, biar paham,.
Anda tahu pelacur? tapi bukan saya menyamakan pegawai pajak dengan pelacur ya?
Bagaimana penghasilannya? apakah haram? JELAS HARAM,
Lalu jika si pelacur tersebut membeli makan dengan uang hasil pelacurannya, apakah uang itu HARAM bagi penjual makanan yang dibelinya?? TIDAK,
Lalu, jika makanan yang dibeli tersebut diberikan kepada anda misalnya, apakah makanan tersebut HALAL bagi anda? Jawabnya,.. HALAL..
saya sangat setuju dengan artikel di atas, namun ada beberapa hal yang saya ingin utarakan
bukannya saya membela salah satu pihak, hanya saja ada sesuatu di pikiran saya.
1. jika pns pegawai pajak itu profesi yang haram lalu bagaimana dengan negara ini, negara ini sangat bergantung dengan pajak, tanpa kerja keras para pegawai pajak=pajak tidak akan masuk pendapatan negara, tanpa pajak=>pendapatan negara, negara tak akan berjalan, jadi jika kita mengansumsikan semua pegawai pajak berhenti bekerja bukankah itu berarti sama saja menghancurkan negara itu sendiri.
Terimakasih mas fery,.
bagi kalangan tertentu memang berat,.
Tapi ajaran islam itu PASTI DAN YAKIN akan membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan umat ini,
Islam sudah mengajarkan segala hal, kita mau ke WC saja sudah ada aturannya dalam islam, kita mau tidur juga ada aturannya, masa untuk mengatur negara tidak diatur dalam islam?
Termasuk dalam hal pajak,. Allah mengharamkan pajak, pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya,. dan ada kejelekan pada pajak,.
Darimana negara bisa mendapatkan pemasukan dari selain pajak?
Jika negara mau mengelola zakat, maka pemasukannya jauuuuuh lebih besar dari pemasukan pajak,. dan itu akan masuk ke kas negara semua,.beda dengan pajak,…
Jadi anggapan negara akan hancur jika tidak ada pajak, ini anggapan yang sangat jauh dari kebenaran,.
Darimana pemasukan negara? bisa anda baca di artikel ini, bagian bawah,. silahkan klik disini
2. kalau memang sekiranya begitu, mengapa para ulama kita selama ini seakan membiarkan ini terus terjadi, kita adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak, kita memiliki banyak organisasi islam, mengapa demikian ?
nah, itu musibahnya,. jangankan masalah pajak yang mungkin ini lebih samar, masalah haramnya rokok saja susah sekali, karena banyak anggota mui nya yang doyan ngerokok juga,.
contoh yang sudah jelas-jelas wajib,. wanita keluar rumah WAJIB MENUTUP AURAT / MEMAKAI JILBAB yang syar’i , apakah ada putusan ulama kita yang menetapkannya? mungkin malah istri dan anak wanitanya juga belum menutup aurat dengan benar,.
Jadi kenapa begitu? karena sekelas mereka saja banyak yang tidak memahami islam dengan pemahaman yang benar,.
Belum lagi masalah shalat berjamaah 5 waktu di masjid bagi LAKI-LAKI,. ini hukumnya WAJIB, dalilnya jelas sekali,.. mana sikap ulama kita,. malah mungkin mereka sendiri banyak yang shalatnya di rumah,. terutama di waktu dzuhur dan ashar,
Jadi,.. mari,.. kita pelajari ajaran islam ini, tentu dengan pemahaman yang benar, karena itulah SATU-SATUNYA JALAN KESELAMATAN,. sehingga kita bisa tahu ajaran islam berdasarkan dalil,. apa itu pemahaman yang benar, silahkan klik disini
3. saya juga ingin tahu dalil yang menjelaskan/menunjukkan tantang bagaimana bisa sesuatu yang haram jika dimanfaatkan untuk orang lain (bukan diri sendiri) bisa menjadi halal, padahal itu jelas haram bagaimana bisa menjadi halal. tolong sekiranya menunjukkan dalilnya
terima kasih
contoh simpelnya begini mas,.
Misalkan ada komplek pelacuran,. lalu ada toko makanan,.
Nah, anda tahu kan para pelacur, bagaimana pekerjaan melacur itu haram, maka uang hasil melacur pun HARAM, bagi pelacur tersebut,.
Lalu pelacur tersebut membeli makanan di toko makanan, dengan uang hasil melacurnya,.
nah,.
apakah uang tersebut bagi penjual makanan itu tetap sebgai uang haram??? jawabnya,.. TIDAK, bagi penjual makanan itu HALAL..
JADI, melacur itu haram, uang hasil melacur bagi si pelacur itu haram, tapi jika si pelacur membeli makanan, maka uang tersebut bagi penjual makanan itu tidak haram, tapi HALAL..
Contoh lagi,.
Seorang bekerja di bank konvensional,. jelas itu RIBA
Dia bekerja di bank, dan mendapat gaji dari bank,.. maka uang gaji dia itu HARAM, pekerjaan dia juga HARAM,.
Nah, dia punya anak dan istri,.
Uang gaji dia diberikan kepada anak dan istri sebagai nafkah..
Nah,. bagi anak dan istri uang tersebut menjadi halal, karena mencari nafkah itu adalah tanggungjawab suami, terlepas bagaimana cara kerja suami, apakah pekerjaan yang halal atau haram,.
gaji suami tersebut haram bagi si suami, namun jika si istri ridha atas pekerjaan suami, dan merasa senang suami bekerja disitu, maka si istri berdosa,.
Nah, demikian pula dengan pajak,.
Profesi sebagai pegawai pajak, itu profesi yang haram, gaji dari pajak pun haram, dan Allah mengancam akan menyiksa para pemungut pajak,.
Adapun dana pajak yang terkumpul itu dikelola oleh pemerintah, disalurkan lagi, maka akan menjadi halal bagi si penerima,. namun status pegawai pajak dan profesinya tetap tidak berubah dengan penyaluran dana pajak tersebut,..
Jadi pegawai pajak profesinya haram, demikian pula gaji yang didapatkan,.
Jika gajinya diberikan kepada anak dan istrinya, maka itu menjadi halal bagi anak dan istrinya,.. jika istrinya ridha dan senang atas profesi suaminya, maka si istri bisa berdosa,
Hasil pajak itu bukan semata-mata buat PNS saja, tapi semua ekosistem di dalamnya.
Termasuk juga pekerjaan-pekerjaan atau proyek-proyek yg dilakukan oleh swasta.
Cakupannya amat sangat besar sekali, kalau tidak bisa dibilang seluruh rakyat Indonesia, termasuk penulis sendiri.
Artinya, penulis menciptakan kengawuran yang tidak rasional.
Namanya ngawur ya tidak rasional.
Andaikan menganggap pajak adalah haram, kenapa masih tinggal di Indonesia? K
onsistenlah antara ucapan dan perbuatan.
Terimakasih om oguds, komentar yang bagus,.
Pembahasan disini bukan pada masalah penyaluran dan pemanfaatan dana yang dipungut dari pajak,.
Pembahasan disini adalah tentang profesi pemungut pajak, atau orang-orang yang bekerja di perpajakan,..
itu saja,. masalah selain itu beda lagi,.
Yang di maksud di sini bagi pemungut pajak atau oknum pajak yang memeras, dan melakukan kejahatan penekanan kepada masyarakat atau wajib pajak pada khususnya secara realitanya pemungut pajak tidak Lah mengikuti syariat yang ada dan cenderung melakukan pembunuhan sacara tidak langsung mereka umum nya pemeras berdasi
Baik yang memeras atau tidak memeras, terkena ancaman hukuman neraka,.
 nendi as sundawy FEBRUARY 8, 2015 AT 11:22 PM
kakak saya pegawai pajak, kalau saya di kasih uang atau makanan oleh kaka sya, apakah uang tesebut haram?
terimakasih nendi,.
Tidak haram bagi anda,. itu halal bagi anda, tapi haram bagi kakak anda,.
Bagaimana kalo saya menikmati hasil pajak?
Berdosakan saya?
Anak saya sekolah dapat dana BOS, saya beli bensin yg disubsidi, istri lahir dapat Jamkesmas, depan rumah diaspal sama pemda, listrik rumah masih murah dapat subsidi…
Anda tidak berdosa, obyek pajak tidak berdosa, demikian pula yang menerima penyaluran dana pajak tersebut, baik penyaluran berupa uang atau sarana atau hasil pembangunan yang bersumber dari pajak,.
Obyek pajak yaitu masyarakat tetap wajib taat kepada pemerintah dengan membayar pajak,
Yang menjadi pembahasan disini adalah profesi sebagai pemungut pajak,.
Saya mendapatkan hibah dari Pemda untuk membangun masjid agung Trenggalek, besarnya 2 milyar. Karena dilakukan untuk keagamaan, kita membutuhkan keterangan bebas pajak dari kantor pajak.
Itu diajukan karena dana hibah bersumber dari APBN/APBD yg pendapatan dari pajak daerah.
Apakah haram masjidnya?
Tidak haram masjidnya, boleh digunakan dan sah shalat disitu, silahkan baca ulasannya disini
Apa hukumnya bagi saya yg seorang muslim.
Tau pegawai pajak pasti neraka.. Sedangkan saya mengharap mereka pegawai pajak bisa mengumpulkan pajak sebanyak banyaknya agar kebutuhan saya tercukupi?
Gaji saya naik, jalan alus mulus, anak sekolah gratis, naik motor bensinnya murah…
Jika anda bukan pegawai pajak, maka ngga masalah,.
Ngapain bayar pajak… Usaha usaha sendiri… Ga perlu bayar pajak…
Jika pemerintah menetapkan membayar pajak, maka anda WAJIB MENTAATI PERATURAN PEMERINTAH TERSEBUT,. karena itu perintah rasulullah, taat kepada pemerintah,
Kalo gratisan, ya ambil aja… Pemerintah kasih gratisan sekolah, Kartu kartu yg gratis.. Ambil aja…
Zakat? Yg wajib aja.. Kalo selebihnya khan Indonesia bukan negara islam… Mau bayar dimana…
Kata siapa indonesia bukan negara islam? Indonesia adalah NEGARA ISLAM, banyak sekali syariat islam yang tegak di indonesia,.
Mudah2an pemerintah indonesia akan membuat lembaga resmi yang menangani tentang zakat ini,.
Kalo di kantor pajak, ada bagian kebersihan, bagian konsultasi, bagian pemeriksa, bagian komputer, bagian nyetak…
Kalo bayar pajaknya di Bank…
Yg ngumpulin uang pajaknya ama si bank..
Trus uang yg dikumpulkan, sama DPR n Pemda di atur buat Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, dll…
Nah… Yg masuk neraka.. Pengumpul uangnya khan? Ya.. Si Bank?
Yang terkena ancaman neraka ya pelaku pajak, dan orang-orang yang ikut tolong menolong di dalamnya,.
Pelaku pajak itu intinya, bank hanya pihak yang diajak kerjasama,
Tentu pemerintah yang membawahi pajak itu juga terkena dosanya,.
Adapun penyaluran dari uang pajak tersebut, maka tidak bermasalah, seperti utk menggaji,atau disalurkan ke dinas pendidikan,kesehatan,pertanian,pembangunan,dll
Dan ingat,. ancaman neraka, itu bukan berarti MEMASTIKAN , PASTI YANG BEKERJA DI PAJAK ITU MASUK NERAKA,.. ini perlu digarisbawahi,.
apa ada negara di dunia ini yg menerapkan pendapatan negara tidak dari pajak?
Ada, contoh negara saudi,
Paman saya sebagai pengumpul retribusi pasar di pasar kecamatan, restribusi nya per toko atau lapak sebesar 1000 rupiah per hari, uang tadi disetor ke dinas pendapatan pasar kemudian disetor lagi untuk kas Daerah.
Paman saya, pemungut pajak juga khan?
Iya,. betul,. paman anda termasuk pemungut pajak,
Mas Admin, saya mau bertanya. Andaikata jika negara kita ini menghentikan pemungutan pajak untuk membiayai pengeluaran penyelenggaraan pemerintahan dan tidak ada petugas pemungut pajak.
Darimanakah negara ini memiliki dana untuk membayar gaji PNS, TNI, POLRI dsb?
Jika negara tidak dapat membayar gaji mereka, bukankah itu sama saja negara MENDZALIMI rakyatnya sendiri yang berprofesi sebagai PNS?
Negara indonesia ini negara kaya raya mas harry,.
Sudah dijajah selama 360 tahun saja masih kaya raya,.
Pajak itu warisan penjajah belanda,. sekarang sudah merdeka kok masih menerapkan warisan belanda,.
KUHP juga produk penjajahan belanda,. banyak sekali undang-undang produk penjajah yang masih dipakai di indonesia,.
Jadi, darimana untuk menggaji mereka?
Kekayaan alam indonesia ini banyak, terbentang luas dari sabang hingga merauke,. itu bisa dikuasai oleh negara, dan kalau untuk menggaji ya masih nyisa banyak,.
Satu perusahaan freeport saja mungkin sudah mencukupi,. belum ditambah kekayaan alam lainnya,.
Setuju pemungut pajak yang suka memeras dan tidak pada aturannya masuk neraka
Baik yang memeras atau tidak memeras, terkena ancaman hukuman neraka,.

Erwandi Tarmizi
Soal:
Apa perbedaan zakat dengan pajak?
Jawab:
Perbedaan zakat dengan pajak jelas sekali. pertama : Zakat yang mewajibkan adalah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pajak yang mewajibkan adalah manusia atau pemerintah setempat. Kemudian Zakat diambil dari harta tertentu, yang disini diperhatikan sisi-sisi keadilan karena agama ini adalah rahmat untuk seluruh manusia, tidak dari semua harta diambil, melainkan ada batasan tertentu dan persentase tertentu yang tidak akan menyebabkan si pemberi zakat menjadi fakir miskin.

Berbeda dengan pajak, karena yang menerapkan adalah manusia dan manusia ilmunya terbatas. Menurutnya sudah adil, tapi pada hakikatnya banyak yang tidak adil dari penetapan pajak tersebut. Sedangkan zakat, Allah yang menerapkan. Allah yang menciptakan makhluk, maka Allah yang lebih tahu kemaslahatan makhluk tersebut.

Kemudian dari sisi distribusinya kepada siapa zakat diberikan berbeda dengan pajak. Kesimpulannya bahwa pajak tidak ada pada awal masa-masa keislaman, pada saat Umar menjadi khalifah dia mengutus Mu’az untuk menarik zakat dari negeri tertentu, dan Mu’az mengirim 1/3 hasil zakat kepada Umar di Madinah. Maka Umar berkata,
لم أبعثك جابيا، ولا آخذ جزية، ولكن بعثتك لتأخذ من أغنياء الناس فتردها على فقرائهم

“Aku tidak mengutusmu sebagai penarik upeti dan sebagai penarik pajak, Tetapi aku mengutusmu untuk mengambil dari yang kaya dan menyalurkannya kepada yang miskin di negeri tersebut”. (Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam bukunya Al Amwal).

Kemudian memang pajak pernah ada pada masa pertengahan abad islam, dimana keadaan ketika itu negara sangat membutuhkan sekali untuk memenuhi kebutuhan karena dalam keaadaan peperangan, kesimpulannya bahwa sekarang bukan untuk membahas pajak, kalau ada waktu kita akan bahas mengenai pajak, dan masalah yang penting tidak bisa kita dengan membayar pajak kemudian kita mengurangi zakat, artinya saya kan sudah membayar pajak kenapa saya harus membayar zakat lagi? Tidak bisa, tetapi yang bisa, sekarang yang ada- bahwa bila telah membayar zakat bisa mengurangi membayar pajak sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara islam.[]

Disalin dari Blog ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi, MA dengan judul Zakat pada sesi tanya jawab yang diposting tanggal 29 Juli 2013

Pembahasan Pajak
erwanditarmizi.com
Bismillaah,
Berikut adalah materi dalam seminar pajak
PAJAK
Pajak sudah diterapkan oleh negara-negara sebelum kedatangan islam dalam berbagai bentuk:
Al Kharaj (Iuran wajib yang diserahkan kepada negara dalam jumlah tertentu yang dikeluarkan oleh wajib pajak atas tanah pertaniannya sekali dalam satu tahun).
Jizyah (Iuran wajib yang diserahkan kepada negara dalam jumlah tertentu yang dikeluarkan oleh wajib pajak atas jiwa mereka sekali dalam satu tahun).
Mukus/Usyur (Iuran wajib dalam jumlah tertentu yang dikeluarkan oleh wajib pajak atas perniagaan mereka setiap kali melewati perbatasan atau pasar yang dikuasai oleh suatu negara).
Dan lain-lain.
SEDEKAH
Setelah islam datang iuran yang bersifat sedekah (nominal tidak tetap dan diberikan secara suka rela) yang pernah ada pada pemerintahan sebelum kedatangan islam terus dikembangkan islam dalam bentuk ajakan Nabi untuk bersedekah ketika keuangan negara defisit, seperti pada saat perang Tabuk.
JIZYAH
Ditarik dari ahli kitab sebagai imbalan dari keamanan mereka di bawah naungan islam dengan besaran relatif kecil, yaitu 1 dinar pertahun dari setiap pria dan wanita yang telah baligh.
Allah berfirman,
{قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ }
artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (At Taubah: 29).
MUKUS/USYUR
Ditarik dari para pedagang non muslim sebagai bentuk balasan atas mukus yang mereka tarik dari para pedagang muslim bila masuk ke negri mereka.
Abdurrazaq meriwayatkan dalam mushannafnya “Bahwa dalam khilafah Umar bin Khattab ia menarik mukus dari para pedagang yang melewati negara islam sebagaimana pedagang muslim jika melewati negara mereka ditarik mukus. Adapun dari pedagang muslim atau pedagang yang berasal dari negara yang membuat perjanjian damai dengan negara islam tidak ditarik”.

Istighlal amwal ammah
Yaitu memanfaatkan kekayaan yang tidak dimiliki secara pribadi. sebagaimana Nabi dan para khalifah setelahnya menerapkan sistem himah untuk kepentingan hewan-hewan zakat.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, nabi bersabda,
لاَ حِمَى إِلَّا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ» وَقَالَ: بَلَغَنَا «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَمَى النَّقِيعَ» ، وَأَنَّ عُمَرَ «حَمَى السَّرَفَ وَالرَّبَذَةَ»
“Tanah larangan hanyalah yang ditentukan oleh Allah dan rasulNya . Nabi pernah membuat padang larangan di Naqi’ dan Umar membuat di Rabzah dan Saraf”

ZAKAT
Islam menerapkan suatu iuran wajib dengan kadar tertentu dari harta tertentu yang diambil oleh negara untuk diserahkan kepada mustahik tertentu.
Zakat maal
Syarat –syarat orang yang wajib mengeluarkan zakat:
üSyarat-syarat yang disepakati oleh para ulama; muslim, baligh, berakal dan merdeka
üSyarat-syarat yang tidak disepakati; orang gila dan anak-anak.
SYARAT HARTA YANG WAJIB DIZAKATI

Milik orang tertentu.
Milik penuh.
Berkembang.
Lebih dari kebutuhan pokok .
Berlalu satu tahun ( haul ).
Cukup nishab.
Bebas dari hutang

JENIS HARTA YANG WAJIB DI ZAKATI
1. Emas dan perak. Termasuk dalam zakat ini;
Uang simpanan berbentuk; tabungan, deposito, cek, saham dan surat-surat berharga lainnya.
Hasil profesi ( gaji ).
Hasil investasi.
2. Harta perniagaan. Termasuk dalam zakat ini; Perusahaan, industri dan jasa.
3. Hewan ternak; unta, sapi, kerbau dan kambing.
4. Hasil pertanian.
5. Harta ma’adin dan rikaz

ZAKAT FITRAH
Diambil dari setiap jiwa muslim (laki, perempuan, baligh, anak-anak, berakal maupun tidak) sebanyak 1 sha’ yang ditarik oleh negara 1 kali dalam setahun dan diberikan hanya kepada fakir miskin saja menurut pendapat yang terkuat dalam fikih islam.
MUSTAHIK ZAKAT
1. Fakir ,
2. Miskin,
3. Amil zakat,
4. Muallaf,
5. Riqab,
6. Ghorimin,
7. Sabilillah,
8. Ibnu sabil.

PAJAK KONTEMPORER
Berupa iuran wajib setiap warga negara (muslim/non muslim) kepada negara berdasarkan undang-undang untuk membiayai belanja negara. Dalam bentuk; pajak penghasilan, pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, pajak barang masuk dan lainnya.
Pajak jenis ini telah dihapuskan islam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akan tetapi kenyataan yang dihadapi saat ini hampir seluruh negara islam menerapkan pajak jenis ini untuk membiayai kebutuhan negara yang semakin komplit. Maka dibutuhkan ijtihad baru para ulama.
HUKUM PAJAK KONTEMPORER MENURUT FIKIH
Para ulama fikih telah membahas tentang hukum menarik pajak selain yang telah ditetapkan sebelumnya, diantara mereka ada yang mengharamkan mutlak dan diantara mereka ada yang membolehkan bersyarat. Dan tidak ada yang membolehkan mutlak tanpa syarat karena diriwayatkan oleh Muslim bahwa nabi bersabda,
«مَهْلًا يَا خَالِدُ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ»
“Sabar wahai khalid! Demi Allah, sungguh wanita itu telah bertaubat , kalau penarik mukus bertaubat seperti dia, niscaya diampuni dosanya”.

PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN (Pajak, Red)
Diantara ulama yang mengharamkan ini Al Mawardi, Abu Ya’la.
Dalil pendapat yang mengharamkan;
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} [النساء: 29]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil”. ( An Nisaa: 29).
«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ»
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain”. (HR. bukhari Muslim).
Pada dasarnya harta setiap muslim haram untuk diambil tanpa hak.

Hadis-hadis yang mengharamkan mukus.
Kewajiban seorang muslim pada hartanya telah dijelaskan syariat dan pajak tidak termasuk bagian yang dibolehkan. Bahkan nabi dalam keadaan genting saat akan perang tidak menarik pajak, beliau lebih memilih cara berhutang kepada shahabat yang kaya dan menarik zakat sebelum jatuh tempo serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan untuk menghadang musuh.
Sadd zariah. Andai hal ini dibuka maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang zalim untuk mengambil harta umat islam. Dan juga tidak pernah diterapkan para shahabat nabi.

TANGGAPAN DALIL
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengharamkan mengambil harta orang lain dengan tanpa hak tidak menafikan adanya kewajiban dalam harta terhadap kerabat dan fakir miskin. Dan pajak yang ditarik atas kebutuhan pokok sebuah negara lebih penting daripada kebutuhan individu.
Hadis-hadis yang mengharamkan mukus itu bermakna mukus yang zalim. Adapun pajak yang ditarik berdasarkan kebutuhan pokok sebuah negara bukanlah suatu kezaliman.
Adapun dalil bahwa nabi hanya berhutang dan tidak menarik pajak, itu dimungkinkan jika diharapkan akan ada pemasukan kas negara untuk menutupi utang negara. Adapun jika tidak ada harapan untuk menutup utang tentu menarik pajak dengan ketentuan syari merupakan satu-satunya jalan.
Adapun dalil bahwa sadd zariah bisa diatasi dengan membuat ketentuan untuk penarikan pajak yang dibolehkan.
Adapun hal ini tidak pernah dilakukan di masa shahabat telah ditanggapi oleh Syatibi “karena tidak ada kebutuhan di waktu itu, dimana keuangan bait mal cukup membiayai belanja negara”. Itisham 2/121.

PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN DENGAN SYARAT

Para ulama yang membolehkan menarik pajak dalam kondisi dan syarat tertentu, diantaranya; Al Juwaini, Syatibi, para ulam andalus dan ulama mazhab hanafi dan Ibnu Taimiyah. Dengan syarat;
1.Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara yang mendesak, seperti menghadapi musuh yang hendak menyerang. Ibnu Abidin berkata,” Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya”.
2.Pemasukan negara dari jizyah, kharaj dll tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan pokok negara. Dengan kata lain kas baitul maal kosong. Ibnu al Arabi berkata, “Kas negara habis dan kosong”.
3.Bermusyarah dengan ahlul hilli walaqdi. Ibnu Al Arabi berkata,”tidak halal mengambil harta warga negaranya kecuali untuk kebutuhan mendesak dengan cara adil dan dengan musyawarah kepada para ulama”.
4.Ditarik dengan cara yang adil dengan hanya mewajibkan pada harta orang yang kaya dan mampu. Al Haitami berkata, “Menolak mudharat umat merupakan tanggung jawab yang mampu, yaitu orang yang memilliki kelebihan harta setelah dikelaurkan kebutuhan pokoknya”. Tuhfah  9/220.
5.Pendistribusian pajak yang ditarik untuk kepentingan yang telah ditujukan. Tidak boleh didistribusikan untuk hal yang bersifat mewah.
6.Masih adanya kebutuhan yang mendesak. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Dengan kata lain penerapan pajak bersifat sementara dan bukan menjadi pemasukan tetap sebuah negara. Syatibi berkata,” Pajak ditarik atas dasar darurat dan diukur seperlunya. Jika darurat telah hilang maka pajakpun dihapuskan”. Itisham 2/122.
Sebagaimana yang pernah diterapkan oleh kerajaan Arab Saudi sebelum ditemukan minyak.

DALIL YANG MEMPERBOLEHKAN
Ayat-ayat tentang kewajiban berjihad difa’ dan thalab. Diantaranya firman Allah,
{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ} [الأنفال: 60]
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.

Almaslahat, yaitu:
( جلب المصالح ودرء المفاسد)
“Mendatangkan kemaslahatan dan menolak mudharat”.
Andai tidak ditarik pajak maka negara tidak bisa berjalan dan mudharat yang terjadi tanpa keberadaan suatu negara yang mengatur sangat besar. Maka mudharat tersebut ditolak dengan menerapkan mudharat  yang lebih kecil yaitu penarikan pajak.

Qiyas. Dengan menganalogikan kepada kasus dimana seorang wali anak kecil boleh mengambil harta mereka untuk kepentingan mereka.
Dalil Hajah. Dimana meningkatnya kebutuhan negara dari masa ke masa sebagaimna yang diungkapkan oleh Al Juwaini dan Al Ghazali. Juga dijelaskan dalam kaidah,
الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة
“Suatu kebutuhan bisa saja disamakan dengan darurat jika dibutuhkan oleh masyarakat umum”.

KESIMPULAN
Pada dasarnya pajak tidak dibolehkan dalam Islam karena terdapat ayat dan hadis yang melarang. Namun dalam kondisi tertentu dan dengan syarat tertentu pajak dibolehkan atas dasar pengecualian hukum.
Yang perlu didiskusikan dan dicari penyelesaiannya bersama oleh para ulama dan ulil amri adalah
Apakah pajak yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia saat ini telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh syariat?

PAJAK DALAM ISLAM

Oleh
Abu Ibrahim Muhammad Ali
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّا س زَمَانٌ لاَيُبَاليَّ الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَ منْ حَلاَل أَم منْ حَرَام

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]

Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ (Al-Usyr) [2] atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga disebut لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut الْخَرَاجُ (Al-Kharaj), akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[4]

Sedangkan para pemungutnya disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ (Shahibul Maks) atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar).

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[5]

MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
2. Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4. Pajak Barang dan Jasa
5. Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
6. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
7. Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ ( الْخَرَاجُ) DALAM ISLAM?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.

1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.

2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.

HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]

Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.

عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ

“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]

KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” [8]

PAJAK BUKAN ZAKAT
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [9]

Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.

1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.

2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin

3. Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].

4. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]

PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK
1. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]

2. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]

Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]

3. Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam [13]

4. Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”

5. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan (صَاحِبُ الْمَكْسِ )Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr (الْعَشَّارُ). Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.

6. Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks (صَاحِبُ الْمَكْسِ )adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.

7. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.

PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA
Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”

Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]

Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah: [16]

BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”

Jawabnya.
Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat” [15]

Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim). [16]

Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

اِسْمَعْ وَأطِعْ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ ؤَأَخَذَ مَالَكَ

“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) [17]

DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA
Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah.

1. Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.

2. Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. [18]

3. Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya. [19]

4. Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui mal.

5. Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.

6. Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.

7. Hasil tambang dan semisalnya.

Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.

PENUTUP
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]

Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.

Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]

Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samara.

Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A’lam.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya’ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11]. Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366
[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157
[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282
[15]. HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu
[16]. Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676, dan Ahmad 4/126.
[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93
[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385
[19]. Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots