Hukum
Kerja di
Kantor Pajak
By:
muhammad abduh
Berikut ada fatwa menarik tentang
hukum bekerja di kantor pajak yang sering dipertanyakan sebagian orang. Semoga
bermanfaat.
حكم العمل في الجمارك والضرائب
أعمل في الجمارك ،
وقد سمعت أن هذا العمل غير جائز شرعاً ، فشرعت في البحث في هذه المسألة وقد مرت
مدة طويلة وأنا أبحث دون أن أصل إلى نتيجة شافية . أرجو منكم أن تفصلوا لي المسألة
قدر المستطاع
Pertanyaan, “Aku
bekerja di kantor bea cukai. Aku pernah mendengar bahwa pekerjaan semacam ini
itu tidak diperbolehkan oleh syariat. Mendengar hal tersebut aku lantas
mengadakan pengkajian tentang permasalahan ini. Setelah sekian lama aku
mengkaji, aku tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku berharap agar anda
menjelaskan hukum permasalahan ini sejelas-jelasnya”.
الحمد لله
أولاً :
العمل في الجمارك
وتحصيل الرسوم على ما يجلبه الناس من بضائع أو أمتعة ، الأصل فيه أنه حرام .
Jawaban pertanyaan,
“Alhamdulillah, pada dasarnya hukum bekerja di bidang bea cukai yang memungut
pajak atas barang-barang yang didatangkan oleh masyarakat dan dimasukkan ke
suatu daerah adalah haram.
لما فيه من الظلم
والإعانة عليه ؛ إذ لا يجوز أخذ مال امرئ معصوم إلا بطيب نفس منه ، وقد دلت النصوص
على تحريم المَكْس ، والتشديد فيه ، ومن ذلك قوله صلى الله عليه وسلم في المرأة
الغامدية التي زنت فرجمت : ( لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ
مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ) رواه مسلم (1695)
Alasan diharamkannya
hal ini adalah karena pungutan bea cukai adalah kezaliman sehingga bekerja di
bea cukai berarti membantu pihak yang hendak melakukan kezaliman. Tidak boleh
mengambil harta seorang yang hartanya terjaga (baca: muslim atau kafir dzimmi)
kecuali dengan kerelaannya. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan haramnya
maks (baca: bea cukai) dan adanya ancaman keras tentang hal ini. Di antaranya
adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seorang perempuan dari
suku Ghamidiyyah yang berzina lantas dihukum rajam. Beliau bersabda, “Perempuan
tersebut telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai
bertaubat seperti itu tentu dia akan diampuni” (HR Muslim no 1695).
قال النووي رحمه
الله : “فيه أن المَكْس من أقبح المعاصي والذنوب الموبقات ، وذلك لكثرة مطالبات
الناس له وظلاماتهم عنده ، وتكرر ذلك منه ، وانتهاكه للناس وأخذ أموالهم بغير حقها
، وصرفها في غير وجهها ” اهـ .
Ketika membahas
hadits di atas, an Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa memungut
bea cukai itu termasuk kemaksiatan yang paling buruk dan termasuk dosa yang
membinasakan (baca: dosa besar). Hal ini disebabkan banyaknya tuntutan manusia
kepadanya (pada hari Kiamat) dan banyaknya tindakan kezaliman yang dilakukan
oleh pemungut bea cukai mengingat pungutan ini dilakukan berulang kali. Dengan
memungut bea cukai berarti melanggar hak orang lain dan mengambil harta orang
lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan serta membelanjakannya tidak pada
sasaran yang tepat”.
وروى أحمد (17333)
وأبو داود (2937) عن عقبة بن عامر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول : ( لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ )
قال شعيب الأناؤوط :
حسن لغيره. وضعفه الألباني في ضعيف أبي داود
Diriwayatkan oleh
Ahmad no 17333 dan Abu Daud no 2937 dari Ubah bin Amir, Aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pemungut bea cukai itu
tidak akan masuk surga”. Hadits ini dinilai hasan li ghairihi oleh Syu’aib al
Arnauth namun dinilai lemah oleh al Albani dalam Dhaif Abu Daud.
والمَكْس هو الضريبة
التي تفرض على الناس ، ويُسمى آخذها (ماكس) أو (مكَّاس) أو (عَشَّار) لأنه كان
يأخذ عشر أموال الناس
Pengertian maks yang
ada dalam hadits-hadits di atas adalah pajak yang diwajibkan atas masyarakat.
Pemungut maks disebut dengan maakis, makkaas atau ‘asysyar (pemungut
sepersepuluh), disebut demikian karena pemungut bea cukai – di masa silam –
mengambil sepersepuluh dari total harta orang yang dibebani bea cukai.
. وقد ذكر العلماء للمكس عدة صور . منها : ما كان يفعله
أهل الجاهلية ، وهي دراهم كانت تؤخذ من البائع في الأسواق .
ومنها : دراهم كان
يأخذها عامل الزكاة لنفسه ، بعد أن يأخذ الزكاة .
ومنها : دراهم كانت
تؤخذ من التجار إذا مروا ، وكانوا يقدرونها على الأحمال أو الرؤوس ونحو ذلك ، وهذا
أقرب ما يكون شبهاً بالجمارك
Para ulama
menyebutkan bahwa maks itu memiliki beberapa bentuk.
(1) Maks yang
dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yaitu uang pajak yang diambil dari para
penjual di pasar
(2) Uang yang diambil
oleh amal zakat dari muzakki untuk kepentingan pribadinya setelah dia mengambil
zakat.
(3) Uang yang diambil
dari para pedagang yang melewati suatu tempat tertentu. Uang yang diambil
tersebut dibebankan kepada barang dagangan yang dibawa, perkepala orang yang
lewat atau semisalnya.
Maks dengan
pengertian ketiga tersebut sangat mirip dengan bea cukai.
وذكر هذه الصور
الثلاثة في “عون المعبود” ، فقال : في القاموس : المكس النقص والظلم ، ودراهم كانت
تؤخذ من بائعي السلع في الأسواق في الجاهلية . أو درهم كان يأخذه المُصَدِّق (عامل
الزكاة) بعد فراغه من الصدقة
Ketiga bentuk maks
ini disebutkan oleh penulis kitab Aunul Ma’bud (Syarh Sunan Abu Daud). Penulis
Aunul Ma’bud mengatakan, “Dalam al Qamus al Muhith disebutkan bahwa makna asal
dari maks adalah mengurangi atau menzalimi. Maks adalah uang yang diambil dari
para pedagang di pasar pada masa jahiliyyah atau uang yang diambil oleh amil
zakat (untuk dirinya) setelah dia selesai mengambil zakat.
وقال في “النهاية” :
هو الضريبة التي يأخذها الماكس ، وهو العشار .
وفي “شرح السنة” :
أراد بصاحب المكس : الذي يأخذ من التجار إذا مروا مَكْسًا باسم العشر اهـ
Penulis kitab an
Nihayah mengatakan bahwa maks adalah pajak yang diambil oleh maakis atau
pemungut maks. Pemungut maks itu disebut juga asysyar. Sedangkan penulis kitab
Syarh as Sunah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang
yang meminta uang dari para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan
kedok ‘usyur (yaitu zakat)”.
وقال الشوكاني في
“نيل الأوطار” : صاحب المكس هو من يتولى الضرائب التي تؤخذ من الناس بغير حق “اهـ .
Dalam Nailul Author,
asy Syaukani mengatakan, “Pemungut maks adalah orang yang mengambil pajak dari
masyarakat tanpa adanya alasan yang bisa dibenarkan”.
والمَكْس محرم
بالإجماع ، وقد نص بعض أهل العلم على أنه من كبائر الذنوب .
Memungut maks adalah
haram dengan sepakat ulama. Bahkan sebagian ulama menegaskan bahwa perbuatan
memungut maks adalah dosa besar.
قال في “مطالب أولي
النهى” (2/619
)
(يحرم تعشير أموال المسلمين -أي أخذ عشرها- والكُلَف
-أي الضرائب- التي ضربها الملوك على الناس بغير طريق شرعي إجماعا . قال القاضي :
لا يسوغ فيها اجتهاد ) اهـ .
Dalam Mathalib Ulin
Nuha 2/619 disebutkan, “Diharamkan mengambil sepersepuluh dari total harta
manusia. Demikian juga diharamkan memungut pajak. Pajak adalah pungutan
penguasa dari rakyatnya tanpa cara yang dibenarkan oleh syariat. Diharamkannya
hal ini adalah ijma ulama. Al Qadhi mengatakan bahwa tidak ada ijtihad dalam
masalah ini”.
وقال ابن حجر المكي
في “الزواجر عن اقتراف الكبائر” (1/180(
الكبيرة الثلاثون
بعد المائة : جباية المكوس , والدخول في شيء من توابعها كالكتابة عليها ، لا بقصد
حفظ حقوق الناس إلى أن ترد إليهم إن تيسر. وهو داخل في قوله تعالى : ( إِنَّمَا
السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأَرْضِ
بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ( الشورى/42 .
Ibnu Hajar al Maki
dalam al Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair 1/180 mengatakan, “Dosa besar ke-130
adalah memungut maks dan berperan serta di dalamnya dengan menjadi juru tulis
bukan dengan tujuan menjaga hak manusia sehingga bisa dikembalikan kepada
pemilik harta ketika sudah memungkinkan. Dosa ini termasuk dalam firman Allah
yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab
yang pedih” (QS asy Syura:42).
والمكاس بسائر
أنواعه : من جابي المكس ، وكاتبه ، وشاهده ، ووازنه ، وكائله ، وغيرهم من أكبر أعوان
الظلمة ، بل هم من الظلمة أنفسهم , فإنهم يأخذون ما لا يستحقونه ، ويدفعونه لمن لا
يستحقه , ولهذا لا يدخل صاحب مكس الجنة ، لأن لحمه ينبت من حرام .
Para pemungut pajak
dengan berbagai tugasnya baik pemungut pajak secara langsung, juru tulisnya,
saksi, petugas yang bertugas menimbang ataupun menakar barang yang akan
dibebani pajak dll adalah pembantu penting para penguasa yang zalim. Bahkan
mereka adalah orang-orang yang zalim karena merekalah yang mengambil harta yang
bukan hak mereka dan menyerahkannya kepada orang yang tidak berhak. Oleh karena
itu, pemungut pajak itu tidak akan masuk surga karena dagingnya tumbuh dari
harta yang haram.
وأيضا : فلأنهم
تقلدوا بمظالم العباد , ومن أين للمكاس يوم القيامة أن يؤدي الناس ما أَخَذَ منهم
، إنما يأخذون من حسناته ، إن كان له حسنات , وهو داخل في قوله صلى الله عليه وسلم
في الحديث الصحيح : ( أتدرون من المفلس ؟ قالوا : يا رسول الله ، المفلس فينا من
لا درهم له ولا متاع . قال : إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وزكاة
وصيام ، وقد شتم هذا ، وضرب هذا ، وأخذ مال هذا ، فيأخذ هذا من حسناته ، وهذا من
حسناته ، فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من سيئاتهم فطرح عليه ثم طرح في
النار)
Sebab yang kedua
adalah karena mereka bertugas untuk menzalimi manusia. Dari mana para pemungut
zakat tersebut pada hari Kiamat bisa mengembalikan hak orang lain yang telah
mereka ambil?? Orang-orang yang dikenai pajak itu akan mengambil kebaikannya
jika pemungut pajak tersebut masih memiliki kebaikan. Pemungut pajak itu
termasuk dalam hadits yang sahih. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya
kepada para sahabat, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Jawaban
para sahabat, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya
dan tidak punya harta”. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , “Umatku yang
bangkrut adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala
shalat, zakat dan puasa. Namun dia telah mencaci maki A, memukul B dan
mengambil harta C. A akan mengambil amal kebaikannya. Demikian pula B. Jika
amal kebajikannya sudah habis sebelum kewajibannya selesai maka amal kejelekan
orang-orang yang dizalimi akan diberikan kepadanya kemudian dia dicampakkan ke
dalam neraka”.
وعن عقبة بن عامر
رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا يدخل الجنة صاحب
مكس
)
Dari Ubah bin Amir,
beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pemungut
bea cukai itu tidak akan masuk surga”.
قال البغوي : يريد
بصاحب المكس الذي يأخذ من التجار إذا مروا عليه مكسا باسم العشر . أي الزكاة
Al Baghawi mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang yang meminta uang dari
para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu
zakat).
قال الحافظ المنذري
: أما الآن فإنهم يأخذون مكسا باسم العشر ، ومكسا آخر ليس له اسم ، بل شيء يأخذونه
حراما وسحتا ، ويأكلونه في بطونهم نارا , حجتهم فيه داحضة عند ربهم ، وعليهم غضب ،
ولهم عذاب شديد . اهـ
Al Hafiz al Mundziri
mengatakan, “Sedangkan sekarang para pemungut pajak mereka memungut pajak
dengan kedok zakat dan pajak yang lain tanpa kedok apapun. Itulah uang yang
mereka ambil dengan jalan yang haram. Mereka masukkan ke dalam perut mereka api
neraka. Alasan mereka di hadapan Allah adalah alasan yang rapuh. Untuk mereka
murka Allah dan siksa yang berat”. Sekian kutipan dari Ibnu Hajar al Makki.
وقال شيخ الإسلام
ابن تيمية رحمه الله في “السياسة الشرعية”: ص 115 :
“وأما من كان لا يقطع الطريق , ولكنه يأخذ خَفَارة ( أي
: يأخذ مالاً مقابل الحماية ) أو ضريبة من أبناء السبيل على الرؤوس والدواب
والأحمال ونحو ذلك , فهذا مَكَّاس , عليه عقوبة المكاسين . . . وليس هو من قُطَّاع
الطريق , فإن الطريق لا ينقطع به , مع أنه أشد الناس عذابا يوم القيامة , حتى قال
النبي صلى الله عليه وسلم في الغامدية : ” لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر
له” اهـ
.
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dalam al Siyasah al Syar’iyyah hal 115 mengatakan, “Sedangkan orang
yang profesinya bukanlah merampok akan tetapi mereka meminta khafarah (uang
kompensasi jaminan keamanan, sebagaimana yang dilakukan oleh para preman di
tempat kita, pent) atau mengambil pajak atas kepala orang, hewan tunggangan
atau barang muatan dari orang-orang yang lewat dan semisalnya maka profesi
orang ini adalah pemungut pajak. Untuknya hukuman para pemungut pajak… Orang
tersebut bukanlah perampok karena dia tidak menghadang di tengah jalan. Meski
dia bukan perampok dia adalah orang yang paling berat siksaannya pada hari
Kiamat nanti. Sampai-sampai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan
tentang perempuan dari suku Ghamidi, “Perempuan tersebut telah bertaubat dengan
suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai bertaubat seperti itu tentu dia
akan diampuni”
وقد سئلت اللجنة
الدائمة للإفتاء عن العمل في البنوك الربوية أو العمل بمصلحة الجمارك أو العمل
بمصلحة الضرائب ، وأن العمل في الجمارك يقوم على فحص البضائع المباحة والمحرمة
كالخمور والتبغ ، وتحديد الرسوم الجمركية عليها
Lajnah Daimah ditanya
tentang hukum bekerja di bank ribawi, di kantor bea cukai dan di kantor pajak.
Orang yang bertugas di kantor bea cukai itu bertugas untuk mengecek barang yang
hendak masuk ke dalam negeri baik barang yang mubah ataupun barang yang haram
semisal khamr dan tembakau lalu menetapkan besaran bea cukai atas barang-barang
tersebut.
فأجابت : إذا كان
العمل بمصلحة الضرائب على الصفة التي ذكرت فهو محرم أيضا ؛ لما فيه من الظلم
والاعتساف ، ولما فيه من إقرار المحرمات وجباية الضرائب عليها ) اهـ .
“فتاوى اللجنة الدائمة” (15/64)
Jawaban Lajnah
Daimah, “Bekerja di kantor pajak sebagaimana yang anda sampaikan juga haram
karena dalam pekerjaan tersebut terdapat unsur kezaliman dan
kesewenang-wenangan, membiarkan barang-barang yang haram dan mengambil pajak
atasnya” (Fatawa Lajnah Daimah 15/64).
ومن هذا يتبين أن
أخذ هذه الرسوم والضرائب ، أو كتابتها والإعانة عليها ، محرم تحريما شديداً .
Dari penjelasan di
atas jelaslah bahwa bekerja sebagai pemungut pajak, pencatat pajak dan komponen
pendukung yang lain adalah sangat diharamkan.
ثانياً :
نظراً لأن هذا الظلم
واقع على المسلمين ، وامتناعك من العمل فيه لن يرفعه ، فالذي ينبغي في مثل هذه
الحال – إذا لم نستطع إزالة المنكر بالكلية – أن نسعى إلى تقليله ما أمكن .
Menimbang bahwa
kezaliman ini merupakan realita kaum muslimin dan andai anda tidak bekerja di
sana kezaliman ini juga tidak hilang maka yang sepatutnya dalam kondisi semacam
ini yaitu kondisi kita tidak bisa menghilangkan kemungkaran secara total adalah
kita berupaya untuk meminimalisir kezaliman semaksimal mungkin.
فإذا كنت تعمل في
هذا العمل بقصد رفع الظلم وتخفيفه عن المسلمين بقدر استطاعتك ، فأنت في ذلك محسن ،
أما من دخل في هذا العمل بقصد الراتب ، أو الوظيفة , أو تطبيق القانون ، ونحو ذلك
فإنه يكون من الظلمة ، ومن أصحاب المكس ، ولن يأخذ من أحد شيئاً ظلماً إلا أُخِذَ
بقدره من حسناته يوم القيامة . نسأل الله السلامة والعافية .
Jika anda bekerja di
kantor pajak dengan tujuan menghilangkan kezaliman atas kaum muslimin atau
menguranginya semaksimal yang bisa anda lakukan maka apa yang anda lakukan
adalah baik. Sedangkan orang yang kerja di tempat ini dengan pamrih gaji, dapat
pekerjaan, menerapkan UU perpajakan atau tujuan semisal maka orang tersebut
termasuk orang yang melakukan tindakan kezaliman dan pemungut pajak. Siapa saja
yang mengambil hak orang lain secara zalim maka amal kebajikannya akan diambil
pada hari Kiamat sesuai dengan kadar kezaliman yang dia lakukan.
قال شيخ الإسلام ابن
تيمية رحمه الله في “مجموع الفتاوى” (28/284) :
“وَلا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَكُونَ عَوْنًا عَلَى
ظُلْمٍ ; فَإِنَّ التَّعَاوُنَ نَوْعَانِ :
الأَوَّلُ :
تَعَاوُنٌ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى مِنْ الْجِهَادِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ
وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَإِعْطَاءِ الْمُسْتَحَقِّينَ ; فَهَذَا مِمَّا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ وَرَسُولُهُ . . . .
Dalam Majmu Fatwa
28/284, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Tidak boleh membantu
tindakan kezaliman. Tolong menolong itu ada dua macam. Pertama, tolong menolong
untuk melakukan kebajikan dan takwa semisal tolong menolong dalam jihad,
menegakkan hukuman had, mengambil hak dan memberikannya kepada yang berhak mendapatkannya.
Tolong menolong semacam ini diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.
وَالثَّانِي :
تَعَاوُنٌ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ، كَالإِعَانَةِ عَلَى دَمٍ مَعْصُومٍ ،
أَوْ أَخْذِ مَالٍ مَعْصُومٍ ، أَوْ ضَرْبِ مَنْ لا يَسْتَحِقُّ الضَّرْبَ ، وَنَحْوَ
ذَلِكَ ، فَهَذَا الَّذِي حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ . . .
Kedua, tolong
menolong dalam dosa dan tindakan kezaliman semisal tolong menolong untuk
membunuh orang, mengambil harta orang lain, memukul orang yang tidak berhak
dipukul dan semisalnya. Ini adalah tolong menolong yang diharamkan oleh Allah
dan rasul-Nya.
ومَدَارَ
الشَّرِيعَةِ عَلَى قَوْلِهِ تَعَالَى : ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ )
; وَعَلَى قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : (إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرِ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ) أَخْرَجَاهُ فِي الصَّحِيحَيْنِ .
Landasan hukum
syariat adalah firman Allah yang artinya, “Bertakwalah kalian kepada Allah
semaksimal kemampuan kalian” (QS at Taghabun:16), dan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam , “Jika kuperintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka
laksanakanlah semaksimal kemampuan kalian” (HR Bukhari dan Muslim).
وَعَلَى أَنَّ
الْوَاجِبَ تَحْصِيلُ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلُهَا ; وَتَعْطِيلُ الْمَفَاسِدِ
وَتَقْلِيلُهَا . فَإِذَا تَعَارَضَتْ كَانَ تَحْصِيلُ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ
بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا ، وَدَفْعُ أَعْظَمِ الْمَفْسَدَتَيْنِ مَعَ احْتِمَالِ
أَدْنَاهَا : هُوَ الْمَشْرُوعُ .
Kewajiban kita semua
adalah mewujudkan kebaikan secara utuh atau semaksimal mungkin dan menihilkan
keburukan atau meminimalisirnya. Jika hanya ada dua pilihan yang keduanya
sama-sama kebaikan atau sama-sama keburukan maka yang sesuai dengan syariat
adalah memilih yang nilai kebaikannya lebih besar meski dengan kehilangan
kebaikan yang lebih rendah dan mencegah keburukan yang lebih besar meski dengan
melakukan kuburukan yang lebih rendah.
وَالْمُعِينُ عَلَى
الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ مَنْ أَعَانَ الظَّالِمَ عَلَى ظُلْمِهِ ، أَمَّا مَنْ
أَعَانَ الْمَظْلُومَ عَلَى تَخْفِيفِ الظُّلْمِ عَنْهُ أَوْ عَلَى أَدَاءِ
الْمَظْلِمَةِ : فَهُوَ وَكِيلُ الْمَظْلُومِ ; لا وَكِيلُ الظَّالِمِ ;
بِمَنْزِلَةِ الَّذِي يُقْرِضُهُ ، أَوْ الَّذِي يَتَوَكَّلُ فِي حَمْلِ الْمَالِ
لَهُ إلَى الظَّالِمِ .
Penolong perbuatan
dosa dan kezaliman adalah orang yang menolong orang yang zalim untuk bisa
menyukseskan kezaliman yang ingin dia lakukan. Sedangkan orang yang menolong
orang yang terzalimi agar kadar kezalimannya berkurang atau agar apa yang
menjadi haknya bisa kembali maka status orang tersebut adalah wakil dari orang
yang teraniaya, bukan wakil orang yang menganiaya. Orang tersebut berstatus
seperti orang yang memberi hutangan kepada orang yang dizalimi atau mewakili
orang yang dizalimi untuk menyerahkan hartanya kepada orang yang zalim.
مِثَالُ ذَلِكَ :
وَلِيُّ الْيَتِيمِ وَالْوَقْفِ إذَا طَلَبَ ظَالِمٌ مِنْهُ مَالا فَاجْتَهَدَ فِي
دَفْعِ ذَلِكَ بِمَالِ أَقَلَّ مِنْهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى غَيْرِهِ بَعْدَ
الاجْتِهَادِ التَّامِّ فِي الدَّفْعِ ؛ فَهُوَ مُحْسِنٌ ، وَمَا عَلَى
الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ . . .
Contoh realnya adalah
orang yang memegang harta anak yatim atau pengurus harta wakaf jika ada orang
zalim yang meminta sebagian harta amanah tersebut dengan menyerahkan sedikit
mungkin dari harta yang diminta setelah dengan penuh kesungguhan berupaya mencegah
kezaliman tersebut. Orang semacam ini adalah orang yang melakukan kebaikan dan
tidak ada jalan untuk menyudutkan orang yang melakukan kebaikan.
كَذَلِكَ لَوْ
وُضِعَتْ مَظْلِمَةٌ عَلَى أَهْلِ قَرْيَةٍ أَوْ دَرْبٍ أَوْ سُوقٍ أَوْ مَدِينَةٍ
فَتَوَسَّطَ رَجُلٌ مِنْهُمْ مُحْسِنٌ فِي الدَّفْعِ عَنْهُمْ بِغَايَةِ
الإِمْكَانِ ، وَقَسَّطَهَا بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ طَاقَتِهِمْ مِنْ غَيْرِ
مُحَابَاةٍ لِنَفْسِهِ ، وَلا لِغَيْرِهِ ، وَلا ارْتِشَاءٍ ، بَلْ تَوَكَّلَ
لَهُمْ فِي الدَّفْعِ عَنْهُمْ وَالإِعْطَاءِ : كَانَ مُحْسِنًا ; لَكِنَّ
الْغَالِبَ أَنَّ مَنْ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ يَكُونُ وَكِيلُ الظَّالِمِينَ
مُحَابِيًا مُرْتَشِيًا مَخْفَرًا لِمَنْ يُرِيدُ (أي يدافع عنه (وَآخِذًا مِمَّنْ
يُرِيدُ . وَهَذَا مِنْ أَكْبَرِ الظَّلَمَةِ الَّذِينَ يُحْشَرُونَ فِي
تَوَابِيتَ مِنْ نَارٍ هُمْ وَأَعْوَانُهُمْ وَأَشْبَاهُهُمْ ثُمَّ يُقْذَفُونَ
فِيى النَّارِ” اهـ .
والله أعلم
Demikian pula jika
kezaliman (baca:pajak) ditetapkan atas penduduk suatu kampung, suatu jalan,
pajak atau suatu kota lantas ada orang baik-baik yang menjadi mediator dalam
rangka mencegah kezaliman semaksimal mungkin lantas dia bagi kezaliman
(baca:pajak) tersebut atas orang-orang yang dikenai pajak sesuai dengan kadar
kemampuan ekonomi mereka tanpa mengistimewakan dirinya sendiri atau orang lain
dan tanpa meminta suap. Dia hanya berperan sebagai mediator untuk mencegah
kezaliman dan mendistribusikan ‘kewajiban’ yang dipaksakan. Orang semisal ini
adalah orang yang berbuat baik.
Akan tetapi mayoritas
orang yang masuk di kancah ini mereka menjadi wakil orang yang zalim (baca:
penguasa yang zalim), pilih kasih pada pihak-pihak tertentu, meminta suap,
membela orang yang dia sukai dan mengambil pajak dari orang yang dia sukai.
Orang semacam ini termasuk pentolan orang-orang yang berbuat zalim. Mereka,
para pembantu mereka dan orang-orang yang serupa dengan mereka akan dimasukkan
ke dalam kotak dari api neraka lantas dicampakkan ke dalam neraka”.
Referensi: http://islamqa.com/ar/ref/39461
Catatan:
Yang menjadi
pertanyaan, apakah seorang muslim yang sudah terlanjur bekerja di kantor pajak
secara real mampu melakukan pembelaan dan meminimalisir beban kezaliman
(baca:pajak) yang ditimpakan kepada kaum muslimin?
80 Comments
asyrop qomarudin
Jan 11, 2010, 8:08 am
ya Ustad, apakah berarti
sumber pemasukan negara menurut Islam harus bersifat sukarela ? (wakaf,zakat).
bagaimana dengan jizyah?
abdurrohman
Jan 11, 2010, 10:42 am
ustad,
jadi status sebenarnya bekerja di kantor pajak dan bea cukai itu bagaimana
? karena artikel diatas ada disebutkan pengecualian bagi orang yg punya niat
untuk melakukan perbaikan di dalam kantor pajak tersebut. Saya pernah datang ke
kantor pajak di suatu daerah, subhanalloh, para karyawannya mayoritas pakai
jilbab, dan sebagian saya juga kenal kepada mereka, dan kebanyakan mereka
adalah aktifis dakwah,mungkinkah mereka (para aktifis dakwah) punya niat untuk
memperbaiki dari dalam, mohon penjelasannya ? makasih
A.Fanani
Jan 11, 2010, 1:16 pm
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarokaatuh..
Masya Allah..
semoga saya bisa menyampaikan berita ini kpd saudara saya yg bekerja di kantor
pajak. Mohon do’a dr ustadz.
Ustadz, saya ingin bertanya, bagaimana hukum menjalankan usaha jasa Internet
(WarNet).
Seperti kita ketahui salah satu menfaat dr internet (warnet) kita bisa menimba
ilmu yg manfaat, namun sisi negatif jg pasti ada (tentunya tergantung pemakai),
meski pada warnet sudah meminimalisir sisi negatifnya dg cara memblokir situs2
porno & cukup efektif mengantisipasi pelanggan yg hendak membuka “situs2
kotor” tsb, namun bagi orang yg ngerti teknologi pasti faham cara untuk
mem-bypass pemblokiran konten haram tsb.
mohon dijelaskan.
Jazakumullah khoir..
ustadzaris
Jan 11, 2010, 1:25 pm
Untuk Fanani
Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarokatuh
Untuk usaha warnet insya Allah akan kita bahas dalam tulisan khusus. Moga Allah
mudahkan.
Catatan:
Masya Allah itu digunakan untuk ungkapan kagum dengan hal yang baik-baik.
ustadzaris
Jan 11, 2010, 1:29 pm
Untuk Abdurrahman
Kita perlu data real seberapa besar ‘meminimalkan kezaliman’ itu bisa dilakukan
untuk menjawab pertanyaan tersebut.
ustadzaris
Jan 11, 2010, 1:34 pm
Untuk Asyrop
Tolong baca http://abiubaidah.com/menyoal-gaji-pegawai-negeri-pns.html/comment-page-1/#comment-799 dan
jawaban ustadz Abu Ubaidah untuk komen-komen yang ada.
ummu abdirrahman
Jan 11, 2010, 2:15 pm
Ustadz, apakah hukumnya
membayar pajak?
abdurrahman
Jan 11, 2010, 2:17 pm
tanya lagi ustad,
kalo semacam iuran rt setiap bulan, apakah ini termasuk dalam kategori pajak ?
krn kegunaan iuran rt itu sama-sama digunakan untuk, misal : biaya kebersihan
(sampah), biaya satpam (keamanan), dll. dan mungkin hakekatnya sama dengan
pajak negara, yg hasilnya juga untuk bangun jalan, untuk pertahanan negara,
dll. makasih atas penjelasannya
ustadzaris
Jan 11, 2010, 5:36 pm
Untuk Umm Abdurrahman
Tolong baca tulisan di link berikut beserta komentar-komentarnya
ustadzaris
Jan 11, 2010, 11:07 pm
Untuk Abdurrahman
Sebenarnya saya rasa perbedaan antara iuran rt dan pajak itu suatu hal yang
gamblang.
Adakah pembaca yang berkenan menjelaskan hal ini secara detail kepada mas
Abdurrahman?
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.
Pembaca
Jan 12, 2010, 11:18 am
Ustadz,saya mau coba menjawab
pertanyaan abdurrahman.
Iuran RT: iuran bersifat suka rela, tidak ada unsur paksaan, nilai nominalnya
pun ditetapkan berdasarkan kesepkatan bersama (musyawarah), uang yang terkumpul
digunakan untuk kepentingan bersama pula.
Sementara pajak: bersifat memaksa, nilainya pun ditentukan secara sepihak (oleh
penguasa), uang yang terkumpul digunakan untuk mendanai hal2 yang belum jelas,
apakah membawa manfaat ataukah tidak.
Pegawai Pajak
Jan 12, 2010, 8:55 pm
saya adalah pegawai pajak.
sudah sekitar 2 tahun ini saya bekerja, saya dari dulu sebenarnya sudah sangat
ragu pada pekerjaan saya ini, apakah halal atau tidak. Saya sudah berusaha
untuk sesegera mungkin pindah ke instansi lain. Atau kalau memang tidak bisa
juga ya Insya Allah saya berniat untuk keluar dari pajak dan mencoba untuk
berdagang dll. Yang jadi pertanyaan saya adalah apakah gaji saya sebagai PNS
dalam hal ini pegawai pajak adalah halal, mengingat semua gaji PNS di Indonesia
berasal dari pajak?
ustadzaris
Jan 13, 2010, 1:43 pm
Utk Pegawai Pajak
Gaji peawai pajak sama dengan gaji PNS yaitu harta bercampur ada dari
pendapatan pajak dan ada juga yang non pajak semisal devisa hasil ekspor. Harta
bercampur hukumnya halal.
Abang
Jan 13, 2010, 9:03 pm
bagaimana dgn orang2 yg mau
meninggalkan kerja di bank, lalu merintis usaha, apakah bisa gaji di bank yg
selama ini dikumpulkan menjadi modal dia berwirausaha ? banayk juga yg pengen
taubat gini, tapi mau merintis dari awal perlu modal, sedangkan hanya ada modal
/ harta dari sisa2 kerjaan haram dulu. mohon solusi
ustadzaris
Jan 14, 2010, 12:31 pm
Untuk Abang
Maaf, saya belum tahu. Coba tanyakan kepada ustadz yang lain.
Dewi
Jan 15, 2010, 11:28 am
Assalamualaikum Ustadz.
Apa hukumnya bekerja sebagai penerjemah dokumen dari rumah yang mendapat order
dari luar negeri? Dokumennya bermacam-macam ada yang berupa dokumen hukum,
perbankan, medis, pendidikan, dll.
Jazakallah khair.
Wassalam,
Dewi
ustadzaris
Jan 15, 2010, 1:21 pm
Untuk Dewi
Wa’alaikumussalam
Pada asalnya diperbolehkan selama tidak ada unsur-unsur yang haram
abdulloh
Jan 17, 2010, 12:39 pm
ustad melihat komen ustad
untuk pegawai pajak berarti bekerja di pajak hukumnya ga boleh tetapi uang
gajinya boleh / halal ya khususnya yang bekerja di ditjen pajak Indonesia.benar
tidak anggapan saya ketika membaca komen tsb?
Jan 17, 2010, 12:51 pm
Bismillah
Assalamu’alaykum warahmatullah
Udtadz yg dirahmati Allah
Orang yg bekerja di kantor pajak dalah haram hukumnya menurut ijma’ ulama. Ana
mau bertanya, bagaimana hukumnya jika magang/pkl (praktek kerja lapangan) di
kantor pajak??, bagaimana hukumnya dalam skripsi mengambil tema tentang pajak??
mohon jawabannya
jazakallah khayra… barakallahu fiik..
ustadzaris
Jan 17, 2010, 1:19 pm
Wa’alaikumussalam
Warohmatullahi Wabarokatuh
a. Jika pkl tersebut sekedar pkl maka terlarang karena termasuk ta’awun alal
itsmi wal udwan. Jika ada manfaat syar’i dibalik pkl semisal mengetahui sisi
negatif dari pajak dan pengetahuan ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang
memerlukannya maka insya Allah tidak mengapa.
b. skripsi tentang pajak perlu rincian sebagaimana di atas.
ustadzaris
Jan 17, 2010, 2:09 pm
Untuk Abdullah
Terima kasih karena karena pertanyaan anda saya menjadi teringat suatu hal yang
penting dalam masalah ini. Yaitu meski sumber uang gaji itu halal namun jika
pekerjaannya haram maka gaji yang diterima oleh pegawai tersebut menjadi haram.
Oleh karena itu gaji yang diterima oleh pegawai pajak adalah uang haram untuk
orang tersebut.
Kaedah tentang gaji di atas bisa juga dibaca di link berikut:
Sehingga jawaban ini ada ralat dan pelengkap untuk jawaban saya sebelumnya.
Semoga Allah memaafkan kesalahan saya yang ini dan yang selainnya.
Baca juga http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-ibadah/suami-saya-seorang-hakim-halalkah-nafkahnya/
bocah
Jan 17, 2010, 2:29 pm
assalamualaikum Ustadz yang
saya hormati….
mengenai konsepsi zakat……….
Direktur Eksekutif Badan Amil
Zakat Nasional (Baznas), Emmy Hamidiyah, mengatakan, target pendapatan zakat
tahun 2009 ini sebesar Rp. 1,2 trilyun.Target ini bukanlah tanpa dasar. Sebab,
berdasarkan penelitian pada tahun 2007 realisasi pendapatan zakat seluruh
Indonesia mencapai Rp. 11,5 trilyun.(http://www.menkokesra.go.id/content/view/12190/39/)
Sekarang coba kita bandingkan…….
Pemerintah memperkirakan penerimaan pajak selama 2009 mencapai Rp577,6 triliun
atau sekitar 98,3 persen dari target yang ditetapkan dalam dokumen stimulus
fiskal 2009 (http://www.antaranews.com/view/?i=1246360882&c=EKB&s=MAK)
kami disini tidak untuk memperdebatkan konsepsi zakat , hanya saja pemerintahan
yang berdiri sekarang hampir 70% pembiayaannya disokong dari pajak, yang
digunakan untuk pembiayaan negara sementara kesadaran masyarakat akan zakat
masih belum mencukupi kebutuhan pemerintah…… apabila kita tidak membayar
pajak bagaimana kelanjutan pemerintah ini ustadz?
Jan 17, 2010, 2:58 pm
Jazakallah khayra atas
jawabannya ustadz
*magang/pkl di kantor pajak dilakukan karena wajib dari kampus untuk magang di
salah satu instansi keuangan sebagai prasarat kelulusan, bagaimana hukumnya
ustadz?
*skripsi tema pajak diambil karena ke inginan dosen, bagaimana hukumnya
ustadz?. sedangkan skripsi ana sudah BAB akhir, dan seminggu lagi mau sidang
Insya Allah, apa ana harus mengambil judul lain??
*jika kuliah dan mengambil jurusan akuntansi semisalnya, itu pasti ada mata
kuliah ‘perpajakan’, bagaimana sikap kita sbg thalibul ilmy menyikapi perkara
tsb?kalau tidak mengambil mata kuliah tsb berarti kita tdk bisa mendapatkan
nilai dr dosen
barakallhu fiik. jazakallah khayra
ustadzaris
Jan 18, 2010, 10:26 am
Untuk Bocah
Wa’alaikumussalam
Tentang hukum membayar pajak bisa antum baca komentar Ustadz Abu Ubaidah untuk
Untung Slamet di link berikut ini, http://abiubaidah.com/menyoal-gaji-pegawai-negeri-pns.html/comment-page-1/#comment-836
ustadzaris
Jan 18, 2010, 12:44 pm
Untuk Ummu Humairah
Berikan niat yang benar.
abu abdurrazaq
Feb 7, 2010, 3:32 pm
Assalamualaikum
Ustadz bagaimana kalau yg dipaksa untuk bayar pajak, karena karyawan
sekarang yg gajinya lebih 1,5 jt harus punya npwp kalau tidak maka malah
dipotong 20 % ?
ustadzaris
Feb 7, 2010, 8:37 pm
Untuk Abu
Wa’alaikumussalam
Jawabannya sudah ada di sini
ayazka
Feb 16, 2010, 4:01 pm
ustadz, apakah pengartian
kata maks dlm bahasa arab ke bea cukai sudah tepat? apakah ada kemungkinan yg
dimaksud maks yg terjadi zaman dulu adalah semacam ‘pungutan liar’ untuk
kepentingan pribadi?
ustadzaris
Feb 16, 2010, 4:37 pm
Untuk Azka
Sudah tepat. Maks itu memiliki 3 pengertian. Coba baca tulisan di atas dengan
baik.
Apr 3, 2010, 1:43 pm
Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh
Ustadz Aris yang kami cintai, ada beberapa hal yg masih mengganjal di hati kami
kiranya ustadz bisa mempertegas kembali. Apakah hukum bekerja sebagai
konsultan pajak atau auditor semisalnya non dirjen pajak juga dikatakan haram
karena melakukan kerjasama dlm dosa & pelanggaran? Lantas bagaimana dgn
hukum gajinya? Padahal mereka itu bukanlah penarik pajak. Jazakallahu khair
ustadzaris
Apr 4, 2010, 8:46 pm
Untuk Om
1. kerja sebagai auditor pajak hukumnya haram
2. gajinya juga haram.
abuzaky
Apr 6, 2010, 12:52 pm
Assalamu’alaikum ustadz,
semoga Alloh merohmati ustadz
Ana mau tanya, bagaimana jika ta’lim diadakan di masjid kantor pajak ustadz?
Bolehkah?
Bagaimana jika teman kita yang seorang pegawai pajak membeli barang kita
ustadz? apakah uang yg ana terima juga haram?
ustadzaris
Apr 6, 2010, 3:08 pm
Untuk Abu
Wa’alaikumussalam
1. boleh
2. uang yang anda ambil darinya adalah uang yang halal menurut pendapat yang
paling kuat.
Pamannya Althaf
Apr 6, 2010, 4:02 pm
Ustadz, saya adalah seorang
PNS yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam pekerjaan saya
terkadang saya ikut dalam tim pemeriksaan. Dalam pekerjaan pemeriksaan
tersebut, objek yang diperiksa tidak hanya pajak tapi juga ada hal-hal lain.
Misalnya dalam pemeriksaan laporan keuangan daerah, hal-hal yang diperiksa
adalah belanja (biaya yang dikeluarkan), pendapatan (dalam hal ini termasuk
pajak) dan hal-hal lain seperti kepatuhan terhadap hukum. Dalam hal ini
pemeriksaan terhadap pajak juga dilakukan untuk memastikan berapa sebenarnya
pendapatan daerah/negara tersebut dari hasil pajak? apakah pajak tersebut sudah
disetorkan ke kas daerah/negara seluruhnya atau ada yang diselewengkan (karena
dikhawatirkan ada pajak yang diselewengkan oleh pemungutnya)? Apakah penyetoran
pajak tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak (misalnya
jumlah penarikan pajak, waktu penyetorannya)?
Yang menjadi pertanyaan saya:
1. Merujuk kepada pertanyaan tentang auditor pajak, yang ustadz menghukumi
haram, bagaimana dengan pekerjaan pemeriksa seperti saya ini ustadz, yang
pekerjaan pemeriksaannya tidak hanya pajak, melainkan selain pajak juga
memeriksa yang lainnya?
2. Lalu bagaimana jika saya menemukan kecurangan atau kesalahan perlukah saya
ungkapkan atau saya diamkan saja?
Terima kasih ustadz atas jawabannya, jazakallaahu khairan
Apr 6, 2010, 5:01 pm
Assalamu'alaykum
warahmatullah.
1.bagaimana ustadz hukum penerimaan pajak itu di korupsi/digunakan untuk
memperkaya diri, contoh gayus tambunan dan masih banyak gayus gayus yg lain??
2. menurut ustadz lebih baik membayar pajak atw zakat saja stlh kita ketahui di
penerimaan pajak itu di korupsi oleh oknum??
jazakallaah khayra..
ustadzaris
Apr 6, 2010, 9:08 pm
Untuk Ummu
Itulah diantara tidak berkah-nya harta yang haram semisal pajak.
Membayar zakat itu kewajiban setiap muslim yang sudah memenuhi syarat.
Wajib sabar dengan kezaliman pemerintah semisal kewajiban pajak.
ustadzaris
Apr 6, 2010, 9:13 pm
Untuk Paman
Maaf, saya belum berani memberikan jawaban untuk pertanyaan anda.
ابن يوسف
Mei 17, 2010, 3:56 pm
bismillah. . .
ya ustadz, ana minta nasihat tentang apa yang harus ana lakukan. . .
ana adalah lulusan sekolah kedinasan di bawah departemen keuangan RI thn ’09
jurusan akuntansi. tahun ini, anak akuntansi banyak yang ditempatkan di
instansi pajak, termasuk ana. . .ana saat itu mengajukan usulan pindah instansi
namun pimpinan berkata belum bisa pindah instansi untuk saat ini. . .kemudian,
jikalau ana memutuskan untuk keluar dari instansi pajak atau dengan kata lain
keluar dari ikatan dinas dengan depkeu, ana memiliki konsekuensi untuk
membayar denda kepada negara yang jumlahnya cukup besar, ana tak sanggup
memenuhinya melihat kondisi ekonomi ana dan ortu ana sekarang. . .
lalu, bagaimana saran ustadz berkaitan dengan kondisi ana saat ini? apakah ini
dapat dikatakan sebagai perkara dhoruri karena ana terkesan seperti “dipaksa”
bekerja di pajak namun hati ini tetap membenci dan menolaknya? kemudian,
bagaimana dengan status gaji ana saat ini ya ustadz. . apakah halal apakah
haram?
jazakallohu khoiron. . .
ustadzaris
Mei 17, 2010, 5:35 pm
Untuk Ibnu
Coba anda tanyakan kepada ustadz yang lain, semisal kepada ustadz Abu Ubaidah
Yusuf dalam situs beliau.
Mei 19, 2010, 9:57 am
Assalamu’alaikum ustadz,Ada 3
hal yg muncul di benak saya ketika membaca tulisan ini. Yg pertama adlh untuk
terjemahan dr bahasa arab, kata bea cukai dan pajak yg langsung diterjemahkan
secara mentah2. Saya kurang mengerti bhs arab, tp saya tahu bahwa dlm bahasa
arab sendiri ada beberapa kata yg mengacu pd kata pajak. Menurut saya ini bs
memberikan interpretasi yg salah bg pembaca, terutama yg awam sperti saya. Saya
mengerti bahwa pembahasan mengenai permasalah berkaitan agama Islam hrs mengacu
pd dalil, namun seringkali translate yg salah/kurang hati2 dr dalil yg
berbahasa arab ke bhs lain menimbulkan penafsiran yg salah pula. Mohon ini
dicermati…Kedua, menurut saya dlm Islam ada beberapa jenis pajak yg dibolehkan,
antara lain berkaitan dgn perdagangan dan pajak bumi yg diambil dr kaum
nonmuslim. Di arab sendiri jg berlaku pajak terhadap orang asing dan perusahaan
asing/partner. Ketiga, jika memang pajak memang haram, maka seluruh rakyat
indonesia telah menikmati hasil dr uang haram tsb brp pemanfaatan jalan umum,
raskin, jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat miskin), sekolah gratis,
subsidi listrik, subsidi bbm krn pajak di negara ini menyumbang lebih dr 70%
pemasukan untuk pembangunan negara, termasuk jg untuk gaji seluruh pegawai
sipil, guru dsb. Apakah telah ada solusi untuk permasalahan ini?Terima
kasih,Wassalamu’alaikum…
ustadzaris
Mei 20, 2010, 5:49 am
Untuk Akum
Wa’alaikumussalam
1. Tolong sampaikan dimana letak kesalahan penerjemahan dari tulisan di atas.
2. Pajak bumi dari non muslim memang boleh, lalu bagaimana dengan pajak bumi
dari muslim?
Pajak untuk barang impor dari negara kafir memang dibenarkan, lalu bagaimana
dengan pajak barang impor dari sesama negara muslim?
3. Kewajiban kita untuk mencari solusi, bukan malah ‘mempertanyakan’ aturan
syariat.
ummu unaisah
Mei 20, 2010, 4:33 pm
assalamu’alaykum ustadz
‘afwan ana mau menanyakan.. ad salah seorang akhwat salafy yg mana di blognya
memposting info tentang “usm STAN/ujian saringan masuk STAN” yg mana diketahui
setelah lulus dr STAN salah satunya pasti akan di tempatkan di ditjen pajak.
Ana sudah menasehati akhwat tsb tp beliau tdk mau menghapusnya kecuali ad
pernyataan dr salah satu ustadz yg “melarang info penyebaran tsb”
Ana mohon dengan sangat, ustadz bisa menjelaskan secara detail beserta dalil-dalilnya..???
barakallahu fiik..
ustadzaris
Mei 24, 2010, 4:21 pm
Untuk Ummu
Wa’alaikumussalam
Cukuplah tulisan-tulisan tentang haramnya pajak sebagai peringatan
orang awam
Jun 15, 2010, 6:41 pm
Assalamu’alaikum,
Ustadz, apakah musibah yang menimpa bangsa indonesia, banyaknya penguasa yang
dzalim, dan hal-hal jelek lainnya, salah satu penyebabnya karena bangsa ini
dibangun dengan dana dari pajak??
Sehingga tidak membawa keberkahan terhadap bangsa ini??
ustadzaris
Jun 15, 2010, 10:34 pm
Untuk Orang
Mungkin. Moga Allah memaafkan kita.
Dwi
Agu 2, 2010, 1:35 pm
Assalamualaikum
WrWb Ustad
Saya mendapatkan sebuah artikel dimana Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH
Ma’ruf Amin menyatakan haram hukumnya gerakan memboikot pajak karena membayar
pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah.
Beliau menyebutkan, membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah. Hal itu
mencontoh penerapan kebijakan serupa dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab
usai Nabi wafat.
“Saat itu, kekhalifahan Islam telah memiliki banyak pegawai dan tentara yang
bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Namun, dana baitulmal bersumber
zakat tidak mencukupi. Terlebih, dana zakat hanya bisa digunakan untuk delapan
golongan saja. Karena tidak cukup dari Baitulmal makanya ada pajak yang dikenal
dengan istilah darb,’’ kata Ma’ruf.
Bagaimana tanggapan Ustad? Terima Kasih
ustadzaris
Agu 3, 2010, 1:46 pm
Untuk Dwi
Wa’alaikumussalam
Silahkan bandingkan dalil-dalil dari dua pihak yang berbeda.
Kita tidak menyerukan untuk memboikot pajak. Tolong baca:
jojo
Agu 19, 2010, 5:50 am
pak ustadz, bagaimana dengan
pembayaran PLN, klo kita tidak bayar walaupun tidak mampu, maka langsung di
putus alirannya, bukannya ini juga suatu bentuk kezaliman juga??
ustadzaris
Agu 19, 2010, 10:51 pm
utk jojo
Itu bukan termasuk pajak tapi jual beli jasa.
Kasep
Sep 26, 2010, 2:50 pm
@all,
Spertiny,’profesi’ yg aman cm jd ustad saja y?
Bs tentukan halal & haram..
Klo profesi lain psti brhub.dgn yg haram sec. langsung/tdk langsung..
ibnu ruhadi
Okt 27, 2010, 11:42 am
Assalaamu ‘alaykum..
ustadz, afwan…ana belum sempat membaca keseluruhan komentar disini, semoga
pertanyaan ana tidak mengulang.
1.) ana kuliah di fakultas ekonomi, bolehkah mempelajari mata kuliah
perpajakan?
2.) ana bekerja di perusahaan swasta, jika ana mengurus tentang pajak
perusahaan (yg harus dibayar, dan dilapor pada pemerintah)…bagaimana hukumnya?
Jazakallåh khoyro.
ustadzaris
Okt 27, 2010, 1:53 pm
#ibnu
1. boleh
2. jika bag pajak, tidak boleh
Ikhwan
Okt 29, 2010, 1:26 pm
#kasep
ustad itu bukan profesi. . . Jika dijadikan profesi sama aja dgn menjual agama.
. . .
Jazakallah khoiron. . .
Abul Balqis
Jan 13, 2011, 8:54 am
Assalamu’alaikum Ustadz..
Ana akan mengutip perkataan antum Antum pada artikel di atas:
‘Akan tetapi mayoritas orang yang masuk di kancah ini mereka menjadi wakil
orang yang zalim (baca: penguasa yang zalim), pilih kasih pada pihak-pihak
tertentu, meminta suap, membela orang yang dia sukai dan mengambil pajak dari
orang yang dia sukai’
Dari kutipan di atas, ana mau bertanya, apakah hukum nya untuk ana yg bekerja
di kantor pajak tetapi tdk menjadi wakil penguasa yg zalim, tdk pilih kasih
pada pihak-pihak tertentu, tdk meminta suap, tdk membela orang yg ana sukai,
dan tdk mengambil pajak dari org yg ana sukai??
Alhamdulillah smp saat ini ana sllu memegang amanah dlm bkrj dan insya Allah
akan trs ana pertahankan. Ana mohon kpd Ustadz agar mendoakan ana dan saudara2
lainnya yg bekerja di kantor pajak agar mendapatkan pekerjaan yg lbh halal jika
mmg integritas dan kejujuran, sesuai tuntutan syariat, yg telah dilakukan, tdk
menjadikannya halal utk dijadikan profesi..
Jazakallah Ustadz..
Feb 14, 2011, 3:23 pm
Ustadz, ana pegawai di
direktorat jenderal pajak, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini. .ana
sekarang sedang mencari alternatif pekerjaan lain yang lebih berkah. . .namun,
ana sekarang bingung akan status gaji yang ana terima sekarang. . .jikalau itu
statusnya haram, maka apakah boleh ana gunakan untuk infaq dan shodaqoh?
tetapi asal muasal gaji ana itu tidak murni dari hasil pemungutan pajak, tapi
bercampur dengan penerimaan negara lainnya, sedangkan ana dapati bahwa hukum
sesuatu yang bercampur itu halal. .
mohon penjelasannya ustadz, jikalau ana salah, mohon diluruskan. . .
jazaakallohu khoiron
ustadzaris
Feb 14, 2011, 5:56 pm
#muharram
Tolak ukur halal dan haramnya gaji adalah halal atau haramnya pekerjaan, bukan
masalah sumber gaji.
dika
Mar 27, 2011, 12:26 am
ustadz, kok gak dijawab semua
pertanyaannya?
Dari kutipan di atas, ana mau bertanya, apakah hukum nya untuk ana yg bekerja
di kantor pajak tetapi tdk menjadi wakil penguasa yg zalim, tdk pilih kasih
pada pihak-pihak tertentu, tdk meminta suap, tdk membela orang yg ana sukai,
dan tdk mengambil pajak dari org yg ana sukai??
jawabanya apa ustadz, mohon sungguh mohon penjelasannya?
apa gaji yang saya terima di kantor pajak haram?
ustadzaris
Mar 27, 2011, 8:33 am
#dika
Gaji anda bisa bernilai halal jika anda bisa berupaya mengurangi kezaliman
(baca:pajak) yang dialami oleh rakyat tanpa memanipulasi aturan-aturan
perpajakan.
Demikian terorinya. Kira-kira bisa diwujudkan di alam nyata ataukah tidak?
Penguasa yang mewajibkan pajak itulah penguasa yang zalim.
Umi Bitta
Mei 13, 2011, 12:48 pm
Maaf Ustadz, di Indonesia,
Pajak dilaksanakan berdasarkan UU yg dibuat oleh para wakil Rakyat di DPR.
Sistem ini yang menghendaki adalah rakyat sendiri, sehingga pemerintah tidak
punya kemampuan untuk mengganti pajak dengan zakat. 80% biaya negera dibiayai
dari pajak, jadi apabila pajak ini dihapus atau semua pegawai pajak tidak mau
bekerja karena dianggap membantu kedholiman, tentu saja akibatnya negara akan
hancur. jadi kalau dianggap pajak adalah haram, maka yang harus menanggung dosanya
adalah seluruh Rakyat Indonesia, pegawai pajak hanya melaksanakan UU yg ada, yg
dibuat oleh DPR yg dipilih oleh Rakyat sebagai wakil mereka untuk menyampaikan
aspirasi mereka. lagipula sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self
assesment, wajib pajak menghitung sendiri pajak yang harus mereka bayar dan
menyetor sendiri pajak mereka. jadi pegawai pajak tidak memungut pajak dari
masyarakat. Petugas pajak hanya mengadministrasikan pajak dan menjaga agar
keadilan tetap berjalan, dengan meyakinkan bahwa semua sudah berjalan menurut
UU yang ada. Maaf ustadz, bukannya saya mau membantah, menurut saya lebih
banyak petugas pajak yg bekerja dengan menggunakan hati nurani daripada yang
hanya menuruti hawa nafsu mereka. Menurut saya kalau mau menghapus pajak, bukan
petugas pajaknya yg harus keluar dari pekerjaan mereka, karena hal itu akan
mengganggu stabilitas negara, tapi Rakyat yang harus disadarkan lebih
dulu.
Agu 4, 2011, 2:47 pm
Assalaamualaykum warohmatulloh..
yang komentar kebanyakan pegawai pajak nih……
DJP Maju Pasti aja deh,
yakini yg sampai ilmunya kepada antum sekalian
Barokallohu fik
fery
Agu 5, 2011, 2:16 pm
assalamua ‘alaikum ustadz..
bagaimana dengan para juru parkir? apakah uang parkir yang ditariknya termsuk
ke dalam pajak juga?
abu sufyan
Agu 19, 2011, 2:21 pm
Bismillah
Syaikh Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah menjawab tentang
masalah pajak:
Tentang masalah pajak yang ditetapkan
pemerintah, padanya terdapat rincian. Apabila pemerintah sangat membutuhkannya
dimana mereka jadikan pajak tersebut untuk membantu keuangan negara dalam
menggaji petugas keamanan negara, pegawai negeri sipil dan sebagainya maka yang
demikian diperbolehkan. Akan tetapi apabila pemerintah terpenuhi kebutuhannya
dari pendapatan yang lain, maka tidak boleh baginya untuk menarik pajak.
Wabillahit taufiq.
(dijawab oleh ustadz Abu
Abdillah) http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/63
Demikian fatwa Syaikh Ahmad
An-Najmi rahimahullah tentang pajak yang
dipungut oleh pemerintah, dan telah dimuat dalam Risalah Ilmiyah
An-Nashihah vol. 12, sebagaimana yang dinukil oleh Ustadz Abu Abdillah
Muhammad Yahya.
Adapun orang yang bekerja dalam perpajakan, telah saya tanyakan kepada
Syaikh Sholih Al-Fauzan -hafizhohullah wa syafaah- dan beliau
menjelaskan bahwa tidak boleh bekerja di tempat tersebut. Bila dia
mendapat bahaya karena keluarnya, maka dia tetap bekerja hingga
mendapatkan pekerjaan lain.
Wallahu A’lam. (dijawab oleh al ustadz Dzulqarnain http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/64)
Baarakallaahu fiikum, bagaimana tanggapan ustadz tentang fatwa ulama kita di
atas?
al fadhl
Agu 22, 2011, 4:12 pm
sependapat dengan umi bitta,
jika dengan sistem perpajakan
di indonesia yg telah di paparkan oleh saudari umi bitta di anggap haram,
bagaimana dengan sistem koperasi? dimana modal koperasi berasal dari iuran
anggotanya yg tidak keberatan atas pungutan/iuran tersebut. menurut saya sistem
pepajakan mirip dengan sistem koperasi, dimana pungutan/iuran tersebut sudah
disetujui anggotanya dan anggota merasa tidak keberatan. demikian pula dgn
pajak anggota masyarakat dianggap setuju dan tidak keberatan atas pungutan
pajak tersebut, krn dasar pemungutan pajak adalah undang-undang yg telah
disetujui DPR dimana DPR adalah perwujudan aspirasi rakyat. jika DPR setuju
berarti rakyat setuju.
Agu 23, 2011, 8:30 pm
Umi Bitta berkata:
Menurut saya kalau mau menghapus pajak, bukan petugas pajaknya yg harus keluar
dari pekerjaan mereka, karena hal itu akan mengganggu stabilitas negara,
tapi Rakyat yang harus disadarkan lebih dulu
Ini metode dakwah yang aneh.
Kita diminta menyadarkan masyarakat bahwa pajak itu tidak dibenarkan syariat di
sisi lain diminta membolehkan bekerja di perpajakan.
Kurniawan
Sep 6, 2011, 10:35 am
Dari Abu
Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu Beliau berkata : “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Semua perkara yang
aku larang maka jauhilah dan seluruh perkara yang aku perintahkan
maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian. Sesungguhnya tidaklah yang
menyebabkan ummat sebelum kalian hancur melainkan banyaknya mereka
bertanya kepada Nabinya dan menyelisihinya”. [Muttafaqun ‘alaih]
Okt 7, 2011, 5:03 pm
oiya, ada sdikit pertanyaan
tadz,
bagaimana dgn hal2 ini yg biasa terjadi di lingkungan kita?
misalkan ada petugas dari RT/RW yg mengutip iuran bulanan dari warganya yg
Muslim,
yg nantinya akan dipakai untuk kas RT/RW, keamanan, kebersihan, dll.
kalau dilihat dr modusnya, perbuatan ini sama sperti negara yg menarik pajak
dari warganya, yg nantinya akan digunakan untuk kepentingan negara/warga itu
jg.
nah, apakah pungutan sperti ini bs disebut sbg pajak yg diharamkan jg tadz?
mohon penjelasannya.
Okt 10, 2011, 3:36 pm
#abu
Iuaran jelas beda dengan pajak.
Jawablah dengan jujur dari hati anda yang paling dalam.
Okt 10, 2011, 11:52 pm
#1.
sbelumnya afwan tadz,
berdasarkan instruksi dari ustadz td,
saya barusan sudah mempertanyakannya (dan mencoba menjawab sendiri) “dgn jujur”
tadz,
kmudian saya coba mmbayangkan/menghayati kduanya,
dan ternyata yg saya dapati, bahwa iuran oleh rt dan iuran oleh negara itu
identik,
(hanya mungkin beda dlm skala kuantitas dan dasar hukumnya saja).
iuran rt dibebankan kpada
smua warga anggota rt (baik setuju atau tidak, yg penting hal tsb sdh ada yg
memusyawarahkan, maka hasil musyawarah tersebut berlaku buat semuanya, termasuk
yg tdk hadir).
sifatnya jg sama, dipaksakan, krn yg tdk brsedia mmbayar, resikonya akan
dikucilkan dr masyarakat, atau tdk diperbolehkan memakai sarana milik wrga rt
(grobak sampah dll)
dan sangat mungkin jg jika org yg tdk brsedia mmbayar ini akan mengalami
ksulitan dlm hal mngurus administrsi kpendudukan (KTP, KK, akte lahir, dll) krn
tdk dianggap sbg warga.
kmudian msalah penggunaannya,
iuran rt itu pun tdk musti untuk kpentingan brsama warga yg sesuai syaro’,
trkadang dananya jg dipakai untuk acara 17an, kumpul2 warga (dgn ikhtilath),
bid’ah dan acara2 dosa yg lain, yg jelas itu bkn untuk kpentingan smua warga
(krn kita yg walopun sdh bayar, tdk mungkin akan mengikuti acara2 tsb).
jd mohon ptunjuk ustadz, tentang yg membedakannya?
(saya baru saja baca komen2 d blakang, trnyata sdh ada yg brtanya tntang msalah
ini jg, dan ustadz bilang bahwa perbedaannya sangat gamblang,
jujur, saya bnr2 blm faham dmn bedanya, afwan tadz mungkin krn memang saya yg
bodoh)
#2.
kalau tdk salah, sbelum tulisan komen saya di atas, msh ada 1 tulisan saya lg
(yg lbh pnjang),
tp blm ikut tampil ya tadz? atau cara saya postingnya yg salah? (sayang
tulisannya blm sempat saya kopi)
menambahkan komentar atas isi dari 5 paragraf terakhir dari artikel,
yaitu tentang org yg mnjadi wakil dari org yg terdzholimi,
sbenernya ini adalah definisi dri konsultan pajak/auditor yg ustadz bilang
haram td.
jd konsultan pajak/auditor sjenis yg ditanyakan, sbenarny adlah org di luar
penarik pajak yg membantu wajib pajak untuk mengetahui apa saja kewajiban dan
hak2 para wajib pajak ini,
dan biasanya mreka mmbantu wajib pajak mncari cara bagaimana agar kewajiban
perpajakannya bisa mnjadi ringan,
tentu saja dgn cara yg resmi, ataupun mungkin bs saja dgn suap (tp cara yg ini
tdk perlu dibahas, jelas kita spakat bhwa hukumnya adlah haram)
apa benar pkerjaan konsultan sperti ini jg haram?
#3.
saya sendiri saat ini msh bekerja sbg pegawai pajak
namun tanpa perlu mmpertanyakan lg pndapat mana yg benar tentang hukum pajak
pun, saya sdh berniat untuk resign jika sdh memungkinkan
(alhamdulillah saya sdh mencoba berdagang dan usaha lain, tp qodarullah blm ada
yg brhasil)
nah, mungkin perlu diketahui
tentang pekerjaan para pegawai pajak ini (agar jelas),
bahwa tdk semua pegawainya bertindak sbg penarik pajak.
memang sbagian pgawai tugasnya mmbantu tugas mreka (sperti bagian umum/tata
usaha, dll)
tp sbagian yg lain justru memiliki tugas yg sebaliknya, membantu wajib pajak.
sbg contoh saja pkerjaan saya.
bagian saya itu melayani
keluhan, pertanyaan dan menerima permohonan2 wajib pajak yg tujuan akhirnya
adalah mmbantu agar mmpermudah plaksanaan administrasi perpajakan mreka,
selain itu saya jg memroses permohonan pengurangan pajak bagi wajib pajak yg
menyatakan diri kurang mampu (tp khusus untuk pajak bumi dan bangunan),
kmudian pkerjaan lain saya jg membantu memroses permohonan wajib pajak yang
meminta agar setoran pajak mereka yg ternyata lebih disetor, agar bisa dikembalikan
ke rekening mreka (atau dibantu dialihkan ke tagihan pajak mreka yg lain).
bahkan sering, saya lbh mmpermudah lg urusannya jika wajib pajaknya adalah
seorang muslim.
apakah yg saya lakukan tersebut bs dikategorikan sperti tulisan di artikel?
Sedangkan orang yang menolong orang yang terzalimi agar kadar kezalimannya
berkurang atau agar apa yang menjadi haknya bisa kembali maka status orang
tersebut adalah wakil dari orang yang teraniaya, bukan wakil orang yang
menganiaya. Orang tersebut berstatus seperti orang yang memberi hutangan kepada
orang yang dizalimi atau mewakili orang yang dizalimi untuk menyerahkan
hartanya kepada orang yang zalim.
berdasarkan pemahaman saya yg memang msh dangkal ini, rasanya kasusnya mirip
dgn pekerjaan saya.
tp kalaupun benar bahwa yg saya lakukan tersebut bs dikategorikan sbg wakil org
yg teraniaya,
namun tetap saja status saya adalah jg bagian dari pegawai pajak (bkn
penarik/pemungut pajak ya),
jadi apakah keharaman pkerjaan sbg pegawai pajak itu mutlak?
pdahal pajak terhadap muslim yg diharamkan itu hanyalah sbagian, sdangkan
sbagian lg (mungkin malah sbagian besar) adalah pajak yg didapat dr orang2 kaya
(yg di negri ini notabene didominasi oleh kafir chinesse)
mohon tanggapan dari ustadz.
barokallahufiikum.
Okt 11, 2011, 4:04 pm
#nisrin
Jika memang sifat iuran RT yang ada di tempat anda bersifat sebagaimana sifat
pajak maka hukumnya adalah haram dan dosa besar sebagaimana hukum pajak.
Okt 11, 2011, 10:05 pm
trus yg pertanyaan #2 dan #3
gmn tadz?
bgaimana hukum pekerjaan
seorang konsultan pajak? (mreka ini diluar pegawai pajak)
dan bgaimana pula hukum
pegawai pajak (internal di pajak sendiri) tp tugasnya justru untuk membantu
memberikan kemudahan kepada wajib pajak,
(semisal mmberikan pengurangan bgi yg kurang mampu, mengundurkan jatuh tempo
pembayaran, mengembalikan uang kelebihan pembayaran kepada wajib pajak yg
memang menjadi hak mereka, dll)
mohon pnjelasannya.
barokallahu fiik
ummu ahmad
Nov 6, 2011, 12:41 pm
# Abu nishrin
Mengutip akhuna kurniawan
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu Beliau berkata : “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Semua
perkara yang aku larang maka jauhilah dan seluruh perkara yang aku
perintahkan maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian. Sesungguhnya tidaklah
yang menyebabkan ummat sebelum kalian hancur melainkan banyaknya mereka
bertanya kepada Nabinya dan menyelisihinya”. [Muttafaqun ‘alaih]
Sepengetahuan ana sebagai lulusan STAN yang alhamdulillah sekarang sudah diberi
ketetapan hati oleh Alloh untuk keluar dari PNS (meskipun bukan di kantor
pajak) dan sekarang menjadi ibu rumah tangga, mereka yang bekerja di departemen
keuangan apalagi kantor pajak adalah mereka yang punya IQ yang cukup tinggi
karena rata – rata lulusan dari STAN atau dari S1 yang ujian seleksi masuk ke
departemen keuangannya cukup sulit.
Oleh karena itu, sebagai saudara sesama muslim, ana sarankan anta cari
pekerjaan lain aja, kalo berdagang gagal terus, coba lamar jd pegawai di
perusahaan swasta (banyak perusahaan yang mau dan mampu membayar sama dengan
atau lebih dari gaji anta sekarang di kantor pajak) beli koran kompas yang
terbit hari sabtu atau hari minggu, disitu banyak lowongan kerja, jadi dosen
atau pindah departemen kalo ada lowongan deprtemen lain misal BAPEPAM, BPK atau
yang gak ada syubhatnya.
Insyaa Alloh dimudahkan,
apalagi dari cara anta mengajukan pertanyaan dan mengomentari jawaban ustadz,
ana yakin anta adalah orang yang dianugrahi oleh Alloh kepintaran yang mungkin
tidak dimiliki oleh setiap orang. Jadi syukurilah nikmat kepintaran dari Alloh
itu dengan ketaatan kepadanya.(kembali kepada hadist awal di atas)
Sedikit cerita dari ana,
semoga bisa bermanfaat
Saat ana keluar dari PNS,
saat itu adalah keadaan yang cukup sulit buat ana tepat 2 tahun setelah lulus
kuliah atau 1 tahun lebih setelah menikah. Suami ana adalah seorang wiraswasta
yang sejak kami menikah usahanya sering gagal hingga saat ana memutuskan untuk
keluar bekerja ,saat itu pun keadaanya masih sangat kekurangan, kami tinggal
dalam rumah kontrakan yang kumuh jauh dari layak, hingga orang gak ada yang
mengira kalo saat itu ana adalah orang yang berpenghasilan 4 jutaan, uang
tabungan ana yang rencananya akan digunakan untuk bayar TGR ikatan dinas, ana
pilih untuk membayar hutang-hutang suami ana karena kegagalan usahanya yang
melibatkan pihak ketiga, 2 tahun lebih setelahnya kami hidup dalam keadaan
berkekurangan tapi alhamdulillah sekarang suami ana sudah jadi dosen dan dapet
beasiswa S2 dari tempatnya mengajar, meskipun gajinya hanya cukup untuk makan
dan kami masih tinggal di rumah kontrakan yang dulu tapi keadaan sudah jauh
lebih baik hingga sekarang dimudahkan untuk mengangsur TGR ikatan dinas saya.
dan semoga prospek ke depannya juga akan lebih baik… amin
dari sinilah saya mendapat pelajaran, bahwa setiap kebaikan itu tidak bisa
diperoleh dari cara yang harom. Sekeras apapun dan sehemat apapun saya
mengumpulkan uang dari gaji saya untuk membayar TGR ikatan dinas, akhirnya uang
itu diambil oleh Alloh melalui caranya sehingga sekarang saya masih harus
mengangsur TGR itu dengan uang hasil kerja suami saya sekarang. Waalohu ta’ala
A’lam
Nov 14, 2011, 1:48 am
#ummu ahmad
terima kasih atas sharingnya.
insyaAllah sangat berguna.
semoga Allah melimpahkan kebaikan kpada kaum muslim,
khususnya pada saya, pada anti skeluarga, pada ustadz dan pngelola, jg pada
smua saudara yg ikut berkomentar di sini.
smoga diberikan kmudahan.
aamiin..
ummu ahmad
Nov 26, 2011, 3:53 pm
#abu nisrin
afwan , jika perkataan ana sebelumnya kurang berkenan bagi anta dan ikhwah yang
bekerja di kantor pajak lainnya.
Pada saat itu ana hanya merasa agak geregetan dengan pertanyaan-pertanyaan
maupun komentar anta karena menurut ana terkesan agak mendesak ustadz supaya
melegalkan pekerjaan anta yang sekarang.
ana menduga ustadz tidak mau
menjawab pertanyaan anta.. karena biasanya jika ustadz aris tidak mengetahui
jawaban dari suatu pertanyaan, maka beliau tetap akan menjawabnya dengan
pengakuan bahwa beliau belum mengetahui jawabannya.
Ana ibaratkan “seseorang yang
menggembala hewan gembalaan di dekat kebun atau lahan orang lain, kuat dugaan
bila hewan gembalaan tersebut akan beresiko menimbulkan kerusakan bagi lahan
atau kebun orang lain tersebut”
Ambil contoh, salah satu bentuk pekerjaan anta memproses pengurangan pajak,
kuat dugaan bila anta tidak akan terlepas dari kasus sbb:
“Bapak, pajak yang seharusnya bapak bayar adalah sebesar xxxxx, tetapi bapak
mendapat pengurangan pajak sebesar xxxxx,
jadi bapak hanya dikenakan pajak sebesar xxxxx”
Perkataan “bapak hanya dikenakan pajak sebesar xxxxx” bukankah sama saja dengan
telah menetapkan pajak bagi orang tersebut
wallohu ta’ala a’lam bish showab………
Mengenai sedikit cerita dari
ana sebelumnya, hal itu tidak bisa digeneralisir akan terjadi juga pada orang
lain. ana hanya ingin berbagi pelajaran hidup bahwa setiap perkara kebaikan itu
tidak bisa diperoleh dengan cara yang salah.
Sebelum kami menikah, suami ana secara tersirat pernah mengatakan bahwa dialah
yang akan membayar TGR ana sesegera mungkin setelah kami menikah,sedangkan ana
memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu karena sebagai anak pertama ana punya
tanggungan terhadap orang tua dan adik-adik ana. dulu, ana pernah berjanji
bahwa ana hanya akan menggunakan gaji ana untuk orang tua dan untuk membayar
TGR.
Tetapi setelah menikah, hati manusia itu mudah berbolak balik, karena satu dan
lain hal,suami ana urung mengambil sebagian investasinya untuk membayar TGR
ana, dan ana memutuskan untuk membayarnya sendiri dengan menabung dari gaji
ana. Hingga kemudian ana merasa ana telah ketergantungan dengan pekerjaan ana
yang mungkin disebabkan karena tidak berberkahnya rizqi yang ana peroleh.
Dan suatu ketika Alloh menetapkan hati ana yang lemah ini untuk keluar dari
bekerja tanpa pikir panjang lagi.
ana tidak menyalahkan suami ana karena ana pernah mendengar perkataan ali bin
abi tholib rodhiyallohu anhu ketika ditanya tentang mengapa pada masa
pemerintahan ali tidak sama seperti pada pemerintahan rosulullloh sholollohu
‘alayhi wasallam, kemudian beliau menjawab dengan:
” Karena pada masa pemerintahan rosululloh itu, yang menjadi rakyatnya adalah
saya dan orang-orang seperti saya sedangkan pada masa pemerintahan saya, yang
menjadi rakyatnya adalah kalian dan orang-orang seperti kalian”
maka cukuplah hal itu sebagai alat introspeksi bagi diri saya bahwa kualitas
seorang pemimpin itu ditentukan oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Jadi, Kualitas suami saya itu ditentukan oleh saya sendiri.
semoga Alloh ta’ala berkenan mengampuni kami berdua atas keterbatasan kami
dalam meniti jalan-nya
wallohul musta’an
ibnu sarbini
Des 22, 2011, 8:07 am
ijin copy artikelnya.
Abu Hanaa
Apr 27, 2012, 7:58 am
Wahai Saudara-saudaraku, sesungguhnya saya memahami kegalauanmu, untuk itu
marilah kita meyakini janji-janji Alloh dan Rosul-Nya:
”Barangsiapa yang bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan
(keperluan)nya. (QS. Ath-Thalaq 2-3)
”Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla,
melainkan pasti Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.”
(HR Ahmad, al-Albani mengatakan, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).
Janganlah kita ikuti pemikiran orang-orang yang mengatakan: ”mencari rejeki
yang haram saja susah, apalagi yang halal!”
Tapi, orang yang beriman harus meyakini bahwa dengan meninggalkan cara yang
haram, niscaya Alloh akan memberikan kemudahan untuk mendapatkan rejeki yang
halal dan lebih bernilai. Kita harus yakin akan janji Alloh.
Alloh pasti akan menggantikannya dengan yang lebih baik di dunia, sebelum ganti
yang lebih kekal di akhirat. Ganti yang dimaksud mungkin saja secara jenis dan
bentuknya sama, tapi dengan nilai yang lebih berharga. Tapi ada juga
kemungkinan, Allah memberi ganti dalam wujud lain yang tak dikenali pelakunya.
Namun dipastikan, bahwa ganti itu lebih besar manfaatnya dari yang
ditinggalkannya.
Sesuai informasi dari Saudari kita, kita bisa mencoba pekerjaan lain, atau kita
bisa pindah ke tempat lain di dalam kementerian yang terhindar dari hal-hal
yang harom. Sudah banyak saudara kita yang berhasil, maka, mari teguhkan
langkah kita, berdo’a kepada Pencipta kita, Pemberi rizqi kita, gunakanlah
Nama-nama-Nya yang agung tuk meminta, kemudian yakinlah dan bertawakallah,
semoga Alloh memudahkan segala urusan kita.
Saya atas nama saudara-saudara saya minta maaf kepada Ustadz karena kami telah
menentang larangan Alloh dan Rosul-Nya dengan pemikiran-pemikiran sempit
manusia.
eva
Agu 12, 2012, 6:41 pm
assalamu’alaykum wr wb
an mau tny,,,bgmn hukum orang yg bekerja di konsultan Pajak
Hamba Allah
Jan 8, 2013, 9:01 pm
Assalamualaikum wr wb..
Ustadz bagaimana hukumnya bekerja di perusahaan swasta bagian pajak? Mohon
penjelasannya ustadz. Trus kalau gak boleh, siapa yang melakukannya? karena
pada akhirnya perusahaan swasta tersebut harus membayar pajak dan harus ada
orang mengurusi bagian pajak. Ana mohon maaf atas ilmu ana yang awam ini.
Syukron
Kebetulan ana skrng bekerja
di bank, dan berkeinginan kuat untuk keluar sistem ribawi tersebut. Ana
kebetulan ditawari kerja di bagian accounting dan pajak. Bagaimana menyikapi
hal ini ustadz..sykron
Jan 9, 2013, 10:21 am
#hamba allah
bisa boleh
wirausahawan
Jun 3, 2013, 3:21 pm
Aww. kalo sebagai pengusaha
yang diharuskan menghitung pajaknya sendiri apakah juga haram? Karena kalo tdk
dihitung nanti melanggar hukum, kalo menghitung haram, jadi dilema ustadz?
wallahu ‘alam
Agu 31, 2013, 11:27 pm
#wirausahawan
Dihitung sendiri insya allah tidak mengapa.
By: muhammad abduh
Perbedaan Antara
Zakat dengan Pajak dan Syarat Diperbolehkannya Memungut Pajak
السؤال: ما الفرق بين الزكاة
والضرائب ، وهل يجوز فرض هذه الضرائب؟ وهل يجب دفعها؟
Pertanyaan, “Apa perbedaan antara zakat dengan pajak?
Apakah negara diperbolehkan untuk mewajibkan zakat atas rakyatnya? Apakah
rakyat berkewajiban untuk membayar zakat?”
الجواب :
الحمد لله
الزكاة ركن من أركان الإسلام ، فرضها الله تعالى على
المسلمين الأغنياء تحقيقاً لنوع من التكافل الاجتماعي ، والتعاون والقيام بالمصالح
العامة كالجهاد في سبيل الله
Jawaban, “Zakat adalah salah satu rukun Islam yang
Allah wajibkan atas kaum muslimin yang kaya sebagai salah satu bentuk
solidaritas sosial dan tolong menolong untuk mewujudkan kepentingan banyak
orang semisal jihad di jalan Allah.
وقد قرنها الله تعالى بالصلاة في أكثر من آية ، وهو
مما يؤكد على أهميتها ، وقد ثبت وجوبها بالكتاب والسنة والإجماع .
Allah menggandengkan kewajiban zakat dengan kewajiban
shalat dalam banyak ayat. Hal ini menunjukkan betapa urgennya zakat. Dalil
wajibnya zakat adalah al Qur’an, sunnah dan ijma.
أما الضرائب التي تقررها الدولة وتفرضها على الناس ،
فلا علاقة لها بما فرضه الله عليهم من زكاة المال .
Sedangkan pajak yang ditetapkan dan diwajibkan negara
atas rakyatnya itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan zakat mal yang
Allah wajibkan.
والضرائب من حيث الجملة : هي التزامات مالية تفرضها
الدولة على الناس ، لتنفق منها في المصالح العامة ، كالمواصلات ، والصحة ،
والتعليم ، ونحو ذلك .
Secara umum, pajak adalah kewajiban finansial yang
diwajibkan negara atas rakyatnya. Sebagian uang pajak yang terkumpul akan
digunakan untuk kepentingan umum semacam membangun sarana transportasi,
kesehatan, pendidikan dll.
فالضرائب من وضع الناس وأنظمتهم ، لم يشرعها الله
تعالى ، وأما الزكاة فهي شريعة ربانية ، وعبادة من أعظم عبادات الإسلام .
Pajak adalah kewajiban dan aturan buatan manusia yang
tidak pernah Allah syariatkan. Sedangkan zakat adalah aturan Allah dan salah
satu ibadah agung yang ada dalam Islam.
وبعض الناس لا يخرج زكاة ماله اكتفاء بالضريبة التي
يدفعها للدولة ، وهذا غير جائز، فالضرائب شيء ، والزكاة شيء آخر .
Sebagian orang tidak mau membayar zakat dengan alasan
karena telah merasa cukup dengan membayar pajak kepada negara. Inilah adalah
alasan yang tidak bisa dibenarkan karena pajak dan zakat adalah dua hal yang
berbeda.
قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء” :لا يجوز أن تحتسب
الضرائب التي يدفعها أصحاب الأموال على أموالهم من زكاة ما تجب فيه الزكاة منها ،
بل يجب أن يخرج الزكاة المفروضة ويصرفها في مصارفها الشرعية ، التي نص عليها سبحانه
وتعالى بقوله : إنَِّماَ الصَّدقَاَت للِفْقُرَاَءِ واَلمْسَاَكيِن الآية” انتهى
.فتاوى اللجنة الدائمة9/285
Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mengatakan,
“Tidak diperbolehkan menilai pajak yang yang dibayarkan seseorang sebagai
bagian dari zakat atas harta yang wajib dizakati. Wajib membayar zakat secara
khusus dan menyalurkannya pada sasaran yang telah ditetapkan oleh syariat
sebagaimana yang telah Allah firmankan yang artinya, “Zakat itu hanyalah untuk
orang-orang fakir dan miskin…” (QS at Taubah:60)” [Fatawa al Lajnah al Daimah
9/285).
والأصل في فرض الضرائب على الناس أنه محرم ، بل من
كبائر الذنوب ، ومتوعد فاعله أنه لن يدخل الجنة ، وقد جاء في السنة النبوية ما يدل
على أن الضريبة أعظم إثما من الزنا ، وقد سبق بيان ذلك في جواب السؤال رقم 39461
Pada asalnya mewajibkan pajak atas rakyat hukumnya
haram bahkan termasuk dosa besar. Pelakunya terancam untuk tidak masuk surga.
Dalam hadits disebutkan bahwa pemungut pajak itu dosanya lebih besar dari pada
dosa zina.
وقد يجوز في حالات استثنائية أن تفرض الدولة ضرائب على
الناس ، وفق شروط معينة ، منها:
Dalam kondisi darurat negara diperbolehkan untuk
mewajibkan pajak atas rakyatnya asal memenuhi syarat-syarat tertentu. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
1- أن تكون عادلة , بحيث
توزع على الناس بالعدل , فلا ترهق بها طائفة دون طائفة ، بل تكون على الأغنياء ،
كل شخص على حسب غناه ، ولا يجوز أن تفرض على الفقراء ، ولا أن يسوى فيها بين
الفقراء والأغنياء .
Pertama, hendaknya adil artinya kewajiban membayar
pajak didistribusikan di antara rakyat dengan adil, tidak hanya dibebankan pada
kelompok orang kaya tertentu. Pajak hanya boleh dibebankan atas orang-orang
kaya, masing-masing orang sesuai dengan tingkat kekayaannya. Tidak boleh
membebankan pajak atas fakir miskin. Tidak boleh membebankan pajak atas semua
orang, baik kaya ataupun miskin.
2- أن يكون بيت المال وهو
ما يسمى حاليا بخزينة الدولة فارغا , أما إذا كانت الدولة غنية بمواردها , فلا
يجوز فرض تلك الضرائب على الناس ، وهي حينئذ من المكوس المحرمة، والتي تعد من
كبائر الذنوب
Kedua, hendaknya baitul mal yang pada era sekarang disebut
kas negara dalam kondisi kosong. Sehingga jika kas negara berlimpah ruah
dikarenakan sumber pendapatan negara yang lain maka tidak boleh mewajibkan
pajak atas rakyat. Pajak dalam kondisi kas negara berlimpah itu dinilai sebagai
pajak yang haram bahkan tergolong dosa besar.
3- أن يكون ذلك في حالات
استثنائية لمواجهة ضرورة ما ، ولا يجوز أن يكون ذلك نظاماً مستمرا في جميع الأوقات .
Ketiga, pajak hanya diwajibkan atas rakyat dalam
kondisi tertentu ketika menghadapi permasalahan yang sangat mendesak. Tidak boleh
menjadikan pajak sebagai aturan yang bersifat terus menerus pada semua waktu.
جاء في “الموسوعة الفقهية” ( 247 / 8) أن من موارد بيت
المال :
“الضَّراَئبِ المْوُظََّفةَ علَىَ الرَّعيَِّة
لمِصَلْحَتَهِمِ , سوَاَءٌ أكَاَن ذلَكِ للِجْهِاَد أمَ لغِيَرْهِ , ولَا تضُرْبَ
علَيَهْمِْ إَّلا إذاَ لمَ يكَنُ فيِ بيَتْ المْاَل ماَ يكَفْيِ لذِلَكِ , وكَاَنَ
لضِرَوُرةَ , وإَلَِّا كاَنتَ موَرْدِاً غيَرْ
شرَعْيٍِّ” انتهى
Dalam al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah jilid 8
halaman 247 disebutkan, “Di antara sumber baitul mal adalah pajak yang
dibebankan atas rakyat demi kepentingan mereka baik untuk jihad ataupun yang
lainnya. Namun pajak tidaklah diwajibkan atas rakyat kecuali jika dalam baitul
mal tidak terdapat dana yang mencukupi untuk keperluan tersebut. Demikian pula
pajak itu diwajibkan dalam kondisi darurat. Jika syarat ini tidak terpenuhi
maka pajak itu menjadi sumber kas negara yang tidak dibenarkan oleh syariat”.
وموارد بيت مال المسلمين المالية المباحة والمشروعة
كثيرة جدا ، قد سبق ذكرها في جواب السؤال رقم138115
Sumber pendapatan kas negara muslim yang diperbolehkan
oleh syariat itu banyak sekali.
فلو عمل بها المسلمون لأغناهم الله تعالى ، ولما
احتاجوا إلى فرض الضرائب ، إلا في حالات نادرة جدا
Andai kaum muslimin mau memanfaatkan sumber-sumber
tersebut tentu Allah akan mencukupi kebutuhan mereka sehingga negara tidak
perlu mewajibkan pajak kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak yang ini
tentu sangat langka terjadi.
4- أن تنفق في المصالح
الحقيقية للأمة ، فلا ينفق منها شيء في معصية الله ، أو في غير مصلحة ، كالأموال التي
تنفق على الممثلين والفنانين واللاعبين.
Keempat, dana hasil pajak tersebut dibelanjakan oleh
negara dalam hal-hal yang bermanfaat secara real bagi rakyat, tidak ada yang
dipergunakan untuk maksiat atau untuk perkara yang tidak mendatangkan manfaat
semisal dana yang dikeluarkan negara untuk kepentingan artis, seniman atau
pemain sepak bola.
قال الشيخ ابن جبرين رحمه الله :
“في دفع الضرائب التي تفرضها الحكومات كضريبة المبيعات
، وضريبة الأرباح ، وضريبة المصانع ، والضرائب على العمال ونحوهم ، وهي محل اجتهاد
Syeikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Tentang hukum membayar
pajak yang diwajibkan oleh pemerintah semisal pajak barang (baca: Ppn), pajak
atas keuntungan bisnis, pajak pabrik, pajak atas karyawan dll itu perlu
mendapatkan rincian hukum.
فإن كانت الدولة تجمع الضرائب عوضاً عن الزكاة
المفروضة على التجار ونحوهم لزم دفعها ،
Jika negara mengumpulkan dana pajak sebagai ganti dari
zakat yang diwajibkan atas pedagang atau semisalnya maka harus membayarkannya.
وإن كانت تجمع ضرائب زائدة عن الزكاة ، ولكن بيت المال
بحاجة إلى تمويل للمصالح الضرورية كالمدارس ، والقناطر ، والمساجد ، وخدام الدولة
جاز دفعها ، ولم يجز كتمانها
Jika negara mengumpulkan dana pajak dan pajak tersebut
lain dengan zakat namun baitul mal memang membutuhkan suntikan dana untuk
pembangunan berbagai sarana vital semisal membangun sekolah, jembatan, masjid
dan PNS maka membayar pajak hukumnya boleh sehingga tidak boleh menutup-nutupi
adanya harta yang wajib dipajaki.
أما إن كانت الدولة تأخذ ضرائب على المواطنين غير
الزكاة ، وتعبث بها في إسراف وفساد ، ولهو وسهو وحرام ، ولا تصرفها في مصارفها
الشرعية كأهل الزكاة ، فإنه يجوز كتمان المال أو الأرباح حتى لا يدفع لهم مالا
حراماً ، فيساعدهم على فعل المحرمات ، فقد قال تعالى : (ولَا تعَاَونَوُا علَىَ
الْإثِمْ واَلعْدُوْاَن)ِ”
انتهى
Namun jika negara membebani penduduk dengan pajak dan
itu bukan zakat dan setelah terkumpul dana pajak tersebut digunakan untuk
fora-foya, untuk dikorupsi, main-main dan kelalaian (baca:hal-hal yang haram)
dan tidak membelanjakannya pada sasaran yang diperintahkan syariat semisal
orang-orang yang berhak mendapatkan zakat maka diperbolehkan menyembunyikan
harta atau keuntungan yang terkena pajak sehingga kita tidak menyerahkan uang
haram kepada negara yang akan mempergunakannya untuk melakukan hal-hal yang
haram. Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian saling tolong menolong
dalam dosa dan permusuhan” (QS al Maidah:2)”.
وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
“كل شيء يؤخذ بلا حق فهو من الضرائب ، وهو محرم ، ولا
يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق ، كما قال النبي عليه الصلاة والسلام: إذا
بعت من أخيك ثمرا فأصابته جائحة ، فلا يحل لك أن تأخذ منه شيئا ، بم تأكل مال أخيك
بغير حق ؟
Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Segala harta yang
diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan adalah bagian dari pajak yang
hukumnya haram. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil harta
saudaranya sesama muslim tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebagaimana sabda
Nabi tentang jual beli dengan sistem ijon, “Jika anda jual buah-buahan dengan
sistem ijon dengan saudaramu lalu buah-buahan tersebut terkena penyakit
sehingga gagal panen maka anda tidak boleh mengambil uang yang telah diserahkan
sedikit pun. Dengan alasan apa anda memakan harta orang lain tanpa alasan yang
bisa dibenarkan?”.
ولكن على المسلم السمع والطاعة ، وأن يسمع لولاة
الأمور ويطيع ولاة الأمور ، وإذا طلبوا مالا على هذه الأشياء سلمه لهم ، ثم إن كان
له حق فسيجده أمامه – يعني يوم القيامة -، وإن لم يكن له حق بأن كان الذي أخذ منه
على وجه العدل فليس له حق ،
Namun seorang muslim berkewajiban untuk mendengar dan
mematuhi aturan pemerintah. Jika pemerintah meminta sejumlah uang (baca:pajak)
atas benda-benda ini maka seorang muslim akan membayarkannya. Jika uang
tersebut adalah hak rakyat maka rakyat akan mendapati gantinya pada hari
Kiamat. Jika rakyat tidak memiliki hak atas harta tersebut karena pajak telah
ditetapkan secara adil maka rakyat tersebut tentu tidak memiliki hak (baca:
ganti pahala pada hari Kiamat) atas harta tadi.
والمهم أن الواجب علينا السمع والطاعة من ولاة الأمور
، قال النبي عليه الصلاة والسلام :اسمع وأطع وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك ولا يجوز أن
نتخذ من مثل هذه الأمور وسيلة إلى القدح في ولاة الأمور وسبهم في المجالس وما أشبه
ذلك ، ولنصبر ، وما لا ندركه من الدنيا ندركه في الآخرة” انتهى .
“لقاء الباب المفتوح( 12 / 65 ) .
Ringkasnya menjadi kewajiban kita untuk mendengar dan
patuh dengan aturan pemerintah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Dengarkan dan patuhilah aturan penguasa, meski penguasa tersebut memukuli
punggungmu dan merampas hartamu”. Tidak boleh menjadikan permasalah pajak atau
masalah lain yang semisal sebagai sarana untuk mencela pemerintah dan mencaci
maki pemerintah di berbagai forum dan semisalnya. Hendaknya kita bersabar.
Harta dunia yang tidak kita dapatkan di dunia pasti akan kita dapatkan pada
hari Kiamat nanti” (Liqa’ al Bab al Maftuh 12/65).
Sumber: http://islamqa.com/ar/ref/130920
atau islamqa.com/ar/ref/102157/pdf/dl dengan beberapa
perubahan.
Hukum
Pajak dan Bea Cukai (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah)
By:
muhammad abduh
Pertanyaan,
قرأت في كتاب ( الزواجر عن اقتراف الكبائر ) لابن حجر الهيتمي في حكم المكوس
، ونهي النبي صلى الله عليه وسلم عنها ، وأن أصحابها أشد الناس عذابا يوم القيامة
، وكثير من الدول يعتمد اقتصادها على تحصيل الرسوم الجمركية على الواردات
والصادرات وهذه الرسوم بالتالي يقوم التجار بإضافتها إلى ثمن البضاعة المباعة
بالتجزئة للجمهور ، وبهذه الأموال المحصلة تقوم الدولة بمشروعاتها المختلفة لبناء
مرافق الدولة . فأرجو توضيح حكم هذه الرسوم وحكم الجمارك والعمل بها وهل يعتبر نفس
حكم المكوس أم لا يعتبر نفس الحكم ؟.
“Aku membaca buku al
Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair karya Ibnu Hajar al Haitami tentang hukum maks
(pajak) dan larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hal tersebut.
Di sana juga disebutkan bahwa pemungut maks adalah manusia yang paling keras
siksaannya pada hari Kiamat nanti. Di sisi lain, banyak negara yang
perekonomiannya mengandalkan bea cukai atas barang impor ataupun barang ekspor.
Pada gilirannya bea cukai ini oleh produsen dibebankan kepada konsumen sehingga
harga barang tersebut menjadi lebih mahal. Dari uang bea cukai ini negara
mengadakan berbagai proyek untuk membangun berbagai fasilitas negara. Aku
berharap akan adanya penjelasan tentang hukum pajak dan bea cukai serta bekerja
di bidang itu. Apakah hukum pajak itu sama dengan hukum maks ataukah berbeda?”
فيما يلي نص فتوى
اللجنة الدائمة للإفتاء
تحصيل الرسوم
الجمركية من الواردات والصادرات من المكوس ، والمكوس حرام ، والعمل بها حرام ، ولو
كانت ممن يصرفها ولاة الأمور في المشروعات المختلفة كبناء مرافق الدولة لنهي النبي
صلى الله عليه وسلم عن أخذ المكوس وتشديده فيه ،
Jawaban dari Lajnah
Daimah,
“Bea cukai atas
barang impor atau ekspor itu termasuk maks sedangkan maks adalah haram. Oleh karena
itu, bekerja di bidang itu hukumnya haram meskipun pajak tersebut dibelanjakan
oleh negara untuk mengadakan berbagai proyek semisal membangun berbagai
fasilitas negara. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang bahkan memberi ancaman keras untuk perbuatan mengambil maks.
فقد ثبت في حديث عبد
الله بن بريدة عن أبيه في رجم الغامدية التي ولدت من الزنا أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال : ( والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ) الحديث
رواه أحمد ومسلم وأبو داوود
Dari Abdullah bin
Buraidah dari ayahnya tentang dirajamnya wanita dari suku al Ghamidiyyah
setelah melahirkan anak karena zina. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda tentang wanita tersebut, “Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik
maks (baca: pajak) bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya” (HR.
Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
وروى أحمد وأبو
داوود والحاكم عن عقبة بن عامر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( لا يدخل الجنة
صاحب مكس ) وصححه الحاكم .
Diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Daud dan al Hakim dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Penarik pajak itu tidak akan masuk surga”. Hadits ini dinilai
sahih oleh al Hakim.
وقد قال الذهبي في
كتابه الكبائر : والمكاس داخل في عموم قوله تعالى : ( إنما السبيل على الذين
يظلمون الناس ويبغون
في الأرض بغير الحق
أولئك لهم عذاب أليم ) الشورى/42 .
Dalam al Kabair, adz
Dzahabi mengatakan, “Pemungut pajak itu termasuk dalam keumuman firman Allah
yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab
yang pedih” (QS asy Syura:42).
والمكاس من أكبر
أعوان الظلمة بل هو من الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ، واستدل على ذلك
بحديث بريدة وحديث عقبة المتقدمين ثم قال : والمكاس فيه شبه من قاطع الطريق وهو من
اللصوص ، وجابي المكس وكاتبه وشاهده وآخذه من جندي وشيخ وصاحب راية شركاء في الوزر
آكلون للسحت والحرام . انتهى .
Pemungut pajak adalah
termasuk pembantu bagi penguasa zalim yang paling penting. Bahkan pemungut
pajak itu termasuk pelaku kezaliman karena mereka mengambil harta yang tidak
berhak untuk diambil”.
Adz Dzahabi lantas
berdalil dengan hadits dari Buraidah dan ‘Uqbah yang telah disebutkan di atas.
Setelah itu adz Dzahabi mengatakan, “Pemungut pajak itu memiliki kesamaan
dengan pembegal bahkan dia termasuk pencuri. Pemungut pajak, jurus tulisnya,
saksi dan semua pemungutnya baik seorang tentara, kepala suku atau kepala
daerah adalah orang-orang yang bersekutu dalam dosa. Semua mereka adalah
orang-orang yang memakan harta yang haram”. Sekian kutipan dari al Kabair.
ولأن ذلك من أكل
أموال الناس بالباطل وقد قال تعالى :( ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل )
البقرة/188
.
Dalam pajak terdapat
perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar padahal Allah
berfirman yang artinya, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan
cara yang tidak benar” (QS al Baqarah:188).
ولما ثبت عن النبي
صلى الله عليه وسلم أنه قال في خطبته بمنى يوم العيد في حجة الوداع : ( إن دماءكم
وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في بلدكم هذا في شهركم هذا ) .
Ketika memberikan
khutbah di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah ketika haji wada’, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian
itu tidak boleh diganggu sebagaimana kehormatan hari ini, di negeri ini dan
bulan ini”.
فعلى المسلم أن يتقي
الله ويدع طرق الكسب الحرام ويسلك طرق الكسب الحلال وهي كثيرة ولله الحمد ومن
يستغن يغنه الله ،
Menjadi kewajiban
setiap muslim untuk bertakwa kepada Allah dengan meninggalkan cara-cara
mendapatkan rezeki yang haram dan memilih cara-cara mendapatkan rezeki yang
halal yang jumlahnya banyak, Alhamdulillah. Barang siapa yang merasa cukup
dengan yang halal maka Allah akan memberi kecukupan untuknya.
قال الله تعالى :
(ومن يتق الله يجعل له مخرجا * ويرزقه من حيث لا يحتسب ومن يتوكل على الله فهو
حسبه إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدرا ) الطلاق/2-3
Allah berfirman yang
artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS ath
Thalaq:2-3).
وقال : ( ومن يتق
الله يجعل له من أمره يسرا ) الطلاق/ 4
Allah juga berfirman
yang artinya, “Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS ath Thalaq:4).
وبالله التوفيق
فتاوى اللجنة
الدائمة للإفتاء 23 / 489 .
Demikian yang
terdapat dalam Fatwa al Lajnah al Daimah lil Ifta’ jilid 23 halaman 489.
Sumber:
Pajak lagi
pajak lagi, ga ada tema yang lain apa?.. J. Dengan
niat yang ikhlas mengharapkan Wajah Allah Ta’ala untuk saling berbagi,
nasehat-menasehati dalam kebaikan dan takwa, kalaupun harus menulis dan
mengulang seribu tema yang sama pun tidak jadi masalah. Menurut para ulama,
menerangkan hukum sya’ri adalah perkara yang utama, karena dengan mengetahui
hukum-hukum agama itu manusia bisa membedakan/ memisahkan mana yang haq dan
mana yang bathil, yang halal, yang syubhat dan yang haram. Jika kita sekedar
beramal saja tanpa mengetahui ilmunya, lalu bagaimana kita akan tahu dan yakin
kalau amalan (yang kita kerjakan) tersebut benar?. Saking pentingnya ilmu,
sampai-sampai Al-Imam al-Bukhari –raheemahullaahu- membuat sebuah judul bab
pada kitab shahih-nya: “al-‘ilmu qabla al-qoul wal ‘amal: ilmu itu sebelum
berkata dan beramal.” Begitu pula dengan masalah Pajak, sebelum berdalam-dalam
di dunia tersebut, mengambil dan memakan harta dari sumber tersebut, sudah
seharusnya kita mencari tahu hukum-hukumnya terlebih dahulu agar tidak menyesal
di kemudian hari. Saya kutipkan penjelasan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi
–raheemahullaahu- terkait dengan Maks/Pajak/Bea Cukai dalam bab: المكاس. Namun
sebelumnya, siapakah beliau?, Beliau adalah Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin
Qaimaz at-Turkmany al-Fariqy ad-Dimasyqy asy-Syafi’i atau masyhur dengan
sebutan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi (w. 747 H), murid dari Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah –raheemahullahu-. Beliau digelari Imamul Wujud Hifzhan (imamnya
semua yang ada di hafalan), Syaikhul Jarhi wa Ta’dil (pakar dalam menilai
ketsiqahan para perawi hadits) dan Rajul ar-Rijal fii Kulli Sabil (satu dari
seribu orang dalam seluruh disiplin ilmu) oleh para ulama lain. Beliau juga
seorang huffadz (hafal ribuan hadits i.e matan hadits beserta jalur-jalur
periwayatannya, red) dengan banyak karya tulis terkenal semisal Mizanul I’tidal
yang digunakan oleh para ahlul hadits sebagai rujukan dalam menilai ketsiqahan
para perawi sanad. Berikut penjelasan beliau dalam kitabnya, al-Kabaair:
وهو داخل في قول الله تعالى إنما السبيل على الذين
يظلمون الناس ويبغون في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم والمكاس من أكبر
أعوان الظلمة بل هو من الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق
ولهذا قال النبي المكاس لا يدخل الجنة وقال لا يدخل الجنة صاحب مكس رواه أبو داود
وما ذاك إلا لأنه يتقلد مظالم العباد ومن أين للمكاس يوم القيامة أن يؤدي للناس ما
أخذ منهم إنما يأخذون من حسناته إن كان له حسنات وهو داخل في قول النبي أتدرون من
المفلس قالوا يا رسول الله المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع قال إن المفلس من
أمتي من يأتي بصلاة وزكاة وصيام وحج ويأتي وقد شتم هذا وضرب هذا وأخذ مال هذا
فيؤخذ لهذا من حسناته وهذا من حسناته فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من
سيئاتهم فطرحت عليه ثم طرح في النار
Perbuatan
memungut pajak/cukai termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:
إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون في الأرض
بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم
“Sesungguhnya
dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui
batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih”. (QS.
Asy-Syura: 42)
Orang yang
memungut pajak/cukai itu adalah orang yang paling besar bantuannya kepada
orang-orang yang dzalim. Bahkan ia sendiri termasuk yang dzalim. Sebab, ia
telah mengambil apa yang bukan menjadi haknya dan memberikannya kepada yang
tidak berhak.
Nabi
(Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) bersabda:
المكاس لا يدخل الجنة
“Pemungut
pajak/cukai itu tidak akan masuk surga”
Beliau juga
bersabda:
لا يدخل الجنة صاحب مكس رواه أبو داود
“Tidak akan
masuk surga orang yang kerjanya memungut pajak/cukai” (HR. Abu Dawud)
Pemungut
pajak/cukai itu memikul tanggung jawab penganiayaan terhadap manusia. Pada hari
kiamat kelak mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk membayar kembali hak
orang yang sudah diambilnya. Sesungguhnya mereka akan membayarnya dengan
diambilkan kebaikannya jika ia mempunyai kebaikan.
Rasulullah
(Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) bersabda: “Tahukah kamu, siapakah orang-orang
yang muflis/bangkrut itu?”, Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, menurut kami
orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dirham atau kekayaan”,
Rasulullah (Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) menjelaskan, “Sebenarnya orang
yang bangkrut dari ummatku itu adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan
membawa shalat, zakat, shiyam/puasa dan haji, namun ia datang dalam keadaan
telah mencela si anu dan menumpahkan darah si anu. Maka kebaikannya diambil
untuk si anu, diambil lagi untuk si anu. Apabila kebaikannya sudah habis
sebelum habisnya kesalahannya terhadap orang-orang itu, maka diambillah
kejahatan orang-orang itu lalu dipikulkan kepadanya, hingga akhirnya ia masuk
neraka”... [al-Kabaair hal. 115, al-Hafidz adz-Dzahabi]
Pengutip: Salah
satu alasan mengapa banyak orang yang tertarik untuk bekerja di sektor
Perpajakan dan Bea Cukai adalah status sosial/ kedudukannya yang dianggap
prestigeous di mata masyarakat dan pendapatannya (yang katanya) cukup besar.
Namun bagi orang yang mengetahui hukum syariat seperti para ulama yang wara’
dan hanif, pekerjaan seperti itu tidaklah berfaidah sama sekali dan harus
ditinggalkan. Mengapa demikian? Apa alasannya?. Kan prestigeous, kan gajinya
gedhe, kan... kan.... Let’s take a look perkataan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi
berikut di dalam bab: “Memakan Barang Haram” (masih di dalam kitab yang sama
i.e al-Kabaair), serem mas Bro..:
قال الله عز وجل ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
Allah Azza
wa Jalla berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil”. (QS. Al-Baqarah: 188)
قال ابن عباس رضي الله عنهما يعني باليمين الباطلة
الكاذبة يقتطع بها الرجل مال أخيه بالباطل والأكل بالباطل على وجهين أحدهما أن
يكون على جهة الظلم نحو الغصب والخيانة والسرقة والثاني على جهة
الهزل واللعب كالذي يؤخذ في القمار والملاهي ونحو ذلك
Ibnu Abbas
–radhiyallaahu ‘anhuma- berkata, “Maksudnya adalah dengan sumpah palsu, yang
dengan sumpah palsu itu seseorang bisa mendapatkan harta saudaranya secara
bathil.”
Memakan
dengan cara yang bathil itu ada dua macam:
Pertama, Diperoleh dengan jalan kedzaliman seperti merampas,
berkhianat atau mencuri.
Kedua, Diperoleh dengan cara bermain seperti berjudi,
tempat-tempat hiburan dan lain-lain.
وفي صحيح البخاري أن رسول الله قال إن رجالا يتخوضونن
في مال الله بغير حق فلهم النار يوم القيامة
Dalam shahih
Bukhari disebutkan, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:
“Sesungguhnya
orang-orang yang menceburkan diri ke dalam harta Allah tanpa hak, maka bagi
mereka disediakan Neraka pada hari kiamat.”
وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله الدنيا
حلوة خضرة من اكتسب فيها مالا من حله وأنفقه في حقه أثابه الله وأورثه
جنته ومن اكتسب فيها مالا من غير حله وأنفقه في غير حقه أدخله الله تعالى دار
الهوان ورب متخوض فيما اشتهت نفسه من الحرام له النار يوم القيامة
Ibnu Umar
-radhiyallaahu ‘anhuma- meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama bersabda, “Dunia itu manis dan hijau. Barangsiapa berusaha di
dalamnya secara halal lalu menafkahkannya pada jalan yang benar, niscaya Allah
Ta’ala akan mengganjarnya dan mewariskan Surga baginya. Dan barangsiapa
berusaha di dalamnya melalui cara yang haram dan membelanjakannya pada jalan
yang tidak benar, niscaya Allah Ta’ala akan memasukannya ke tempat yang hina
(Neraka). Berapa banyak orang yang menceburkan diri pada apa-apa yang
haram yang disenangi hawa nafsunya, mengakibatkan ia masuk neraka pada hari
Kiamat nanti”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab [5139] dari
Ibnu Umar, ash-Shahih [3410])
وقال سفيان الثوري من أنفق الحرام في الطاعة كمن طهر
الثوب بالبول والثوب لا يطهره إلا الماء والذنب لا يكفره إلا الحلال
Berkata
Sufyan ats-Tsauri –Raheemahullaahu-, “Orang yang menafkahkan uang haram dalam
perbuatan ta’at adalah ibarat orang yang mencuci baju dengan air seni. Padahal
baju tidaklah dicuci kecuali dengan air, dan dosa tidaklah dihapus
kecuali dengan yang halal.”.... [al-Kabaair hal. 118, al-Imam
adz-Dzahabi]
Look!,
al-Imam Sufyan ats-Tsauri (salah seorang ulama besar salafus shalih dari (salah
satu) generasi terbaik Islam, tabi’ut tabi’in, red) saja menyamakan “uang
haram” dengan “air seni” yang jelas-jelas najis dan tidak bisa digunakan untuk
bersuci. Padahal itu ditujukan untuk kebaikan semisal menafkahi anak istri,
shadaqah, menyantuni anak yatim dll, apatah lagi jika digunakan untuk
keburukan/ kemaksiatan. Pertanyaannya; Jika Maks/Pajak/Bea Cukai dihukumi haram
oleh para ulama berdasarkan nash-nash shahih karena mengambil harta orang lain
dengan cara yang tidak haq (syar’i), lantas bagaimana dengan penghasilannya?,
bagaimana dengan daging yang tumbuh dari makanan yang dibeli dari uang
tersebut?, bagaimana dengan doa dan ibadah dari orang yang mendapatkan harta
dengan jalan tersebut?...
Sebenarnya
tidak ada masalah dengan sisi prestigeousnya, begitu pula dengan pendapatannya
yang besar, namun jangan sampai hal-hal membanggakan dan mengagumkan yang
sifatnya fana dan hanya sementara itu mengalahkan perkataan/ hukum Allah dan
RasulNya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Kemulian tidaklah diukur dengan
banyak atau sedikitnya harta koq mas Bro, karena jika itu tolok ukurnya, tentu
Fir’aun dianggap lebih mulia dari nabi Musa ‘Alaihissalam. Yang memandang mulia
tidaknya seseorang dari banyak sedikitnya harta hanya mereka kaum kuffar
sebagaimana penjelasan al-Imam al-Qurthubi, “..Sesungguhnya kemuliaan menurut
orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang
mukmin, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan kepada Allah dan
bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah
memberinya rizki di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya.” [Al-Jaami’
li Ahkamil Qur’an]
Jika saya
seorang pegawai Pajak, maka tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagi saya
kecuali mengajukan pindah ke bagian lain atau resign dari pekerjaan tersebut
(worst case jika ikhtiar pertama ditolak atasan, red) dan mencari pekerjaan
lain yang lebih halal demi kebaikan saya sendiri dan keluarga... Wallaahu
a’lam...
9 Respones
to "Jika Saya Seorang Pegawai Pajak..."
ruhiyat zaelani mengatakan...
alhamdulillah pendapatnya,, jikalau
antum merasa bahwa pajak itu haram,, niscaya antum pastinya mengerti memakai
sesuatu yang haram,, dan menikmati sesuatu yang haram tersebut pastinya antum
pun akan berdosa,, sekarang saya tanya.. apakah selama antum hidup antum
memakai jalan raya sebagai sarana perjalanan antum?? kalau memang antum merasa
pajak haram,, silahkan jalan di jalan yang masih tanah dan belum dibangun oleh
pemerintah,, lalu apakah antum masih merasakan subsidi pemerintah?? kalau
masih,, cobalah berpikir ,, dosakah antum memakai dan menikmati sesuatu yang
menurut antum adalah haram??? mohon penjelasan..
Old Nakula mengatakan...
Apakah anda bisa memastikan bahwa
fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah 100% berasal dari uang Pajak?
Atau berasal dari harta yang bercampur (dari jalur Niaga -via BUMN dkk
misalnya- + uang Pajak)?. Karena sejauh informasi yang saya ketahui bahwa Kas
negara itu tidak hanya berasal dari sektor pajak saja, namun juga berasal dari
berbagai macam sumber lain (baik melalui jalan yang halal seperti perniagaan
maupun yang haram seperti pajak, riba dll). Dan membangun fasilitas umum yang
dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari harta seperti ini -sejauh
pengetahuan saya, wallaahu a'lam- diperbolehkan. Untuk memperkaya wawasan,
silahkan anda membaca artikel lain di tempat yang lain yang membahas masalah
"Hukum memanfaatkan uang haram".
Kembali lagi ke konteks pembahasan diatas bahwa yang dikritik oleh para ulama (pada artikel di atas, red) adalah pekerjaan haramnya (yang berimplikasi kepada harta yang ia makan, yang juga dikonsumsi oleh anak dan istrinya, red) bukan pemanfaatan hartanya.
Btw, anda bekerja di kantor Pajak ya?,.. saran saya berusahalah untuk keluar dari lingkaran pekerjaan tersebut dan mencari pekerjaan lain yang halalan thayyiban sebagai sikap wara', insyaAllah Allah Ta'ala akan memudahkan hamba-hambaNya yang menjaga diri dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Kembali lagi ke konteks pembahasan diatas bahwa yang dikritik oleh para ulama (pada artikel di atas, red) adalah pekerjaan haramnya (yang berimplikasi kepada harta yang ia makan, yang juga dikonsumsi oleh anak dan istrinya, red) bukan pemanfaatan hartanya.
Btw, anda bekerja di kantor Pajak ya?,.. saran saya berusahalah untuk keluar dari lingkaran pekerjaan tersebut dan mencari pekerjaan lain yang halalan thayyiban sebagai sikap wara', insyaAllah Allah Ta'ala akan memudahkan hamba-hambaNya yang menjaga diri dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Emilia Gustika
Hadi mengatakan...
Waduh om dalil memperbolehkannya
uang haram dari mana y? Saya jg td udh ikut baca yg disuruh yaitu "hukum
memanfaatkan uang haram" referensi dr om. tp mlh yg saya dapetin kl dr
memperolehnya aj udh hram pggunaannya sama aja. Berhubung saya org awam. Tolong
donk kasih dalilny yg membolehkan. Setau saya yg mengharamkan pajak itu hanya
ulama wahabi. Ulama lainnya justru menghalal kan. Skrg coba deh om yg googling
lg tentang pajak haram gaknya. Krn setau saya pun. Mengharamkan suatu yg halal
itu dosa. :)
Old Nakula mengatakan...
Mohon dibaca baik-baik komentar saya
sebelumnya ya Tante :), perhatikan kalimat berikut:
"Apakah anda bisa memastikan bahwa fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah 100% berasal dari uang Pajak? Atau berasal dari harta yang BERCAMPUR(dari jalur Niaga -via BUMN dkk misalnya- + uang Pajak)?. Karena sejauh informasi yang saya ketahui bahwa Kas negara itu TIDAK HANYA BERASAL dari sektor pajak saja, namun juga berasal dari berbagai macam sumber lain (baik melalui jalan yang halal seperti perniagaan maupun yang haram seperti pajak, riba dll). Dan membangun fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari harta seperti ini -sejauh pengetahuan saya, wallaahu a'lam- DIPERBOLEHKAN."
Dari penjelasan al-Hafizh adz-Dzahabiy -raheemahullaahu- dalam bab: Maks atau Pajak (pada artikel) di atas, maka saya meyakini akan haramnya pajak secara mutlak (Dalilnya jelas, silahkan baca kembali artikel di atas, kecuali dalam kondisi yang darurat, seperti kosongnya kas negara dll, red). Kemudian saya bertanya; Apakah harta yang digunakan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas umum itu seluruhnya berasal dari Pajak?? (ini adalah pertanyaan saya kepada komentator sebelumnya sebagai counter balik kepada ybs akan sinismenya dia terhadap penjelasan al-Hafzih adz-Dzahabiy, red). Perhatikan kalimat yang saya CAPSLOCK diatas, i.e kalimat "Harta Bercampur", dan inilah yang saya maksud hukumnya "boleh". Adapun seseorang yang mendapatkan upah dari pekerjaan yang haram, maka uang yang didapatkannya juga haram. Namun apakah orang lain yang menerima uang haram tersebut (melalui proses jual beli misalnya, red) atau dalam bentuk yang lain otomatis akan dikatakan "telah memperoleh harta yang haram"? atau dilarang menerima uang tersebut?.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا . . . الْحَدِيْثَ
“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya…. ” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)
Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani banyak memakan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan mereka. Oleh karenanya muncul kaidah ushul fiqh:
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqa’ Al Bab Al Maftuh)
Dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَهُ فَقَالَ: إِنَّ لِيْ جَارًا يَأْكُلُ الرِّباَ وَإنَِّهُ لاَ يَزَالُ يَدْعُوْنِي. فَقَالَ: مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ
“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata: ‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang memakan riba dan senantiasa mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’. [Mushannaf 'Abdurrazaq (no. 14675) dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal]
Dan dalil tentang haramnya Pajak itu jelas, maka tidakkah engkau takut pula mengikuti pendapat yang menghalalkannya (yang artinya menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah)?, atau dirimu tidak membaca dengan teliti mengapa sebagian ulama menghalalkannya?. Silahkan dipikirkan,..
"Apakah anda bisa memastikan bahwa fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah 100% berasal dari uang Pajak? Atau berasal dari harta yang BERCAMPUR(dari jalur Niaga -via BUMN dkk misalnya- + uang Pajak)?. Karena sejauh informasi yang saya ketahui bahwa Kas negara itu TIDAK HANYA BERASAL dari sektor pajak saja, namun juga berasal dari berbagai macam sumber lain (baik melalui jalan yang halal seperti perniagaan maupun yang haram seperti pajak, riba dll). Dan membangun fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari harta seperti ini -sejauh pengetahuan saya, wallaahu a'lam- DIPERBOLEHKAN."
Dari penjelasan al-Hafizh adz-Dzahabiy -raheemahullaahu- dalam bab: Maks atau Pajak (pada artikel) di atas, maka saya meyakini akan haramnya pajak secara mutlak (Dalilnya jelas, silahkan baca kembali artikel di atas, kecuali dalam kondisi yang darurat, seperti kosongnya kas negara dll, red). Kemudian saya bertanya; Apakah harta yang digunakan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas umum itu seluruhnya berasal dari Pajak?? (ini adalah pertanyaan saya kepada komentator sebelumnya sebagai counter balik kepada ybs akan sinismenya dia terhadap penjelasan al-Hafzih adz-Dzahabiy, red). Perhatikan kalimat yang saya CAPSLOCK diatas, i.e kalimat "Harta Bercampur", dan inilah yang saya maksud hukumnya "boleh". Adapun seseorang yang mendapatkan upah dari pekerjaan yang haram, maka uang yang didapatkannya juga haram. Namun apakah orang lain yang menerima uang haram tersebut (melalui proses jual beli misalnya, red) atau dalam bentuk yang lain otomatis akan dikatakan "telah memperoleh harta yang haram"? atau dilarang menerima uang tersebut?.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا . . . الْحَدِيْثَ
“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya…. ” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)
Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani banyak memakan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan mereka. Oleh karenanya muncul kaidah ushul fiqh:
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqa’ Al Bab Al Maftuh)
Dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَهُ فَقَالَ: إِنَّ لِيْ جَارًا يَأْكُلُ الرِّباَ وَإنَِّهُ لاَ يَزَالُ يَدْعُوْنِي. فَقَالَ: مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ
“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata: ‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang memakan riba dan senantiasa mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’. [Mushannaf 'Abdurrazaq (no. 14675) dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal]
Dan dalil tentang haramnya Pajak itu jelas, maka tidakkah engkau takut pula mengikuti pendapat yang menghalalkannya (yang artinya menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah)?, atau dirimu tidak membaca dengan teliti mengapa sebagian ulama menghalalkannya?. Silahkan dipikirkan,..
ruhiyat zaelani mengatakan...
JAKARTA (Pos Kota) – Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menyatakan haram hukumnya gerakan
memboikot pajak karena membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah.
“Saya memahami kekecewaan masyarakat terkait adanya pegawai pajak yang menjadi makelar pajak. Namun, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memboikot membayar pajak,” tutur Ma’ruf di Kantor MUI, Jakatar, Rabu (7/4).
Ia mengatakan hukum pajak adalah wajib berdasarkan hukm syariah untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena pajak itu untuk untuk kemaslahatan kita semua, di mana uang pajak itu masuk ke kas negara yang nantinya dipergunakan untuk membangun berbagai fasilitas yang akan digunakan oleh rakyat.
Maruf menyebutkan, membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah. Hal itu mencontoh penerapan kebijakan serupa dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab usai Nabi wafat.
“Saat itu, kekhalifahan Islam telah memiliki banyak pegawai dan tentara yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Namun, dana baitulmal bersumber zakat tidak mencukupi. Terlebih, dana zakat hanya bisa digunakan untuk delapan golongan saja. Karena tidak cukup dari Baitulmal makanya ada pajak yang dikenal dengan istilah darb,’’ kata Ma’ruf.
Diberitakan sebelumnya ide gerakan boikot pajak muncul lewat situs jejaring sosial facebook. Gerakan ini muncul atas kekecewaan dengan terjadinya kasus makelar pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, pegawai pajak di Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki dana di rekeningnya sebesar Rp28 miliar.
sumber : http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/04/07/mui-boikot-pajak-itu-haram
“Saya memahami kekecewaan masyarakat terkait adanya pegawai pajak yang menjadi makelar pajak. Namun, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memboikot membayar pajak,” tutur Ma’ruf di Kantor MUI, Jakatar, Rabu (7/4).
Ia mengatakan hukum pajak adalah wajib berdasarkan hukm syariah untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena pajak itu untuk untuk kemaslahatan kita semua, di mana uang pajak itu masuk ke kas negara yang nantinya dipergunakan untuk membangun berbagai fasilitas yang akan digunakan oleh rakyat.
Maruf menyebutkan, membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah. Hal itu mencontoh penerapan kebijakan serupa dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab usai Nabi wafat.
“Saat itu, kekhalifahan Islam telah memiliki banyak pegawai dan tentara yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Namun, dana baitulmal bersumber zakat tidak mencukupi. Terlebih, dana zakat hanya bisa digunakan untuk delapan golongan saja. Karena tidak cukup dari Baitulmal makanya ada pajak yang dikenal dengan istilah darb,’’ kata Ma’ruf.
Diberitakan sebelumnya ide gerakan boikot pajak muncul lewat situs jejaring sosial facebook. Gerakan ini muncul atas kekecewaan dengan terjadinya kasus makelar pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, pegawai pajak di Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki dana di rekeningnya sebesar Rp28 miliar.
sumber : http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/04/07/mui-boikot-pajak-itu-haram
Old Nakula mengatakan...
@Ruhiyat, Hehe,.. Hujjahnya
kira-kira apa ya?, silahkan anda paparkan disini secara ilmiyah dari al-Kitab
wa Sunnah bi fahmy as-Salaful ummah ya,..
Anonim mengatakan...
Berarti boleh ya
mengambil/memanfaatkan sesuatu yg sumbernya dari campuran halal+haram. Padahal
kita tahu betul, bahwa itu berasal dari sesuatu yg bercampur halal+haram.
Beneran nanya nih, soalnya kok beda banget dengan yg kutahu selama ini
Anonim mengatakan...
membayar pajak haram tpi
memanfaatkannya halal..?? gimana sih gak ngerti?? pembangunan di biayai oleh
APBN sedangkan mayoritas APBN dari pajak 78% klo gak salah dan itu belum
termasuk bea cukai, tidak termasuk Pajak bumi dan bangunan dan retribusi, jdi
klo pajak haram besok2 berangkat kerja terbang aja jgn manfaatkan jalan yg di
bangun pemerintah dari hasil pajak.. hahaha
METROJAYA mengatakan...
perlunya ijma ulama kalo pajak dan
cukai sudah mendzolimi orang islam. kasihan pegawai pajak yang niatnya cuma
kerja tapi nggak mengerti hukum syar'i.Dampaknya besar bagi negara makanya
negara ini hutang melulu.padahal kalo zakat orang muslim dimaksimalkan bisa
menjadi solusi buat negara.
Pegawai
Pajak (Terutama Alumni STAN) Ramai-Ramai Mengundurkan Diri,
Ada Apa?
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui hampir setiap
hari menerima surat pengunduran diri dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Apa sebabnya?
"Hampir setiap hari saya terima surat pengunduran diri dari pegawai Ditjen Pajak," ungkap Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Kamis (5/2/2015), seperti dilansir detikcom.
Setelah ditelusuri, ternyata permasalahannya adalah gaji yang diterima oleh pegawai masih sangat rendah. Apalagi bila dibandingkan dengan pekerjaan di swasta. Padahal tanggung jawabnya luar biasa besar.
"Ini pasti karena demand yang lebih besar dari luar. Gajinya pasti lebih besar," sebutnya.
Ia mencontohkan, pegawai yang berasal dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) memiliki ikatan dinas beberapa tahun untuk bekerja di Ditjen Pajak. Biasanya, lulusan STAN hanya menyelesaikan dinas dan kemudian keluar.
"Jadi dihabiskan ikatan dinasnya saja. Terus dia kerja tempat lain," imbuh Bambang.
Menurutnya, daya tarik bekerja di Ditjen Pajak sudah menurun. Padahal ke depan, tantangan semakin besar. Untuk tahun ini saja harus mengejar penerimaan perpajakan lebih dari Rp 1.400 triliun.
"Daya tarik kerja di Ditjen Pajak menurun. Padahal kondisi semakin menantang," ujarnya.
Maka dari itu, Kementerian Keuangan menganggarkan tambahan tunjangan kinerja atau remunerasi untuk Ditjen Pajak. Ini diharapkan bisa menambah gairan pegawai pajak.
"Itu alasan harus dilakukan remunerasi sebagai solusi," tukas Bambang.
Menurut penuturan dari salah seorang pegawai Pajak di Yogyakarta (yang juga alumni STAN), beban kerja di Direktorat Jenderal Pajak semakin berat. Hal ini lantaran beban target penerimaan pajak yang naik dari Rp 1.246 Triliun di tahun 2014 menjadi Rp 1.400 Triliun di tahun 2015. Padahal realisasi penerimaan pajak 2014 tak sesuai target. Realisasi penerimaan pajak 2014 hanya Rp 1.143,3 triliun atau 91,75 persen dari target tersebut, dan ini merupakan realisasi pajak terendah sepanjang sejarah. (Baca:Rekor, Realisasi Pajak 2014 Terendah Sepanjang Sejarah)
Dengan beban target penerimaan pajak yang semakin meningkat di tahun 2015 ini maka beban kerja para pegawai Direktorat Jenderal Pajak semakin berat.
"Hampir setiap hari saya terima surat pengunduran diri dari pegawai Ditjen Pajak," ungkap Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Kamis (5/2/2015), seperti dilansir detikcom.
Setelah ditelusuri, ternyata permasalahannya adalah gaji yang diterima oleh pegawai masih sangat rendah. Apalagi bila dibandingkan dengan pekerjaan di swasta. Padahal tanggung jawabnya luar biasa besar.
"Ini pasti karena demand yang lebih besar dari luar. Gajinya pasti lebih besar," sebutnya.
Ia mencontohkan, pegawai yang berasal dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) memiliki ikatan dinas beberapa tahun untuk bekerja di Ditjen Pajak. Biasanya, lulusan STAN hanya menyelesaikan dinas dan kemudian keluar.
"Jadi dihabiskan ikatan dinasnya saja. Terus dia kerja tempat lain," imbuh Bambang.
Menurutnya, daya tarik bekerja di Ditjen Pajak sudah menurun. Padahal ke depan, tantangan semakin besar. Untuk tahun ini saja harus mengejar penerimaan perpajakan lebih dari Rp 1.400 triliun.
"Daya tarik kerja di Ditjen Pajak menurun. Padahal kondisi semakin menantang," ujarnya.
Maka dari itu, Kementerian Keuangan menganggarkan tambahan tunjangan kinerja atau remunerasi untuk Ditjen Pajak. Ini diharapkan bisa menambah gairan pegawai pajak.
"Itu alasan harus dilakukan remunerasi sebagai solusi," tukas Bambang.
Menurut penuturan dari salah seorang pegawai Pajak di Yogyakarta (yang juga alumni STAN), beban kerja di Direktorat Jenderal Pajak semakin berat. Hal ini lantaran beban target penerimaan pajak yang naik dari Rp 1.246 Triliun di tahun 2014 menjadi Rp 1.400 Triliun di tahun 2015. Padahal realisasi penerimaan pajak 2014 tak sesuai target. Realisasi penerimaan pajak 2014 hanya Rp 1.143,3 triliun atau 91,75 persen dari target tersebut, dan ini merupakan realisasi pajak terendah sepanjang sejarah. (Baca:Rekor, Realisasi Pajak 2014 Terendah Sepanjang Sejarah)
Dengan beban target penerimaan pajak yang semakin meningkat di tahun 2015 ini maka beban kerja para pegawai Direktorat Jenderal Pajak semakin berat.
Related Articles
HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM, Bagaimana Kaum Muslimin
Menyikapinya? Oleh: Muhammad Wasitho Abu
Fawaz, Lc
Adakah Bea Cukai Untuk Barang Orang Kafir?
By: muhammad abduh
Hukum Pajak dan Bekerja di Pajak, Apakah Gaji
Bekerja Disitu Halal?
Perpajakan
yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat (1)
Ketua Dewan Pembina/Pendiri
CISFED ( Center for Studies in Finance, Economics, and Development )
Perpajakan
yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat (2-Habis)
Ketua Dewan Pembina/Pendiri
CISFED ( Center for Studies in Finance, Economics, and Development )
Mengelak
dari Pajak dan zakat, Bolehkah?
Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc
MENGAPA ISLAM MENGHARAMKAN PAJAK?
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Hukum Pajak dan Bekerja di Pajak
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. (Pembina Komunitas
Pengusaha Muslim Indonesia)
https://konsultasisyariah.com/106-hukum-pajak-dan-bekerja-di-pajak.html
Pandangan Syariat Terhadap Pajak dan Bea Cukai
Ustadz Aris Munandar