Diposkan
oleh Abu Al-Jauzaa'
Islam telah mengharamkan segala bentuk
kedhaliman dengan memakan harta orang lain tanpa hak. Allah ta’ala berfirman :
وَلاَ تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil…..” [QS. Al-Baqarah : 188].
يا عبادي ! إني حرمت
الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرما، فلا تظالموا
“Wahai hamba-Ku,
sesungguhnya Aku haramkan kedhaliman bagi diri-Ku dan Aku jadikan hal itu
keharaman pula atas di antara diri kalian. Maka, jangan saling mendhalimi…”
[Hadits Qudsiy, diriwayatkan oleh Muslim no. 2578 dari Jaabir radliyallaahu
‘anhu].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Mu’adz saat ia diutus
berdakwah ke negeri Yaman :
". . . فإن هم أطاعوك لذلك ، فأخبرهم أن الله افترض عليهم
صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم ، فإن هم أطاعوك لذلك ، فإياك وكرائم أموالهم، واتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينها
وبين الله حجاب"
“….Apabila mereka
mentaatimu, khabarkanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang
diambil dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang faqir di
antara mereka. Apabila mereka mentaatimu atas hal itu, jagalah dirimu atas
kemuliaan harta-harta mereka. Dan takutlah akan doa orang yang teraniaya,
karena antara dia dan Allah tidak ada penghalang baginya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1395 & 1458 dan Muslim no. 31]
Salah satu bentuk
kedhaliman dalam masalah harta keharaman yang dipandang syari’at Islam adalah
mengambil upeti/pajak[1] dari harta kaum muslimin. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إن صاحب المكس في
النار
“Sesungguhnya penarik
pajak masuk neraka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/109 dari hadits Ruwaifi’ bin
Tsaabit radliyallaahu ‘anhu; Al-Arna’uth berkata : Hasan lighairihi].
لا يدخل الجنة صاحب
مكس
“Tidak akan masuk
surga penarik pajak” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/143 & 150, Abu Dawud no.
2937, Ad-Daarimiy 1/330, dan Al-Haakim 1/404; Al-Arna’uth berkata : Hasan
lighairihi].
Bahkan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyandingkan dosa penarik pajak ini dengan dosa
pelaku zina :
مهلا يا خالد،
فوالذي نفسي بيده ! لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
“Berhati-hatilah
wahai Khaalid, demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah
bertaubat dengan satu taubat yang seandainya penarik pajak bertaubat, niscaya
ia akan diampuni” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1695 dan Ahmad 5/348].
Dalam sabda beliau
tersebut memberikan satu pengertian dosa para penarik pajak lebih besar
daripada dosa pelaku zina, karena beliau membandingkan dosa zina dengan sesuatu
yang besar/lebih besar agar Mu’adz tidak mencela orang yang telah bertaubat
dari perbuatan zina.
An-Nawawiy
rahimahullah berkata saat mengomentari hadits di atas :
أن المكس من أقبح
المعاصي والذنوب الموبقات وذلك لكثرة مطالبات الناس له
“Bahwasannya penarik
pajak termasuk kemaksiatan yang sangat jelek dan dosa-dosa yang membinasakan.
Hal itu dikarenakan banyaknya manusia yang kelak akan menuntutnya…” [Syarh
Shahih Muslim].
Dari ‘Abdullah bin
‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
إن صاحب المكس لا
يسأل عن شيء يؤخذ كما هو فيرمى به في النار
“Sesungguhnya penarik
pajak tidak akan ditanya tentang sesuatu sebagaimana mestinya, lalu ia
dilemparkan dengannya ke dalam neraka” [Diriwayatkan Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal
hal. 704].
Para ulama terdahulu
telah sepakat akan haramnya pungutan-pungutan pajak. Ibnu Hazm rahimahullah
berkata :
واتفقوا أن المراصد
الموضوعة للمغارم على الطرق وعند أبواب المدن وما يؤخذ في الأسواق من المكوس على السلع
المجلوبة من المارة والتجار، ظلم عظيم وحرام وفسق ، حاشا ما أخذ على حكم الزكاة
وباسمها من المسلمين من حول إلى حول مما يتجرون به ، وحاشا ما يؤخذ من أهل الحرب
وأهل الذمة مما يتجرون به من عشر أو نصف عشر، فإنهم اختلفوا في ذلك ، فمن موجب أخذ
كل ذلك ومن مانع من أخذ شيء منه إلا ما كان في عهد صلح أهل الذمة مذكورا مشترطا
عليهم فقط
“Para ulama
bersepakat bahwa penarikan pungutan di jalan-jalan dan pintu-pintu kota bagi
keperluan orang-orang yang berhutang, serta pungutan yang diambil di
pasar-pasar terhadap barang dagangan yang dibawa orang-orang yang lewat dan
para pedagang adalah satu kedhaliman yang besar, haram lagi fasik – meskipun
pungutan itu disamakan dengan hukum zakat dan dinamakan dengannya, yang
dipungut setiap tahun dari yang diperdagangkan kaum muslimin. Adapun pungutan
yang diambil dari ahlul-harb dan ahludz-dzimmah atas barang yang mereka
perdagangkan sebesar sepuluh persen atau lima persen, maka para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini. Ada yang mewajibkannya, ada pula yang melarangnya
kecuali jika saat perjanjian damai hl itu telah disyaratkan kepada
mereka/ahludz-dzimmah [Maraatibul-Ijmaa’, hal 121 – dan Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah menyepakatinya].
Oleh karena itu,
tidak selayaknya bagi kaum muslimin yang shaalih untuk bekerja sebagai penarik
pungutan pajak dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Telah berkata
Adz-Dzahabiy rahimahullah :
الكبيرة السابعة
والعشرون : المكاس ، وهو داخل في قول الله تعالى : {إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى
الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} ، والمكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من
الظلمة أنفسهم ، فإنه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق ، ولهذا قال صلى الله
عليه وسلم : "لا يدخل الجنة صاحب مكس " رواه أبو داود، وما ذاك إلا لأنه
يتقلد مظالم العباد، ومن أين للمكاس يوم القيامة أن يؤدي للناس ما أخذ منهم ، إنما
يأخذون من حسناته - إن كان له حسنات -، وهو داخل في قول النبي صلى الله عليه وسلم
: "أتدرون من المفلس ؟". قالوا: يا رسول الله ! المفلس فينا من لا درهم
له ولا متاع . قال : "إن المفلس من أمتي من يأتي بصلاة وزكاة وحج ويأتي وقد
شتم هذا وضرب هذا وأخذ مال هذا، فيؤخذ لهذا من حسناته ولهذا من حسناته ، فإن فنيت
حسناته قبل أن يقضي ما عليه ، أخذ من سيئاتهم فطرحت عليه ثم طرح في النار"،
وفي حديث المرأة التي طهرت نفسها بالرجم : "لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس
لغفر له أو لقبلت توبته "، والمكاس فيه شبه من قاطع الطريق ، وهو من اللصوص ،
وجابي المكس وكاتبه وشاهده وآخذه من جندي وشيخ وصاحب رواية شركاء في الوزر، آكلون
للسحت الحرام . . . والسحت : كل حرام قبيح الذكر يلزم منه العار. . .
“Dosa besar
ketujuhbelas : Penarik pajak. Ia masuk dalam firman Allah ta’ala :
‘Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat lalim kepada manusia dan
melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih’
(QS. Asy-Syuuraa : 42). Penarik pajak adalah termasuk penolong kedhaliman yang
paling besar, bahkan ia merupakan kedhaliman itu sendiri. Karena, ia mengambil
sesuatu yang ia tidak berhak mengambilnya dan kemudian ia memberikan kepada
orang yang tidak berhak menerimanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak akan masuk surga penarik pajak’.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Penarik pajak memikul
tanggung jawab penganiayaan terhadap manusia. Pada hari kiamat kelak, para
penarik pajak akan (dituntut) mengembalikan pada manusia apa-apa yang telah ia
ambil dari mereka. Mereka hanyalah akan mengambil (pahala) kebaikan-kebaikan
darinya – jika ia mempunyai kebaikan - , sebagaimana masuk dalam sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apakah kalian mengetahui siapa itu ‘muflis’
(orang yang bangkrut) itu ?’. Para shahabat menjawab : ‘Muflis itu menurut kami
adalah orang yang tidak punya dirham maupun kekayaan lainnya’. Beliau bersabda
: ‘Sesungguhnya muflis (orang yang bangkrut) dari kalangan umatku adalah orang
yang datang dengan membawa (pahala) shalat, zakat, dan haji. Namun di samping
itu, ia pun datang dengan keadaan mencaci maki seseorang, memukul seseorang,
atau mengambil harta seseorang. Maka akan diambil amal kebaikannya untuk dosa
ini dan amal kebaikan ini untuk dosa itu. Hingga apabila telah habis
kebaikan-kebaikannya sebelum bisa menunaikan apa yang ditanggungnya, akan
diambil kejelekan-kejelekan (dosa) mereka yang kemudian ditimpakan kepadanya,
hingga kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.
Dan juga dalam hadits
tentang seorang wanita yang menyucikan dirinya dengan hukuman rajam : ‘Sungguh
ia telah bertaubat dengan satu taubat yang seandainya penarik pajak bertaubat,
niscaya ia akan diampuni atau akan diterima taubatnya’.
Penarik pajak itu
menyerupai para perampok/pembegal jalanan. Ia termasuk pencuri. Semua orang
yang terlibat dalam pemungutan pajak, seperti penulisnya, saksinya, dan
pemungutnya; baik dari tentara, syaikh (sesepuh), atau orang yang berilmu,
semuanya bersekutu dalam dosa. Mereka semua memakan barang yang haram…. Barang
yang haram adalah setiap barang yang jelek yang jika disebutkan
mengkonsekuensikan padanya aib/cela” [Al-Kabaair, hal. 185-186].
Semoga Allah ta’ala
memudahkan kaum muslimin untuk berhijrah dengan sebenar-benarnya. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ
هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
”Dan Al-Muhaajir
(orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 6484 dan Muslim no. 41].
Wallaahu a’lam.
[abu al-jauzaa’,
banyak mengambil faedah dari buku Al-‘Awaashim mimmaa fii Kutubi Sayyid Quthb
minal-Qawaashim[2] karya Asy-Syaikh Rabii’ bin Hadiy Al-Madkhaliy
hafidhahullah, donlot dari http://www.rabee.net – perumahan ciomas permai].
[1] Termasuk pemungut cukai.
[2] Dalam sub bab kritikan Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy
terhadap Sayyid Quthb yang membolehkan pemungutan pajak terhadap harta kaum
muslimin dan menyamakannya dengan zakat.
Silahkan lihat artikel terkait :
Apakah Agama Mengharamkan
Pajak?
Oleh Wiyoso Hadi,
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
[ artikel paling bawah ]
COMMENTS
[ Pertanyaan yang ada dibenak anda, Insya Allah ada di comments dibawah ]
Anonim mengatakan...
ustad, apakah sampai
segitunya hukum kerja di kantor pajak yaitu haram dan dosa besar, apakah
kesannya tidak berlebihan. krn tidak sedikit yg bekerja di kantor pajak adalah
orang2 yg sholeh, aktifis dakwah, orang2 yg hanif (baik). bagaimana juga
hukumnya orang2 yg tidak tahu hukumnya padahal mereka adalah orang2 yg sholeh
dan hanif ? apakah dosa besar juga ? mungkin karena kondisi zaman sekarang yg
terpaksa untuk diterapkan hukum pajak, dan tidak ada maksud untuk menzalimin
kaum muslimin. mohon penjelasannya
-abu khansa-
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ya benar, memang
begitulah status hukum pajak secara asal. Mengenai banyaknya orang-orang
shaalih dan aktifis dakwah yang bekerja di kantor pajak, itu juga tidak bisa
mengubah status hukum pajak itu sendiri.
Jika dikatakan terpaksa
bekerja di kantor pajak, saya harapkan perkataan tersebut didahului oleh
keinginan keras untuk lepas bekerja di kantor pajak dan usaha mencari pekerjaan
lain semaksimal mungkin.
Untuk yang lainnya, ada
baiknya kita simak uraian ringkas lagi bermanfaat dari Ustadz Arifin Badri di :
http://www.minangforum.com/showthread.php?t=6104
arifk mengatakan...
kantor saya bekerjasama
dgn kantor pajak dalam hal mengambil data-data laporan PPH dan PPN untuk NPWP
tertentu, apakah seperti ini termasuk bersekutu dalam dosa?
jazakallahu khairan
-abu rosyidah-
Sa'ad mengatakan...
Bahkan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyandingkan dosa penarik pajak ini dengan dosa
pelaku zina :
مهلا يا
خالد، فوالذي نفسي بيده ! لقد تابت توبة لو
تابها صاحب مكس لغفر له
“Berhati-hatilah wahai
Mu’adz, demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah
bertaubat dengan satu taubat yang seandainya penarik pajak bertaubat, niscaya
ia akan diampuni” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1695 dan Ahmad 5/348].
Dalam sabda beliau
tersebut memberikan satu pengertian dosa para penarik pajak lebih besar
daripada dosa pelaku zina, karena beliau membandingkan dosa zina dengan sesuatu
yang besar/lebih besar agar Mu’adz tidak mencela orang yang telah bertaubat
dari perbuatan zina.
'Afwan, apakah
terjemahan hadits di atas tidak salah? Bukankah yang diajak bicara Rosululloh
adalah Kholid bin Walid, bukan Mu'adz bin Jabal ?
Baarokallohu fiika...
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Antum benar.
Segera saya perbaiki.
Terima kasih atas koreksinya.
Ustadz, dari penjelasan
ini timbul pertanyaan dalam diri saya : lalu status dari uang / upeti hasil
pungutan tersebut apakah haram juga?kemudian bagaimana jika harta/uang hasil
pungut pajak tersebut digunakan misalnya untuk membangun jalan, sekolah,
jaringan telekomunikasi dll apakah hasil itu jg haram. termasuk pemakai
fasilitas dari ini apakah berdosa jika menggunakannya. karena menurut pendapat
saya kok pajak ini berbeda dengan upeti. menurut saya upeti ini "iuran
wajib" kepada penguasa tanpa ada kompensasi atau timbal balik, sedangkan
pajak "iuran wajib" kepada negara tetapi dengan kompensasi atau
dikembalikan meskipun tidak secara langsung dan dalam bentuk yang
berbeda.selanjutnya kira2 solusi apa yang syar'i dan tepat untuk membiayai
negara ini sehingga pajak dapat dihapuskan, mengingat pajak saat ini masih
menjadi tulang punggung negara dalam menjalankan tugasnya.demikian mohon
pencerahan.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Pada asalnya, semua
harta yang diambil secara tidak hak, wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Dan
status harta seperti ini tentu saja tidak boleh untuk dipergunakan.
Ini kekeliruan yang
sifatnya sistemik, karena menempatkan pajak dan cukai sebagai sumber pendapatan
utama. Oleh karena itu, kita tidak mengatakan bahwa rakyat haram hukumnya
menggunakan fasilitas negara yang salah satunya dibiayai dengan pajak. Ini
menyangkut pertimbangan maslahat dan mafsadat. Kita sangat butuh bimbingan
ulama dalam hal ini.
Para ulama telah
menjelaskan bahwa hukum pajak dan maks itu sama. Pemberian imbal balik berupa
fasilitas bukan sesuatu hak yang membedakannya. Penyediaan berbagai fasilitas
publik sudah menjadi tanggung jawab negara sesuai dengan kemampuannya. Dan yang
seperti ini telah terjadi semenjak jaman dahulu. Tinggal bagaimana negara
memikirkan untuk mendapatkan pembiayaannya.
Yang jadi inti adalah
adanya penarikan uang secara 'paksa' (maksudnya : diwajibkan) dari harta kaum
muslimin. Padahal, harta kaum muslimin tidak boleh diambil melainkan dengan
haknya. Pajak, bukan hak atas harta kaum muslimin yang wajib dipungut.
Solusi pertama -
menurut saya - yang harus dilakukan adalah membersihkan pemikiran dan
ketergantungan pada pajak, dan bahwasannya pajak itu tidak diperbolehkan dalam
Islam. Selama itu belum hilang, maka pajak akan tetap ada dan ketergantungan
kepadanya senantiasa tinggi. 'Malas' membuat terobosan-terobosan baru untuk
mengisi kas negara dari sumber yang dibenarkan.
Kemudian mengoptimalkan
zakat, shadaqah, dan seluruh aset-aset yang dimiliki negara.
Tidak bisa ? Kenapa
tidak bisa ? Syari'at Islam datang bukan mustahil untuk dilakukan. Di jaman
Khalifah dahulu, tanggungjawab umaraa' terhadap rakyatnya sama. Termasuk
menyediakan fasilitas umum dan yang lainnya.
Memang benar, ini bukan
sebuah pekerjaan yang mudah (untuk menghilangkan pjak dan ketergantungan
kepadanya). Ini adalah kerja kolektif. Perlu kesadaran dan pemikiran bersama.
Namun jika tidak dimulai dari diri sendiri, lantas akan dimulai darimana ?
Semoga Allah senantiasa
memberikan pentunjuk kepada pemimpin kita agar berjalan di atas kebenaran.
Wallaahu a'lam.
Ass ustadz ana seorang
pegawai negeri di departemen keuangan dan bertugas sebagai auditor pajak.apakah
ana termasuk taawun dalam hal menarik pajak?jazakalllah ustadz atas jawabannya
Menyambung dengan
pertanyaan di atas, apakah bekerja sebagai konsultan pajak juga dikatakan
seperti itu? Barakallahu fikum
Assalamu alaikum.
Tolong disampaikan juga aqwal atau fatwa ulama mutaakhirin tentang masalah
pajak saat ini. Adakah suatu negara yg bebas pajak di hari ini? Wassalam abu
fatih.
Wirawan Camilia mengatakan...
Assalamu 'alaikum...
menurut pengertian saya dari beberapa tulisan yang saya baca, latar belakang
munculnya hadits-hadits mengenai "haram"nya pajak adalah karena pada
masa kehidupan Nabi Muhammad S.A.W., ada pajak yang dipungut oleh negara
penjajah dari negara jajahannya dan rakyat kecil(sebagimana yang dilakukan oleh
kerajaan romawi, persia dan negara penjajah lainnya), namun tidak untuk
kepentingan negara jajahan dan rakyat kecil itu sendiri; Jadi, hadits keharaman
pajak ini muncul untuk pengertian pajak di masa itu. Lantas, haramkah hukumnya
apabila pajak yang dipungut negara kepada rakyatnya digunakan untuk tujuan
mensejahterakan rakyat itu sendiri? Mohon dikoreksi bila terdapat kesalahan,
Wassalamu 'alaikum.
Penarik pajak itu
menyerupai para perampok/pembegal jalanan. Ia termasuk pencuri. Semua orang
yang terlibat dalam pemungutan pajak, seperti penulisnya, saksinya, dan
pemungutnya; baik dari tentara, syaikh (sesepuh), atau orang yang berilmu,
semuanya bersekutu dalam dosa. Mereka semua memakan barang yang haram…. Barang
yang haram adalah setiap barang yang jelek yang jika disebutkan
mengkonsekuensikan padanya aib/cela” [Al-Kabaair, hal. 185-186].
Oleh karena itu, tidak
selayaknya bagi kaum muslimin yang shaalih untuk bekerja sebagai penarik
pungutan pajak dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Untuk pemilik blog …
sekiranya memuat artikel mohon tidak melukai orang lain (sesama muslim)...
tujuan Anda membuat
blog ini untuk apa ???
Afwan ustadz, menurut
ketua MUI, bahwa pajak itu berdasarkan hukum syariat. Umar al-Khattab, kata
beliau, memberlakukannya. Tolong jawabannya, jazakallahu khairan.
http://www.hidayatullah.com/berita/lokal/11322-mui-jangan-boikot-pajak-
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya tidak tahu tentang
sisi pengambilan hukum yang dipakai. Kalau merujuk pada apa yang dilakukan
'Umar radliyallaahu 'anhu, maka yang ia lakukan adalah memungut uang sewa
dari asset negara (tanah)yang dipakai oleh kaum muslimin. Adapun terhadap
orang kafir (ahludz-dzimmah), maka 'Umar memungut uang kharaj dari objek kharaj
yang dipakai oleh orang kafir, karena status tanah objek kharaj tersebut milik
negara.
Yang perlu
digarisbawahi, 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu tidak pernah
memungut pajak dari kepemilikan individu selain dari haknya (yaitu zakat). Oleh
karena itu, 'Umar tidak pernah memungut pajak dari orang yang berdagang di
pasar, orang yang digaji oleh negara, dan yang semisalnya.
Harta kaum muslimin itu
pada asalnya haram. Ia hanya boleh diambil oleh negara dengan haknya saja
(yaitu zakat).
Wallaahu a'lam
bish-shawwaab.
Quote :
"untuk pemilik
blog … sekiranya memuat artikel mohon tidak melukai orang lain (sesama
muslim)...
tujuan Anda membuat
blog ini untuk apa ???"
---------------------------------------
Bismillah.
Sekiranya ada yang
mengatakan bahwa Allahu ta'ala melaknat orang2 yang berhubungan dengan khamr,
apakah ini juga
termasuk bentuk 'menyakiti' saudara sesama muslim, apabila diantara kaum
muslimin ada yang bekerja di tempat2 yang menjual barang tsb ? sperti diskotik,
kafe dugem, dsb...
Kemudian, apakah
sesuatu yang haq itu harus disembunyikan, dengan alasan takut menyakiti
perasaan orang lain ? ^__^
kewajiban setiap muslim
hanyalah menyampaikan kbenaran -dengan cara yang ma'ruf tentunya-,
dan memberi peringatan
atau nasehat kepada saudaranya yang lain,
tidak lebih dari itu
...^___^
mngenai di dengar ataw
tidak-nya, di terima ataw tidak-nya ...Rabbul 'alamin-lah yang memberikan
hidayah.
syukron wa hadakallahu.
Ibnu
Yusuf Al-Balimbanji mengatakan...
Assalamu'alaikum. . .
izin salin artikel ini
ya ustadz.
Sekalian bertanya,
Ana adalah pegawai baru
di kantor pajak, dari lulusan stan. wallohi, dari dulu ana benar2 tidak
menginginkan ditempatkan di kantor pajak ustadz. tapi keputusan penempatan
lulusan stan oleh lembaga tidak bisa diganggu gugat.
ana berkeinginan untuk
segera resign dari pekerjaan itu, dan mencari alternatif. Namun, berat rasanya
untuk melakukannya. Negara membebankan denda yang tidak sanggup ana bayar-lebih
kurang 40juta-apabila ana resign dari pekerjaan itu. hal ini dikarenakan, ana
melanggar perjanjian ikatan dinas dari stan selama 10 tahun. Belum lagi orang
tua ana yang mungkin akan kecewa bila ana meninggalkan pekerjaan ana sekarang.
ana meminta nasihat
ustadz melihat posisi ana seperti ini.
Mengingat hati ini
sering berbolak-balik, ana takut makin lama di kantor itu ana cenderung akan
bermudah-mudahan dalam masalah pajak ini dan mengesampingkan syariat.
mohon nasihat dan
doanya ustadz. Wa jazaakumullohu khoiron.
Assalamu'alaikum,
Ustadz, kr2 bgaimana
dgn status pkerjaan sbg seorang PNS mengingat uang untuk mmbayar gaji PNS ada
yg bersumber dr pajak negara.. Syukron..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam
Sependek pengetahuan
saya, saya belum pernah mendapatkan fatwa pengharaman secara mutlak gaji PNS
dari ulama, padahal permasalahan ini telah banyak mereka bahas. Yang tidak
diperbolehkan adalah PNS yang bidang pekerjaannya memang diharamkan (seperti :
penarik pajak, de el el).
Pendapatan negara bukan
hanya dari pajak, tapi juga dari non-pajak (PNBP).
Sedikit ilustrasi bagi
kita, permasalahan ini seperti : Bolehkah kita mengambil upah mencabut rumput
dari pekarangan pegawai pajak ?.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@IBnu Yusuf,.....
Jika mengundurkan diri
dari kantor pajak saat ini tidak memungkinkan (adanya konsekuensi denda yang
tidak bisa antum bayar), antum bisa tetap di pekerjaan tersebut untuk
sementara.
Ada beberapa hal yang
bisa dilakukan :
1. Menunggu waktu
sampai kontrak habis, baru setelah itu keluar.
2.
Mengumpulkan/menyisihkan uang sebisa mungkin sehingga dapat menebus denda
akibat resign sebelum waktunya.
Untuk masalah orang
tua, hendaknya kita memberikan penegrtian kepada mereka berdua akan duduk
permasalahannya. Termasuk alasan mengapa kita harus bersikap demikian dan
demikian. Dengan penyampaian yang lemah lembut, saya yakin - insya Allah -
mereka akan mengerti. Semoga memerikan kemudahan bagi kita semua.
Jangan lebay
deeh..Segala sesuatu lihatlah dari niatnya yaa....
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
dan juga caranya.....
artikelnya sangat
menarik, terima kasih banyak ya, alhamdulillah ada yang mentrasfer ilmu
pengetahuan.
Alhamdulillah, saya
juga bekerja di pajak.
Semoga semua semakin
baik dan berkah. Amin.
ustadz udah pnya NPWP
belum? klo belum silahkan datang ke Kantor Pelayanan pajak terdekat untuk
mendaftarkan diri.
Punya penghasilan ga
punya NPWP, apa kata dunia...
Pegawai Pajak mengatakan...
ngomong2 saya seorang
AR di KPP yang mencoba untuk pindah ke instansi yang lebih baik. Mohon Doanya.
Amin
al mengatakan...
Anjing berkata...eh
maap, anjing menggonggong kapilah terlaluu!!! . Ente juga haram makai jalan di
negeri tercinta ini karena duitnya dari pajak juga. Ente jalan aja di awan.
Perbedaan sudah ada sejak dulu, hormati kenape?nggak usah maen nyalahin orang
sontoloyo!!!!!!!!
anang dwicahyo mengatakan...
@al , apakah antum
seorang muslim ?? sungguh tidak pantas ucapanmu.
@al,
"Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yg baik atau ia
DIAM"
Paham? Kalo ndak paham
silahkan belajar lg, klo bisa belajar kosakata indonesia dulu ya agar bahasa
anda tdk spt preman kampung.
Terima kasih.
Supaya nggk setengah2 ,
baiknya pak ustad juga menulis artikel yang berkaitan dengan dari mana
pemerintah dapat membiayai pengeluarannya kalau pajak tidak ada di indonesia.
Kita sama2 setuju kalau
seandainya pajak nggk ada di indonesia dan pemerintah lebih bijak dalam
langkahnya.
Saya tunggu artikelnya
pak ustad , kalau bermutu insya Allah akan saya sampaikan ke berbagai
kesempatan yang saya mampu.
Murtadha mengatakan...
Assalamualaikum ..
Kalau memang benar
pajak ini haram, berarti semua PNS makan gaji yang haram, karena pendapatan
negara ini dari pajak, memang tidak semua pendapatan, tapi bukankah
mencampurkan yang halal dengan yang haram itu akan menjadi haram?
saya setuju dengan saran
diatas, bagaimana kalau antum juga memberi solusi kongkrit tentang bagaimana
pendapatan negara selain pajak di blog ini. Karena menurut saya jika kita
melarang sesuatu, kita harus juga memberikan jalan keluar/solusi yang baik dari
apa yang kita larang tersebut.
Wassalam ..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Sebuah mindset yang
harus dibangun adalah pemahaman tentang keharaman pajak. Banyak orang yang
berdalih ini dan itu, dan kemudian 'mempertanyakan' solusi, yang pada
hakekatnya hanya sebagai alasan penolakan pengharaman pajak.
Hidup bernegara dan
bermasyarakat itu melibatkan orang banyak. Perlu pemahaman dan kerjasama.
Banyak hal yang sebenarnya dapat kita lakukan. Yang utamanya adalah
mengoptimalkan semua sumberdaya dan aset negara. Tidak 'dijual' kepada pihak
asing.
Namun seringkali
pertanyaan klise muncul : "mungkinkah itu dilakukan ?". Atau
pertanyaan klise lain muncul terkait dengan judul : "Mungkinkah pajak
dapat dihapuskan ?".
Jawaban tidak mungkin
hanya keluar dari mereka yang pikirannya telah sangat bergantung dengan pajak,
atau mereka yang terbelenggu nasib hidup dalam budaya kapitalisme tanpa
memikirkan perubahan berarti menuju syari'at Islam.
wallaahul-musta'aan.
ask: Kalau memang benar
pajak ini haram, berarti semua PNS makan gaji yang haram, karena pendapatan
negara ini dari pajak, memang tidak semua pendapatan, tapi bukankah
mencampurkan yang halal dengan yang haram itu akan menjadi haram?
---------------------
Answer: PNS tidak makan
gaji haram, Karena Pertama, dia bekerja, dan diberi gaji atas pekerjaannya itu
oleh pemerintah.
Kedua: Pendapatan
Pemerintah yang digunakan untuk menggaji PNS tidak semuanya bersal dari Pajak
tapi, dari Jual beli, dan penjalanan bisnis oleh Badan Usaha Milik Negara.
Sehingga tidak bisa dipastikan Uang Negara semua haram.
Contoh: Seperti seorang
koruptor yang membeli makanan di Warung dgn uang korupsinya, maka uang yg
didapat oleh pemilik warung dlm transaksi tsb adalah halal, karena Pemilik
warung tidak tahu darimana uang itu berasal (uang korupsi atau gaji resmi si
koruptor). Yang jelas ia (pemilik warung) dibayar karena
jualbeli/pekerjaan/transaksi yg sah dan halal.
aisy mengatakan...
afwan ustadz,di
sebagian tempat ada orang yang bekerja di kantor pajak tapi dia ngajar bahasa
arab dan dengan pelajaran yang dia berikan memberi banyak faidah, terlebih lagi
orang tersebut juga berintisab kepada salaf (meski kerja di pajak). Bolehkah
kita mengambil ilmu bahasa arab darinya? Karena ada sebagian orang yang
melarang belajar darinya dengan alasan dia kerja di pajak. Apakah larangan
seperti ini tepat? Afwan, jazakumullah khaira.
silumanbebek mengatakan...
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/01/pendapat-yang-membolehkan-pajak.html
tafadhdhol dibaca jg,
sdikit memberikan
tmbahan tentang pembolehan pajak. :)
maaf ustadz, saya
setuju dengan artikel ini karena dalil yang dipakai cukup jelas.tapi tidak
adakah fatwa dalam hal ini? pajak yang diambil dari rakyat yang muslim adalah
haram ,tetapi untuk tahun2 kedepan negara kita tidak akan mampu melepaskan
pajak sebagai sumber penghasilan.bila seorang muslim diharamkan bekerja di
bidang pajak,lantas apakah pajak akan diurusi orang-orang kafir atau orang
muslim yang hanya KTP? tidakkah lebih baik harta haram (pajak) diurusi orang2
muslim yang pasti lebih memiliki sifat amanah dalam bekerja?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Fatwa ulama kontemporer
tentang pajak banyak. Antum bisa cari-cari d internet tentang hal ini.
Seorang muslim sudah
seharusnya menjauhkan diri dari sesuatu yang haram. Tanpa terkecuali.
Kekhawatiran-kekhawatiran yang antum sampaikan adalah kekhawatiran yang tidak
berdasar. Seandainya talbis tersebut diikuti, niscaya alasan itu akan membuka
pintu-pintu yang lain sehingga mendorong kaum muslimin bekerja di dunia
perbankan (konvensional), hukum, dan yang semisal. Jika kaum muslimin
meninggalkan dunia perbankan (konvensional), maka dunia perbankan akan dikuasai
oleh kaum kafir........ [begitulah kira-kira alasan yang sama akan muncul].
gunn mengatakan...
tp kalau bank konven
kan,
keharamannya jelas ya
tadz.
sedangkan di kantor
pajak,
yg diurusi bkn cm yg
haram (baca. yg dikenakan kpd kau muslim),
bahkan sbagian besar
dananya itu diperoleh dari yg memang pantas dikenakan pajak (kaum kuffar),
dan kondisi rill negara
ini yg kas nya memang bkn saja hanya kosong, tp malah defisit (untuk membayar
hutang tahun2 sebelumnya yg hutang itu digunakan untuk pembangunan).
terlebih lg, tdk semua
pegawai di kantor pajak yg memungut pajak,
bahkan ada yg
petugasnya di sana memang bertugas untuk membantu wajib pajak mengetag\hui hak
dan kewajibannya,
ada jg yg bukannya
memungut, malah tugasnya di sana untuk memproses pengembalian pajak yg lebih
dibayar oleh wajib pajak.
tanpa adanya petugas2
ini, malah wajib pajak yg dirugikan.
susah memang.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kata antum, kalau bank
konvensional keharaman jelas. Saya yakin yang antum maksud adalah (karena)
transasksi riba di dalamnya.
Berpikir sama dengan
paragraf di atas, menurut antum, kantor pajak keharamannya tidak jelas ya ?.
Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah perpajakan yang menjadi pokok
pekerjaan kantor tersebut.
gunn mengatakan...
bukan tadz.
(kalau hanya msalah
"ada" kemaksiatan sih, hampir di semua tempat, baik pemerintah maupun
swasta jg ada, tdk hanya di bank dan kantor pajak).
jd kalau cm alasan
"ada" maksiatnya, saya jg gak brani bilang bahwa kseluruhannya mjd
haram.
maksud saya bkn skedar
krn transaksi riba "ada" di dalamnya,
tp yg saya maksud
adalah, krn sbagian besar transaksi yg dilakukan di sana adalah riba itu
(jd riba yg merupakan
poin masalahnya, memiliki porsi yg terbesar di situ).
nah, skrg bicara
tentang perpajakan,
sebagian besar dana
pajak yg ada itu adalah dana yg dpungut sah,
krn diambil dari kaum
kuffar
(pndapatan utama pajak
itu diambil dari perusahaan dan orang2 yg berpenghasilan sangat besar, dmn
sbagian besar dari orang2 kaya itu adalah orang2 kuffar).
bukankah tdk salah jika
mereka (yg mnjadi penyumbang utama pajak) dikenakan pajak?
sampai di sini saja,
terlihat bahwa sbagian besar dana pajaknya itu dari kaum kuffar.
adapun pajak yg
dikenakan pada muslim, saya sih sependapat jika dikatakan bahwa itu adalah sebuah
kedzholiman.
namun bgaimana dgn
dhoribah?
bukankah sbagian 'ulama
jg berpendapat,
bahwa jika dlm kondisi
mendesak, dan kas negara dlm keadaan kosong (sedangkan dana tersebut sangat
dibutuhkan)
pemerintah boleh
mengambil "seperlunya" dari muslim yg mampu?
nah, pemerintahan ini
menarik dari muslim yg dianggap "mampu" sesuai dgn kriteria
pemerintah td.
dan sperti yg saya
tulis td.
perkara "kondisi
yg mendesak", kas negara ini bukannya kosong,
tp defisit (krn
pembangunan2 yg sudah dan sedang dilaksanakan di negri ini kbanyakan didanai dr
utang, bkn dr saldo kas).
jd kalau saya boleh
bilang,
sebagian besar dana
pajak itu
bersumber dari dana yg
"sah" untuk dipungut.
itu dr sisi
"sumber dana"nya.
kalau dari pekerjaannya
sendiri,
sperti yg jg sdh saya
tulis td.
bahwa tdk semua yg di
kantor pajak itu memungut pajak, atau ta'awwun untuk memperlancar operasional
pemungut pajak.
di situ jg ada pegawai
yg tugasnya justru membantu wajib pajak,
sperti mmbantu
memproses pengembalian uang dari kas negara kepada wajib pajak yg tdk
seharusnya dibayar oleh mereka,
dan ada jg yg memproses
untuk memberikan pemotongan pajak bagi wajib pajak yg dinilai kurang mampu.
keberadaan mereka ini
bknnya mendzholimi, tp justru bermanfaat bagi wajib pajak sendiri.
tp walaupun tugasnya yg
justru penting bgi wajib pajak,
statusnya mereka ini
tetaplah "pegawai pajak".
apakah mreka ini
hukumnya sama saja dgn "pemungut pajak" yg lain krn mreka satu
kantor?
jika pkerjaan mreka ini
dikatakan haram jg (krn statusnya yg msh sama sbg pegawai pajak jg),
malah jd bias.
sbenarnya yg haram itu,
perbuatan "memungut pajak dari muslim tanpa udzur"nya,
atau
"instansi"nya (secara mutlaq) yg haram?
*mohon komentarnya
tadz.
barokallahufiikum..
gunn mengatakan...
oiya sdikit tambahan
lg,
saya sepakat bahwa
pajak yg dikenakan pada muslim tanpa adanya udzur memang termasuk sebuah
kedzholiman,
sepakat jg bahwa di
kantor pajak msh melakukan kedzholiman ini.
dan mengomentari
kalimat terakhir ustadz.
perpajakan memang
menjadi pokok pekerjaan dari kantor pajak.
tp saya tdk sepakat
jika dikatakan bahwa secara umum pajak yg diambil itu adalah sesuatu yg haram.
*mohon koreksinya jika
saya salah
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Indonesia itu
mayoritasnya berpenduduk muslim atau kafir ?. Ini kita lihat dari objek
pajaknya.
Kebijakan pajak yang
ada di negara kita ini menurut Anda dhalim atau tidak dhalim ?.
Jika kata Anda bahwa
tidak semua orang yang bekerja di kantor pajak itu memungut pajak, bukankah
sebenarnya mereka itu semua mewujudkan tujuan yang satu : Merealisasikan dan
memaksimalkan pemungutan pajak. Walau tugas dan fungsi masing-masing berbeda.
Inilah yang khas dari tupoksi kantor pajak.
Lantas apa bedanya
dengan di bank ?. Sesuai dengan logika Anda, bukankah tidak semua orang di situ
juga melakukan transaksi riba ?. Ada yang menjadi satpam, cleaning service,
petugas IT, dan yang lainnya.
Tentang sebagian kecil
pendapat ulama yang membolehkan pajak, maka saya telah menuliskan penjelasan
singkatnya di artikel Pendapat
Yang ‘Membolehkan’ Pajak. Sungguh jauh kondisi yang dijelaskan para ulama
dengan kondisi yang berlaku di masa sekarang. Coba Ana pahami dulu apa yang
disebut darurat dan syaratnya. Tidak disebut darurat yang membolehkan perkara
yang pada asalnya terlarang, ketika seseorang langsung saja makan daging babi
tanpa ada usaha sebelumnya untuk mencari makanan lain yang halal. Atau malas
mencarinya. Apalagi yang ada di pikirannya hanyalah : Saya suka daging babi. Sehingga
ketika ia beralasan 'darurat', maka alasan ini hanyalah lips service saja.
Mungkin benar secara lafadh, tapi salah secara hakekat.
Akhi,... segala sesuatu
itu dihukumi dengan keumumannya. Bukan dihukumi dengan sesuatu yang jarang.
wallaahu a'lam.
gunn mengatakan...
itulah realitanya,
jd jika dibilang bahwa
pemerintah tdk berusaha mencari alternatif pendanaan yg lain,
saya rasa msh kurang
tepat jg.
terbukti bahwa
pemerintah sampai saat ini masih terus mencari sumber pendanaan lain,
cm mungkin memang
sumber dana sperti fa'i/ghanimah/zakat/infaq/shodaqoh itu yg blm optimal.
sbagai kesimpulan,
sbenarnya saya komen
panjang di sini itu tujuannya bukanlah untuk mencari pembenaran,
tp justru untuk mencari
jawaban,
krn saya memang msh
bingung dgn hukumnya ini.
saya sendiri saat ini
msh berstatus pegawai pajak,
namun memang sdh lama
ingin keluar,
(jd buat apa lg saya
susah payah mncari pembenaran jika dari awal memang sudah bertujuan ingin
keluar)
dan untuk mndukung
langkah tersebut,
alhamdulillah saya
sudah bbrapa kali mencoba ber-usaha untuk mndapatkan maisyah bagi saya dan
kluarga,
walaupun qodarullah,
blm berhasil jg.
slama ini saya malah
sering rugi
(tp insyaAllah sampai
saat ini saya msh tetap berusaha, mohon bantuan doa dari saudaraku semua agar
urusan saya diberi kemudahan. aamiin..).
namun niat saya ingin
keluar itu bkn krn saya sdh yakin dgn hukum pajak yg haram,
(justru hukumnya saya
msh ragu untuk mengatakan haram secara mutalq)
tp krn nasihat2 dari
para asatidz (termasuk ustadz abul-jauzaa')
yg saya percaya bahwa
nasihat mereka adalah nasihat yg baik bagi saya.
krn itulah, saya
brtanya lg di sini.
terima kasih tadz.
mohon dikoreksi lg jika
tulisan saya ada ksalahan.
(namanya kan jg gak tau
ilmunya) :)
barokallahufiik..
gunn mengatakan...
afwan tadz,
saya dari td mncoba
komen,
tp gagal terus.
komennya saya pisah 2
(biar gak kepanjangan)
eh malah yg bagian ke-2
yg berhasl diposting.
(yg bagian kedua,
tulisannya diawali dgn kalimat "itulah realitanya,"
apa karena lbh dari
4.000 karakter ya?
jd gak masuk2
gunn mengatakan...
=>Indonesia itu
mayoritasnya berpenduduk muslim atau kafir ?. Ini kita lihat dari objek
pajaknya.<=
yg saya tangkap, maksud
pertanyaan ustadz adalah "subjek" pajak, bkn objek.
tentang msalah
keumuman,
jika dilihat dari
subjek yg dikenakan,
memang sbagian besar
adalah kaum muslim (krn mayoritas warga indonesia adalah muslim).
namun jika dilihat dari
"objek"nya,
apalagi dilihat dari
dananya yg masuk,
sbenarnya negara itu
lbh bergantung ke dananya orang2 kaya yg kuffar td.
=>Kebijakan pajak
yang ada di negara kita ini menurut Anda dhalim atau tidak dhalim ?.<=
sebagian memang dhalim
(krn peraturan bahwa muslim jg ditetapkan sebagai wajib pajak)
namun realitanya,
dr jmlah muslim yg
mayoritas itu,
yg memiliki NPWP sbg
identitas bahwa dia adalah wajib pajak, hanya bbrapa persen.
dan dr yg memiliki NPWP
itu pun, yg membayar pajak berkurang lg jd hanya bbrapa persen.
=>Lantas apa bedanya
dengan di bank ?. Sesuai dengan logika Anda, bukankah tidak semua orang di situ
juga melakukan transaksi riba ?. Ada yang menjadi satpam, cleaning service,
petugas IT, dan yang lainnya.<=
yg saya maksudkan dgn
"beda" td,
adalah tentang msalah
ta'awwun nya tadz.
satpam ataupun petugas
IT, jelas keberadaan mereka itu untuk mensupport terjadinya riba.
namun pekerjaan yg saya
contohkan di komen sebelumnya,
itu bukannya membantu
pemungutan pajak,
malah justru membantu
wajib pajak "mengeluarkan" uang yg sudah masuk kas negara, kembali ke
pemiliknya.
& mmbantu wajib
pajak untuk dapat diberikan keringanan atas pajak yg dibebankan padanya (jika
memang kurang mampu)
perkara ini saya
sampaikan,
krn ketika membaca
bbrapa artikel yg disampaikan oleh para asatidz,
kesannya, seolah semua
yg berhubungan dgn kata "pajak" itu mutlaq haram.
sampai pekerjaan sperti
konsultan pajak, atau pegawai di suatu kantor (swasta) yg kbetulan ditugasi
oleh kantornya untuk menghitung dan membayarkan pajaknya,
pun dikatakan sbg suatu
yg haram.
pdahal jelas bahwa
mreka ini bknlah bagian dari instansi pajak, malah pegawai dr wajib pajak.
tentang hal ini, pernah
jg saya baca di web nya ustadz aris
http://ustadzaris.com/hukum-kerja-di-kantor-pajak
أَمَّا مَنْ أَعَانَ الْمَظْلُومَ عَلَى تَخْفِيفِ الظُّلْمِ عَنْهُ أَوْ عَلَى أَدَاءِ الْمَظْلِمَةِ : فَهُوَ وَكِيلُ الْمَظْلُومِ ; لا
وَكِيلُ الظَّالِمِ
(sumber dari
islamqa.com)
nah, yg saya fahami
dari tulisan itu adalah,
ada perbedaan antara
org yg membantu berbuat dzholim dan yg membantu pihak yg didzholimi.
*mohon dikoreksi lg
jika ternyata saya yg salah faham.
gunn mengatakan...
=>Coba Ana pahami
dulu apa yang disebut darurat dan syaratnya<=
=>keadaan darurat
apabila pendapatan negara yang sah yang telah ditetapkan tidak mencukupi
anggaran belanja (= kas di baitul-maal kosong)<=
seperti yg saya tulis
td,
kas negara ini bukannya
skedar kosong, tp defisit.
kalau saya ditanya,
apakah kondisi skrg ini sdh termasuk darurat?
maka saya jawab tdk
tau,
justru itu yg ingin
saya tanyakan jg ke ustadz.
adalah realita, bahwa
pemerintahan ini blm maksimal memanfaatkan potensi sumber dana lain yg sah
(selain pajak).
namun realitanya jg,
bahwa kita dianugrahi
pemerintahan yg tdk bgitu faham akan agama,
ditambah lg, bahwa
lembaga fatwa resmi mereka (yaitu MUI) tdk mengeluarkan fatwa
"haram"nya terhadap pajak, jd pemerintah jg ya merasa tenang saja.
lalu gmn caranya kita
supaya pemerintah itu "sadar"?
dan realitanya lg,
bahkan jikalaupun mreka
tau tntang ktentuan syari’at td,
tp sumber2 dana sperti
fa'i dan ghanimah yg potensinya sangat besar itu (yg dulu jadi sumber dana yg
penting),
kan blm ada lg saat
ini.
zakat, nilainya blm
bgitu besar (sesuai lah dgn kemampuan ekonomi masyarakat jg yg msh
rendah),
dan infaq/shodaqoh tdk
bs dipaksakan.
BUMN sdh mnjadi rahasia
umum, bahwa stiap tahun mengaku terus merugi,
dan kekayaan alam, byk
yg sdh dikuasai pihak asing (oleh sebab pemerintahan sebelumnya jg)
dan yg saya tau, ketika
pemerintah mendapati ada sumber dana lain selain pajak,
itu akan digarap
optimal oleh pemerintah.
(contohnya di bidang
migas, ditemukan tambang baru)
namun ternyata tetap
saja stiap tahun anggarannya ditetapkan defisit.
itulah realitanya,
jd jika dibilang bahwa
pemerintah tdk berusaha mencari alternatif pendanaan yg lain,
saya rasa msh kurang
tepat jg.
terbukti bahwa
pemerintah sampai saat ini masih terus mencari sumber pendanaan lain,
cm mungkin memang
sumber dana sperti fa'i/ghanimah/zakat/infaq/shodaqoh itu yg blm optimal.
gunn mengatakan...
sbagai kesimpulan,
sbenarnya saya komen
panjang di sini itu tujuannya bukanlah untuk mencari pembenaran,
tp justru untuk mencari
jawaban,
krn saya memang msh
bingung dgn hukumnya ini.
saya sendiri saat ini
msh berstatus pegawai pajak,
namun memang sdh lama
ingin keluar,
(jd buat apa lg saya
susah payah mncari pembenaran jika dari awal memang sudah bertujuan ingin
keluar)
dan untuk mndukung
langkah tersebut,
alhamdulillah saya
sudah bbrapa kali mencoba ber-usaha untuk mndapatkan maisyah bagi saya dan
kluarga,
walaupun qodarullah,
blm berhasil jg.
slama ini saya malah
sering rugi
(tp insyaAllah sampai
saat ini saya msh tetap berusaha, mohon bantuan doa dari saudaraku semua agar
urusan saya diberi kemudahan. aamiin..).
namun niat saya ingin
keluar itu bkn krn saya sdh yakin dgn hukum pajak yg haram,
(justru hukumnya saya
msh ragu untuk mengatakan haram secara mutalq)
tp krn nasihat2 dari
para asatidz (termasuk ustadz abul-jauzaa')
yg saya percaya bahwa
nasihat mereka adalah nasihat yg baik bagi saya.
krn itulah, saya brtanya
lg di sini.
terima kasih tadz.
mohon dikoreksi lg jika
tulisan saya ada ksalahan.
(namanya kan jg gak tau
ilmunya) :)
barokallahufiik..
gunn mengatakan...
ustadz,
mohon yg ditampilkan
nanti yg 3 postingan terakhir aja ya,
krn sbelumnya saya ada
sdikit masalah ketika mau memposting,
jadinya doble post.
terima kasih.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Terima kasih
koreksiannya tentang masalah objek dan subjek (pajak). Akhi,... masalah halal
dan haram itu bukan dilihat dari ghalib jumlah pemasukannya. Tapi kepada siapa
ia dikenakan. Ketika ia dikenakan pada kaum muslimin, padahal kaum muslimin
adalah mayoritas, maka pajak yang diberlakukan itulah yang dimaknai haram.
Kebijakan inilah yang salah.
Kendaraan, penghasilan,
rumah, tanah, dan banyak yang lain dari harta-harta kaum muslimin dipungut
pajak. Padahal Allah ta'ala dan Rasul-Nya telah menegaskan bahwa harta-harta
mereka haram untuk diambil kecuali dengan haknya. Dan hak harta bukanlah pajak.
Tentang pajak yang saat
ini diberlakukan kepada kaum non-muslim pun juga harus dilihat. Tidak semua
jenis 'pengambilan harta' ini bisa dibenarkan. Pajak atau dlaribah yang
dikenakan tetap harus memperhatikan asal-asas keadilan dan meninggalkan
kedhaliman.
Tentang permasalahan
darurat tidaknya, maka ini memang jadi masalah. Karena darurat yang dimaui
syari'at adalah kondisi yang memaksa melakukan sesuatu yang diharamkan setelah
berusaha keras mencari/mengusahakan yang halal tidak bisa. Lha kalau, pajak,....
silakan Anda pikir. Apakah memang ia satu-satunya jalan terakhir setelah
sumberdaya dan aset negara dimaksimalkan ?. Atau, ia memang disetting sebagai
sumber penghasilan negara secara asal ?.
Saya tidak akan
berbicara banyak mengenai BUMN dan yang sejenisnya. Apakah ia rugi karena
kurang bagus manajemennya, ataukah memang secara karakteristik BUMN itu tidak
bisa menghasilkan keuntungan ?.
Saya hanya berharap dan
berdoa semoga Allah memberikan jalan terbaik bagi negara ini, dan memberikan
petunjuk dan hidayahnya kepada kaum muslimin semua, terutama para pemimpin,
agar memahami Islam dan kemudian mengamalkannya.
mamah-fayfay mengatakan...
==>
Ketika ia dikenakan
pada kaum muslimin, padahal kaum muslimin adalah mayoritas, maka pajak yang
diberlakukan itulah yang dimaknai haram. Kebijakan inilah yang salah
<==
brarti di sini ya poin
utamanya?
terima kasih tadz,
alhamdulillah,
skarang saya baru bs
faham dgn alasan pengharamannya.
hanya saja,
memang selagi status
negara ini adalah "demokrasi",
rasanya sangat sulit
(kalau tdk boleh dibilang hampir mustahil) bs diberlakukan pembedaan pengenaan
pajak antara muslim dan kafir.
dan jg, kurang bijak jg
rasanya jika ada yg mengatakan bahwa pemerintah hanya diam dan tdk mau repot
mencari alternatif pembiayaan lain (di luar pajak)
untuk menggantikan
posisi pajak.
yg benar adalah,
sumber2 pembiayaan baru itu terus dicari,
dan pajak msh
ditetapkan sbg sumber pembiayaan utama,
bkn hanya krn dana yg
dibutuhkan oleh negara memang sangat besar,
tp jg (mungkin) krn
ketidaktahuan/ketidaksepakatan pemerintah itu tentang masalah keharaman pajak
ini.
oiya,
terkait ketidaktahuan
pemerintah ini,
apakah mereka
(pemerintah dan jg pihak yg berwenang mengeluarkan fatwa) tetap memikul dosanya
tadz?
(masalahnya oleh sebab
tdk adanya fatwa haram td)
terima kasih.
mamah-fayfay mengatakan...
Saya hanya berharap
dan berdoa semoga Allah memberikan jalan terbaik bagi negara ini, dan
memberikan petunjuk dan hidayahnya kepada kaum muslimin semua, terutama para
pemimpin, agar memahami Islam dan kemudian mengamalkannya
aamiin..
gunn mengatakan...
wah, ternyata waktu
kirim komen,
saya salah pakai login.
afwan tadz..
dan terima kasih atas
jawabannya,
semoga Allah memberkahi
ilmu yg ada pada antum.
http://muhshodiq.wordpress.com/2009/03/01/haramkah-menikahi-orang-pajak/
Sekedar menambahkan.
pengenkaya mengatakan...
klo menurut kalimat
berikut,
“Para ulama bersepakat
bahwa penarikan pungutan di jalan-jalan dan pintu-pintu kota bagi keperluan
orang-orang yang berhutang, serta pungutan yang diambil di pasar-pasar terhadap
barang dagangan yang dibawa orang-orang yang lewat dan para pedagang adalah satu
kedhaliman yang besar, haram lagi fasik – meskipun pungutan itu disamakan
dengan hukum zakat dan dinamakan dengannya, yang dipungut setiap tahun dari
yang diperdagangkan kaum muslimin. Adapun pungutan yang diambil dari ahlul-harb
dan ahludz-dzimmah atas barang yang mereka perdagangkan sebesar sepuluh persen
atau lima persen, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang
mewajibkannya, ada pula yang melarangnya kecuali jika saat perjanjian damai hl
itu telah disyaratkan kepada mereka/ahludz-dzimmah [Maraatibul-Ijmaa’, hal 121
– dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menyepakatinya].
apakah berarti, uang
tol, retribusi pasar, bea masuk terminal,pelabuhan dan bandara merupakan haram
juga ustadz?
apakah profesi penarik
retribusi pasar, pegawai tol, bandara dan pelabuhan sama dengan buruknya
profesi penarik pajak?
Assalamualaikum
penulis artikel yg
dirahmati Allah..
ada beberapa mulahazhah
manhajiyah terhadap artikel yang anda tulis ini dalam istinbath hukum
(keharaman pajak).
pembahasan pajak masuk
dalam bab As Siyasah AsySyar'iyah, yang mengherankan adalah saya tidak
menemukan satu pun referensi anda ini yang merujuk pada kitab2 dalam siyasah
syar'iyyah.
dalam kajian siyasah
syar'iyyah kontemporer, istilah pajak seringkali diterjemahkan dengan istilah
dharibah, namun anda hanya menerjemahkannya dengan istilah "المكوس", jika anda mau sedikit saja search di google حكم الضرائب في الإسلام anda akan menemukan banyak hal pembahasan disitu, yang pada intinya
adalah tidak langsung serta merta ambil kesimpulan "pajak adalah haram /
kezaliman".
secara ilmiah,
kewajiban anda sebelum menjelaskan kesimpulan akhir dalam istinbath hukum
adalah merujuk semua referensi yang mungkin dari masalah tersebut, nah jika ada
ikhtilaf disitu, kewajiban ilmiah anda juga harus menjelaskan ikhtilaf
tersebut, anda juga wajib menjelaskan makna المكوس itu apa ? apakah pajak dalam literatur fiqih hanya
diterjemahkan dengan itu ? jangan langsung ambil kesimpulan serampangan..
kezaliman memang
diharamkan oleh Allah, namun apakah penarikan pajak adalah kezaliman ? anda
harus tahqiqul manath dulu disini (anda pasti ngerti istilah ini kan?) jangan
serampangan.
anda boleh dan sah2
saja punya kesimpulan akhir bahwa pajak adalah kezaliman sehingga harus
diharamkan, namun sebelum anda sampai pada kesimpulan akhir itu, anda wajib
merujuk langkah2 wajib ilmiah sebelum sampai pada kesimpulan akhir itu. betapa
banyak rasaail jami'iyah (karya2 ilmiah tesis/disertasi) di kampus2 tim-teng
membahas tentang hukum pajak kontemporer ini.
kesimpulan yang
serampangan sangat berbahaya, ini berkonsekuensi pada banyak hal, jika kita
mengharamkan pajak secara gebyah uyah(bahkan dosanya lebih berat dari zina),
maka kita sedang menganggap sekian ribu orang bahwa mereka sedang melakukan
dosa besar.
sebagai tambahan
referensi, saya tambahkan link yang mungkin bisa anda lihat:
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=224079
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=105990.
waffaqanAllahu lil
'ilminnafi' wal amal asshalih..
wassalamualaikum
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
wa'alaikumus-salaam......
Sebagaimana yang tertulis
dalam artikel di atas, bahwa sumber penulisan saya berasal dari buku
:Al-‘Awaashim mimmaa fii Kutubi Sayyid Quthb minal-Qawaashim karyanya
Syaikh Rabii'. Jadi, memang bisa dikata bahwa itu hanya terjemahan saja yang
saya kemas dengan bahasa saya. Dan alhamdulillah saya tahu bahwa ada beberapa
keadaan dimana para ulama membolehkan pajak. Telah saya tuliskan secara singkat
(sebagaimana dalam komentar saya tanggal 13 November 2011 jam 22:13 di atas)
pada artikel :
Salah satu link dalam
ahlalhdeeth yang Anda beri pun telah saya berikan dalam artkel tersebut.
Terima kasih atas
masukannya.....
gunn mengatakan...
ustad anonim (16 Maret
2012 20:12),
tambahan referensinya
apakah ada yg berbahasa Indonesia?
atau mungkin antum
memiliki kesempatan untuk menerjemahkannya?
barokallahufiik..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Intinya sebenarnya
sudah tertulis dalam artikel yang saya tulis (yang berjudul : Pendapat yang
'Membolehkan' Pajak. Namun jika ustadz Anonim punya keluangan, silakan
diterjemahkan secara full sehingga memberikan manfaat kepada kita semua.
learn english
easily mengatakan...
bukankah ada مكس dan ada ضريبة , ustadz.
kalau menurut teman
saya yang di HT katanya مكس nggak
boleh sedang ضريبة boleh dipungut negara dari orang kaya. bagaimana
menurut ustadz dan mohon jelaskan perbedaan antara kedua jenis pungutan ini,
jazakumullah
orang awam pengen vinter mengatakan...
@ learn english easily
assalamu'alaykum,
afwan, bisa di jelaskan
antara مكس(maks) dengan ضريبة (dharibah) perbedaanya di mana .. ?
sepanjang yang saya
ketahui dan fahami, pembolehan pajak hanya ketika negara dalam kondisi darurat
saja !
tidak ada sumber
pemasukan dari sektor lain,
sementara di Indonesia
SDA melimpah ruah,
gemah ripah loh jinawi
!
kalo di kelola dengan
amanah -insyaAllah- bisa untuk menanggung beban APBN.
@ Anonim, 16 Maret 2012
20:12
masalah pajak kembali
ke riwayat berikut,
لا يحل
مال امرئ إلا بطيب نفس منه
tidak ada kerelaan
(atas harta), maka HARAM diambil !
afwan, apalagi
penerapan pajak seperti di Indonesia,
yang nanggung beban
pajak itu semua elemen,
bukan cuma orang kaya
atau orang berkelebihan harta saja yang menanggungnya.
contoh :
ketika pajak di
bebankan kepada barang konsumtif,
maka yang beli barang
tersebut siapa-pun orangnya akan terkena pajak.
belum lagi
pungutan-pungutan lain, baik yang ada aturannya maupun yang liar.
'Allohul Musta'an
Alhamdulillah, pajak
diharamkan atas kaum muslimin.
Dari awal sebelum saya
tahu bahwa pajak itu haram, saya memang sudah tidak sreg dengan pajak. Semoga
saya dan teman-teman saya yang sampai saat ini masih terpaksa bekerja di kantor
pajak diberi kemudahan oleh Alloh untuk segera keluar bekerja dari kantor
pajak.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Amiin..... dan yang
lebih penting dari itu, kita mendoakan kebaikan kepada para pemimpin kita agar
Allah memberikan taufiq kepada mereka untuk bisa melepaskan diri dari belenggu
pajak, dan dapat memaksimalkan pemanfaatan asset sumberdaya alam. Tanpa itu, kita
akan terus terbelenggu dengan pajak yang diharamkan dalam Islam.
gunn mengatakan...
aamiin...
dan semoga diganti dgn
yg jauh lebih baik.
@ orang awam pengen
vinter
tentang masalah kondisi
darurat (kas baitul maal kosong)
sbenarny sudah saya
tulis td,
bahwa negara kita ini
kas tahunannya (APBN) bukannya kosong, tp malah defisit.
SDA yg kita miliki itu
mungkin jg tdklah sehebat yg dibayangkan.
kalau mnurut data dari
link di artikel di atas,
nilai SDA kita itu
sekitar 17x APBN setahun.
kalaupun itu mau
dieksploitasi, dan dijual semua saat ini,
maka hanya bisa
menopang kbutuhan hidup negara ini selama 15-17 tahun
(walaupun msh ditambah
zakat yg 2trilyun, brarti porsinya hanya 1/500 dari APBN, dan itupun sudah ada
posnya sndiri hanya bisa utk diberikan ke 8 ashnaf, tdk utk gaji penyelenggara
negara, infrastruktur dll).
tp yg mnjadi msalah jg
memang,
banyak Belanja Negara
itu yg memang tidak seharusnya.
(entah itu utk suatu yg
mubadzir, atau bahkan utk kegiatan maksiyat).
semoga Allah segera
memberikan perbaikan kepada bangsa ini
(baik bagi
pemerintahan, maupun rakyatnya),
dan melimpahkan
keberkahanNya.
aamiin..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya sebagai orang yang
sedikit tahu tentang kehutanan dan lingkungan sedikit tahu bagaimana sebenarnya
kita itu dipermiskin oleh sistem. Dan sepertinya, antum senantiasa pesimis
bahwa kita ini mustahil bisa hidup tanpa pajak.
Contoh kecil saja,....
kehutanan. Itu nilai yang bisa diusahakan dari sektor kehutanan itu berapa ?.
Logika gampang saja, bahwa negeri tetangga sampai berani inves besar-besaran
untuk membangun HTI. Mulai dari tegakannya, hingga menjadi kertas jadi. Apa
yang diperoleh dari negara ?. Pajak ?. Besarnya berapa ?.
Seorang pengusaha
kampung non profesional punya itung-itungan bisnis kayu jabon.... Harga kayu
jabon per m3 nya sudah mencapai angka Rp. 1 juta. Ini untuk umur 5 tahun.
Perhektar itu bisa mencapai 700 m3. Taruhlah dihitung 500 m3 saja. Jadi
itung-itungan pak penguasaha itu, 1 hektar dapat memperoleh 500 x Rp. 1 juta =
Rp. 500 juta. Biaya produksi taruhlah 50 %. Jadi untungnya Rp 250 juta. Ini per
5 tahun. Keuntungan per tahun per hektarnya rata-rata : Rp 50 juta.
Lalu ia mimpi... Luas
hutan produksi tetap Indonesia adalah 36 juta hektar. Ia dikasih sama
pemerintah bisa mengusahakan 5 juta hektar saja. Jadi hitung-hitungan bapak itu
adalah :
5 juta x 50 juta =
250.000.000.000.000,- = Rp 250 trilyun.
Taruhlah ia apes cuma
dapat Rp 100 trilyun saja... Sudah besar kan itung-itungan awam ini ?.
Atau kita pake data
statistik kehutanan tahun 2009 yang menghasilkan kayu bulat sebesar 34-an juta
m3. Seandainya kayu rata-rata kita jual seharga Rp 600rb per m3, maka kita
dapat uang Rp 20,4 trilyun. Ongkos produksi gampangnya 50 %, sehingga bersih Rp
10 trilyun.
Coba kalau kita cuma
mengandalkan PSDH saja.... ya kecil buanget keuntungan yang masuk ke kas
negara......
Dan ingat, kayu kita
itu macam-macam. Contoh kayu jati kualitas medium, harga Rp 2,7 juta m3 di
tingkat pasar lokal. Produksi kayu jati di Jawa seandainya kita estimasikan 200
rb m3, maka kita dapat uang Rp 540 milyar. Ini perhitungan minimalis sekali
mas. Dan jika kita jual dalam bentuk gergajian ke luar negeri dengan harga
standar ITTO dimana harga jati kualitas 1 di Amerika minimal Rp 19 juta-an,
maka kita dapat uang (seandainya setelah digergaji hanya 80 %-nya saja yang
jadi) = Rp 3,04 trilyun.
Beuh... ini hitungan
minimalis sekali mas. Dan potensi kayu berdiri kita, kalau kita garap serius
dan baik, puluhan kali dari itu.
Ingat, itu hanya bisnis
sektor hulu. Jadi, kita belum bicara sektor hilir yang menghasilkan end product
kayu yang macam-macam dimana marjin nya bisa berlipat-lipat dari yang
disebutkan di atas.
Belum pemanfaatan lahan
hutannya. Belum pemanfaatan kawasannya. Dan yang lainnya. Dan ingat,... itu
hanya hutan produksi tetap saja. Masih ada hutan-hutan yang lain yang potensial
untuk diusahakan.
Dan ini belum sektor
yang lain...... Dengar atau pernah baca penjelasannya pak Prof Wid. wamen ESDM
gak tentang bodohnya diri kita dalam pengelolaan sumberdaya mineral, minyak,
dan energi ?. Duit yang seharusnya masuk ke kantong negara itu banyak yang
masuk ke kantong para kontraktor.....
Anyway,.... saya kok
optimis ya, bahwa sebenarnya jika kita kelola benar-benar aset negeri ini, kita
akan kaya. Persoalan ngurus negeri itu bukan hanya persoalan yang baru muncul
abad 20, tapi sudah dari jaman Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Assalamu'alaikum..
Selingan aja ustadz..
menanggapi pernyataan ustadz " . saya kok optimis ya, bahwa sebenarnya
jika kita kelola benar-benar aset negeri ini, kita akan kaya"
Sebetulnya ana yakin ga
ada manusia indonesia yg pesimis sama SDA di Indonesia.. pesimisnya itu di
sektor SDM.. hehe.. ya isinya orang2 ky gini.. dibilang haram ngeyel..
mentalitas pajak.. g mau kerja.. ga mau modal.. biar yg modal orang lain kita
tinggal "mungut" sebagian "kuecill" hasilnya..
Tapi kalo Allah
mengijinkan dakwah ini berkembang, inshaAllah kita atau anak cucu kita jd SDM
yg berkualitas luar dalem.. kalo sudah gitu kekhalifahan jadi konsekuensi
alami.. Amiin..
orang awam mengatakan...
Assalamu'alaykum..
tambahan info neyh,
dulu pas masih kerja di
perkebunan kelapa sawit milik asing/swasta, di daerah kalimantan selatan,
penduduk sekitar
perusahaan mempunyai pendapatan di atas rata-rata,
bukan dari komoditi
sawit, tapi penghasilan mereka mayoritas dari kebun karet yang luasnya paling
2-3 kapling per KK (1 kapling sekitar 2 hektar).
en ya know what ..
di daerah sekitar situ
ada kebun milik PTPN yang BANGKRUT karena RUGI (??)
padahal luas areal-nya
hampir 4000 hektar.
so..
lahan PTPN yang
nganggur itu akhirnya di garap ama masyarakat Trans yang notabene dulu sebagai
pekerjanya
gak semuanya, hanya
sebagian kecil saja
well, endingnya bisa di
tebak..
masyarakat Trans
sekitar situ sekarang makmur secara financial
funny isn't it ..
silahkan cek ke desa
surian,
sekitar 40 menit dari
Tanjung-Tabalong
oya, perusahaan tempat
saya bekerja juga maen di karet,
arealnya ndak sebesar
PTPN,
cuma sekitar 500 hektar
saja,
di daerah Banten.
dan sampai sekarang
masih eksis,
profitnya Milyaran
per-Tahun.
saya tahu, karena saya
dulu yang pegang Financial Report perusahaan Tbk itu.
Pahit memang,
bahwa yang di katakan
Abul Jauzaa benar,
yang semakin kaya bukan
Indonesia, tapi Investornya.
'Allohul Musta'an
eniwei ..
kalo masalah pajek saya
sabar aja,
sudah gak terhitung
kutipan dari penghasilan saya yang diambil paksa, tanpa adanya kerelaaan.
Nabiyullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam menyuruh bersabar terhadap kedzaliman pemerintah, selama
mereka masih muslim.
Urusannya nanti, di
yaummul hisab
..prikkitieww ;)
orang awam mengatakan...
Tapi memang tidak mudah
keluar dari Instansi yang sudah memberikan penghasilan di atas
"rata-rata" :)
Untuk sekelas AR dengan
background S1 saja dapet THP sekitar 8jutaan :)
belum lagi insentipnya
:D
saya tahu karena AR
perusahaan saya dulu yang ngasih tahu ;)
bahkan, menurut sepupu
saya yang bertugas di front opis, yang tugasnya nerima setoran pajek,
THP doi sekitar 3
jutaan,
padahal cuma D1,
lulusan STAN. ;)
ndak tahu kalo doi
lebay ataw emang bener,
tapi yang jelas baru
sebentar di mutasi, doi bisa nebus mobil second,
katanya dari uang
mutasi ataw apalah ..ahay
saya cerita disini,
bukan karena saya iri karena ikut CPNS ndak pernah lolos yah :D
saya cerita justeru
karena dulu saya juga pernah ngalamin berat dan susahnya pindah dari kerjaan
yang udah ngasih saya penghasilan yang WaOw! ;)
tapi sayang banyak pendangkalan
Iman di dalemnya :(
ya ..pendangkalan Iman!
sebelum di kelapa sawit
dulu saya Marketing Manager di Hotel Bintang Lima,
Saya di percaya untuk
megang salah satu Outlet mereka, Cafe Dugem !!
Gaji gede, bonus fine !
masuk tiap hari jam 10
malem,
kerjaan-nya nyugoto
tamu,
bikin event Ladies
Nite, Student Club, or wateverlah..
..pokoknya gimana
caranya biar tamu betah di dalem, keluar duit banyak buat beli food and
beverages (miras) yang harganya selangit,
7an-nya biar target
mingguan tercapai :)
well
..alkhamdulillah,
akhirnya bisa lepas
dari "kenikmatan dunia", setelah setahun "menikmati"
pindah ke perusahaan
sawit dengan THP setengahnya, selama 4 tahun,
en.. sekarang
wirausaha,
ataw lebih tepatnya
wira wiri usaha,
yang penting
halal,
ndak merugikan orang
lain ;)
tahts my story..,
w4t s0dar4ku iank nd4k
sr3g di KPP t3tep cemunguuuudh eaaaa..!!
InsyaAllah masih banyak
Jalan .. ;)
Wallohu ta'alaa a'lam
dengan membaca ini, dan
komen2nya
saya kog menyimpulkan
jd PNS itu dosa, menikmati jalan raya itu dosa, menikmati sgala fasilitas yg
dibangun oleh pemerintah itu dosa,
karna uang pembangunan
& gaji PNS itu dr pajak
hanya orang awam yg
mungkin salah menafsirkan
gunn mengatakan...
Anonim 8 Januari 2013
17:08
sepertinya memang antum
yg salah memahami pak.
maksud tulisan Abul
Jauzaa di sini,
yg dosa itu hanya
proses memungut pajaknya saja.
adapun fasilitas yg
dinikmati warga (yg sudah disediakan oleh pemerintah), maka itu memang
kewajiban mereka (pemerintah) untuk melayani warganya.
dan masalah dari mana
dananya, seharusnya pemerinta itu lebih bijak mencari sumber pendapatannya,
sehingga pajak jikapun
terpaksa dipungut, hanya kondisional saja (saat kepepet), tdk dijadikan
kelaziman
Dari: Sang Sarjana
Ekonomi 2013
Assalamu`alaikum apa
hukum bekerja sebagai staff di konsultan pajak,ustadz? Kebetulan saya sudah
diterima sebagai staff konsultan pajak.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Artikel di atas adalah
salah satu suplemen jawabannya. Dan baca juga artikel : Belajar
dan Bekerja Sebagai Akuntan.....
Semoga Allah ta'ala
memberikan kemudahan bagi kita semua.
Assalamu`alaikum
Dari: Sang Sarjana
Ekonomi 2013
Ustadz,tapi ana lum dpt
pekerjaan alias menganggur kecuali ana menerima pekerjaan sbg staff konsultasi
pajak. Apa solusi/saran/masukan buat saya yang dapat ustadz berikan? Mohon
bantuan ustadz.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Diversifikasi
pekerjaaan sangatlah banyak. Lapangan pekerjaan pun luas. Jangan putus asa
dalam berusaha. Coba antum cari informasi kepada rekan dan relasi. Hampir semua
orang mengalami beberapa pilihan seperti yang antum rasakan. Allah ta'ala
berfirman :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا
يَحْتَسِبُ
"Barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya" [QS. Ath-Thalaq
: 2-3].
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرً
"Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya" [QS. Ath-Thalaq : 4].
Assalamu`alaikum
Maaf saya ikuti tanya
jawab antara Ustadz dan orang mengaku Sarjana 2013. Berarti boleh dong klo
pekerjaannya tanpa mencatat bunga? Maaf saya adalah staff konsultan pajak jadi
sedikit banyak tahu dunia perpajakan. Terakhir konsultan pajak itu adalah
pemberi jasa konsultasi kepada Wajib Pajak mengenai hak dan kewajiban mereka
serta tak bekerja untuk penarik pajak.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Semua pihak yang
terlibat dalam perbuatan haram dan/atau memberikan dukungan kepadanya tidak
diperbolehkan.
BERARTI YAYASAN
PESANTREN JUGA BERDOSA DONG KAN MEREKA JUGA ADA AKUNTAN PAJAKNYA SEBAGI CONTOH
DI WEBSITE SALAFI BEBERAPA WAKTU LALU MENCARI LULUSAN D3 PERPAJAKAN UNTUK
BEKERJA SEBAGAI BAGIAN BERHUBUNGAN PERPAJAKAN?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya kira Anda tidak
perlu teriak-teriak dengan menulis kalimat berhuruf kapital di atas.
Mau website salafy,
ikhwaniy, tablighiy, takfiriy, atau yang lain, hukum tidak pernah membedakan.
Saya pribadi tidak tahu apa dan siapa yang Anda maksudkan.
Kalau pekerjaan itu
murni atau sebagian besar berkaitan dengan riba dan perpajakan, maka Asy-Syaikh
'Aliy Firkuuz menasihatkan :
"....tidak
disarankan untuk bekerja di bidang itu dan mempelajarinya. Tidaklah samar
bahwasannya sarana suatu perbuatan itu dihukumi sama dengan maksud/tujuannya;
dan sesuatu yang mengikuti itu berserikat dengan sesuatu yang diikuti dalam
hukum....." [sumber : sini].
Itu yang saya ketahui.
Perkara Anda tidak sepakat, ya silakan.
Kecuali jika ada satu
pekerjaaan atau usaha halal yang kemudian dipaksa negara untuk membayar pajak
dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang membutuhkan keahlian/pengetahuan, maka
di situ diperbolehkan karena alasan darurat - sesuai kebutuhan saja. Karena
jika tidak dilakukan, bisa jadi hartanya akan diambil secara paksa atau
usahanya ditutup. Pahami dulu kondisi ini.
Apakah dengan kondisi
ini lantas akan dikatakan bahwa bekerja sebagai akuntan pajak atau konsultan
pajak diperbolehkan ?. Darurat itu terpaksa. Bukan dijadikan lahan bisnis dan
tempat mencari harta.
Assalamualaikum Ustadz
Abu Al-Jauzaa', sy lulusan S1 teknik, sejak lulus sy selalu berusaha mencari
pekerjaan yg diridhoi Allah dan skr bekerja di Pemda dan bkn di bagian pajak.
apakah pekerjaan PNS ini tergolong haram krn sebagian besar Anggarannya memang
dari pajak (mungkin mencapai 90%). Kemudian jg sy mengalami dilema di tempat
ini, ibarat berada di zaman jahiliah dimana yg benar jd salah dan yg salah jd
biasa, sepertiny islam menjadi asing di tempat ini, plus ada peraturan larangan
memelihara jenggot, kegiatan2 dinas yg diharamkan islam spt senam dmn
instruktur wanita berpakaian super ketat, pelepasan pensiunan yg selalu ditutup
dgn dangdutan plus wanita saweranny, dll
terima kasih sebelumnya
By: Aprianto Prayudi
Assalamu`alaikum
Saya membaca setiap
komentar di atas dan tertarik dengan komentar permasalahan konsultan pajak.
Dulu saya bekerja (magang) di kantor konsultan pajak sepanjang saya magang
ustadz malah banyak perusahaan2(muslim dan kafir)berskala kecil dan menengah
yang banyak terbantu dengan adanya konsultan pajak ustadz karena menurut
pengakuan mereka tanpa kehadiran akuntan pajak(sangat diperlukan semua
perusahaan terutama berskala besar seperti PT ASTRA misalnya) dan/atau
konsultan pajak membuat mereka buta soal pajak sehingga terkadang mereka
membayar pajak lebih dari semestinya bahkan ada sampai Rp 100 juta dan
terkadang juga laba yang mereka harapkan tak sesuai karena mereka terpotong
pajak sehingga perlu ada anggaran pajak. Klo saya pribadi memandang malah
konsultan pajak dan akuntan pajak membantu para pengusaha agar mereka tak rugi.
Afwan klo saya pribadi tak sependapat dan bila ada salah saya minta maaf
sebelumnya. Terakhir banyak ustadz atau ulama mengizinkan adanya notaris
padahal hukum negara tersebut adalah sekuler atau bukan Islam sebagaimana
Indonesia. Jazakallah khair atas kesempatannya.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Notaris tentu beda
dengan konsultan pajak. Dzat pekerjaannya berbeda.
By:Aprianto Prayudi
Afwan,emang di mana
letak keharamannya ustadz untuk pekerjaan jenis ini? Sepengetahuan ana malah
ada seorang ustadz(bermanhaj salaf dan tak elok saya sebutkan namanya karena
sesuai adab kita tak boleh mempertentangkan ijtihad seseorang) membolehkannya
itu pun setelah beliau mengatakan tidak tahu kemudian melakukan riset tentang
pekerjaan ini dengan beberapa syarat sih dan ditambah sang ustadz juga lulusan
ekonomi.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Coba baca kembali
komentar saya tanggal 11 Maret 2013 jam 21.06 di atas.
Assalamu`alaikum
Afwan antum mengatakan
bahwa :
" Kecuali jika ada
satu pekerjaaan atau usaha halal yang kemudian dipaksa negara untuk membayar
pajak dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang membutuhkan
keahlian/pengetahuan, maka di situ diperbolehkan karena alasan darurat - sesuai
kebutuhan saja. Karena jika tidak dilakukan, bisa jadi hartanya akan diambil
secara paksa atau usahanya ditutup. Pahami dulu kondisi ini."
Setelah saya baca fatwa
anda di atas ini malah konsultan pajak dan akuntan pajak merupakan sebuah
keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan,harap diingat perusaahann itu wajib
membuat pembukuan kepada negara karena berkaitan dengan pajak yang dipungut
oleh negara. Biaasanya orang2 finance tidak mengetahui perkara ini kecuali
orang pajak sendiri. Afwan saya rasa kondisi yang antum katakan terpenuhi
silakan perhatikan pernyataan antum sendiri "" Kecuali jika ada satu
pekerjaaan atau usaha halal yang kemudian dipaksa negara untuk membayar pajak
dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang membutuhkan keahlian/pengetahuan, maka
di situ diperbolehkan karena alasan darurat - sesuai kebutuhan saja. Karena
jika tidak dilakukan, bisa jadi hartanya akan diambil secara paksa atau
usahanya ditutup."
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya kira tidak perlu
lagi saya tambahkan dari apa yang telah saya tuliskan.
Asslamu'alaykum
warrahmatullah wabarakaatuh...
barakalallah fikum.
ustadz ana ada
pertanyaan..ana mempunyai niat mengambil lowongan di perusahaan retail produk
sehari-hari. didalam tokonya terdapat barang haram (rokok) tapi hanya sekitar
2-4% saja yang lainnya insya Allah merupakan produk yang halal n suci untuk
digunakan/d konsumsi.
bagaimana hukumnya
bekerja di tempat tersebut?
kalau misal saya di
terima di tempat tersebut apakah saya termasuk yang berta'awun dalam berbuat
dosa n pelanggaran?
jazakallah khair
ustadz..semoga Allah SWT memuliakan antum beserta keluarga...amiin
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam
warahmatullaahi wabarakatuh.
1. Boleh.
2. Tidak.
Wallaahu a'lam.
Afwan ana rasa antum
harap kembali periksa fatwa antum ustadz afwan sepanjang ana ketahui malah
perusahaan lah mencari akuntan memiliki kemampuan pajak atau konsultan pajak
satu lagi pendapat antum masih ambigu Afwan sepanjang ana ketahui antum bukan lulusan
sarjana ekonomi namun pernah bilang kepada antum sarjana kehutanan karena ini
berkaitann dengan pengetahuan antum Jazakallah khair atas kesempatannya
By Aprianto
Afwan ustadz, cuma
kasih saran.
Permasalahan-permasalahan
kontemporer yang antum jawab di atas, seperti hukum bekerja sebagai konsultan
pajak atau yang lain.
Menurut saya pribadi,
belum kapasitas kita untuk menjawab. Karena ini merupakan permasalahan
kontemporer yang membutuhkan ijtihad dan harus ditinjau dari berbagai sisi
pandang. Seandainya antum menyebutkan fatwa ulama yang antum ikuti (kalo memang
ada)tentang permasalahan ini, tentu itu lebih baik. atau antum bersabar hingga
permasalahan ini ditanyakan pada ulama semisal Syaikh Abdurrazaq hafidzahullah,
dengan menyebutkan gambaran permasalahan secara utuh.
Saya akan memberikan
contoh kasus yang perlu kita renungkan. Ketika Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan
Syaikh Ali Nashir Faqihi hafidzahumallah ditanya tentang hukum seorang yang
mendapatkan pekerjaan yang halal dengan ijazah palsu. Apakah gaji yang ia ambil
per bulan dari pekerjaannya halal?
Syakh Abdul Muhsin
hafdzahullah menjawab: "Aku tidak akan memberikan fatwa tentang
permasalahan ini. Pertanyaan semacam ini hendaknya diajukan pada Hai'ah Kibar
Al-Ulama"
Seandainya saya pribadi
ditanya tentang permasahan tersebut, tentu saya akan menjawabnya. Namun setelah
mendengar fatwa Syaikh Abdul Muhsin, saya sadar dan tahu diri betapa tingginya
kedudukan para ulama dan betapa bodoh dan cerobohnya diri saya.
Semoga kita dapat
mengambil pelajaran. Sebaiknya koment ini ndak perlu ditampilkan, cuma nasehat
pribadi khusus buat ustadz.
Saya mencintai antum
karena Allah..
wabillahittaufiq
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saran antum saya
perhatikan.
Berkapasitas atau tidak
berkapasitas memang menjadi bahan penilaian sendiri. Telah ada komentar bernada
sama di Blog ini bertema 'kapasitas'. Barangkali ada yang mengulangnya di kolom
komentar ini sebagai bentuk penegasan. Saya tidak mau ambil pusing dengan
penilaian tersebut, kecuali saya ambil positifnya saja, yaitu : sebagai bentuk
nasihat kepada sesama muslim.
Di atas telah saya
singgung penjelasan dari Syaikh Muhammad 'Aliy Firkuuz hafidhahullah yang saya pahami.
Perkara kemudian ada yang tidak setuju dengan pendapat beliau, tidak masalah.
Atau kemudian ada yang menilai orang yang membawakan fatwa Syaikh sebagai orang
yang tidak berkompeten, saya tidak masalah. Memang, fatwa beliau hafidhahullah
berkaitan dengan hukum belajar akuntansi dan bekerja sebagai akuntan. Namun
garis merah yang ditanyakan hampirlah sama.
Sekali lagi saya
ucapkan terima kasih atas sarannya, dan itu akan saya perhatikan.
By: Andi Pratama
Buat salah seorang
ikhwan yang mengomentari dan tidak puas dengan jawaban sang ustadz,gmana klo
antum tanyakan kepada radio rodja atau klo antum tinggal di Jakarta ana
sarankan datang aja ke kajian Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat(mohon saat
antum bertanya berikan gambaran luas mengenai dunia konsultan pajak,mengingat
ustadz abdul hakim juga sempat ditanyakan soal menabung di bank syariah beliau
tak segera menjawab tapi ditanyakan dahulu kepada yang lebih paham dunia ini).
Aww. ustadz.
Smoga rahmat Allah SWT.
snantiasa tercurah untuk kita saudara seiman yg slalu brusaha terus belajar dan
berbenah. Sebagai seorang wirausahawan, perhitungan untung rugi dalam
perniagaan (wirausaha) tentu harus kita perhatikan. Sementara aturan di negeri
kita mewajibkan bahwa setiap warga negara yang mempunyai kegiatan usaha, bisa
dibilang wajib memperhitungkan brapa besarnya pajak yg harus dia bayarkan
kepada negara baik dihitung langsung (oleh pengusaha sndiri) maupun tidak
langasung (oleh konsultan pajak & sejenisnya). Dalam hal ini seorang
pengusaha juga harus mau tidak mau menghitung pajak. Kalau seperti ini, apakah
pengusaha juga berdosa karena menghitung pajaknya. Di sisi lain ketika
pengusaha tidak menghitung bahkan tidak membayar pajaknya pasti akan terkena
pelanggaran hukum pajak dan turunannya di negeri ini. Sungguh dilema bagi
pengusaha, menghitung haram, tidak menghitung melanggar hukum, klo sperti ini
gmana ustadz? wallahu 'alam.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Perhitungan dan
pembayaran pajak yang kita lakukan adalah karena terpaksa, untuk menghindari
kemudlaratan yang lebih besar (usaha kita ditutup, kena sanksi, dan yang
semisalnya). Itu seperti kasus terpaksa melakukan suap untuk mendapatkan hak
yang semestinya kita dapat - dimana jika tidak kita suap, maka urusan kita
dipersulit, ditahan, dan dirampas. Semoga Allah mengampuni diri kita dan
membukakan petunjuk kepada para pemimpin kita.
walhamdulillah ada
seorang saudara kita di medan tenpatnya kec. Medan marelan,,beliau adalah
pegawai pajak lulusan stan,,walhamdulillah dengan izin dan hidayah Allah beliau
melepas status pegawainya dan sekarang berwira usaha air galon,,karna sangat
sulit sekali bagi pegawai ditjen pajak (djp) untuk pindah instansi di luar
fungsi pajak,,
Tidakkah kita takut
dituntut oleh orang2 yang kita wajibkan pungutan atas hartanya tanpa hak di
akhirat kelak,,
pajak = iuran wajib
untuk kemaslahatan bersama.saya tidak setuju bila pajak disamakan dengan pajak
semasa jahiliyah yang diambil untuk penguasa dari sikaya maupun simiskin tanpa
pengecualian dan tidak dikembalikan dalam wujud fasilitas.kita bayar pajak
bukan untuk diberikan Cuma2 kepada pemerintah, mereka bekerja,kita yang
menggaji dengan pajak.jika tidak ada gaji, adakah 5 juta orang sukarelawan
dengan latar belakang pendidikan yang tinggi mau bekerja untuk Negara ini?
negara ini milik kita bersama,karenanya mari kita biayai bersama, dan saat ini
pajak atau iuran kita yang jumlahnya bisa diandalkan dibanding penerimanaan
sektor non pajak yang kurang dari 20% porsinya dari total APBN.
sistem perpajakan
diciptakan agar iuran untuk negara kita tercinta ini jumlahnya sesuai dengan
kemampuan harta kita, melindungi mereka yang masih miskin.mungkin banyak yang
tidak setuju dengan adanya pajak, tetapi saya pribadi setuju dan ikhlas
penghasilan saya dipotong pajak dan zakat (dan akan tetap setuju meski telah
keluar dari ditjen pajak nantinya Insya Allah) . Perlu diketahui zakat diakui
dan dapat kita gunakan untuk mengurangi beban pajak pagi WP muslim sehingga
umat islam tidak terlalu besar bebanya.saya setuju dengan adanya pajak karena
kita dapat saling membantu sesama,bukankah fasilitas yang kita dapat jauh lebih
banyak ketimbang pajak yang kita sumbangkan ke negara? begitu pula anak cucu
kita kelak, menikmati pembangunan dari pajak yang kita bayar hari ini.
mari teman2 memandang
pajak ini sebagai iuran,bukan wujud kedholiman yang merampas harta tanpa hak
(walau mungkin tidak salah).dengan adanya pajak saudara2 kita yang miskin bisa
mendapat beras,obat generik,sekolah gratis, tunjangann dan beasiswa perguruan
tinggi dan fasilitas umum lainnya, jika kita niatkan sodaqoh,tidakkah ini akan
menjadi amal kebaikan bagi kita? Amal jariah bahkan karena banyak masjid
dibangun dengan APBN. soal sebagian APBN di alirkan untuk kampanye, maksiat,
dan dosa atau bahkan dikorupsi,biarlah pemimpin kita yang bertanggung jawab,
tetapi manfaat keseluruhan tetap dapat kita nikmati.
mari teman2 memandang
pajak ini sebagai iuran,bukan wujud kedholiman yang merampas harta tanpa hak
(walau mungkin tidak salah).dengan adanya pajak saudara2 kita yang miskin bisa
mendapat beras,obat generik,sekolah gratis, tunjangann dan beasiswa perguruan
tinggi dan fasilitas umum lainnya, jika kita niatkan sodaqoh,tidakkah ini akan
menjadi amal kebaikan bagi kita? Amal jariah bahkan karena banyak masjid
dibangun dengan APBN. soal sebagian APBN di alirkan untuk kampanye, maksiat,
dan dosa atau bahkan dikorupsi,biarlah pemimpin kita yang bertanggung jawab,
tetapi manfaat keseluruhan tetap dapat kita nikmati.
soal pemanfaatan APBN
yang dari pajak merupakan hak para pemimpin, bukan wewenang kita.kewajiban kita
menaati pemimpin yang kita pilih.mereka menetapkan iuran wajib ini, ya mari
kita taati, toh tujuannya baik, niat nya untuk kemakmuran bersama. Pajak yang
kita bayarkan semuanya sampai ke APBN, jika ada pegawai pajak korup, mereka
bukan mengambil uang yang kita bayar kenegara, karena kita bayar melalui bank
sehingga pasti sampai ke rekening negara,bukan melalui kantor pajak, dikantor
hanya administrasinya saja.yg gayus dkk lakukan adalah menerima sogokan karena
mengabulkan wp yang tidak mau bayar pajak secara penuh.
pajak ini seperti
halnya warga perumahan semua diwajibkan membayar iuran keamanan untuk
keselamatan bersama, kita pun demikian.kita iuran demi keamanan Negara,
memajukan pendidikan,membayar tentara,guru,polisi,dokter dll.karenanya jangan
memandang sesuatu hanya dari sudutpandang kita dalam menerjemahkan agama,kita
hidup bermasyarakat, dan masyarakat kita tidak semuanya islam dan jikalaupun
islam solat dan puasa yg jelas wajib saja banyak yg tidak melakukan.
jangan sampai kita
memunculkan kesan islam ini agama yang keras dan menakutkan yang segala
sesuatunya harus sak kleg, serba haram dan dilarang.akibatnya, sebagaimana
terjadi di eropa dan amerika yang menjadi antipati dengan islam, sehingga syiar
agama yang lurus ini akan sulit menyentuh hati orang2 disana karena nama islam
telah ternodai oleh ulah saudara muslim kita sendiri yang mengeneralisasi semua
orang disana layak untuk dijadikan sasaran teroris, semua orang kafir harus
dimusuhi,akibatnya? Saudara2 muslim kita sendiri hendak mendirikan masjid saja
dilarang, kuliah dengan jilbab dilarang oleh negara2 disana sedang ilmu
pengetahuan mereka maju dan kita belajar kesana.
bayangkan jika kita
lahir disana dikeluarga nasrani, orang tua kita memasukkan doktrin islam adalah
agama keras yang apa2 serba haram,akankah terbuka hati kita untuk menerima
agama yg haq ini?akankah kita tergerak untuk mencari tahu agama islam? tidak semua
ulama menyatakan pajak absolut haram, banyak pula yang mendukungnya karena
jelas maslahat yang didapat jauh lebih besar disbanding mudharat dari pajak itu
sendiri. sehingga tergantung kita atau orang awam seperti saya cenderung ke
mana.
kasihan saudara2 muslim
yang bekerja di DJP jika langsung dituduh ahli neraka, padahal mereka solat,
meluangkan waktu untuk duha, membiarkan jenggot dan memendekkan celana
panjang.apakah mukus yang dimaksud nabi sama persis dengan system perpajakan
kita sehingga hadis tersebut dapat dimaknai seperti itu? bagi saya yang
terpenting di DitjenPajak saya bekerja sesuai koridor, tidak melakukan KKN. dan
jika ada kesempatan untuk pindah instansi tentu akan saya usahakan.maaf ustad
apabila lancang, tetapi hal seperti ini hanya akan memperburuk kesadaran
masyarakat terhadap pajak yang sangat rendah, kalau bantuan tunai semua mau
menerima tapi bayar pajak sedikit yang sadar.
kita bayar pajak salah
satunya juga untuk membayar hutang negara yang wajib hukumnya untuk
dilunasi.yang memiliki hutang tersebut tentunya bukan pemerintah tapi kita
semua karena pemerintah berhutang mewakili kita untuk subsidi bahan pangan,
pendidikan, BBM,menyetabilkan harga dll.pemerintah berhutang untuk kita
rakyatnya, kitalah yang menerima manfaat atas utang tersebut.kalau kita protes
agar semua fasilitas harus disediakan pemerintah tapi kita tidak mau harta kita
diusik untuk mendanai kebutuhan pemerintah, egois sekali kita sebagai muslim?
pemerintah hanya
manusia seperti kita, mereka hanya mengelola kekayaan negara untuk kemaslahatan
bersama.dan mereka layak kita digaji karena jasa tersebut. soal kekayaan alam,
memang kita kurang cakap dalam mengolahnya sehingga dilakukan bagi hasil dengan
perusahaan asing mengingat jika kita olah sendiri cost/biaya yang muncul bisa
lebih tinggi dan keuntungan justru kecil.bukan berarti kita buang2 sumber daya
alam dan devisa untuk dialirkan ke orang2 kafir. mengenai pajak yang dikenakan
pada semua masyarakat yg kaya dan miskin seperti PPN(pajak pertambahan nilai) sudah
diatur agar tidak memberatkan masyarakat.
contohnya bahan2 pokok
seperti beras,gula dll tidak dikenakan pajak ini. contoh barang lain seperti
sabun seharga 2000 rupiah, 10 % nya atau 200 rupiah masuk kas negara, apakah
200 rupiah ini keterlaluan?memberatkan? bahkan sabun sebelum sampai dipengecer
sudah diambil untung beberapa kali oleh distributor. masyarakat banyak yg tidak
sadar bahwa dengan membeli sabun mereka telah terkena pajak sekaligus, pajak
ini tidak dipaksa dengan besaran yang semena2. besaran pajak telah dirapatkan
dan disetujui bersama wakil rakyat diparlemen. pajak pengahasilan yang
dikenakan hanya yang penghasilannya di atas batas PTKP (penghasilan tidak kena
pajak) dan masih memasukkan istri, anak, tanggungan dan zakat dalam
perhitungannya sehingga untuk penghasilan yg sama bisa saja orang yang memiliki
tanggungan tidak terkena pajak, apabila lebih potong maka akan dikembalikan.
pajak bumi dan bangunan
dikenakan bagi yang memiliki rumah dan tanah yang melampui batas tertentu
/NJOPTKP, sehingga orang miskin yg propertinya dibawah batas tentu tidak
terkena. jika pajak memberatkan wajib pajak boleh mengajukan keberatan agar
diringankan. jadi pajak hakikatnya memungut dengan keadilan sesuai kemampuan
sehingga tidak terlalu memberatkan masyarakat sehingga semua baik muslim maupun
kafir berpartisipasi mendanai Negara sesuai kadar harta yang dimiliki.
Untuk saudara2ku yang
muslim jangan hanya melulu mengejar surga dan akhirat mencari keselamatan
pribadi, pikirkan juga Negara kita yang Negara muslim terbesar didunia ini
justru diisi aparat yang tidak peduli agama, sehingga memimpin dengan
sewenang2, KKN, dan menghambur2kan APBN untuk sesuatu yang kurang urgent,tidak
peduli masyarakatnya bermaksiat seperti gang doli disurabya pernah menjadi
prostitusi terbesar seasia tenggara dinegara muslim terbesar(sangat
memalukan),begitu pula muda mudi kita banyak yang berzina, sedangkan mereka
yang faham agama justru sibuk saling mengkafirkan dan menuduh sesat faham yang
lain,membesar2kan perkara bidah sedang dosa2 besar yang jelas didepan mata
seperti prostitusi justru luput dari perhatian.banyak hal yang perlu kita
perbaiki bersama daripada mengkebiri pemerintahan yang sudah ada dan memaksakan
faham yang kita miliki. Muslim sejati adalah yang bermanfaat, memberi
kontribusi bagi sesama.lunasi sodaqohnya awasi penggunaannya.maaf bila banyak
yang kurang berkenan semoga Allah mengampuni kita semua.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Sudah ?.
Inti komentar Anda
adalah pajak diperbolehkan karena merupakan iuran untuk kepentingan bersama.
Dikembalikan lagi ke rakyat. Gitu kan ?.
Gimana kalau misal ada
bank memungut bunga riba yang kemudian hasil riba tadi digunakan untuk
kepentingan bersama pula ?. Boleh atau tidak boleh ?.
Status halal dan
haramnya bukan melulu pada alokasi pungutan tadi, tapi pada jenis dan cara
pengutan tadi. Jika syari'at melarang, maka haram lah dia meski didalihi untuk
membangun fasilitas publik dan seterusnya. banyak atau sedikit, jika statusnya
haram, tetaplah haram.
Hukum Islam itu
ditentukan oleh yang membuat hukum, yaitu Allah ta'ala. Keras atau tidak keras
tidak memakai standar orang yang tidak mempunyai pengetahuan agama alias orang
awam. Kalau orang awam dijadikan standar, maka bisa jadi orang nyuruh memakai
jilbab, menjauhi pacaran, memelihara jenggot diklasifikasikan orang beraliran
keras. Dikit- dikit gak boleh, haram.
riba diambil dari orang
yang susah misal sedang berhutang dan jelas diharamkan dalam quran dan hadis,
pajak sebaliknya diambil dari orang yang dianggap lebih dan pajak zaman dahulu
beda dengan sekarang,sedang riba sama saja dulu dan sekarang. saya ini awam
ustadz, pahamkan saya agama dengan pelan.mengenai riba, saya hendak KPR rumah
400 juta.dengan mencicil 10 tahun/ lebih sehingga total+bunga 500 juta lebih,
sedang untuk kontan tidak mungkin untuk saat ini.menurut ustadz apa yg saya
lakukan sedang kalo tidak memiliki rumah orang tua berat hati mengijinkan
menikah.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Orang ngutang itu bukan
mesti orang susah. Riba tetap haram meski diambil dari konglomerat, dan yang
memberi piutang adalah pengemis pasar. Haram tetaplah haram.
Akhi..... bertaqwa lah
kepada Allah. Hindarilah riba, karena itu termasuk dosa yang membinasakan.
Ingat, orang yang memakan dan memberi makan riba itu sama-sama berdosa.
عن جابر، قال : لعن
رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا، وموكله، وكاتبه، وشاهديه، وقال: هم سواء.
Dari Jaabir, ia berkata
: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi
makan riba, penulisnya (bagian administrasi), dan dua orang saksinya. Mereka
itu semua sama” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1598].
عن أبي
هريرة؛ قال:
قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : الربا سبعون حوبا. أيسرها أن
ينكح الرجل أمه.
Dari Abu Hurairah, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallllaahu ‘alaihi wa sallam : “Riba itu
terdiri dari tujuhpuluh cabang dosa. Yang paling ringan dosanya adalah seperti
seseorang yang menikahi ibunya sendiri” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2274;
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Ibni Maajah 2/240].
banyak hal yang bisa
ditempuh untuk mendapatkan rumah. Yang pertama tentu saja bekerja keras. Lalu
berhemat dan menabung. Belilah jika uang telah mencukupi. Tidak perlu mewah-mewah
jika kantong belum ada. Asal tidak kehujanan dan dapat dibuat untuk tidur
nyenyak, kira-kira itu kasarnya.
Jika saat ini uang
belum mencukupi, bisa ngontrak rumah. Bukan aib bagi seseorang untuk mengontrak
rumah. Banyak orang sukses yang memulai hidup dengan mengontrak rumah alias
belum punya rumah. Jelaskan kepada orang tua akan bahaya riba dan sikap Anda.
Insya Allah mereka akan memahaminya.....
terimakasih ustadz atas
penjelasannya.saya ini sebenarnya bimbang betul dengan keadaan saya.disatu sisi
saya takut dalil2 yg cukup jelas di satu sisi saya belum siap melepaskan status
saya ini.saya tidak sanggup untuk resign dari PNS ustadz, saya berencana untuk
melanjutkan pendidikan hingga s2 sesegera mungkin, karena ada fasilitas untuk
pindah instansi dengan menjadi pelatih PNS.pertanyaan saya
1. bagaimana hukumnya
jika yg saya ajarkan itu ilmu perpajakan?
2.bagaimana jika saya
tetap di pajak sementara saya belum pindah karena belum diizinkan melanjutkan
kuliah? tidak apa2kah jika uang hasil dari pajak saya gunakan naik haji bersama
istri dan membeli rumah? saya ada niat untuk pindah tapi dengar2 amat sukar,
sehingga saya memilih alih profesi sebagai pengajar. mohon bimbingannya
@ARIS
ASSALAMU `ALAIKUM
USTADZ,SAYA BARU
MENGANGGUR DAN LULUSAN AKUNTANSI CUMA GINI ADA SEORANG TEMAN PUNYA UKM,NAH
KARENA SI TEMAN INI GAK PAHAM TENTANG PAJAK MAKA DIA MENAWARKAN SEBUAH PROYEK
KEPADA SAYA YAITU UNTUK MENGHITUNG PAJAK2NYA,MEMBUATKAN LAPORAN KEUANGAN DAN
PERPAJAKAN KEPADA EKTERNAL DAN INTERNAL UKM-NYA,MENYETORKAN UANG PAJAK2NYA
TERMASUK PPh KARYAWANNYA,MELAPORKAN SPT PAJAK PRIBADI DAN BADAN USAHA,DAN
MEMBERIKAN MASUKAN/KONSULTASI PAJAK KEPADA KEGIATAN USAHANYA. NAH
USTADZ,BAGAIMANA HUKUM PEKERJAAN SAYA INI USTADZ? MOHON SEGERA DIJELASKAN
MENGINGAT SAYA BUTUH PEKERJAAN APALAGI UPAHNYA MENGGIURKAN,BILA HARAM MAKA SAYA
TINGGALKAN DAN MENCARI PERKERJAAN LAINNYA. JAZAKALLAH KHAIR
ikhsan abdul aziz mengatakan...
Saya setuju Ustadz
karena untuk tahun ini aja pendapatan pajak bisa mencapai 1.000 triliyun lebih
yg penggunaannya sangat2 tidak berkualitas, sebagian besar penggunaannya untuk
belanja perjalanan dinas,coba perhatikan porsi anggaran tiap K/L pasti diatas 50%
untuk belanja perjalanan dinas. Makanya belanja pemerintah ini tidak berkah
mungkin salah satunya karena pajak itu mungkin
ikhsan abdul aziz mengatakan...
Pindah ke sesama
instansi pemerintah mudah kok Om ditempat saya aja banyak pindahan dari orang
pajak, tapi ya itu pendapatannya menurun drastis
bagaimana caranya
pindah mas ikhsan kebetulan sy juga berusaha pingin pindah dari djp. kalo boleh
tau instansinya apa?
Rios
yang tidak dibolehkan
itu pajak yang diambil secara tidak wajar dan zhalim. melihat sesuatu mohon
untuk tidak sepenggal-sepenggal, tapi secara utuh dan keseluruhan. mohon baca
dulu ini,, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pajak-dalam-islam.html
Jazakallah..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kalau tujuannya adalah
menunjukkan pendapat yang membolehkan pajak, saya sudah menuliskannya juga pada
artikel : Pendapat yang ‘Membolehkan’ Pajak.
To : Anonim @ 10
Agustus 2012 ; 10.07
Quote :
yang tidak
dibolehkan itu pajak yang diambil secara tidak wajar dan zhalim. melihat
sesuatu mohon untuk tidak sepenggal-sepenggal, tapi secara utuh dan
keseluruhan. mohon baca dulu
ini,,http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pajak-dalam-islam.html
. . . .
Kalau yang antum maukan
dari artikel muslim.or.id tersebut
adalah "kehalalan pajak", terutama berkaitan dengan realita
perpajakan yang ada di Indonesia, maka sangkaan antum kurang tepat.
Pertanyaan terkait
dengan artikel tersebut sudah di jawab oleh ikhwan pengurus web muslim.or.id,
tepat di bawah artikel.
Saya nukilkan sebagian
:
Pertanyaan [1]
erigsgi
06 Jun 2011 [#]
….spt yg kita
ketahui pajak di indonesia dipungut dari harta yg bercampur (halal dan haram)
dan penggunaan nya pun bercampur (halal dan haram)maka kalau spt ini ana
melihat bahwa PNS yg bekerja di Dinas perpajakan HARAM gaji nya dan PNS yg
bekerja di Dinas selain perpajakan HALAL gaji nya (ana mengambil kesimpulan dari
hukum harta yg bercampur spt penjelasan pd link berikut ini :
http://muslim.or.id/soal-jawab/soal-96-hukum-menjadi-pegawai-negri.html?
mohon penjelasan
nya..jazakumullahu khairan katsiran
Jawaban [1]
Muhammad Nur Ichwan
06 Jun 2011 [#]
@erigsgi
wa’alaikumussalam.
gaji PNS yang
bekerja di Direktorat Perpajakan haram karena memang secara dzatiyah
pekerjaannya haram, sedangkan PNS yang lain jika secara dzatiyah pekerjaannya
halal, maka gajinya pun halal.
Wallahu a’lam.
Pertanyaan [2]
MUNIROH
06 Jul 2012 [#]
Ass.
Kalau PPh masih
wajar dikenakan karena dikenakan kepada orang yang menerima penghasilan, tapi
PPN yang dikenakan kepada semua konsumen baik org kaya atau fakir miskin apakah
tidak hARAM hukumnya jika negara menerima PPN dari rakyat?
Jawaban [2]
Yulian Purnama
18 Jul 2012 [#]
#Muniroh
PPh maupun PPn
hukumnya haram.
Atau mungkin bisa
dijelaskan lebih lanjut pernyataan antum
---> yang tidak
dibolehkan itu pajak yang diambil secara tidak wajar dan zhalim
Dari segi peraturan
perpajakan yang ada, apakah sudah wajar dan tidak zhalim?
Barangkali bisa
disertakan contohnya, menurut antum peraturan pajak mana yang wajar dan tidak
zhalim?
Jazakallahu khayr
Assalamu'alaikum...
Ustadz,mau tanya, apa
hukumnya menjadi CPNS/PNS.??
bulan september 2013
ini, -Khususnya- di'bandung mau di'adakan seleksi/penerimaan calon PNS.!!
Terimakasih.
_Si'Ardjuna_
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
PNS asalnya halal jika memang dzat pekerjaannya halal. Namun jika dzat
pekerjaannya haram (misalnya pajak sebagaimana artike di atas), maka itu haram
juga.
wallaahu a'lam.
Terus iuran rt/rw,
iuran kas itu haram atau enggak? Soalnya kan prinsipnya sama?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kayaknya maksa banget
ya analognya,.... pajak disamakan dengan iuran RT/RW, iuran kas.
abu amjad mengatakan...
assalamu'alaykum ustadz
saya baru saja diterima
di STAN jurusan bea dan cukai. saya mengetahui itu haram namun orang tua saya
menyurh saya utk tetap mengambilnya. bagaimanakah pendapat ustadz? besar dosa
saya bekerja di dirjen cukai atau besar dosa saya tidak mengikuti perintah
orang tua?
saya lelah liat ustad2
wahabi/primitif macam admin web ini..
selalu saja berpikir
keadaan kita seperti jaman Rosululah..
ingatlah bung, dunia
ini makin kompleks dan berkembang..
pekerjaan ga cuma jual
beli, negara/pemerintah bukan cuma untuk memimpin dan menjamin keamanan aja..
negara kita saja yg
masih memungut pajak, APBN sering defisit.. ini lagi pada mengharamkan pajak..
mengharamkan pajak,
terus ngasih solusi zakat lah, optimalisasi ini itu lah..
ente bisanya ngomong
doank bung! kenyaataanya saat ini pengelolaan keuangan negara semakin baik,
koruptor2 banyak yang ketangkep.. pengawasan keuangan semakin baik.. sistem
diperketat..
tapi tetep aja tuh,
APBN masih kurang..
liat masih banyak
orang2 miskin di sekitar kita.. BLT, subsidi BBM dan gas, raskin, askes,
sekolah murah, itu dr mana kalo bukan dr pajak?
kenapa pajak sekarang
disamakan dengan pajak jaman jahil dulu? pungutan pajak jahil kan untuk diri
pemungutnya sendiri, sementara pajak negara kita untuk kemaslahatan bersama..
jaman rosul dulu ga
perlu pajak karena emang belum perlu tuh yg namanya BLT subsidi dll.. cuma
sekarang BUKA MATA ANDA BUNG! LIHAT DUNIA LUAR! jangan cuma kerjaannya di rumah
ngaji doank! terus dengan pandangan primitif ente, ente bilang ini itu haram
lah..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kalau lelah, sebaiknya
istirahat saja untuk jaga kesehatan.
Dasar ustad gemblung,
gag beradab. Emangnya elo pake fasilitas umum dari mana duitnya hah..
Hehe Ustadz, sepertinya
si "anonim" ini adalah pegawai pajak yang kebakaran jenggot (kalo
ada) karena ternyata gajinya berasal dari uang yang haram.
Abu Abdissalam
To : Anonim, 21 Oktober
2013 23.34
Mas/Pak, emang
pendapatan negara dari pajek doank yah?
tahu dari mana fasum di
bikin murni pake duit pajek?
fikhar85 mengatakan...
Assalam pak ustadz,,,
ada beberapa hal yang
ingin saya sampaikan perihal pokok bahasan dalam blog ini, yaitu persoalan
pajak. Seperi pada judul postingan blog ini diperuntukan bagi mereka yang
bekerja dikantor pajak, sebenarnya saya bukan orang pajak, tapi saya ingin
sedikit berbagi dan sekaligus bertanya tentang hal yang menjadi topik dalam
forum ini.
pertama, mengenai
penerapan pungutan pajak di indonesia.
mungkin jika kita
terlebih dahulu harus mengkaji pengertian dari kata “pajak” itu sendiri dengan
perbandingan antara pajak yang dilarang oleh Rasulullah dan pajak yang
diberlakukan di Negara kita pada saat ini.
menurut saya, jika
melihat unsur pajak yang di larang oleh Rasulullah adalah bersifat “upeti” yang
dalam artian adalah pemberian oleh rakyat kepada sultan atau raja untuk
kepentingan negara/kerajaan pada saat itu. jauh berbeda dengan system “pajak”
dinegara kita pada saat ini. kita tahu bahwa sistem negara di masa itu sangat
lah jauh berbeda dari system negara kita saat ini. System pajak yang berlaku di
negara kita pada saat ini lebih ke sifat “iuran” yang kita sumbangkan dari
sebagian “penghasilan” kita sebagai warga negara. untuk kelangsungan kehidupan
kita bernegara (bukan serta merta untuk kepentingan negara/politis semata tapi
kepentingan masyarakat secara umum). Contoh kepentingan politis adalah:
penyelenggaraan pemilu, biaya operasional pejabat, baik gaji pegawai ataupun
perlengkapan institusi yang lebih bertujuan untuk kepentingan politik seperti
sarana rumah dinas, mobil dinas pejabat dsb (termasuk juga peralatan perang
karena untuk mempertahankan kedaulatan negara yang notabene adalah juga
kepentingan politis). Sedangkan kepentingan umum adalah seperti: pembangunan
jalan, jembatan, sarana umum dsb.
fikhar85 mengatakan...
Maka sejauh yang saya
ketahui, pajak yang di haramkan pada masa Rasulullah adalah pajak yang untuk
kepentingan negara atau penguasa dan bukan untuk kepentingan rakyat. Dan baru
diperbolehkan dengan kriteria tertentu yang telah Ustad jabarkan juga di
postingan mengenai “pendapat yang membolehkan pajak”.
Lantas bagaimana dengan
pajak yang diterapkan di indonesia? Seperti yang saya jabarkan di atas, kita
tidak bisa serta merta meng-kiaskan makna pajak yang dimaksudkan Rasulullah
dengan Al-mask tersebut yang lebih kepada upeti yang di pungut penguasa secara
zalim tanpa melihat dan memberikan manfaat pada rakyatnya.
Beda halnya dengan di
Indonesia, negara kita adalah negara demokrasi yang secara normatif tidak
dikenal istilah penguasa, namun pemimpin dan itu pun merupakan pilihan rakyat
(yang artinya rakyat lah pemegang tampuk kekuasaan tertinggi). Pemimpin yang
kita pilih mengemban amanah untuk menjalankan pemerintahan yang telah
ditetapkan oleh dewan legislatif (yang merupakan wakil kita dan kita juga yang
memilih mereka). Intinya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa pajak yang
diterapkan pada saat Ini di negara kita merupakan “iuran” dari kita oleh kita
dan untuk kita. Bukan upeti yang semata2 untuk kepentingan para pemimpin kita.
Memang pajak juga digunakan untuk kepentingan politis seperti yang telah saya
sampaikan sebelumnya, akan tetapi itu merupakan bentuk penggunaan dana pajak
kita, lantas apakah serta merta dari situ kita mengatakan pemungutan pajak yang
diterapkan negara kita pada saat ini adalah haram? Saya pikir tidak. Karena
lebih tepat haram karena penggunaannya bukan pemungutannya, karena prinsip awalnya
pajak kita adalah iuran dari kita sendiri oleh kita sendiri dan untuk
kesejahteraan kita sendiri. Jika memang hingga saat ini penggunaan nya masih
belum sesuai itu bukan salah pemungutnya namun kesalahan wakil kita di
legislatif. Harusnya memang untuk kepentingan politis dana tidak diambil dari
pajak tapi dari kegiatan usaha negara itu sendiri.
fikhar85 mengatakan...
Dan jika kita memvonis
pegawai pajak itu perkejaannya haram karena membantu negara memungut pajak,
apakah hal ini adil? sedangkan hasilnya kita masyarakat juga yang menikmati.
Masa dosanya cma mereka yang menanggung sedangkan nikmatnya kita juga
merasakan.
Saya berikan beberapa
contoh kenapa saya katakan pajak di indonesia bukan upeti namun iuran/bantuan
dari rakyat untuk negara adalah antara lain:
1. Pajak Bumi dan
Bangunan: mungkin masyarakat awam berpkir kenapa harus bayar PBB toh ini tanah
kita sendiri? Mungkin begitu, namun harus difahami bahwa dari luas tanah kita
negara hanya meminta sedikit bantuan dari rakyatnya sebagai balas jasa negara
karena menjaga hak kepemilikan rakyatnya atas tanah mereka. Bisa dibayangkan
jika negara tidak mau ikut campur masalah kepemilikan tanah rakyatnya bisa2
yang lemah akan kehilangan tanah mereka karena diambil oleh pihak yang memiliki
kekuatan. Dari pemahaman ini apa PBB merupakan upeti? Saya pikir lebih kepada
iuran. Dan apakah ini zalim? Itu tergantung pribadi kita masing2, tapi saya
pribadi katakan tidak.
2. Pph: dari sekian
gaji kita negara hanya minta sedikit sebagai bantuan dari para pegawai/karyawan
karena negara membantu para rakyatnya mendapatkan pekerjaan dengan upah yang
bisa dikatakan manusiawi, jika tidak maka negara dg kekuasaannya dapat menekan
para pengusaha yang nakal.
3. Ppn: sebagai
produsen ataupun konsumen yang menikmati hasil olahan barang menjadi siap pakai
negara hanya minta sedikit sumbangannya agar rakyat lain yang tidak mampu beli
bahan pokok yang tidak cukup dalam negeri sehingga harus impor dari negara luar
tetap bisa makan. Salahkah jika kita berbagi dan membantu negara?
4. Cukai: negara kita
bukan negara islam, masih banyak saudara kita (jika faham kita nasionalis) yang
non muslim sehingga kebutuhan rokok dan miras (contohnya) tetap disediakan
negara, namun pajak ditinggikan agar bisa menekan penggunaannya. Jika byk yg
muslim juga mengkonsumsi barang tersebut, itu tentu adalah terantung pribadinya
masing2.
Masih banyak lagi jenis
pajak lain, tapi intinya semua jenis pajak adalah berdasarkan budaya bangsa
indonesia yaitu gotong royong bersama mempertahankan kelangsungan negara.
fikhar85 mengatakan...
Hal kedua yang ingin
saya sampaikan adalah:
Kenapa pemerintah
hingga saat ini masih menerapkan sistem pajak, hal ini saya pikir dikarenakan
persoalan SDM kita yg belum mampu. Mungkin memang SDA kita jika di kelola
dengan baik akan bisa menutupi kebutuhan rakyat lebih besar dari pajak, namun
itu jika kita hanya berpikir secara keseluruhan sistem negara yang terpusat
saja. Bagaimana dengan daerah2? Yang notabene SDA lebih besar di daerah selain
itu bagaimna pula dengan daerah yang SDA nya sedikit? Jika berpedoman dengan
surat albaqarah ayat 188 pada postingan ustadz di atas “Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil…..” lantas jika memanfaatkan kekayaan daerah yang kaya untuk
menutupi kebutuhan seluruh masyarakat di negara ini, sedangkan masyarakat di
daerah yang memiliki SDA melimpah tersebut malah menjadi melarat karena
kepentingan seluruh rakyat yang lain, bukankah ini jauh lebih zalim? Dan
pertanyaan lain adalah sampai kapan SDA kita mencukupi? Bukankah kita harus
melakukan upaya pelestarian? Maka saya pikir dengan penerapan pajak sekarang
ini jauh lebih adil, karena merata dikenakan kepada seluruh masyarakat yang
memang secara finansial memiliki kelebihan.
Saya pikir apa yang
dilakukan dan diupayakan pemerintah sebagai wakil kita saat ini tentu sudah
dengan pertimbangan yang matang.
fikhar85 mengatakan...
Hal ketiga yang ingin
saya sampaikan adalah:
Bahwa dalam
menetapkan/berijtihad dalam menentukan suatu hukum, harap dengan analisa yang
sebanding dengan kedua komponen permasalahan, maksud saya adalah. Ustadz hanya
mentelaah aspek pajak (al-mask) yg ditentang Rasulullah seakan tanpa terlebih
dahulu menelaah bagaimana prinsip pajak di negara kita pada saat ini.
perihal ketentuan pajak
di negara modern pada saat ini masih ada 2 pertentangan tapi mayoritas/jumhur
ulama sepakat bahwa pajak di negara kita ini diperbolehkan karena prinsipnya
tidak sama dengan pajak/upeti yg ditentang Rasulullah sesuai dengan riwayat
yang Ustadz cantumkan diatas. Pajak di negara kita pada saat in prinsipnya
adalah iuran dari rakyat itu sendiri sebagai sumbangan terhadap negara demi
kelangsungan negara dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan rak yat itu sendiri.
Memang pemungutan pajak menurut UU dapat dipaksakan akan tetapi tidak serta
merta kita dapat mengkiaskan hal tersebut dengan riwayat hadist di atas, karena
prinsip Al-mask jauh berbeda dengan pajak yang diterapkan saat ini di negara
kita.
lagipula jika kita bisa
merasa akan kebutuhan kita bersama dan memahami serta ikhlas dengan pajak yang
kita bayarkan demi kepentingan kita bersama apakah lantas pungutan pajak tetap
haram, sejauh pengetahuan saya tidak.
Demikian yang ingin
saya sampaikan ustadz, mohon dikoreksi jika ada kesalahan.
JDan maaf jika komentar
nya saya buat terpisah karena melebihi karakter..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Pajak itu telah dibahas
oleh ulama-ulama fiqh kontemporer dan mereka memang membahasakannya dengan
al-maks. Mereka telah menelaah perpajakan itu secara komprehensif, karena pajak
itu berlaku di hampir semua negara, hanya jenisnya saja yang berbeda-beda.
Adapun di Indonesia, pada prinsipnya sama saja.
Status hukum al-maks
bukan pada pengalokasiannya (apakah itu kepentingan rakyat atau kepentingan
pribadi), akan tetapi pada aktivitas pemungutannya itu sendiri. Prinsip yang
harus dipegang adalah bahwa harta kaum muslimin itu haram kecuali
dengan haknya. Maka, tidak boleh seorang pun mewajibkan mengambil harta
seseorang kecuali dengan nash. Selain yang ditunjukkan oleh nash, maka itu
menurut kerelaan pemiliknya.
Uraian Anda yang
panjang lebar di atas tidak menyentuh esensi ini.
Saya tidak mengerti
mayoritas ulama siapa yang Anda maksud dengan perkataan Anda di atas.
NB : Jika al-maks tidak
boleh dipungut oleh negara Islam, apakah Anda pikir ia boleh dipungut oleh
negara non-Islam ?. Cara berpikir yang aneh.
Perkara kita belum siap
dengan pendapatan non-pajak, itu karena memang mindset kita telah menjadikan
pajak sebagai sumber pendapatan yang utama. Imbasnya, aset-aset negara tidak
optimal dikelola. Misalnya dalah sumberdaya hasil hutan. Kita ini lebih senang
cari yang 'aman' dengan mengambil pungutan pajaknya daripada mengelola dan
menjual kayu itu itu sendiri. Padahal, kalau kita sendiri yang mengelola hutan
dan kemudian dikembangkan menjadi produk-produk olahan jadi atau setengah jadi,
margin keuntungan yang masuk negara berkali-kali lipat (daripada sekedar
memungut pajak). SDM kita selamanya belum siap jika mindset di atas tidak
pernah diubah.
fikhar85 mengatakan...
Sebelumnya saya ucapkan
terima kasih atas balasan komentar saya kepada ustadz, walau ustadz tidak
menjawab salam saya terlebih dahulu. (mungkin karena komentar saya yang terlalu
panjang atau mungkin karena ustadz menganggap saya ini non muslim sehingga
tidak wajib atau bahkan haram menjawab salam saya) maka dari pada itu mgkin
perlu saya tegaskan bahwa saya adalah seorang muslim yang hanya bertuhan kepada
Allah SWT dan meyakini Nabi Muhammad itu adalah utusannya).
Saya tidak mengatakan
status hukum Al-mask adalah pada pengalokasiannya ustadz, namun yang ingin saya
sampaikan adalah jika menelaah maksud dari hadist yang yg ustadz gunakan
sebagai dalil pengharaman pajak, seperti yg ustadz gunakan pada postingan di atas
, maka tentu timbul pertanyaan terlebih dahulu, bagaimana terjadinya riwayat
hadist di atas? Bagaimana keadaan pada masa itu? apakah sesuai jika kita
kias-kan dengan pajak di zaman sekarang (di indonesia)?. Setahu saya Al-mask di
larang oleh Nabi adalah karena merupakan suatu perbuatan zalim dari penguasa
atas rakyat nya, upeti diambil oleh penguasa dari rakyatnya untuk kepentingan
penguasa/negara semata, bukan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada manfaat bagi
rakyat selain hanya rasa aman, itu pun rasa aman agar tidak ditindas oleh
penguasa karena tidak membayar upeti. Apakah sama dengan system pajak saat ini?
Khususnya di Indonesia? Dengan system negara demokrasi, dimana tidak ada
penguasa namun pemimpin, dimana pemimpin itu pun diatur oleh rakyat (pemimpin
adalah pelayan rakyat). Bisa kah kita kias-kan/analogikan riwayat tersebut sama
dengan keadaan saat ini? Saya pikir tidak.. atau mungkin jika saya selama ini
masih kurang memahami riwayat dari hadist tersebut. Maka dari itu mohon kiranya
ustadz jabarkan mengenai riwayat tersebut, (ttg terjadinya riwayat, bagaimana
keadaan pada saat itu dsb).
fikhar85 mengatakan...
yang saya maksudkan
disini dengan mayoritas ulama para ulama yang menganut 4 mazhab yg mayoritas
digunakan di indonesia, (saya tidak mengatakan 4 mazhab terebut menghalalkan
pajak) akan tetapi menurut mayoritas ulama, Al-mask/upeti pada masa jahiliyah
tidak lah sama dengan prinsip pajak di indonesia pada saat ini. Pajak yang kita
anut sifatnya adalah iuran/sumbangan rakyat untuk negara, karena toh yang punya
negara itu adalah rakyat, bukan penguasa.
Tentang mengenai pajak
boleh atau tidak dipungut dinegara non muslim atau tidak, saya tidak menyatakan
demikian, yang ingin saya tekankan adalah bahwa prinsip pajak yang kita anut
adalah iuran dari kita sendiri sebagai rakyat untuk negara (yang jika dianalogikan
adalah rumah tempat kita tinggal) y jika ada negara lain yang memiliki prinsip
demokrasi dan mereka menerapkan pajak yang systemnya sama dengan negara kita
maka itu sah2 saja. Baik itu negara islam atau bukan.
Pajak yang kita anut
jika saya beri contoh maka system nya kira2 seperti ini:
Kebetulan saya tinggal
di desa (di daerah) di desa kami ada system iuran (iuran ini untuk kepentingan
bersama) contohnya iuran keamanan (poskamling), iuran pemuda (untuk kegiatan
pemuda) iuran kematian (dipergunakan jika ada warga yang meninggal dunia) iuran
pembangunan mesjid, dsb.
nah seprti ini lah
prinsip dasar pajak kita, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.. nah apakah
ini sama dg al-mask yg dilarang nabi?
Prinsip pajak kita
lebih kepada sumbangan untuk kita bersama. Pemimpin kita hanyalah sebagai
pengatur pelaksanaanya dengan memegang amanah dari kita sebagai rakyat.
fikhar85 mengatakan...
Sebaiknya cba anda
sendiri terlebih dahulu yg mengkaji prinsip dasar pajak kita. Baru bandingkan
dengan pajak yang diharamkan dalam islam. Apakah sama? Jgn hanya dengan kita
memakai istilah pajak lantas kita serta merta mengkiaskan bahwa pajak yang
diterapkan di negara kita ini adalah haram karena sama dengan al-mask yang
dilarang Rasulullah, lebih bijaksana jika kita fahami dlu kedua bidang itu,
jangan hanya satu bidang. Bukankah ijtuhad itu harus berdasarkan ilmu? Dan
tentu juga ilmu di kedua bidangnya agar hukum yang kita tetapkan bisa tepat
pada sasaran..
Mengenai SDA kita yang
melimpah ruah, coba ustadz kemukakan apa aset di negara kita yang memang secara
penuh hak milik nya adalah pada negara? Jika merujuk kepada pasal 33 UUD 1945,
maka tak ada satu pun aset di negara ini yang hak kepemilikannya dipegang oleh
negara.
Hutan? Itu bukan milik
negara tapi milik rakyat tersebut.
Minyak? Juga milik
rakyat tersebut.
Hasil laut? Juga
demikian.
Dan lain sebagainya.
fikhar85 mengatakan...
Tak ada satupun yg hak
kepemilikannya pada negara, negara hanya menguasai dan memnfaatkan utk rakyat.
Jadi dimana aset negara? Kalo kita kaji kepemilikannya tadi. Jadi bagaimana
kita tidak lepas dari iuran? Klo negara memaksa hak kepemilikan SDA untuk negara
ujung2nya rakyat akan menuntut agar mereka juga boleh mengelolanya. Toh karena
tanah dan laut itu milik mereka, negara hanya diberi amanat untuk menjaganya
dan memanfaatkan dengan tentu mempertimbangkan tidak membuat rakyat setempat
melarat. Bukankah klo rakyat setemat melarat ini malah bertentangan dengan
surat al-baqarah ayat 188 di atas yang artinya
“Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil…..” [QS. Al-Baqarah : 188].
Karena memang negara
kita bukan negara monarki, jadi tidak ada aset mutlak milik negara/penguasa.
Negara monarki dibentuk oleh penguasa, sedangkan negara kita dibentuk oleh
rakyat. Jadi kekuatan negara kita adalah rakyat, maka wajarkan jika rakyat
menyumbang untuk negaranya? pajak kita adalah memang untuk kepentingan kita
sendiri, intinya adalah kesepakatan rakyat secara umum (bagi kita yang sadar
negara ini milik kita bukan milik penguasa).
Jadi jauh beda antara
Al-mask dengan dengan pajak yang di anut negara kita. Anggap jika memang pajak
yang kita anut ini sama dengan pajak yang diharakan nabi, tentu seluruh rakyat
ini akan masuk neraka, karena yang dimaksud dengan “pemungut pajak” oleh nabi
bukan hanya yang mungut, bukan hanya yg nyatat, tapi juga yang menikmati hasil
pajak tersebut, sedangkan yang menikmati hasil pungutan pajak pada masa nabi
adalah penguasa, sekarang pajak kita yang menikmati siapa? Bukankah rakyat?
Jangan membuat fatwah yang membuat seolah Islam ini tidak adil, masa iya, yang
masuk neraka Cuma pegawai pajak? Sedangkan kita yang menikmati tidak.. kalo
saya tentu akan jadi berpikir, mulia sekali pegawai pajak, mereka rela masuk
neraka demi mensejahterakan seluruh rakyat indonesia. Yang menggaji pegawai
pajak itu ya kita sebagai rakyat, jadi rakyat lah penguasanya. (mudah2an ustadz
faham maksud saya).
fikhar85 mengatakan...
Intinya selama kita
sebagai wajib pajak rela dan ikhlas menyumbang untuk negara, maka tidak ada
kezaliman. Dan bagi mereka yang tidak mau bayar pajak (tidak mau
menyisihkan/menyumbangkan sedikit penghasilan mereka) ingatlah disaat kalian
menjalankan usaha, sedikit banyaknya usaha itu juga merugikan orang lain,
contoh anda yang pedagang sadarkah anda bahwa saat proses distribusi barang
truk2 anda telah merusak jalan? Yg di bangun dari jerih payah orang2 yang
ikhlas menyumbang untuk negara? Jadi salahkah jika negara minta anda membayar
dengan menyisihkan sedikit hasil usaha anda? Demi kemakmuran bersama? Ingatlah
Islam mengajarkan umatnya agar saling membantu sesamanya.
Anggap saja pajak yang
kita bayarkan adalah sedekah, saya juga seorang wajib pajak, dan saya juga
merasakan bagaimana berurusan dengan orang pajak tapi saya ikhlas, saya anggap
pajak yang saya bayarkan pada negara adalah sebagai sedekah untuk kemakmuran
bangsa ini kemakmurab kita bersama. Insyaallah apapun harta yang kita keluarkan
untuk niat yang baik, dengan nama Allah maka saya yakin Allah akan membalas itu
semua.
fikhar85 mengatakan...
saya bukannya bermaksud
lebih pintar dari pada ahli tafsir hadist yang ustad jadikan patokan, namun
saya bicara seperti ini karena kebanyakan perdebatan yang terjadi dalam perihal
hukum pajak dalam islam yang sering saya alami adalah, hanya mengkaji dari satu
sisi saja, mereka tidak mau lebih menelusuri sistem pajak dan ketatanegaraan
yang kita anut saat ini. mungkin soal tafsir hadist mereka memang ahli tapi
cobalah juga berdiskusi dengan para ahli ketatanegaraan, ahli hukum, juga ahli
di bidang pajak. setelah kita tau prinsip pajak dan ketatanegaraan kita lalu
perbandingannya dengan syariat Islam (kenapa harus tiga komponen ini? karena
komponen tersebut saling berhubungan untuk menentukan apakah system pajak kita
sama atau tidak dg Al-mask yang dilarang Nabi). saya mengatakan demikian karena
para ulama yang mengharamkan pajak, sering hanya terfokus pada pendapat para
ulama besar yang diluar negara ini. apakah ulama2 tersebut sudah memahami
prinsip pajak negara kita? itu hanya saran saya untuk ustadz, boleh ustadz
terima atau pun tidak. mhon maaf sebelumnya jika ada perkataan saya yang kurang
mengenakan bagi ustadz, namun jujur itu tidak ada niat saya,
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mohon maaf jika jawaban
salam saya tidak tertuliskan, karena yang wajib adalah menjawab salam, bukan
menuliskan jawaban salam.
NB : Reaksi Anda
terlihat sangat berlebihan.
Komentar Anda yang
panjang di atas hanyalah menggambarkan pendapat Anda saja, tidak lebih. Tidak
pula ada penjelasan dari kalam ulama. Anda itu sebenarnya tahu enggak definisi
dari al-maks ?. Jangan-jangan tidak tahu. Maks itu didefinisikan ulama sebagai
pungutan pajak (dlariibah) yang dipungut oleh penarik pajak ['Aunul-Ma'buud].
Intinya, para ulama memahami al-maks itu bukan dari sisi pengalokasiannya, akan
tetapi dari pungutannya itu sendiri.
Kalau Anda mengklaim
ulama 4 madzhab mengatakan al-maks dengan pajak itu berbeda yang dengannya
kemudian Anda jadikan alasan membolehkan pajak, coba berikan pada saya teks
perkataan mereka tersebut.
Anda harus mengerti
dulu prinsip yang harus dipegang dalam masalah harta kaum muslimin. Ia boleh
diambil jika dibolehkan oleh nash, dan atau dengan kerelaannya.
Kalau masalah iuran, ya
jangan Anda samakan dengan pajak/al-maks. Ini menandakan Anda belum paham
tentang hakekat al-maks yang dimaksudkan ulama atau bahkan maksud pajak sesuai
aturan hukum positif di negara kita.
Kalau memang
dimaksudkan sumbangan, ya sifatnya tidak boleh memaksa (wajib). Pemaksaan
pengambilan harta itu mesti dilandasi nash.
Tentang SDA, perspektif
Anda sangat salah. Saya tidak bicara tentang UUD'45, akan tetapi saya bicara
dalam perspektif hukum Islam. Semua aset negara yang tidak dibebani hak
individu, maka itu menjadi kewenangan negara dalam mengelolanya dan kemudian
digunakan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, setelah Khaibar
ditaklukkan oleh tentara Islam, maka tanah dan perkebunan kurma yang ada di
sana dikuasai oleh negara dan kemudian hasilnya digunakan untuk mencukupi
kebutuhan kaum muslimin. Begitu pula dengan beberapa hadits yang lain.
Yang haram memang mesti
dikatakan haram. Sama halnya dengan riba. Sistem riba dan ekonomi kapitalis
telah menjangkiti di semua lini kehidupan bangsa. Hampir tidak ada sektor
perekonomian yang tidak tersentuh dengan riba (kecuali hanya sedikit saja).
Kenyataan itu tidak akan mengubah hukum keharaman riba dan sistem kapitalis.
Ya, kita memang menikmati hasil dari itu semua karena kesalahan itu sudah
sedemikian sistemik. Namun tentu beda, bagi orang sadar akan kekeliruan dan
ingin memperbaikinya, dengan orang yang ingin melanggengkan kekeliruan atau
masa bodoh dengan kekeliruan.....
NB : Lucu sekali Anda
yang ingin menyamakan pajak dengan sedekah. Apa tidak salah tu ?. Zakat,
shadaqah, infak, hibah, dan pajak itu beda mas......
fikhar85 mengatakan...
Saya mohon maaf jika
terlihat berlebihan..
Sekali lagi saya
tekankan saya tidak mengatakan bahwa 4 mazhab menghalalkan pajak/upeti, yang
saya tekankan adalah bahwa menurut 4 mazhab (jika melihat pendapat dari para
mazhab dan menelaah hal tersebut ) maka tidak lah sama pajak/upeti yang
dilarang Rasulullah dengan system pajak kita sekarang.
Nanti saya kemukakan
teks nya, tapi saat ini saya tidak memegang kitab nya Insyaallah besok saya
usahakan.
Tapi perihal pengertian
al-mask dengan kata pajak sejauh pemahaman saya, Al-mask adalah upeti yg
dipungut penguasa untuk kepentingan negara (negara disini notabene adalah
penguasa tersebut) tanpa balasan timbal balik kepada si pemberi upeti (al-mask)
tadi.
Sedangkan pajak yang
kita anut: sederhananya adalah suatu bentuk iuran (bisa dikatakan sumbangsi)
rakyat untuk negara tanpa imbalan langsung.
fikhar85 mengatakan...
Saya tidak akan
membahas UU tapi mari kita lihat penerapannya.
pada upeti yang ada
pada masa jahiliyah rakyat dapat apa?
kalau pajak yang kita
anut, rakyat mendapatkan banyak sekali manfaatnya, seperti pembangunan jalan,
fasilitas umum dsb.
itu sepanjang yang saya
ketahui tentang Al-mask dan pajak
Tentang SDA, sekali
lagi saya mohon dengan ustadz agar memahami dlu system negara kita (saya bukan
mengajak ustadz berdebat, namun mari kita lihat ke dua aspek terlebih dahulu)
Saya mengkaji hak
kepemilikan bukan berdasarkan UU namun berdasarkan kan prinsip kepemilikan hak
sesuai syariat Islam. Hanya saja saya menggunakan bahasa yg lebih mudah.
Saya mau tanya mana
aset negara yang memang dimiliki negara secara mutlak? Silahkan telusuri
menurut hak kepemilikan dalam syariat, sama sekali tidak ada.
semua aset di negara
ini melekat hak individu. Kecuali memang telah dihibahkan (itu baru milik
negara) coba liat berapa persen kekayaan negara dari hasil hibah? Sangat minim.
Sedangkan SDA yang kita
gaungkan sebagai milik negara (jika kita kaji secara syariat Islam) maka aset
tersebut melekat milik individu dan kaum (kaum=keluarga). Hanya saja jika kita
lihat UUD maka aset tersebut dikuasai negara,
Ustadz membandingkan
dengan kaum khaibar, kaum itu jelas2 ditaklukan, sedangkan indonesia terbentuk
(hingga dari sabang sampai merauke) adalah sukarela. Tidak ada penaklukan.
Artinya apa kekayaan alam yang ada disuatu daerah pada dasarnya adalah milik
mereka, dan mereka rela menyumbang untuk negara dan rela di atur oleh negara.
Tidak ada bagian dari indonesia yang didapat dari penaklukan. Karena memang
indonesia bukan bentu negara monarki. (tolong ustadz dalami dlu hal tersebut,
jangan hanya melihat pendapat tanpa mau mempelajarinya terlebih dahulu)
Instinya adalah tidak
ada satupun aset negara secara mutlak. Saya lihat ustadz hanya mau melihat
bahwa negara kita dikuasai oleh pemerintah, hakikatnya bukanlah begitu. Jadi
klo boleh saya bilang tidak ada aset milik pemerintah/penguasa, tapi aset milik
rakyat.
Saya tekankan lagi,
perbedaannya adalah jika di masa jahiliyah negara adalah penguasa maka di
negara kita negara itu adalah rakyat.
Contoh kecilnya, ustadz
punya tanah keluarga, anggap luasnya puluhan hektar, disitu terdapat hasil
kekayaan alam, menurut syariat islam siapa yg punya hasil tersebut? Sedangkan
ustadz sebelum indoneisa terbentu tanah tersebut sudah menjadi milik ustadz,
dan ustadz adalah muslim, bisa kah negara mengambil paksa? Kalau diambil paksa
apa tidak zalim namanya?
Saya tidak mengatakan
riba itu halal, riba itu jelas haramnya, .. namun pembahasan sekarang bukankah
soal pajak dinegara kita saat ini?
Persoalan unsur paksa,
coba ustadz utarakan bagaimana unsur paksa di zaman jahiliyah perihal upeti
dengan pajak di saat ini oleh pemerintah kita..
fikhar85 mengatakan...
mungkin saya tidak tau
arti al-mask mohon ustadz utarakan, dan juga tolong ceritakan riwayat hadist
apa penyebab nabi melarang pajak pada saat itu.
agar nanti diskusi kita
jadi nyambung..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Insya Allah saya paham
tentang permasalahan asset. Insya Allah saya juga paham sistem yang berlaku di
negara kita, karena saya banyak bekerja di bagian sistem itu dalam pengelolaan
salah satu SDA.
Membahasnya di sini
tidak terlalu berkaitan, karena yang jadi masalah adalah hukum pajak. Komentar
Anda di atas juga semakin tidak jelas pijakan dan fokusnya. Anda tidak paham
'illat hukum pajak.
Anyway, tidak ada hal
yang baru dari komentar Anda.
"Sedangkan pajak
yang kita anut: sederhananya adalah suatu bentuk iuran (bisa dikatakan
sumbangsi) rakyat untuk negara tanpa imbalan langsung. "
Iuran kok dipaksa dan
didenda kalau telat ? Apa ada iuran / sumbangan yang seperti ini ?
Antum ini pernah
mengurus stnk tidak ?
fikhar85 mengatakan...
jika denda yang anda
permasalahkan,saya pikir sudah ada fatwah mui mengenai bolehnya pemerintah
melakukan denda sebagai hukuman, silahkan cari sendiri di website mui,
jangan jadikan itu
alasan pengharaman pajak,
y kalau anda tidak mau
bayar pajak kendaraan, negara juga tidak akan memaksa bukan? cuma jangan
gunakan kendaraan anda di jalan negara. adil bukan? karna jalan itu hanya bagi
mereka yg mau menyumbang..
APBN kita 80% dari
pajak, saya mau tanya apa hukum nya makan harta subhat tapi kita yakin bahwa
harta itu lebih byk haram dari pada halal? apakah tidak haram?
jd bagi anda yg
menganggap pajak itu haram, berarti dg anda memanfaatkan hasil nya berarti anda
juga memanfaatkan harta yg haram,
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
??????????
fikhar85 mengatakan...
kenpa ustadz? bingung??
y wes toh,, skarang kembali kepada keyakinan masing2 aja.. ustadz boleh
berfatwah selama ustadz memang berkompeten dlm bidang itu.. tapi silahkan
pertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT nnti.. semoga ustadz juga sudah yakin
kebenaran fatwa ustadz..
seperti halnya saya pun
juga sudah yakin dengan apa yg saya katakan,, karena insyaallah saya juga
mendasari semua itu dengan ilmu,
lagi pula para ulama
indonesia, seperti NU, muhammadiyah ataupun MUI khususnya belum mengeluarkan
fatwa haramnya pajak yang kita anut. bukankah wajib bagi kita ikut kata
pemimpin selama itu baik?
dan kalau ustadz tidak
setuju dg pajak kita kenapa ustadz tidak bersikap seperti halnya para ulama
yang menentang pajak di negara mereka? mereka berani meninggalkan negara
mereka, wallahualam..
ustadz dilink ini saya
melihat bahwa yang menyamakan pajak modern dengan pajak di masa rasulullah
hanya kaum salafy, sedangkan 4 mazhab yg umum di pakai di indonesia mengatakan
pajak boleh karena tidak sama dengan mukus pada zaman nabi.
http://fiqh-kontemporer.blogspot.com/2012/09/hukum-pajak-menurut-ulama-kalsik-dan.html
menurut saya bagaimana
pendapat ustadz mengenai hal tersebut?
MasyaAllah...
sdr fikhar ini gmana
to?
g faham, tapi dikasih
tahu tetap ngeyel (atau krn tambah bingung)...
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Fikhar,... saya tahu
referensi yang Anda pakai.... dan itu sebenarnya sumbernya dari tulisan Dr.
Yuusuf Al-Qaradlaawiy dan beberapa pemikir Al-Azhar kontemporer. Menisbatkan
pembolehan pajak pada jumhur ulama 4 madzhab adalah kedhaliman. Apalagi
kemudian mengatakan bahwa yang melarang pajak hanya ulama 'salafiy'. Sangat
lucu.
Contoh kecil saja
adalah PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). PBB adalah pajak yang dipungut atas tanah
dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang
lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya. Pungutan seperti ini tidak ada di jaman
pemerintahan Islam, karena pungutan atas tanah itu hanya diwajibkan pada
orang-orang kafir saja. Oleh karena itu mewajibkan pungutan pada kaum muslimin
atas tanah dan bangunan yang mereka miliki adalah kedhaliman, karena harta
mereka tidak boleh diambil kecuali dengan haknya. Jangan pernah berangan-angan
bahasan ini tidak pernah disinggung ulama madzhab. Kalau Anda biasa membuka
kitab-kitab fiqh, niscaya akan Anda ketemukan.
Contoh lain, pajak
penghasilan (PPh) yang didefinisikan sebagai : Pajak Negara yang dikenakan
terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan. Meskipun PPh ada batasannya, (salah satunya) adalah bahwa batas
minimal penghasilan pertahun sebesar Rp24.300.000,- pertahun (atau rata Rp
2.025.000,- perbulan), tetap saja tidak bisa dibenarkan pungutan-pungutan macam
ini. Harta kaum muslimin yang wajib diambil negara hanyalah zakat. Itupun hanya
termasuk katagori harta simpanan dengan syarat telah memenuhi nishab dan
berlalu satu haul. Pajak dipungut tidak mempertimbangkan ini. Ini satu
kedhaliman.
Begitu juga dengan
pajak kendaraan bermotor (PKB) dimana ia dipungut atas kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor. Di semua pemerintahan Islam dan dalam
kitab-kitab fiqh tidak dikenal pungutan ini. Tidak ada pungutan-pungutan negara
seperti itu yang diberlakukan atas kendaraan kaum muslimin waktu itu (misal :
onta, kuda, dll.).
Kalau Anda berdalih
bahwa pajak itu dikenakan karena kita menggunakan fasilitas yang disediakan
negara, maka ini tidak benar. Coba lihat misalnya aturan PKB. Ia dikenakan bagi
setiap orang yang memiliki/menguasai kendaraan bermotor, meski ia tidak
menggunakannya di jalan (misalnya hanya untuk koleksi atau simpanan).
Kalau kemudian Anda
berdalih bahwa pajak itu boleh untuk kemaslahatan atau kepentingan
bersama/rakyat sebagaimana tertera dalam link blog fiqh-kontemporer.blogspot;
maka ini salah kaprah. Mengapa ?. Para ulama membolehkan pemungutan (baca :
pajak) selain zakat itu setelah mereka membahas tentang zakat. Atau dengan kata
lain, ketika harta zakat dan yang lainnya dalam Baitul-Maal tidak mencukupi
pembiayaan negara, maka pungutan itu baru diperbolehkan. Para
ulama sepakat dalam hal ini. Ini seperti kondisi ketika Anda tidak
lagi mempunyai persediaan makanan di rumah Anda selain daging babi, sementara
Anda dan anggota keluarga dalam kondisi kelaparan yang teramat sangat, maka
saat itu Anda baru boleh makan daging babi.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kenyataannya,.... di
negara kita atau kebanyakan negara lainnya; pemungutan zakat tidak dilakukan
dan pengelolaan asset negara tidak dioptimalkan. Iya apa iya ?.
Lah sekarang kalau
ujug-ujug menyatakan boleh menarik pajak karena kondisi keuangan negara tidak
akan mencukupi jika tidak menggunakan pajak, maka penyimpulan ini sangat aneh.
Sekali lagi, hal itu dikarenakan negara kita dan sebagian kita telah termindset
bahwa pajak adalah pendapatan (utama) negara. Titik. Karena itu tidak heran,
lebih dari 2/3 pendapatan negara diperoleh dari pajak. Coba kekayaan SDA itu
benar-benar dikelola negara secara profesional, saya yakin margin keuntungannya
berpuluh kali lipat daripada sekedar mengandalkan fee dan pajak. Sumberdaya
hutan yang ada di kawasan hutan negara itu kalau dimanfaatkan secara optimal,
nilainya bisa ratusan triliyun, baik yang berasal dari HHK atau HHBK (termasuk
jasa lingkungan). Belum lagi yang lain. Dan coba baca ulasan para analis
bagaimana keuntungan yang seharusnya dimiliki negara dari kekayaan minyak, gas,
dan tambang kita menguap ke luar negeri. Contoh kecil saja, besar mana pajak
tambang dengan nilai ekonomi/jual tambang ?. Besar mana keuntungan yang diperoleh
antara mengelola tambang dan memungut pajak tambang ?. Kita tidak berani
mengelola SDA kita secara penuh karena (anggapan) skill SDM rendah, modal
kecil, dan resiko besar. Oleh karena itu, kita banyak bermain aman dengan
mengandalkan pungutan pajak. Mmeungut pajak nggak mungkin rugi. Meski kecil,
tapi pasti. Beda dengan mengelola secara langsung. Untung bisa berkali-kali
lipat, namun investasi yang dibutuhkan besar dan resiko besar juga. Coba Anda
tanya berapa besar biaya eksplorasi minyak bumi kepada orang-orang minyak.....
Intinya,... kita ini
terjebak dalam sistem yang salah dan kaprah. Kesalahan yang sistemik.
Al-Maks atau
adl-dlariibah atau pajak dengan segala macamnya yang ada sekarang ini sesuai
dengan pendefinisian para ulama madzhab. Anda tidak setuju, itu terserah Anda.
Dan sangat saya persilahkan untuk membuka kitab-kitab fiqh yang ada.
fikhar85 mengatakan...
Mohon maaf sebelumnya
ustadz, mungkin terjadi kesalah fahaman dari saya menanggapi maksud dari fatwa
ustadz, saya awal nya terlebih memaknai judul dari postingan ustadz “teruntuk
mereka yang bekerja di kantor pajak” saya berasumsi bahwa ustad lebih mengarahkan
kepada pejabat pajak/DJP dan pejabat bea cukai (di bawah kemenkeu). Namun
setelah saya membaca seluruh jawaban2 ustadz atas komentar yang ada sebelum
saya, maka saya fahami bahwa inti permasalahan yang kita diskusikan pada
hakikatnya berbeda.
saya fahami kemudian
adalah, bahwa yang ustadz maksud haram adalah pungutan pajak yang diterapkan di
negara kita atas umat muslim (padahal mereka juga telah dikenakan kewajiban
atas zakat) kira2 begitu ustadz? Mohon korek si jika saya salah.
Jika memang begitu saya
juga setuju, (pantas rasanya jika alasan yang saya ajukan tidak
sefaham/melenceng dari ajaran nabi dalam pandangan ustadz) ya jelas saja dan
pantas saja ustadz beranggapan demikian (saya akui kesalahan saya atas hal itu
karena tidak sempat membaca seluruh komentar sebelumnya karena sangat banyak
nya komentar yang ada).
fikhar85 mengatakan...
saya baru memahami
ketika ustadz mengatakan mengenai pajak kendaraan bermotor (PKB)
Seperti yang saya utarakan
sebelumnya, bahwa saya mengakui tentang larangan nabi memungut pajak (dari
orang muslim) sesuai dengan riwayat yang ustadz jabarkan hanya saya tadi
membantah bahwa pajak di negara kita tidak sama maksud saya adalah dikarenakan
awalnya saya hanya terfokus pada judul postingan ustadz, jadi kenapa saya
merasa tidak sefaham awalnya, ini dikarenakan saya melihat tugas DJP sendiri,
sebagaimana yang saya fahami bahwa tugas DJP hanya menangani pajak pusat
sperti:
1. ppn (pajak ini atas
barang produksi, yang kebanyakan adalah milik korporat, dan milik non mulim)
melihat ketentuan PPN saya pikir wajar adanya PPN ini, toh PPN tidak dikenakan
atas bahan2 pokok, dan tidak semua ukm (yang mayoritas muslim) di kenakan PPN,
dan terlebih ppn dikenakan atas barang produksi (walau bisa juga jasa), yang
jelas kegiatan produksi kebanyakan membawa dampak kerugian bagi masyarakat
sekitar, jadi saya pikir wajar jika mereka menyumbang pajak sebagai kompensasi
untuk rakyat.
2. pph ( pajak ini saya
pikir wajar, karena sebagai timbal balik atas jasa negara menyediakan lapangan
kerja, dengan imbalan hanya menyisihkan sedikit dari pendapatannya untuk
pembangunan negara, saya pikir wajar, hasilnya bukan untuk pemerintah, bahkan
pemrintah kan juga kena pph)
3. pajak barang mewah
(yg tentunya hanya dikenakan pada mereka yang pastinya orang kaya, ada beberapa
hal yang jadi pertimbangan dalam hal jenis pajak ini, pertama: ini merupakan
pajak administrasi karena hanya dibayar sekali pada waktu pembelian barang
(system nya seperti hal nya negara yang menjual barang tersebut kepada
konsumen, dengan biaya yang jelas, bukankah ini konsep jual beli? Walaupun kita
tetap menamakannya pajak). Kedua: pajak ini jika kita ingin berbagi anggap lah
kita bersedekah untuk membantu pembangunan negara. Jadi saya pikir pajak ini
pun wajar.
4. PBB (ini yang
dipungut oleh pusat/DJP hanya sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan
Migas (PBB sektor P3) yang mayoritas adalah tanah negara/rakyat yang telah
melekat atasnya HGB ataupun HGU (atau sederhana nya wajib pajak ini adalah
perusahaan yang mayoritas perusahaan asing yang memanfaatkan tanah di
indonesia) jadi prinsip dari pajak ini adalah uang sewa/uang ganti rugi atas
pemanfaatan tanah tersebut oleh perusahaan tersebut. Jadi saya pikir jenis
pajak inipun wajar, lain halnya dengan PBB yang dikenakan terhadap individu itu
dipungut daerah (nnti akan saya jabarkan selanjutnya)
Ini beberapa contoh
prinsip pajak pusat, sebenarnya masih ada pajak yang lain tapi saya rasa
prinsipnya sama. Dan jika kita melihat tugas DJP sendiri bukan merekalah yang
memungut pajak namun pajak langsung disetor ke bank, DJP hanya mengurusi soal
administrasi saja (sejauh undang2 yg saya baca).
Namun terlepas dari
semua itu sebelumnya saya mohon pendapat ustadz, apakah jenis pajak di atas
yang saya utarakan termasuk haram? Dan masih bisakah dikatakan bekerja di DJP
haram hukumnya? Jika melihat prinsipnya, saya harap ustadz menjawabnya.
fikhar85 mengatakan...
Selanjutnya saya akan
masuk kepada pembahasan pajak yang diharamkan oleh nabi, secara keseluruhan
pajak ini bukan merupakan pajak pusat, akan tetapi pajak daerah, yang artinya
bukan DJP yang memungut pajak jenis ini, namun instansi di pemerintahan daerah
sendiri, diantaranya adalah:
1. Pajak Kendaraan
Bermotor (pkb)
2. Pajak Reklame
3. Pajak Tontonan
4. Pajak Radio
5. Pajak Hiburan
6. Pajak Hotel
7. Bea Balik nama dan
pajak lain yang ditentukan daerah
yg kebanyakan memang
bertentangan dg hukum islam. Namun mengenai adanya pajak ini kita tidak bisa
serta merta menyalahkan negara, karena pemungutan pajak2 ini adalah oleh daerah
masing2, dan hasilnya pun untuk kas daerah (APBD) bukan APBN. system negara kita
mengakui otonomi daerah dan negara (dalam hal ini adalah pemerintah pusat)
tidak bisa ikut campur dalam hal ini. Artinya pemungutan pajak jenis ini bukan
wewenang DJP (sebagai instansi pusat), jadi dari sini saya kembali menanyakan
apa pantas kita katakan haram bagi mereka yang bekerja di DJP? Sedangkan mereka
tidak mengurusi pajak jenis ini.
Kebanyakan pajak yang
di urusi oleh DJP dan masuk ke APBN adalah pajak yang memang (saya rasa) sesuai
dengan ketentuan Islam, sesuai dengan referensi yang ustadz cantumkan juga dan
dari beberapa komentar yang ada serta dari referensi yang saya fahami adalah
untuk kemakmuran kita bersama. Memang pajak daerah juga untuk kemakmuran daerah
tersebut juga namun memang juga saya akui pajak yg diterapkan tidak sesuai dengan
hukum islam atau dengan kata lain adalah haram.
fikhar85 mengatakan...
Saya rasa yang harus
dibenahi bukan system perpajakan yang dikelola pusat namun pajak yang di kelola
daerah, namun yang menjadi dilema adalah pusat belum mengizinkan daerah untuk
mengelola sendiri hasil kekayaan daerah tersebut. Jika saja pusat mengizinkan
maka tentu daerah bisa menghapuskan pajak yang mereka terapkan.(ini system yg
saya maksudkan pada komentar sebelumnya)
dan jika jawabannya
adalah biar pusat yang kelolah untuk kepentingan Negara? Apa mungkin? Seperti
yang saya sampaikan sebelumnya bahwasanya ada hak rakyat daerah melekat disitu
(itu tanah mereka yang didapatkan secara hak baik dalam hukum positif maupun
hukum islam), dan saya tegaskan kebanyakan daerah tersebut adalah berpenduduk
muslim jauh sebelum Indonesia tebentuk jadi pantaskah jika disamakan dengan
kaum khaibar yang ditaklukan islam? Apa pernah nabi mengajarkan untuk boleh
merampas hak orang muslim untuk kepentingan Negara?
Bukankah menurut surat
Al-Baqarah ayat 188, seperti yg ustadz jabar kan di atas bermaksudkan demikian?
Karena setahu saya latar belakang turunnya ayat tersebut adalah berkenaan dengn
imril qis bin abis dan abdan bin asyma’ al-hadlrami (klo saya tidak salah
menuliskan nama) yg brtengkar perihal tanah, dimana imril qais berusaha untuk
mendapatkn tanah tersebut menjadi miliknya dengan bersumpah didepan hakim?
Padahal tanah tersebut bukan hak nya.
jd dengan melihat latar
belakang turunnya ayat ini apakah boleh Negara memaksakan kekuasaannya dengan
mengambil paksa tanpa keridhoan rakyat setempat? Karena tidak ada penaklukan
dalam sejarah Negara kita, Indonesia terbentuk karena daerah2 yang menyatukan
diri menjadi Indonesia, jd jika dilihat dari system Negara Indonesia merupakan
gabungan2 dari Negara bagian (provinsi) secara sukarela demi persatuan.
saya sama sekali bukan
ingin merubah yang haram menjadi halal, namun saya hanya ingin kejelasan dan
mengajak kita semua agar fahami dlu system Negara ini baru memvonis orang lain,
saya bukan membela orang pajak namun seperti kurang adil saja membuat mereka
harus membuat mereka dalam keraguan (hingga akhirnya kita sendiri berbuat zalim
kepada mereka) ata pun membela system Negara. mana yang haram (jika jelas
dalilnya) maka akan saya katakan haram dan yang halal juga akan saya katakan
halal.
sekarang dengan
jelasnya duduk permasalahan bagaimana menurut ustadz? Dan mohon dijawab juga
pertanyaan saya td.. trmksh sebelumnya..
QUOTE Mas fikhar85:
"2. Pph: dari
sekian gaji kita negara hanya minta sedikit sebagai bantuan dari para
pegawai/karyawan karena negara membantu para rakyatnya mendapatkan pekerjaan
dengan upah yang bisa dikatakan manusiawi, jika tidak maka negara dg
kekuasaannya dapat menekan para pengusaha yang nakal."
sebenernya PPh itu
letak keadilannya dimana ya mas?
kalo dengan asumsi
orang yang berpenghasilan Rp. 15.800.000/tahun di anggap KAYA/MAMPU dan WAJIB
setor pajak, lantas kenapa anggota DPR, Menteri, dan Penyelenggara Negara yang
lain yang notabene bergaji puluhan juta ndak kena Pph di dalam struktur
THP-nya?
kalau-pun ada statusnya
DTP mas, sama saja...
PPh DTP saja baru bbrp
tahun ini, tahun 90-an sama sekali enggak ada, mungkin karena rasa sungkan
terhadap pegawai swasta yang lain yang setiap bulan di pangkas penghasilannya,
sehingga gaji mereka perbulan di tambah unsur PPh walopun DTP (basa-basi)
Wallohu a'lam
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Membedakan pajak pusat
dan daerah dalam hukum adalah lucu. Bahkan sangat lucu. Ulasan Anda pun sangat
dipaksanakan (mengenai PPh, PBB, dll). Saya nasihatkan kepada Anda agar belajar
ilmu fiqh.
Semoga Allah menambah
kepahaman kepada Anda.
Rigih Bayu mengatakan...
cuma mo nimbrung untuk
yang lagi kuliah di STAN, baik yg jurusan perpajakan ataupun bea cukai. ilmu yg
didapat disana mungkin memang tidak bermanfaat. tapi berusahalah untuk lulus
dulu.
setelah bekerja, sangat
mungkin anda tidak akan berhubungan dengan pajak. kalopun anda tidak suka/sreg
di tempat anda bekerja karena pajak/bea cukai, anda bisa minta pindah.
kerja di DJP/Bea Cukai
susah pindah? ini masalah strategi pencitraan. klo anda mencitrakan diri anda
sebagai pegawai yang berguna, pegawai teladan, jelas anda tidak akan
diperbolehkan pindah. di kemenkeu yng sudah reformasi birokrasi, korupsi itu
adalah dosa lama yang kembali dilakukan dengan cara baru.
pindah saja ke pemda.
ada yang bilang pemda jauh lebih korup dari kemenkeu. bullshit itu. IMO, di
pemda, tidak ada uang yang melimpah ruah untuk bermewah2 dihotel. anda
bolak-balik dari satu kantor ke kantor lain dalam kota pun tidak ada ongkos
bensin.
pemda dibilang bersih
juga tidak. tapi klo dibilang kotor, saya bisa bilang dengan lantang, klo di
tempat saya bekerja saat ini relatif lebih bersih dibanding tempat saya dulu.
~ Rigih Bayu, Alumni
STAN, dulu bekerja di Itjen Kemenkeu, sekarang di Pemda Banyumas
fikhar85 mengatakan...
Teruntuk ustadz.
aneh rasanya kalau anda
mengatakan lucu, dalam menentukan siapa itu pemungut tentu kita harus mengkaji
dasar penetapan pajak kita. Sebaiknya anda juga belajar system negara jangan
sok tau kalau tidak tau, ingat anda seorang ustadz.
Dalam menentukan suatu
hukum atas sebuah tindakan tentu kita harus cari tau dulu siapa pelakunya
(karena ustadz pada postingan bloq ustadz menyebutkan lebih kepada
subjek/pelaku yakni pekerja dikantor pajak. Dari pada ini tentu kita kaji dlu
apa tugas mereka, seperti yangs aya jabarkan pada komentar sebelumnya dan
rasanya tidak perlu saya ulang). Dan aneh jika ustadz bilang itu lucu. Cbalah
buka dlu pikiran ustadz.
ustadz, saya juga belajar
ilmu fiqih, perbedaan saya dg anda tampaknya adalah anda hanya membandingakan
hukum pajak indonesia dengan pajak/upeti dengan pemahaman para ulama
inernasional dimana mereka belum pernah belajar system pajak kita (mereka tidak
tau filosofi pajak kita) jika membandingkan pajak negara demokrasi diluaran
sana, jelas itu haram, kenapa? Karena negara demokrasi tersebut awalnya
merupakan negara monarki, yang artinya pada saat mereka bersystem monarki,
negara tersebut telah memiliki aset yang penuh dikuasai oleh negara/tidak ada
hak rakyat atas aset tersebut, jadi seharusnya aset tersebut bisa dikelola oleh
negara secara penuh, tapi mereka malah tetap menggunakan sistem pajak. Makanya
pajak tersebut haram. Begitu jg pada masa khalifah dlu, ada penaklukan negeri kafir,
dan harta dari negeri itu jadi milik negara karena penaklukan tadi (harta
rampasan perang). Maka dari pada itu ada aset negara yang bisa dikelola negara
karena tidak ada lagi hak rakyat (khsusnya muslim) pada asset tersebut.
lalu bagaimana dengan
negara kita? Negara kita tidak pernah menganut system monarki, mulai dari
meredeka hingga saat ini, tidak pernah ada system kerajaan. Indonesia terbentuk
bukan pula dari hasil penaklukan suatu bangsa atas bangsa lain dalam intern
bangsa indonesia. Indonesia terbentuk karena memang daerah2 yg menggabungkan
diri menjadi satu negara. Daerah2 indonesia bukan pula bentuk negara
persemakmuran yang harus membayar upeti kepada negara (pemerintah pusat) jadi
tidak ada aset negara karena memang negara kita bukan dikuasai oleh penguasa.
Namun terbentuk karena bergabungnya 240-an juta masyarakat membentuk negara
ini. Dan mereka memilih pemimpin nya. Jadi dari mana aset pemimpin ini? Toh
bukan dia yg punya negara tapi dia ditugaskan lalu digaji untuk melayani
kebutuhan masyarakat?
Jadi sekali lagi saya
tanyakan, mana aset negara? Yang ada hanya aset yang dikuasai oleh negara (saya
pikir saya tidak perlu jelaskan arti penguasaan negara, anda bisa baca sendiri
di UUD 1945) yang artinya tetap milik rakyat, lalu jika aset itu diolah oleh
negara sedangkan rakyat yang tinggal dan secara hak memiliki tempat beradanya
aset itu tidak setuju karena akan merugikan mereka (contoh hak ulayat mereka)
negara tidak bisa memaksa, kalau dipaksa indonesia ini bisa bubar, anda faham?
Maksud saya
menyampaikan ini adalah:
1. Perbedaan system
kita dengan negara domokrasi diluar sana.
2. Tidak ada aset
negara yang bisa di kelola secara penuh karena aset tersebut hakikatnya milik
rakyat. (jadi demi asas keadilan maka negara memilih pajak sebagai pendapatan
negara, ini sudah merupakan pertimbangan yang bijaksana saya pikir, karena
kalau pengelolaan SDA dipakasakan pun jelas ini penzaliman, apa mungkin kita
setuju pemerintah melegalkan penzaliman pada rakyat tersebut, kadang mereka
(rakyat tersebut) juga makan dari situ.. ) jd wajar dengan adanya pajak. (dan
pengelolaan SDA dengan sewajarnya dan tetap mengutamakan pelestarian) Jgn
seenaknya ngomong kelola SDA, anda pikir pengelolaan SDA tidak berdampak buruk
bagi rakyat sekitar?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Komentar Anda yang
banyak banget itu saya tampilkan sebagian, karena yang lainnya hanya mengulang.
Kalau Anda mengaku
belajar ilmu fiqh dan kaedahnya, terus terang saya meragukan itu. Dan saya pun
tidak terlalu yakin Anda tahu ilmu perpajakan, karena nampaknya Anda bukan
lulusan akuntansi atau perpajakan.
Pada prinsipnya pajak
itu sama sama antara negara kita dengan negara luar. Para ulama itu sudah
mengkaji pajak dengan penerapannya. Banyak sekali desertasi di Universitas
Islam Madiinah, Ummul-Qurraa', dan yang lainnya membahas tentang ekonomi
kontemporer, termasuk pajak. Jadi, Anda jangan kuper.
Mau sistem monarki kek
atau apa kek, hukum pajak dikembalikan pada pandangan Islam. Kewajiban
pemungutan harta kaum muslimin itu perlu dalil. Harta kaum muslimin itu haram
untuk diambil, kecuali dengan haknya. Kalau mereka menyerahkan dengan sukarela,
maka itu lain persoalan. Tapi di sini yang dibahas adalah aturan pewajibannya.
Pemasukan negara itu
ada aturannya. Kondisi negara sekarang bukan menjadi dalil bahwa pajak boleh
karena berbeda dengan negara Islam di jaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam dulu. Justru pemikiran Anda itu salah kaprah. menjadikan waqi' sebagai
dalil (baca : dalih).
Anyway,... saya rasa
cukup komentar Anda. perbanyaklah belajar daripada berkata. Karena ilmu itu
perlu waktu lama, bukan sekedar membaca buku terjemahan.
M Karyono mengatakan...
Ustadz, bagaimana
hukumnya orang yang kerja di kantor pajak atau bank, tapi bukan sebagai tenaga
administraso melainkan sebagai security atau cleaning service?
ustadz, saya membaca
blog ini termasuk komentar2nya... blognya bagus... pendapatnya juga
meyakinkan... sayangnya ustadz cenderung hanya menyampaikan dalil-dalil...
mungkin lebih bermanfaat dan bisa lebih "dijual" apabila ustadz bisa
menyampaikan juga solusi atau alternatif dari permasalahan ini.. demikian
komentar saya yang awam... syukron
Assalamu'alaikum..
stadz, afwan, diluar
pembahasan artikel..
gini tadz, ortu saya
ke'pengen supaya saya bekerja di'kejaksaan Negeri atau bekerja di'Bank
konvensional atau juga bekerja di'kantor Notaris.. Tp saya merasa tidak nyaman
menjadi pekerja di'kantor kejaksaan negeri, & Bank Konvensional. sedangkan
untuk di'kantor notaris, saya merasa tidak sebegitu Gelisah seperti jika
bekerja di'Kejaksaan ato di'Bank Konvensional, atau dengan kata lain masih mau
nerima kalau kerjanya di'kantor Notaris.
yang ingin saya
tanyakan,
1. bagamana hukumnya
bekerja di'kejaksaan Negeri.?
2. bagamana hukumnya
bekerja di Bank Konvensional.?
3. bagamana hukumnya
bekerja dikantor Notaris.?
mohon pencerahannya
stadz. Semoga Allah Merahmatimu.
_Si'Ardjuna_
waduh, kalau gitu
banyak yang ikutan haram ya ustad :
1. Guru Negri dibayar
negara pakai uang pajak.
2. Jalan raya dibangun
dengan uang pajak.
3. Semua fasilitas
negara itu pakai pajak juga, dan yang paling miris, kita bisa online semua ini
juga ikutan bayar pajak ke satelit gan, mulai besok agan jangan internetan ya,
kalau agan bayar pajak internet, berarti agan mendukung pajak, sama dengan
tidak minum alkohol tapi beli alkohol.
Mas Anonim7 Maret 2014
06.49
emangnye pemasukan
negare pajek dowank ye ...??
sok tehe ente gan
...#ngakak
Saya teringat masa-masa
dimana dulu saat emas hitam berjaya di negeri ini, sekitar thn 70an s.d 80an.
Hampir 75% pembiayaan
negara didanai dari penghasilan sektor migas, 25% dari sektor non migas
termasuk pajak.
Bisakah masa-masa ini
terulang kembali?
Sewaktu mempelajari
ilmu ekonomi, satu-satunya negara yang tidak ada pajak adalah saudi arabia.
Mengapa? Jawaban yang masuk di akal karena di sana minyak berlimpah. Jadi pajak
tidak diperlukan karena hasil dari minyak sudah cukup. Benarkah? Jikalau tidak
ada minyak, mungkinkah pajak akan dikenakan di arab saudi.
Pernahkah kita berfikir
mengapa di saudi arabia tidak ada pajak? Karena mereka senantiasa berusaha
menegakkan tauhid dan syariat islam sehingga negeri mereka diberikan oleh Allah
limpahan rahmat dan keberkahan yang luar biasa dengan cara yang tak
disangka-sangka.
Jadi negara ini
bukannya kaya dan makmur karena minyaknya berlimpah, tetapi karena Allah
anugerahkan kepada mereka pemimpin-pemimpin yang dapat mengelola sumber
kekayaaan yang dapat memakmurkan negeri dan rakyat mereka sesuai dengan syariat
Allah.
Dan kita dulunya hampir
bisa.
romi
rahmanata utama mengatakan...
Memang pendidikan itu
penting. Ucapan kotor ini sebagai bukti pentingnya pendidikan.. Bantahlah dg
ilmiah (bukan emosi).. Tidak ada kah yg membantah dengan ucapan "berkata
ulama ini",, dari td saya baca isi bantahan cuma "menurut
saya",, siapa anda??
peminat_newbieswinger mengatakan...
Assalamu'alaikum wr
wb...saya alumni stan , sdh 10 lbh bekerja di ditjen pajak kemudian saya resign
dan menjalankan usaha sendiri membuka usaha prduksi sepatu ....alhamdulillah
skrg penghasilan saya jauh melebihi gaji saya klu msh bekerja di pajak apalagi
klu penempatannya luar jawa. Hidup ini pilihan, orang baik akan berusaha
mencari pilihan yg terbaik, dan akan selalu mengupayakan nafkah yg baik utk
keluarganya..selama niat kita baik Allah akan memberi jalan yg baik utk
hamba-Nya...
assalamualaikum, wr, wb
mas rigih, kenapa
alasannya keluar dari Itjen? apakah menurut mas rigih bekerja di itjen juga
haram?
asalamualaikum ustadz
saya pikir ustadz sudah
cukup paham tentang bagaimana kementerian keuangan itu. menurut ustadz apakah
bekerja di kementerian keuangan itu jg termasuk haram? ataukah hanya di
direktorat jenderal pajak dan bea cukai saja? terimakasih
Donny Adwin mengatakan...
“Bagaimana Hukumnya
Kerja di Kantor Pajak?”
Hukumnya boleh Den
Bagus. Sah – sah saja.
Pajak itu kan untuk
pembangunan, fasilitas, ya mbayar pegawai negeri, bapakmu – ibukmu itu,
menjamin kemanan warganya lewat TNI-Polisi. Dan sebagaian dari itu juga masuk
ke Kementerian sosial to? Untuk menyediakan rumah sakit jiwa, rumah sosial. Dan
sebagian dari itu juga masuk ke Kementerian Agama, ya buat nyetak BUKU NIKAH
itu. Hehe. Dan banyak lainnya.
Kalau tidak ada
fasilitas, bagaimana bisa kerja? Lha wong kerja itu ibadah.
Kalau tidak ada
keamanan, lalu bagaimana?
“Kenapa harus pajak Mas
Don? Yang lain kan bisa?”
Iya bisa, tapi tidak
sebesar itu. Kalau semuanya dari BBM, Listrik, atau hal yang diproduksi oleh
negara, dijual ke masyarakat, berapa coba kira – kira harganya. Tentu akan
memberatkan rakyat.
Kalau mengandalkan
hutang luar negeri, ya tentu kerugian besar.
“Kalau sejarahnya pajak
sendiri Mas Don?”
Itu berawal dari
Kholifah Ummar bin Khottob Den Bagus.
Maka
pemerintahan-pemerintahan negara berpenduduk Islam di dunia sekarang pun
menarik pajak bukan dengan niat untuk menzholimi, tapi untuk berfungsi sebagai
salahsatu kebijakan untuk mewujudkan kemakmuran bangsa dan negara. Ikutilah
Rosululloh dan Sahabat.
Diantara ulama yang
membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam
Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.
Dan ini sesuai dengan
hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar
Rasululloh SAW bersabda : "Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak
(untuk dikeluarkan) selain zakat." ( HR Tirmidzi)
Para ulama yang
membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari umat Islam, meletakkan
beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai
berikut :
Negara benar-benar
membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat
perang untuk menjaga perbatasan Negara.
Tidak ada sumber lain
yang bisa diandalkan oleh Negara, kecuali dari pajak.
Pun jika negara
mengandalkan zakat saja, masih belum mencukupi.
Harus ada persetujuan
dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.
Pemungutannya harus
adil.
Masalah keadilan ini
kan sensitif Den Bagus, ya berilah waktu untuk seadil – adilnya itu. Biarkan
mereka yang mengerti saja mengurusinya. Saya dan Sampean ini mengamati saja ya.
Lha wong gak ngerti apa – apa kita ini.
“Iya Mas Don.”
Ulama Madzhab Syafi'i,
seperti Imam Al-Ghozali, menyatakan bahwa memungut uang (pajak) selain zakat
pada rakyat diperbolehkan jika memang diperlukan dan kas di Baitul Mal (dalam
hal ini adalah kas negara) tidak lagi mencukupi untuk membiayai kebutuhan
negara baik untuk perang atau keperluan negara lainnya.
“Apakah mengeluarkan
pajak berarti sudah mengeluarkan zakat Mas Don?” Belum. Itu dua hal yang berbeda.
Jadi, bekerja di Kantor
Pajak adalah boleh. Baik yang kerja di Kanpus, Kanwil, KPP, K2KP, atau
semacamnya itu, adalah boleh.
Di manapun tempat
kerjanya, jangan lupa ada bagian anak yatim.
Tulisan ini membahas
hukum kebolehan, yang tidak setuju atau yang ingin membahas lebih detail lagi
dalam hubungannya dengan perekonomian, silahkan membuat forum di luar. Gitu aja
kok repot.
“Mas Don, kalau kerja
di Bea Cukai yang mengaudit miras dan barang haram lainnya bagaimana?”
Sabar, inshaaAlloh lain
kesempatan Den Bagus.
“Iya Mas Don”.
Semoga Bermanfaat.
Salam Hangat, dari Mas
Don.
Wassalamu’alaykum wr
wb....
Donny Adwin mengatakan...
Terlalu cepat
menyimpulkan bila mengatakan pajak seperti di indonesia ini haram. Dalam
hadist-hadist yg mngatakan haramnya pajak dan pelakunya masuk neraka misal: لا يدخل الجنة صاحب مكس , maka yang dimaksud “shohibu maksin” itu lebih tepat
kalo konteksnya adalah seorang penguasa yang menarik upeti dari rakyatnya
dengan paksa tanpa menggunakan hasilnya untuk kpentingan umum, pembangunan dll.
Hasil trsebut digunakan untuk kepentingan pribadi penguasa dan golongannya. Dia
menganggap upeti itu adlah hak miliknya. Oleh krn itu, Lebih tepat kalau
pemungut pajak yg diharamkan adalah pada masa penjajahan belanda, jepang (kerja
rodhi, romusha dsb) trhdap indonesia ktika itu. Adapun pajak saat ini, tidak
jauh beda dengan iuran RT/RW untuk kebersihan sampah dan keamanan, hanya saja
ruang lingkupny lbh luas.
Kalau sy sudah tenang
dg hasil bathsul masail NU, ini hasilnya:
Sebenarnya pemasukan
kas negara(pemerintah) yang diperoleh dari rakyat, itu hanya berasal dari dua
sektor :
1. Dari orang-orang
kafir yang meliputi : jizyah, ghonimah, harta fai' dan khoroj (pajak tanah)
dengan segala ketentuannya.
2. Dari orang-orang
Islam yang meliputi : warisan yang tidak diketahui ahli warisnya, mal
al-Dlo'i', zakat, khoroj dan para ahli ma'siat dalam rangka menghentikan
kema'siatannya.
Namun dalam keadaan
khajat/dlorurat (seperti kondisi Indonesia saat ini) pemerintah boleh
mengusahakan pemasukan negara lewat pungutan dari semua lapisan masyarakat
Islam yang kaya, demikian menurut madzhab Syafi'i sedangkan menurut madzhab
Malikiyah , dalam keadaan hajat pemerintah boleh menarik pajak, baik aset
bergerak atau tidak bergerak dengan syarat :
• Betul-betul ada
kebutuhan yang mendesak.
• Ditashorufkan untuk
kepentingan muslimin.
• Ditashorufkan dengan
pertimbangan kemaslahatan.
• Dibebankan kepada
orang-orang yang mampu, sekiranya tidak mengakibatkan dloror dari pajak yang
dikenakan.
• Kekosongan Baitul mal
itu tidak mungkin tertutupi pada waktu dekat dari sektor lain.
Catatan :
• Penggunaan fasilitas
umum tidak boleh dikenakan pajak/restribusi.
• Dalam pembebanan
pajak, pemerintah harus mempertimbangkan kondisi riil masyarakat dan kebutuhan
negara.
• Batasan orang kaya
(mampu) yang dikenakan pajak dalam madzhab Syafi'I adalah orang yang aset
maliyahnya mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya selama
satu tahun.
Kebutuhan yg mendesak
(hajat/dharurah) dlm konteks ini, mnurut sy relatif, jd serahkan sj pd ahlinya
utk menilai apakah sdh msuk kategori dharurah atau belum. nyatanya, smpai saat
ini pajak msh tetap dibutuhkan utk kemaslahatan ummat…. wallahuallam
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Prinsip : Niat yang
benar tidak menghalalkan segala cara.
Jika kita ambil contoh
ekstrim, membangun jembatan dan rumah sakit dengan jalan merampok harta kaum
muslimin tentu saja dilarang.
Nah, di sini bukan
dibahas kemana alokasi uang pajak itu disalurkan, tapi status pajak itu sendiri
bagaimana?. Saya sudah pernah menulis tentang kondisi pajak yang diperbolehkan
dalam artikel :Pendapat
yang ‘Membolehkan’ Pajak. Tepatkan di situ diqiyaskan dengan pajak yang
berlaku sekarang ?. Jawabnya tidak.
Di jaman 'Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu tidak ada pajak mas. Silakan dituliskan
riwayatnya kalau dakwaan tersebut benar.
Assalammualaikum
Ustadz,
saya masih bingung
ustadz, mengenai dalil2 yang ustadz jabarkan di atas apakah sifatnya umum?
maksudnya setiap pungutan kepada rakyat itukah maksudnya pajak yang diharamkan
Rasulullah dari hadis tsb? Soalnya kalau hadis itu sifatnya umum tentu setiap
hal yang berkaitan dengan pungutan terhadap rakyat (selain zakat) adalah haram,
tentu juga tidak bisa di kotak2an antara muslim ataupun kafir, karena pada saat
Rasulullah mendirikan negara madinah Rasulullah juga memungut pajak walaupun
pada saat itu Rasulullah hanya mewajibkannya pada kaum kafir sebagai bentuk
sumbangsi mereka terhadap negara dan jaminan negara atas nyawa dan harta mereka
(berdasarkan piagam madinah). Jadi jika sifat hadis ini umum tentu Rasulullah
juga tidak akan melakukan hal (pajak) tsb, baik itu terhadap muslim ataupun
kafir sekalipun, seperti halnya yang ustadz sampaikan bahwa keharamannya tidak
hilang walaupun tujuannya utk kepentingan rakyat, tentunya keharamannya juga
tidak hilang dikarenakan dilakukan oleh siapa kepada siapa dan untuk apa.
perihal pajak kepada
muslim tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah, lantas jika tiba2 pemerintah
kita menerapkan nya hal itu menjadi haram, saya rasa juga kurang tepat Karena
hal ini adalah perkara muammalah sedangkan dalam kaidah fikih dikenal prinsip
bahwa “hukum dasar perkara muammalah adalah boleh sampai ada dalil yang
melarangnya”.
terimakasih sebelumnya
ustadz, mohon pencerahannya.
yg saya tahu dari
salafynya asysyariah (ust luqman, ust sewed dll) yg dimaksud al mask ini adalah
pajak yg dipungut ketika barang masuk ke suatu negara. Jadi arahnya yg sy
tangkap adalah ke bea cukai, bukan pajak pribadi dll
tapi sy pernah baca
kalo suatu masyarakat tidak mau berhukum dgn hukum yg diberikan Allah dan
rasulnya, maka penguasa akan menarik pajak kepadanya. Ini hadits atau perkataan
ulama tadz?
Gambaran saja :
Ada seorang maaf WTS
yang jelas2 uangnya haram dari maaf pelanggan, kemudian membeli sabun di salah
satu kios di lingkungan lokalisasi yang penjualnya sudah pasti tau kalau uang
itu haram (dari pekerjaan haram)
Apakah uang yang di
terima si pemilik kios ini haram ? iya karena si pemilik kios sudah jelas
mengetahui sumber uang yang dipakai untuk membeli sabuk dari pekerjaan haram
Semua PNS di Indonesia
menerima gaji, yang sudah jelas gaji PNS dari pajak (pendapatan negara 80% dari
pajak) - pajak yang menurut penulis blog haram- berarti uang yang dibelanjakan
untuk anak dan istri si PNS haram karena si PNS tahu jelas gajinya dari uang
pajak yang menurut penulis blog ini "haram"
Kalau masih mengatakan
bahwa yang haram bukan uangnya tapi pekerjaannya (petugas pajak) maka alangkah
tidak ADIL nya .... yang mengurus pajak yang mengumpulkan uang masuk neraka eee
yang menikmati, semua PNS dan rakyat yang menikmati hasil pembangunan - semua
hasil pembangunan dari pajak (ingat pendapatan negara 80% dari pajak) - tidak
ikut masuk neraka
Dari kacamata manapun
itu namanya tidak ADIL ....
Coba dirasakan dalam
hati, ADIL tidak ?
Insya Alloh agama yang
saya pilih ini sebaik-baiknya agama
Ustd jk pajak haram,
apakah qt ttp byr pajak atau tidak?
Jk qt memanipulasi data
misal jual beli rumah hrg 500jt, penjual kena pajak 5% jd 25jt, agar tdk kena
pajak sebesar itu (krn 25jt trlalu besar bagi kami) lalu qt ganti datanya misal
hrg jual 300jt jd pjk cm 15jt..itu bagaimana hukumnya ustd? Apakah dibolehkan?
Jazakalloh
Ustd klo saya PNS
apakah gaji sy haram, krn gaji PNS dr APBN dan APBN sebagian besar dr uang
pajak?
kepada penulis apakah
anda warga negara RI, kalau iya, apakah anda sudah memenuhi kewajiban sebagai
warga negara yaitu membayar pajak?, kalau anda tidak membayar pajak, anda
seharusnya malu tinggal, buang air, dan mencari makan di Indonesia. Jalan raya
yang anda lewati setiap hari adalah hasil dari pajak, masjid yang anda kunjungi
untuk beribadah sedikit banyak mendapat bantuan dari pemerintah yang asalnya
dari pajak, sekolah, kantor pemerintah, dan jembatan adalah hasil dari pajak.
Perlu 1000 triliun setahun untuk menjalankan negara ini, sebagian besar didapat
dari pajak. Seandainya sekejap saja Lembaga pajak dan sistem pajak dibubarkan
maka negara ini akan runtuh, tidak ada yang menggaji tentara untuk melindungi
negara, tidak akan ada PNS yang melayani kebutuhan masyarakat, tidak ada yang
mengurus bendungan untuk para petani dll. dan negara ini akan jatuh kedalam
kekacauan, mungkin akan terjadi perang saudara, dan kita umat Islam tidak akan
dapat beribadah dengan tenang ketika negara dalam keadaan kacau. Apakah itu
yang diinginkan agama ini?. Bukankah setiap ayat dalam Al Quran dan setiap
hadist harus dilihat konteks pada saat diturunkan.
Assalamu'alaikum Wr Wb
Semoga Allah senantiasa
merahmati ustadz dan keluarga
dalam artikel di atas
membahas tentang penarik/pemungut pajak. Sistem perpajakan di Indonesia
menganut sistem self assestmen yaitu Wajib Pajak yang sudah terdaftar memiliki
kewajiban untuk menghitung kemudian memungut(menyetor ke Kas Negara) baru
kemudian lapor, ada juga sistem pemotongan/pemungutan dimana Wajib Pajak satu
memotong/memungut wajib pajak yang lain, contohnya bendahara gaji akan
memungut/memotong pajak atas penghasilan yang diterima karyawannya, sedangkan
posisi kantor pajak dan pegawai pajak melakukan administrasi dari pelaporan
pelaporan Wajib Pajak tersebut. Yang menjadi pertanyaan siapakah penarik/pemungut
pajak yang yang dimaksud dalam hadits tersebut, apakah semua Wajib Pajak yang
memungut pajaknya sendiri, ataukah seperti bendahara tadi yang memungut pajak
orang lain, ataukah petugas pajaknya yang melakukan administrasinya?
DARI MAS YUDITH
FAP
Assalamu`alaikum
Ustadz bisa bantu ana
soal masalah PPN(Pajak Pertambahan Nilai). Sedikit Info saja dalam mekanisme
PPN dikenal 2 macam pajak:
(1)Pajak Masukan adalah
PPN yang seharusnya dibayar Pengusaha Kena Pajak karena memperoleh barang/jasa
(2) Pajak Keluaran
adalah PPN yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan barang
PPN yang disetorkan
kepada negara adalah Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan .
Contoh nyatanya adalah
misalkan ustadz membeli sejumlah buku dari distributor sebesar Rp 1 juta dan
tentunya ustadz juga membayar PPN 10% yaitu sebesar Rp 100 ribu kpd
distributor(PPN yang ustadz bayar kpd distributor ini disebut Pajak Masukan).
Kemudian ustadz menjual kepada konsumen sebesar Rp 1,2 juta dan memungut PPN
10% sebesar Rp 120 ribu dari konsumen(PPN yang ustadz pungut dari konsumen
disebut Pajak Keluaran.
Sekarang ustadz mau
menyetorkan PPN kepada negara maka PPN terutang wajib disetorkan kepada negara
adalah
PPN terutang = Pajak
Keluaran - Pajak Masukan
= Rp 120 ribu - Rp 100
ribu
= Rp 20 ribu
Sehingga PPN yang
ustadz setorkan adalah sebesar Rp 20 ribu
Nah secara logika kan
uang PPN ustadz pungut dari konsumen adalah Rp 120 ribu tapi disetorkan kepada
negara hanya Rp 20 ribu(karena sebelumnya sudah ada Pajak Masukan yang bisa
dikreditkan sebesar Rp 100 ribu-tolong lihat perhitungan di atas-) . Tentunya
masih ada uang sisa pungutan PPN sebesar Rp 100 ribu ditangan (mengingat yang
disetor ke negara cuma Rp 20 ribu) Pertanyaan ana,bolehkah ustadzmenyimpanan
uang sisa pungutan PPN sebesar Rp 100 ribu tsb ?
Mohon bantuan ustadz ya
taufiq muhamad mengatakan...
klo bekerja di
bendahara negara haram gk ustad?
oneneo mengatakan...
Ustd saya sering
menyetorkan pajak perusahaan tempat saya berkerja ustd??? mohon comen ustd ilmu
fiqih saya sedikit perlu belajar lg.
Muhammad Ali mengatakan...
Afwan ustadz, apakah
dikantor samsat termasuk pemungut pajak? apa hukum menyewakan rumah kpd pegawai
bank dan pegawai pajak?
Terima kasih,untuk
infonya sangat bermanfaat. Akan lebih sempurna Indonesia jika dengan hukum
islam. Sebagai rakyat biasa dengan pendapatan biasa dan harus membayar pajak
yang diwajibkan sangat memberatkan, sehingga meskipun telah bekerja siang malam
hidup tetap saja susah. Kewajiban yang sesungguhnya zakat, sedekah jadi
terabaikan. Buat yang tidak bisa menerima haramnya pajak, sebenarnya mengetahui
dan bisa melihat dengan jelas, hanya saja lebih memilih menutup matanya dan
menolak kebenaran dengan beralasan.
......sedang
nunggu sambungannya dari sumber......Insya Allah
Apakah Agama Mengharamkan Pajak?
Kamis, 19 April 2012 - 11:07
Oleh Wiyoso
Hadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Saat ini baru sekitar 20 juta
atau 18% dari total 110 juta pekerja aktif di Indonesia
yang ber-NPWP. Sedangkan dari 12,9 juta perusahaan yang beroperasi di Indonesia
baru hampir 2 juta atau 15,5% perusahaan badan yang ber-NPWP.
Artinya, 82% pekerja aktif dan 84,5% perusahaan badan di
Indonesia belum ber-NPWP. Alasan mereka belum ber-NPWP bermacam-macam.
Mulai dari ingin menghindari pajak, merasa tidak punya waktu ngurus NPWP, atau
alasan-alasan lainnya. Tapi yang menarik adalah, ada juga yang enggan ber-NPWP
karena berkeyakinan bahwa pajak adalah haram dalam agama. Pertanyaan sekarang
adalah apakah memang pajak itu diharamkan dalam agama? Mari ditelisik dari sisi
spiritual-keagamaan Hindu, Buddha, Kristen dan Islam.
Dari sisi Hindu diatur di
dalam kitab Manawa Dharma Sastra (MNS), terutama pada bagian yang membahas
kewajiban Catur Varna(empat golongan): Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan
Sudra, bahwa diwajibkan bagi setiap Varna untuk membayar
pajak. Pajak yang dipungut harus untuk keadilan dan pemerataan sosial.
Sehingga orang cacat dan orang yang tidak memiliki sesuatu tidak diwajibkan
membayar pajak. Menurut MNS, pajak adalah pungutan sebagai balas jasa
rakyat atas jaminan keamanan yang diberikan raja atau negara.
Mengacu pada MNS, maka
seorang ksatria (raja atau petugas-petugas pemerintah) yang dalam keadaan
negara susah mengambil seperempat dari hasil panen dinyatakan bebas dari
kesalahan kalau ia melindungi rakyatnya dengan sebaik-baiknya menurut
kemampuannya. Artinya raja ataupun negara dibenarkan untuk memungut pajak agar
dapat memberi perlindungan dan keamanan kepada masyarakat.
Kemudian dalam Veda,
kitab suci umat Hindu, diatur bahwa raja atau negara dapat menjatuhkan sanksi
kepada wajib pajak yang berusaha menghindari dari kewajiban membayar pajak,
seperti dengan memalsukan data-data barang yang harus dikenai pajak misalnya.
Atas penghindaran pajak semacam itu, wajib pajak dapat dikenai sanksi oleh
raja atau negara berupa denda beberapa kali lipat dari nilai pajak
yang harusnya ia bayar.
Lalu bagaimana dari sisi
Buddha? Sabda sang Buddha Gotama dalam kitab Anguttara Nikaya, "Dengan
harta kekayaan yang dikumpulkannya dengan semangat, dengan cara sah dan tanpa
kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya, orangtuanya, istri dan anaknya juga
bahagia, pelayan dan bawahannya, sahabat dan kenalannya dan orang-orang lain
juga bahagia." Yaitu, lanjut sang Buddha, dengan cara "Membayar pajak dan
memberikan persembahan kepada orang suci untuk mengumpulkan pahala."
Artinya, seorang Buddhis yang taat agama akan membayar pajak kepada pemerintah
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Sedangkan dalam tradisi Kristen,
dikisahkan dalam Injil Matius 17 ayat 24 sampai 27 bahwa Yesus
Kristus adalah seorang warga negara yang taat membayar pajak. Di
Kapernaum, Yesus dan murid-muridnya didatangi pemungut pajak. Bertanyalah si
pemungut pajak kepada Petrus: "Apakah gurumu (Yesus) tidak membayar pajak
dua dirham itu?" Dijawab Petrus: "Memang mesti membayar?"
Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahului dengan pertanyaan: "Apakah
pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja di dunia ini memungut bea dan pajak?
Dari rakyatnya atau dari orang asing?" Jawab Petrus: "Dari orang
asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi, bebaslah rakyatnya. Tetapi
supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke
danau. Dan ikan pertama yang kau pancing tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka
engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan
bayarkanlah (pajak) kepada mereka, bagiku, dan bagimu juga."
Hukum Pajak menurut Islam
Lalu bagaimana dalam Islam?
Dari sisi Islam terdapat dua pendapat tentang pajak. Sejumlah ulama ada yang
mengharamkan pajak, namun jumhur (mayoritas) ulama menghalalkan pajak.
Kalangan ulama yang mengharamkan pajak mengacu pada hadits Nabi saw. yang
menegaskan bahwa: "Tidak akan masuk surga orang yang memungut mukus"
(HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah). Dan sabda Nabi
saw: "Sesungguhnya penarik mukus (tempatnya ada/diadzab) di
neraka. " [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Ulama-ulama Madzhab Wahabi
seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, dan Adz-Dzahabi menyamakan mukus ataupun 'usyr (artinya sepersepuluh)
sebagai pajak atau cukai sehingga mereka, para ulama Wahabi
itu, mengharamkan pajak dan bea cukai, dan menfatwakan bahwa petugas pajak
maupun petugas bea cukai adalah pelaku dosa besar sehingga akan
diazab dan tempat kembalinya adalah neraka jahannam.
Lalu bagaimana dengan jumhur
(mayoritas) ulama lainnya? Jumhur ulama berpendapat mukus ataupun 'usyr tidak
dapat digeneralisasikan sebagai bea cukai apalagi pajak. Secara etimologis, mukus artinya pengurangan
dengan penzhaliman. Sehingga mukus adalah segala pungutan (uang)
yang diambil oleh makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari
para pedagang yang lewat dengan cara-cara zhalim.
Lalu apakah pajak yang
dipungut pemerintah untuk membiayai fasilitas publik untuk dinikmati oleh para
pembayar pajak itu juga adalahpungutan yang menzholimi (baca: mukus)? Para
jumhur ulama Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari empat madzhab, Syafi'i, Hanafi,
Maliki dan Hanbali, sepakat bahwa pajak tidak dapat serta merta di-qiyas-kan (di-analogi-kan)
sebagai mukus. Jumhur ulama sepakat bahwa pajak yang dipungut/dipotong
oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas seperti:
membiayai tersedianya fasilitas-fasilitas jalan, jembatan, transportasi publik,
listrik dengan harga terjangkau, rumah sakit murah pemerintah, obat-obat
generik, keamanan oleh TNI dan POLRI, sekolah-sekolah murah negeri hingga ke
pedesaan dan daerah terpencil, dan fasilitas-fasilitas layanan publik lainnya adalah
bukan mukus sehingga halal untuk dipungut/dipotong sebagai pajak
oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat juga. ( dalil ? belum detail pembahasannya )
Bahkan mulai masa
kepemerintahan khalifah kedua Islam, Sayyidina 'Umar bin al-Khaththab ra.,
pemerintah negara Islam saat itu memungut 'usyr alias pajak 10% atau cukai
sebesar 10% atas suatu komoditas demi kemaslahatan masyarakat. 'Abdur
Razaq dalam Mushannaf 'Abd ar-Razaq meriwayatkan dari 'Abdullah ibn 'Umar ra.
yang menuturkan bahwa ayahnya 'Umar bin Khaththab ra. memungut pajak dari Nabth (gandum
dan minyak zaitun) sebesar ½ 'usyr (5%) agar mereka lebih banyak
membawanya ke Madinah. Sayyidina 'Umar bin Khaththab ra juga memungut 'usyr
(10%) dari komoditas al-Quthniyah (biji-bijian seperti Adas, Buncis, dsb).
Peristiwa fakta sejarah itu juga diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syai'bah di dalam
Mushannaf Ibn Abi Syai'bah dari 'Ubaydullah bin 'Abdullah ra.
Maka tak heran jika jumhur
ulama Madzhab Syafi'i, seperti Imam al-Ghazali, menyatakan bahwa memungut uang
(pajak) selain zakat pada rakyat diperbolehkan jika memang diperlukan dan
kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara baik
untuk perang atau keperluan negara lainnya. Namun jika masih ada dana di Baitul
Mal, maka tidak boleh.
Kemudian jumhur ulama Madzhab
Hanafi, seperti Muhammad 'Uma'im al-Barkati, menyamakan pajak dengan naibah (jamaknyanawaib).
Ia berpendapat bahwa naibah (pajak) boleh jika memang dibutuhkan
untuk keperluan umum atau keperluan perang. Lalu jumhur ulama Madzhab Maliki,
seperti Imam Al-Qurtubi, mengemukakan bahwa para ulama Madzhab Maliki sepakat
atas dibolehkannya menarik pungutan (pajak) selain zakat apabila
dibutuhkan. Selanjutnya jumhur ulama Madzhab Hanbali, seperti Ibnu Taimiyah,
membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf
as-sulthaniyah. Jumhur ulama Madzhab Hanbali menilai bahwa pajak yang
diambil dari orang-orang yang mampu secara ekonomis merupakan jihad harta.
Juga ulama-ulama kontemporer
seperti Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi berpendapat
bahwa pajak dihalalkan dalam Islam. Rashid Ridha dalam Tafsir
Al-Manar V/39 menafsirkan Qur'an Surat An-Nisaa' ayat ke-29 dengan
penjelasan sebagai berikut, bahwa : "... adanya kewajiban bagi orang
kaya untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan
umum, dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar
zakat) untuk kebaikan".
Lalu Yusuf al-Qardhawi
(Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077) menjelaskan bahwa
negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya. Untuk itu
tiada jalan lain kecuali dengan mengumpulkan pajak. Dan hal itu, menurut
al-Qardhawi, dapat dikategorikan sebagai salahsatu bentuk jihad harta.
Selanjutnya, mufti Al-Azhar Mesir, Mahmud Syaltut, dalam kitabAl-Fatawa
al-Kubra, menegaskan bahwa hakim boleh memungut pajak dari orang yang
mampu secara ekonomis untuk kemaslahatan asalkan tidak berlebihan (melampaui
batas).
Juga Muhammad Abu Zahrah
membolehkan pajak disamping zakat. Abu Zahrah menuturkan bahwa pajak tidak ada
pada era Nabi saw, namun itu bukan karena pajak diharamkan dalam
Islam, tapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar
umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan
persaudaraan yang terjalin antara kaum 'Anshar dan Muhajirinberhasil
mempersempit jarak sosial dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak
diperlukan campur tangan negara denganmenarik pajak.
Nah, dapat disimpulkan bahwa
pajak tidak serta merta diharamkan dalam syari'at agama Hindu, Buddha, Kristen
dan Islam kecualioleh fatwa-fatwa beberapa ulama madzhab Wahabi.
Sebagaimana pemerintahan Islam Sayyidina 'Umar bin Khattab ra yang
menarik pajak ('usyr) 5% dan pajak 10% untuk menciptakan pertumbuhan dan
menjaga stabilitas perekonomian negara, maka pemerintahan-pemerintahan negara
berpenduduk Islam di dunia sekarang pun menarik pajak bukan dengan niat
untuk menzholimi tapi untuk berfungsi sebagai salahsatu instrumen
kebijakan fiskal untuk mewujudkan kemakmuran bangsa dan negara.
*) Tulisan ini merupakan
pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja.
Analisa dan sanggahan tersebut sudah terungkap pada
comments diatas, pendalaman bisa juga merujuk pada related articles dibawah.
Pajak Artinya Negara Sedang
Merampok Rakyatnya - Ust Khalid Basalamah
Pajak tidak
dikenal dalam Islam sehingga Islam tidak pernah menerapkan pajak kepada rakyat
muslimnya. Sebuah perbedaan mendasar ketika hukum Islam dan hukum kuffar dibandingkan.
Banyak pendapat para ulama tentang hukum pajak. Namun secara umum, pajak memang
tidak diberlakukan dalam Islam pada masa kejayaan Islam yang semoga sebentar
lagi masa kejayaan itu akan segera hadir kembali.
Pajak secara
lugas bisa diartikan bahwa negara sedang memeras rakyatnya. Negara yang hidup
dengan pajak sama saja berpesta pora di atas jerih payah keringat rakyatnya.
Mereka digaji dari hasil peras keringat rakyatnya yang ditarik paksa dengan
program wajib pajak. Mewajibkan pajak kepada rakyat sungguh merupakan kelakukan
pemerintah yang tidak terpuji. Berbeda dengan pemerintahan Islam yang justru
negara menyantuni rakyat bukan sebaliknya.
Termasuk pula
jika ada yang bekerja di bidang perpajakan. Hartanya diambil dari sesuatu cara
yang tidak halal dan tidak membanggakan. Lebih baik untuk dihindari pekerjaan
sebagai petugas pajak.
Simak penuturan
Ustadz Khalid Basalamah berikut ini:
Pajak
yang Diperhitungkan Sebagai Zakat
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa'
Pernah diajukan pertanyaan kepada
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
هل يجزئ الرجل عن زكاته ما يغرمه ولاة الأمور في الطرقات أم لا
“Apakah mencukupi
kewajiban zakat seseorang dari harta yang dibebankan (dipungut) penguasa
kepadanya untuk membuat/membangun jalan ?”.
Maka beliau
rahimahullah menjawab:
ما ياخذه ولاة
الأمور بغير اسم الزكاة لا يتعد به من الزكاة والله تعالى أعلم
“Segala sesuatu yang
diambil oleh penguasa bukan atas nama zakat, maka tidak diperhitungkan sebagai
zakat, wallaahu a’lam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 25/93].
Para ulama Lajnah
Daaimah juga berfatwa hal yang senada sebagai berikut:
لا يجوز أن تحتسب
الضرائب التي يدفعها أصحاب الأموال على أموالهم من زكاة ما تجب فيه الزكاة منها ،
بل يجب أن يخرج الزكاة المفروضة ويصرفها في مصارفها الشرعية ، التي نص عليها
سبحانه وتعالى بقوله : ( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ )
الآية
“Tidak diperbolehkan
menganggap pajak dari harta yang dikeluarkan oleh pemilik harta sebagai zakat
yang wajib dikeluarkan darinya. Bahkan tetap wajib baginya untuk membayarkan
zakat dan menyalurkannya pada golongan yang berhak menerimanya menurut
syari’at, yaitu yang telah dinashkan Allah subhaanahu wa ta’ala dengan
firman-Nya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin……dst.” (QS. At-Taubah : 60)” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah,
9/285].
Wallaahu a’lam.
Somewhere,
selepas kerja menjelang adzan Maghrib tiba, 19 Dzulqa’dah 1437
Related Articles
Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 2)
[ Pendapat yang ‘Membolehkan’ Pajak/Pajak Dalam Islam , Bagaimana Siksa Yang Didapatkan Oleh Pemungut Pajak Kelak Di Akherat ? ]
Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 3)
[Hukum Kerja di Kantor Pajak;Menyikapi Pajak dengan Bijak;Hukum Pajak dan Bea Cukai (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah);Jika Saya Seorang Pegawai Pajak;Pegawai Pajak (Terutama Alumni STAN)Ramai-Ramai Mengundurkan Diri, Ada Apa? ]
HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM, Bagaimana Kaum Muslimin Menyikapinya? Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
Adakah Bea Cukai Untuk Barang Orang Kafir?
By: muhammad abduh
Hukum Pajak dan Bekerja di Pajak, Apakah Gaji Bekerja Disitu Halal?
Perpajakan yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat (1)
Ketua Dewan Pembina/Pendiri CISFED ( Center for Studies in Finance, Economics, and Development )
Perpajakan yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat (2-Habis)
Ketua Dewan Pembina/Pendiri CISFED ( Center for Studies in Finance, Economics, and Development )
Mengelak dari Pajak dan zakat, Bolehkah?
Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc
MENGAPA ISLAM MENGHARAMKAN PAJAK?
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Hukum Pajak dan Bekerja di Pajak
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. (Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia)
https://konsultasisyariah.com/106-hukum-pajak-dan-bekerja-di-pajak.html
Pandangan Syariat Terhadap Pajak dan Bea Cukai
Ustadz Aris Munandar