Wednesday, June 1, 2016

Pandangan Syariat ( Larangan ) Bekerja Dan Pendapat Yang “Membolehkan” Pajak ( Bea Cukai ). Rujukannya Dienul Islam, Bukan Teori Ekonomi Kapitalis. Silahkan Bantah Secara Ilmiyyah Berdalil. (Bagian 3)

Hasil gambar untuk pajak


Hukum Kerja di 
Kantor Pajak

By: muhammad abduh
Berikut ada fatwa menarik tentang hukum bekerja di kantor pajak yang sering dipertanyakan sebagian orang. Semoga bermanfaat.
حكم العمل في الجمارك والضرائب
أعمل في الجمارك ، وقد سمعت أن هذا العمل غير جائز شرعاً ، فشرعت في البحث في هذه المسألة وقد مرت مدة طويلة وأنا أبحث دون أن أصل إلى نتيجة شافية . أرجو منكم أن تفصلوا لي المسألة قدر المستطاع
Hukum Bekerja di Bidang Bea Cukai dan Perpajakan
Pertanyaan, “Aku bekerja di kantor bea cukai. Aku pernah mendengar bahwa pekerjaan semacam ini itu tidak diperbolehkan oleh syariat. Mendengar hal tersebut aku lantas mengadakan pengkajian tentang permasalahan ini. Setelah sekian lama aku mengkaji, aku tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku berharap agar anda menjelaskan hukum permasalahan ini sejelas-jelasnya”.
الحمد لله
أولاً :
العمل في الجمارك وتحصيل الرسوم على ما يجلبه الناس من بضائع أو أمتعة ، الأصل فيه أنه حرام .
Jawaban pertanyaan, “Alhamdulillah, pada dasarnya hukum bekerja di bidang bea cukai yang memungut pajak atas barang-barang yang didatangkan oleh masyarakat dan dimasukkan ke suatu daerah adalah haram.
لما فيه من الظلم والإعانة عليه ؛ إذ لا يجوز أخذ مال امرئ معصوم إلا بطيب نفس منه ، وقد دلت النصوص على تحريم المَكْس ، والتشديد فيه ، ومن ذلك قوله صلى الله عليه وسلم في المرأة الغامدية التي زنت فرجمت : ( لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ) رواه مسلم (1695)
Alasan diharamkannya hal ini adalah karena pungutan bea cukai adalah kezaliman sehingga bekerja di bea cukai berarti membantu pihak yang hendak melakukan kezaliman. Tidak boleh mengambil harta seorang yang hartanya terjaga (baca: muslim atau kafir dzimmi) kecuali dengan kerelaannya. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan haramnya maks (baca: bea cukai) dan adanya ancaman keras tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seorang perempuan dari suku Ghamidiyyah yang berzina lantas dihukum rajam. Beliau bersabda, “Perempuan tersebut telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai bertaubat seperti itu tentu dia akan diampuni” (HR Muslim no 1695).
قال النووي رحمه الله : “فيه أن المَكْس من أقبح المعاصي والذنوب الموبقات ، وذلك لكثرة مطالبات الناس له وظلاماتهم عنده ، وتكرر ذلك منه ، وانتهاكه للناس وأخذ أموالهم بغير حقها ، وصرفها في غير وجهها ” اهـ .
Ketika membahas hadits di atas, an Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa memungut bea cukai itu termasuk kemaksiatan yang paling buruk dan termasuk dosa yang membinasakan (baca: dosa besar). Hal ini disebabkan banyaknya tuntutan manusia kepadanya (pada hari Kiamat) dan banyaknya tindakan kezaliman yang dilakukan oleh pemungut bea cukai mengingat pungutan ini dilakukan berulang kali. Dengan memungut bea cukai berarti melanggar hak orang lain dan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan serta membelanjakannya tidak pada sasaran yang tepat”.
وروى أحمد (17333) وأبو داود (2937) عن عقبة بن عامر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ )
قال شعيب الأناؤوط : حسن لغيره. وضعفه الألباني في ضعيف أبي داود
Diriwayatkan oleh Ahmad no 17333 dan Abu Daud no 2937 dari Ubah bin Amir, Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pemungut bea cukai itu tidak akan masuk surga”. Hadits ini dinilai hasan li ghairihi oleh Syu’aib al Arnauth namun dinilai lemah oleh al Albani dalam Dhaif Abu Daud.
والمَكْس هو الضريبة التي تفرض على الناس ، ويُسمى آخذها (ماكس) أو (مكَّاس) أو (عَشَّار) لأنه كان يأخذ عشر أموال الناس
Pengertian maks yang ada dalam hadits-hadits di atas adalah pajak yang diwajibkan atas masyarakat. Pemungut maks disebut dengan maakis, makkaas atau ‘asysyar (pemungut sepersepuluh), disebut demikian karena pemungut bea cukai – di masa silam – mengambil sepersepuluh dari total harta orang yang dibebani bea cukai.
. وقد ذكر العلماء للمكس عدة صور . منها : ما كان يفعله أهل الجاهلية ، وهي دراهم كانت تؤخذ من البائع في الأسواق .
ومنها : دراهم كان يأخذها عامل الزكاة لنفسه ، بعد أن يأخذ الزكاة .
ومنها : دراهم كانت تؤخذ من التجار إذا مروا ، وكانوا يقدرونها على الأحمال أو الرؤوس ونحو ذلك ، وهذا أقرب ما يكون شبهاً بالجمارك
Para ulama menyebutkan bahwa maks itu memiliki beberapa bentuk.
(1) Maks yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yaitu uang pajak yang diambil dari para penjual di pasar
(2) Uang yang diambil oleh amal zakat dari muzakki untuk kepentingan pribadinya setelah dia mengambil zakat.
(3) Uang yang diambil dari para pedagang yang melewati suatu tempat tertentu. Uang yang diambil tersebut dibebankan kepada barang dagangan yang dibawa, perkepala orang yang lewat atau semisalnya.
Maks dengan pengertian ketiga tersebut sangat mirip dengan bea cukai.
وذكر هذه الصور الثلاثة في “عون المعبود” ، فقال : في القاموس : المكس النقص والظلم ، ودراهم كانت تؤخذ من بائعي السلع في الأسواق في الجاهلية . أو درهم كان يأخذه المُصَدِّق (عامل الزكاة) بعد فراغه من الصدقة
Ketiga bentuk maks ini disebutkan oleh penulis kitab Aunul Ma’bud (Syarh Sunan Abu Daud). Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Dalam al Qamus al Muhith disebutkan bahwa makna asal dari maks adalah mengurangi atau menzalimi. Maks adalah uang yang diambil dari para pedagang di pasar pada masa jahiliyyah atau uang yang diambil oleh amil zakat (untuk dirinya) setelah dia selesai mengambil zakat.
وقال في “النهاية” : هو الضريبة التي يأخذها الماكس ، وهو العشار .
وفي “شرح السنة” : أراد بصاحب المكس : الذي يأخذ من التجار إذا مروا مَكْسًا باسم العشر اهـ
Penulis kitab an Nihayah mengatakan bahwa maks adalah pajak yang diambil oleh maakis atau pemungut maks. Pemungut maks itu disebut juga asysyar. Sedangkan penulis kitab Syarh as Sunah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang yang meminta uang dari para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu zakat)”.
وقال الشوكاني في “نيل الأوطار” : صاحب المكس هو من يتولى الضرائب التي تؤخذ من الناس بغير حق “اهـ .
Dalam Nailul Author, asy Syaukani mengatakan, “Pemungut maks adalah orang yang mengambil pajak dari masyarakat tanpa adanya alasan yang bisa dibenarkan”.
والمَكْس محرم بالإجماع ، وقد نص بعض أهل العلم على أنه من كبائر الذنوب .
Memungut maks adalah haram dengan sepakat ulama. Bahkan sebagian ulama menegaskan bahwa perbuatan memungut maks adalah dosa besar.
قال في “مطالب أولي النهى” (2/619 )
(يحرم تعشير أموال المسلمين -أي أخذ عشرها- والكُلَف -أي الضرائب- التي ضربها الملوك على الناس بغير طريق شرعي إجماعا . قال القاضي : لا يسوغ فيها اجتهاد ) اهـ .
Dalam Mathalib Ulin Nuha 2/619 disebutkan, “Diharamkan mengambil sepersepuluh dari total harta manusia. Demikian juga diharamkan memungut pajak. Pajak adalah pungutan penguasa dari rakyatnya tanpa cara yang dibenarkan oleh syariat. Diharamkannya hal ini adalah ijma ulama. Al Qadhi mengatakan bahwa tidak ada ijtihad dalam masalah ini”.
وقال ابن حجر المكي في “الزواجر عن اقتراف الكبائر” (1/180(
الكبيرة الثلاثون بعد المائة : جباية المكوس , والدخول في شيء من توابعها كالكتابة عليها ، لا بقصد حفظ حقوق الناس إلى أن ترد إليهم إن تيسر. وهو داخل في قوله تعالى : ( إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ( الشورى/42 .
Ibnu Hajar al Maki dalam al Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair 1/180 mengatakan, “Dosa besar ke-130 adalah memungut maks dan berperan serta di dalamnya dengan menjadi juru tulis bukan dengan tujuan menjaga hak manusia sehingga bisa dikembalikan kepada pemilik harta ketika sudah memungkinkan. Dosa ini termasuk dalam firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS asy Syura:42).
والمكاس بسائر أنواعه : من جابي المكس ، وكاتبه ، وشاهده ، ووازنه ، وكائله ، وغيرهم من أكبر أعوان الظلمة ، بل هم من الظلمة أنفسهم , فإنهم يأخذون ما لا يستحقونه ، ويدفعونه لمن لا يستحقه , ولهذا لا يدخل صاحب مكس الجنة ، لأن لحمه ينبت من حرام .
Para pemungut pajak dengan berbagai tugasnya baik pemungut pajak secara langsung, juru tulisnya, saksi, petugas yang bertugas menimbang ataupun menakar barang yang akan dibebani pajak dll adalah pembantu penting para penguasa yang zalim. Bahkan mereka adalah orang-orang yang zalim karena merekalah yang mengambil harta yang bukan hak mereka dan menyerahkannya kepada orang yang tidak berhak. Oleh karena itu, pemungut pajak itu tidak akan masuk surga karena dagingnya tumbuh dari harta yang haram.
وأيضا : فلأنهم تقلدوا بمظالم العباد , ومن أين للمكاس يوم القيامة أن يؤدي الناس ما أَخَذَ منهم ، إنما يأخذون من حسناته ، إن كان له حسنات , وهو داخل في قوله صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح : ( أتدرون من المفلس ؟ قالوا : يا رسول الله ، المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع . قال : إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وزكاة وصيام ، وقد شتم هذا ، وضرب هذا ، وأخذ مال هذا ، فيأخذ هذا من حسناته ، وهذا من حسناته ، فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من سيئاتهم فطرح عليه ثم طرح في النار)
Sebab yang kedua adalah karena mereka bertugas untuk menzalimi manusia. Dari mana para pemungut zakat tersebut pada hari Kiamat bisa mengembalikan hak orang lain yang telah mereka ambil?? Orang-orang yang dikenai pajak itu akan mengambil kebaikannya jika pemungut pajak tersebut masih memiliki kebaikan. Pemungut pajak itu termasuk dalam hadits yang sahih. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Jawaban para sahabat, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah orang yang tidak punya dan tidak punya harta”. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , “Umatku yang bangkrut adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, zakat dan puasa. Namun dia telah mencaci maki A, memukul B dan mengambil harta C. A akan mengambil amal kebaikannya. Demikian pula B. Jika amal kebajikannya sudah habis sebelum kewajibannya selesai maka amal kejelekan orang-orang yang dizalimi akan diberikan kepadanya kemudian dia dicampakkan ke dalam neraka”.
وعن عقبة بن عامر رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا يدخل الجنة صاحب مكس )
Dari Ubah bin Amir, beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pemungut bea cukai itu tidak akan masuk surga”.
قال البغوي : يريد بصاحب المكس الذي يأخذ من التجار إذا مروا عليه مكسا باسم العشر . أي الزكاة
Al Baghawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang yang meminta uang dari para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu zakat).
قال الحافظ المنذري : أما الآن فإنهم يأخذون مكسا باسم العشر ، ومكسا آخر ليس له اسم ، بل شيء يأخذونه حراما وسحتا ، ويأكلونه في بطونهم نارا , حجتهم فيه داحضة عند ربهم ، وعليهم غضب ، ولهم عذاب شديد . اهـ
Al Hafiz al Mundziri mengatakan, “Sedangkan sekarang para pemungut pajak mereka memungut pajak dengan kedok zakat dan pajak yang lain tanpa kedok apapun. Itulah uang yang mereka ambil dengan jalan yang haram. Mereka masukkan ke dalam perut mereka api neraka. Alasan mereka di hadapan Allah adalah alasan yang rapuh. Untuk mereka murka Allah dan siksa yang berat”. Sekian kutipan dari Ibnu Hajar al Makki.
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في “السياسة الشرعية”: ص 115 :
وأما من كان لا يقطع الطريق , ولكنه يأخذ خَفَارة ( أي : يأخذ مالاً مقابل الحماية ) أو ضريبة من أبناء السبيل على الرؤوس والدواب والأحمال ونحو ذلك , فهذا مَكَّاس , عليه عقوبة المكاسين . . . وليس هو من قُطَّاع الطريق , فإن الطريق لا ينقطع به , مع أنه أشد الناس عذابا يوم القيامة , حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم في الغامدية : ” لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له” اهـ .
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al Siyasah al Syar’iyyah hal 115 mengatakan, “Sedangkan orang yang profesinya bukanlah merampok akan tetapi mereka meminta khafarah (uang kompensasi jaminan keamanan, sebagaimana yang dilakukan oleh para preman di tempat kita, pent) atau mengambil pajak atas kepala orang, hewan tunggangan atau barang muatan dari orang-orang yang lewat dan semisalnya maka profesi orang ini adalah pemungut pajak. Untuknya hukuman para pemungut pajak… Orang tersebut bukanlah perampok karena dia tidak menghadang di tengah jalan. Meski dia bukan perampok dia adalah orang yang paling berat siksaannya pada hari Kiamat nanti. Sampai-sampai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan tentang perempuan dari suku Ghamidi, “Perempuan tersebut telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai bertaubat seperti itu tentu dia akan diampuni”
وقد سئلت اللجنة الدائمة للإفتاء عن العمل في البنوك الربوية أو العمل بمصلحة الجمارك أو العمل بمصلحة الضرائب ، وأن العمل في الجمارك يقوم على فحص البضائع المباحة والمحرمة كالخمور والتبغ ، وتحديد الرسوم الجمركية عليها
Lajnah Daimah ditanya tentang hukum bekerja di bank ribawi, di kantor bea cukai dan di kantor pajak. Orang yang bertugas di kantor bea cukai itu bertugas untuk mengecek barang yang hendak masuk ke dalam negeri baik barang yang mubah ataupun barang yang haram semisal khamr dan tembakau lalu menetapkan besaran bea cukai atas barang-barang tersebut.
فأجابت : إذا كان العمل بمصلحة الضرائب على الصفة التي ذكرت فهو محرم أيضا ؛ لما فيه من الظلم والاعتساف ، ولما فيه من إقرار المحرمات وجباية الضرائب عليها ) اهـ .
فتاوى اللجنة الدائمة” (15/64)
Jawaban Lajnah Daimah, “Bekerja di kantor pajak sebagaimana yang anda sampaikan juga haram karena dalam pekerjaan tersebut terdapat unsur kezaliman dan kesewenang-wenangan, membiarkan barang-barang yang haram dan mengambil pajak atasnya” (Fatawa Lajnah Daimah 15/64).
ومن هذا يتبين أن أخذ هذه الرسوم والضرائب ، أو كتابتها والإعانة عليها ، محرم تحريما شديداً .
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa bekerja sebagai pemungut pajak, pencatat pajak dan komponen pendukung yang lain adalah sangat diharamkan.
ثانياً :
نظراً لأن هذا الظلم واقع على المسلمين ، وامتناعك من العمل فيه لن يرفعه ، فالذي ينبغي في مثل هذه الحال – إذا لم نستطع إزالة المنكر بالكلية – أن نسعى إلى تقليله ما أمكن .
Menimbang bahwa kezaliman ini merupakan realita kaum muslimin dan andai anda tidak bekerja di sana kezaliman ini juga tidak hilang maka yang sepatutnya dalam kondisi semacam ini yaitu kondisi kita tidak bisa menghilangkan kemungkaran secara total adalah kita berupaya untuk meminimalisir kezaliman semaksimal mungkin.
فإذا كنت تعمل في هذا العمل بقصد رفع الظلم وتخفيفه عن المسلمين بقدر استطاعتك ، فأنت في ذلك محسن ، أما من دخل في هذا العمل بقصد الراتب ، أو الوظيفة , أو تطبيق القانون ، ونحو ذلك فإنه يكون من الظلمة ، ومن أصحاب المكس ، ولن يأخذ من أحد شيئاً ظلماً إلا أُخِذَ بقدره من حسناته يوم القيامة . نسأل الله السلامة والعافية .
Jika anda bekerja di kantor pajak dengan tujuan menghilangkan kezaliman atas kaum muslimin atau menguranginya semaksimal yang bisa anda lakukan maka apa yang anda lakukan adalah baik. Sedangkan orang yang kerja di tempat ini dengan pamrih gaji, dapat pekerjaan, menerapkan UU perpajakan atau tujuan semisal maka orang tersebut termasuk orang yang melakukan tindakan kezaliman dan pemungut pajak. Siapa saja yang mengambil hak orang lain secara zalim maka amal kebajikannya akan diambil pada hari Kiamat sesuai dengan kadar kezaliman yang dia lakukan.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في “مجموع الفتاوى” (28/284) :
وَلا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَكُونَ عَوْنًا عَلَى ظُلْمٍ ; فَإِنَّ التَّعَاوُنَ نَوْعَانِ :
الأَوَّلُ : تَعَاوُنٌ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى مِنْ الْجِهَادِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَإِعْطَاءِ الْمُسْتَحَقِّينَ ; فَهَذَا مِمَّا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ وَرَسُولُهُ . . . .
Dalam Majmu Fatwa 28/284, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Tidak boleh membantu tindakan kezaliman. Tolong menolong itu ada dua macam. Pertama, tolong menolong untuk melakukan kebajikan dan takwa semisal tolong menolong dalam jihad, menegakkan hukuman had, mengambil hak dan memberikannya kepada yang berhak mendapatkannya. Tolong menolong semacam ini diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.
وَالثَّانِي : تَعَاوُنٌ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ، كَالإِعَانَةِ عَلَى دَمٍ مَعْصُومٍ ، أَوْ أَخْذِ مَالٍ مَعْصُومٍ ، أَوْ ضَرْبِ مَنْ لا يَسْتَحِقُّ الضَّرْبَ ، وَنَحْوَ ذَلِكَ ، فَهَذَا الَّذِي حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ . . .
Kedua, tolong menolong dalam dosa dan tindakan kezaliman semisal tolong menolong untuk membunuh orang, mengambil harta orang lain, memukul orang yang tidak berhak dipukul dan semisalnya. Ini adalah tolong menolong yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya.
ومَدَارَ الشَّرِيعَةِ عَلَى قَوْلِهِ تَعَالَى : ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ) ; وَعَلَى قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : (إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ) أَخْرَجَاهُ فِي الصَّحِيحَيْنِ .
Landasan hukum syariat adalah firman Allah yang artinya, “Bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS at Taghabun:16), dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , “Jika kuperintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka laksanakanlah semaksimal kemampuan kalian” (HR Bukhari dan Muslim).
وَعَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ تَحْصِيلُ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلُهَا ; وَتَعْطِيلُ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلُهَا . فَإِذَا تَعَارَضَتْ كَانَ تَحْصِيلُ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا ، وَدَفْعُ أَعْظَمِ الْمَفْسَدَتَيْنِ مَعَ احْتِمَالِ أَدْنَاهَا : هُوَ الْمَشْرُوعُ .
Kewajiban kita semua adalah mewujudkan kebaikan secara utuh atau semaksimal mungkin dan menihilkan keburukan atau meminimalisirnya. Jika hanya ada dua pilihan yang keduanya sama-sama kebaikan atau sama-sama keburukan maka yang sesuai dengan syariat adalah memilih yang nilai kebaikannya lebih besar meski dengan kehilangan kebaikan yang lebih rendah dan mencegah keburukan yang lebih besar meski dengan melakukan kuburukan yang lebih rendah.
وَالْمُعِينُ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ مَنْ أَعَانَ الظَّالِمَ عَلَى ظُلْمِهِ ، أَمَّا مَنْ أَعَانَ الْمَظْلُومَ عَلَى تَخْفِيفِ الظُّلْمِ عَنْهُ أَوْ عَلَى أَدَاءِ الْمَظْلِمَةِ : فَهُوَ وَكِيلُ الْمَظْلُومِ ; لا وَكِيلُ الظَّالِمِ ; بِمَنْزِلَةِ الَّذِي يُقْرِضُهُ ، أَوْ الَّذِي يَتَوَكَّلُ فِي حَمْلِ الْمَالِ لَهُ إلَى الظَّالِمِ .
Penolong perbuatan dosa dan kezaliman adalah orang yang menolong orang yang zalim untuk bisa menyukseskan kezaliman yang ingin dia lakukan. Sedangkan orang yang menolong orang yang terzalimi agar kadar kezalimannya berkurang atau agar apa yang menjadi haknya bisa kembali maka status orang tersebut adalah wakil dari orang yang teraniaya, bukan wakil orang yang menganiaya. Orang tersebut berstatus seperti orang yang memberi hutangan kepada orang yang dizalimi atau mewakili orang yang dizalimi untuk menyerahkan hartanya kepada orang yang zalim.
مِثَالُ ذَلِكَ : وَلِيُّ الْيَتِيمِ وَالْوَقْفِ إذَا طَلَبَ ظَالِمٌ مِنْهُ مَالا فَاجْتَهَدَ فِي دَفْعِ ذَلِكَ بِمَالِ أَقَلَّ مِنْهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى غَيْرِهِ بَعْدَ الاجْتِهَادِ التَّامِّ فِي الدَّفْعِ ؛ فَهُوَ مُحْسِنٌ ، وَمَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ . . .
Contoh realnya adalah orang yang memegang harta anak yatim atau pengurus harta wakaf jika ada orang zalim yang meminta sebagian harta amanah tersebut dengan menyerahkan sedikit mungkin dari harta yang diminta setelah dengan penuh kesungguhan berupaya mencegah kezaliman tersebut. Orang semacam ini adalah orang yang melakukan kebaikan dan tidak ada jalan untuk menyudutkan orang yang melakukan kebaikan.
كَذَلِكَ لَوْ وُضِعَتْ مَظْلِمَةٌ عَلَى أَهْلِ قَرْيَةٍ أَوْ دَرْبٍ أَوْ سُوقٍ أَوْ مَدِينَةٍ فَتَوَسَّطَ رَجُلٌ مِنْهُمْ مُحْسِنٌ فِي الدَّفْعِ عَنْهُمْ بِغَايَةِ الإِمْكَانِ ، وَقَسَّطَهَا بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ طَاقَتِهِمْ مِنْ غَيْرِ مُحَابَاةٍ لِنَفْسِهِ ، وَلا لِغَيْرِهِ ، وَلا ارْتِشَاءٍ ، بَلْ تَوَكَّلَ لَهُمْ فِي الدَّفْعِ عَنْهُمْ وَالإِعْطَاءِ : كَانَ مُحْسِنًا ; لَكِنَّ الْغَالِبَ أَنَّ مَنْ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ يَكُونُ وَكِيلُ الظَّالِمِينَ مُحَابِيًا مُرْتَشِيًا مَخْفَرًا لِمَنْ يُرِيدُ (أي يدافع عنه (وَآخِذًا مِمَّنْ يُرِيدُ . وَهَذَا مِنْ أَكْبَرِ الظَّلَمَةِ الَّذِينَ يُحْشَرُونَ فِي تَوَابِيتَ مِنْ نَارٍ هُمْ وَأَعْوَانُهُمْ وَأَشْبَاهُهُمْ ثُمَّ يُقْذَفُونَ فِيى النَّارِ” اهـ .
والله أعلم
Demikian pula jika kezaliman (baca:pajak) ditetapkan atas penduduk suatu kampung, suatu jalan, pajak atau suatu kota lantas ada orang baik-baik yang menjadi mediator dalam rangka mencegah kezaliman semaksimal mungkin lantas dia bagi kezaliman (baca:pajak) tersebut atas orang-orang yang dikenai pajak sesuai dengan kadar kemampuan ekonomi mereka tanpa mengistimewakan dirinya sendiri atau orang lain dan tanpa meminta suap. Dia hanya berperan sebagai mediator untuk mencegah kezaliman dan mendistribusikan ‘kewajiban’ yang dipaksakan. Orang semisal ini adalah orang yang berbuat baik.
Akan tetapi mayoritas orang yang masuk di kancah ini mereka menjadi wakil orang yang zalim (baca: penguasa yang zalim), pilih kasih pada pihak-pihak tertentu, meminta suap, membela orang yang dia sukai dan mengambil pajak dari orang yang dia sukai. Orang semacam ini termasuk pentolan orang-orang yang berbuat zalim. Mereka, para pembantu mereka dan orang-orang yang serupa dengan mereka akan dimasukkan ke dalam kotak dari api neraka lantas dicampakkan ke dalam neraka”.
Catatan:
Yang menjadi pertanyaan, apakah seorang muslim yang sudah terlanjur bekerja di kantor pajak secara real mampu melakukan pembelaan dan meminimalisir beban kezaliman (baca:pajak) yang ditimpakan kepada kaum muslimin?

80 Comments

asyrop qomarudin
Jan 11, 2010, 8:08 am
ya Ustad, apakah berarti sumber pemasukan negara menurut Islam harus bersifat sukarela ? (wakaf,zakat). bagaimana dengan jizyah?
abdurrohman
Jan 11, 2010, 10:42 am
ustad,

jadi status sebenarnya bekerja di kantor pajak dan bea cukai itu bagaimana ? karena artikel diatas ada disebutkan pengecualian bagi orang yg punya niat untuk melakukan perbaikan di dalam kantor pajak tersebut. Saya pernah datang ke kantor pajak di suatu daerah, subhanalloh, para karyawannya mayoritas pakai jilbab, dan sebagian saya juga kenal kepada mereka, dan kebanyakan mereka adalah aktifis dakwah,mungkinkah mereka (para aktifis dakwah) punya niat untuk memperbaiki dari dalam,  mohon penjelasannya ? makasih

A.Fanani
Jan 11, 2010, 1:16 pm
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh..

Masya Allah..

semoga saya bisa menyampaikan berita ini kpd saudara saya yg bekerja di kantor pajak. Mohon do’a dr ustadz.

Ustadz, saya ingin bertanya, bagaimana hukum menjalankan usaha jasa Internet (WarNet).

Seperti kita ketahui salah satu menfaat dr internet (warnet) kita bisa menimba ilmu yg manfaat, namun sisi negatif jg pasti ada (tentunya tergantung pemakai), meski pada warnet sudah meminimalisir sisi negatifnya dg cara memblokir situs2 porno & cukup efektif mengantisipasi pelanggan yg hendak membuka “situs2 kotor” tsb, namun bagi orang yg ngerti teknologi pasti faham cara untuk mem-bypass pemblokiran konten haram tsb.
mohon dijelaskan.
Jazakumullah khoir..

ustadzaris
Jan 11, 2010, 1:25 pm
Untuk Fanani

Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarokatuh

Untuk usaha warnet insya Allah akan kita bahas dalam tulisan khusus. Moga Allah mudahkan.

Catatan:

Masya Allah itu digunakan untuk ungkapan kagum dengan hal yang baik-baik.

ustadzaris
Jan 11, 2010, 1:29 pm
Untuk Abdurrahman

Kita perlu data real seberapa besar ‘meminimalkan kezaliman’ itu bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

ustadzaris
Jan 11, 2010, 1:34 pm
Untuk Asyrop

Tolong baca http://abiubaidah.com/menyoal-gaji-pegawai-negeri-pns.html/comment-page-1/#comment-799 dan jawaban ustadz Abu Ubaidah untuk komen-komen yang ada.

ummu abdirrahman
Jan 11, 2010, 2:15 pm
Ustadz, apakah hukumnya membayar pajak?
abdurrahman
Jan 11, 2010, 2:17 pm
tanya lagi ustad,

kalo semacam iuran rt setiap bulan, apakah ini termasuk dalam kategori pajak ? krn kegunaan iuran rt itu sama-sama digunakan untuk, misal : biaya kebersihan (sampah), biaya satpam (keamanan), dll. dan mungkin hakekatnya sama dengan pajak negara, yg hasilnya juga untuk bangun jalan, untuk pertahanan negara, dll. makasih atas penjelasannya

ustadzaris
Jan 11, 2010, 5:36 pm
Untuk Umm Abdurrahman

Tolong baca tulisan di link berikut beserta komentar-komentarnya


ustadzaris
Jan 11, 2010, 11:07 pm
Untuk Abdurrahman

Sebenarnya saya rasa perbedaan antara iuran rt dan pajak itu suatu hal yang gamblang.

Adakah pembaca yang berkenan menjelaskan hal ini secara detail kepada mas Abdurrahman?

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.

Pembaca
Jan 12, 2010, 11:18 am
Ustadz,saya mau coba menjawab pertanyaan abdurrahman.

Iuran RT: iuran bersifat suka rela, tidak ada unsur paksaan, nilai nominalnya pun ditetapkan berdasarkan kesepkatan bersama (musyawarah), uang yang terkumpul digunakan untuk kepentingan bersama pula.

Sementara pajak: bersifat memaksa, nilainya pun ditentukan secara sepihak (oleh penguasa), uang yang terkumpul digunakan untuk mendanai hal2 yang belum jelas, apakah membawa manfaat ataukah tidak.

Pegawai Pajak
Jan 12, 2010, 8:55 pm
saya adalah pegawai pajak. sudah sekitar 2 tahun ini saya bekerja, saya dari dulu sebenarnya sudah sangat ragu pada pekerjaan saya ini, apakah halal atau tidak. Saya sudah berusaha untuk sesegera mungkin pindah ke instansi lain. Atau kalau memang tidak bisa juga ya Insya Allah saya berniat untuk keluar dari pajak dan mencoba untuk berdagang dll. Yang jadi pertanyaan saya adalah apakah gaji saya sebagai PNS dalam hal ini pegawai pajak adalah halal, mengingat semua gaji PNS di Indonesia berasal dari pajak?
ustadzaris
Jan 13, 2010, 1:43 pm
Utk Pegawai Pajak

Gaji peawai pajak sama dengan gaji PNS yaitu harta bercampur ada dari pendapatan pajak dan ada juga yang non pajak semisal devisa hasil ekspor. Harta bercampur hukumnya halal.

Abang
Jan 13, 2010, 9:03 pm
bagaimana dgn orang2 yg mau meninggalkan kerja di bank, lalu merintis usaha, apakah bisa gaji di bank yg selama ini dikumpulkan menjadi modal dia berwirausaha ? banayk juga yg pengen taubat gini, tapi mau merintis dari awal perlu modal, sedangkan hanya ada modal / harta dari sisa2 kerjaan haram dulu. mohon solusi
ustadzaris
Jan 14, 2010, 12:31 pm
Untuk Abang

Maaf, saya belum tahu. Coba tanyakan kepada ustadz yang lain.

Dewi
Jan 15, 2010, 11:28 am
Assalamualaikum Ustadz.

Apa hukumnya bekerja sebagai penerjemah dokumen dari rumah yang mendapat order dari luar negeri? Dokumennya bermacam-macam ada yang berupa dokumen hukum, perbankan, medis, pendidikan, dll.

Jazakallah khair.


Wassalam,
Dewi

ustadzaris
Jan 15, 2010, 1:21 pm
Untuk Dewi

Wa’alaikumussalam

Pada asalnya diperbolehkan selama tidak ada unsur-unsur yang haram

abdulloh
Jan 17, 2010, 12:39 pm
ustad melihat komen ustad untuk pegawai pajak berarti bekerja di pajak hukumnya ga boleh tetapi uang gajinya boleh / halal ya khususnya yang bekerja di ditjen pajak Indonesia.benar tidak anggapan saya ketika membaca komen tsb?
Jan 17, 2010, 12:51 pm
Bismillah

Assalamu’alaykum warahmatullah

Udtadz yg dirahmati Allah

Orang yg bekerja di kantor pajak dalah haram hukumnya menurut ijma’ ulama. Ana mau bertanya, bagaimana hukumnya jika magang/pkl (praktek kerja lapangan) di kantor pajak??, bagaimana hukumnya dalam skripsi mengambil tema tentang pajak??

mohon jawabannya
jazakallah khayra… barakallahu fiik..

ustadzaris
Jan 17, 2010, 1:19 pm
Wa’alaikumussalam Warohmatullahi Wabarokatuh

a. Jika pkl tersebut sekedar pkl maka terlarang karena termasuk ta’awun alal itsmi wal udwan. Jika ada manfaat syar’i dibalik pkl semisal mengetahui sisi negatif dari pajak dan pengetahuan ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang memerlukannya maka insya Allah tidak mengapa.

b. skripsi tentang pajak perlu rincian sebagaimana di atas.

ustadzaris
Jan 17, 2010, 2:09 pm
Untuk Abdullah

Terima kasih karena karena pertanyaan anda saya menjadi teringat suatu hal yang penting dalam masalah ini. Yaitu meski sumber uang gaji itu halal namun jika pekerjaannya haram maka gaji yang diterima oleh pegawai tersebut menjadi haram.

Oleh karena itu gaji yang diterima oleh pegawai pajak adalah uang haram untuk orang tersebut.

Kaedah tentang gaji di atas bisa juga dibaca di link berikut:

Sehingga jawaban ini ada ralat dan pelengkap untuk jawaban saya sebelumnya. Semoga Allah memaafkan kesalahan saya yang ini dan yang selainnya.

bocah
Jan 17, 2010, 2:29 pm
assalamualaikum Ustadz yang saya hormati….

mengenai konsepsi zakat……….

Direktur Eksekutif Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Emmy Hamidiyah, mengatakan, target pendapatan zakat tahun 2009 ini sebesar Rp. 1,2 trilyun.Target ini bukanlah tanpa dasar. Sebab, berdasarkan penelitian pada tahun 2007 realisasi pendapatan zakat seluruh Indonesia mencapai Rp. 11,5 trilyun.(http://www.menkokesra.go.id/content/view/12190/39/)
Sekarang coba kita bandingkan…….

Pemerintah memperkirakan penerimaan pajak selama 2009 mencapai Rp577,6 triliun atau sekitar 98,3 persen dari target yang ditetapkan dalam dokumen stimulus fiskal 2009 (http://www.antaranews.com/view/?i=1246360882&c=EKB&s=MAK)

kami disini tidak untuk memperdebatkan konsepsi zakat , hanya saja pemerintahan yang berdiri sekarang hampir  70% pembiayaannya disokong dari pajak, yang digunakan untuk pembiayaan negara sementara kesadaran masyarakat akan zakat masih belum mencukupi kebutuhan pemerintah……  apabila kita tidak membayar pajak bagaimana kelanjutan pemerintah ini ustadz?

Jan 17, 2010, 2:58 pm
Jazakallah khayra atas jawabannya ustadz

*magang/pkl di kantor pajak dilakukan karena wajib dari kampus untuk magang di salah satu instansi keuangan sebagai prasarat kelulusan, bagaimana hukumnya ustadz?

*skripsi tema pajak diambil karena ke inginan dosen, bagaimana hukumnya ustadz?. sedangkan skripsi ana sudah BAB akhir, dan seminggu lagi mau sidang Insya Allah, apa ana harus mengambil judul lain??

*jika kuliah dan mengambil jurusan akuntansi semisalnya, itu pasti ada mata kuliah ‘perpajakan’, bagaimana sikap kita sbg thalibul ilmy menyikapi perkara tsb?kalau tidak mengambil mata kuliah tsb berarti kita tdk bisa mendapatkan nilai dr dosen

barakallhu fiik. jazakallah khayra
ustadzaris
Jan 18, 2010, 10:26 am
Untuk Bocah

Wa’alaikumussalam

Tentang hukum membayar pajak bisa antum baca komentar Ustadz Abu Ubaidah untuk Untung Slamet di link berikut ini, http://abiubaidah.com/menyoal-gaji-pegawai-negeri-pns.html/comment-page-1/#comment-836

ustadzaris
Jan 18, 2010, 12:44 pm
Untuk Ummu Humairah

Berikan niat yang benar.

abu abdurrazaq
Feb 7, 2010, 3:32 pm
Assalamualaikum

Ustadz bagaimana kalau yg dipaksa untuk bayar pajak, karena karyawan sekarang yg gajinya lebih 1,5 jt harus punya npwp kalau tidak maka malah dipotong 20 % ? 

ustadzaris
Feb 7, 2010, 8:37 pm
Untuk Abu

Wa’alaikumussalam

Jawabannya sudah ada di sini


ayazka
Feb 16, 2010, 4:01 pm
ustadz, apakah pengartian kata maks dlm bahasa arab ke bea cukai sudah tepat? apakah ada kemungkinan yg dimaksud maks yg terjadi zaman dulu adalah semacam ‘pungutan liar’ untuk kepentingan pribadi?
ustadzaris
Feb 16, 2010, 4:37 pm
Untuk Azka

Sudah tepat. Maks itu memiliki 3 pengertian. Coba baca tulisan di atas dengan baik.

Apr 3, 2010, 1:43 pm
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz Aris yang kami cintai, ada beberapa hal yg masih mengganjal di hati kami kiranya ustadz bisa mempertegas kembali.  Apakah hukum bekerja sebagai konsultan pajak atau auditor semisalnya non dirjen pajak juga dikatakan haram karena melakukan kerjasama dlm dosa & pelanggaran? Lantas bagaimana dgn hukum gajinya? Padahal mereka itu bukanlah penarik pajak. Jazakallahu khair

ustadzaris
Apr 4, 2010, 8:46 pm
Untuk Om

1. kerja sebagai auditor pajak hukumnya haram

2. gajinya juga haram.

abuzaky
Apr 6, 2010, 12:52 pm
Assalamu’alaikum ustadz, semoga Alloh merohmati ustadz

Ana mau tanya, bagaimana jika ta’lim diadakan di masjid kantor pajak ustadz? Bolehkah?

Bagaimana jika teman kita yang seorang pegawai pajak membeli barang kita ustadz? apakah uang yg ana terima juga haram?

ustadzaris
Apr 6, 2010, 3:08 pm
Untuk Abu

Wa’alaikumussalam

1. boleh

2. uang yang anda ambil darinya adalah uang yang halal menurut pendapat yang paling kuat.

Pamannya Althaf
Apr 6, 2010, 4:02 pm
Ustadz, saya adalah seorang PNS yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam pekerjaan saya terkadang saya ikut dalam tim pemeriksaan. Dalam pekerjaan pemeriksaan tersebut, objek yang diperiksa tidak hanya pajak tapi juga ada hal-hal lain.

Misalnya dalam pemeriksaan laporan keuangan daerah, hal-hal yang diperiksa adalah belanja (biaya yang dikeluarkan), pendapatan (dalam hal ini termasuk pajak) dan hal-hal lain seperti kepatuhan terhadap hukum. Dalam hal ini pemeriksaan terhadap pajak juga dilakukan untuk memastikan berapa sebenarnya pendapatan daerah/negara tersebut dari hasil pajak? apakah pajak tersebut sudah disetorkan ke kas daerah/negara seluruhnya atau ada yang diselewengkan (karena dikhawatirkan ada pajak yang diselewengkan oleh pemungutnya)? Apakah penyetoran pajak tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak (misalnya jumlah penarikan pajak, waktu penyetorannya)?

Yang menjadi pertanyaan saya:

1. Merujuk kepada pertanyaan tentang auditor pajak, yang ustadz menghukumi haram, bagaimana dengan pekerjaan pemeriksa seperti saya ini ustadz, yang pekerjaan pemeriksaannya tidak hanya pajak, melainkan selain pajak juga memeriksa yang lainnya?

2. Lalu bagaimana jika saya menemukan kecurangan atau kesalahan perlukah saya ungkapkan atau saya diamkan saja?
Terima kasih ustadz atas jawabannya, jazakallaahu khairan

Apr 6, 2010, 5:01 pm
Assalamu'alaykum warahmatullah.

1.bagaimana ustadz hukum penerimaan pajak itu di korupsi/digunakan untuk memperkaya diri, contoh gayus tambunan dan masih banyak gayus gayus yg lain??

2. menurut ustadz lebih baik membayar pajak atw zakat saja stlh kita ketahui di penerimaan pajak itu di korupsi oleh oknum??

jazakallaah khayra..

ustadzaris
Apr 6, 2010, 9:08 pm
Untuk Ummu

Itulah diantara tidak berkah-nya harta yang haram semisal pajak.

Membayar zakat itu kewajiban setiap muslim yang sudah memenuhi syarat.

Wajib sabar dengan kezaliman pemerintah semisal kewajiban pajak.

ustadzaris
Apr 6, 2010, 9:13 pm
Untuk Paman

Maaf, saya belum berani memberikan jawaban untuk pertanyaan anda.

ابن يوسف
Mei 17, 2010, 3:56 pm
bismillah. . .

ya ustadz, ana minta nasihat tentang apa yang harus ana lakukan. . .

ana adalah lulusan sekolah kedinasan di bawah departemen keuangan RI thn ’09 jurusan akuntansi. tahun ini, anak akuntansi banyak yang ditempatkan di instansi pajak, termasuk ana. . .ana saat itu mengajukan usulan pindah instansi namun pimpinan berkata belum bisa pindah instansi untuk saat ini. . .kemudian, jikalau ana memutuskan untuk keluar dari instansi pajak atau dengan kata lain keluar dari  ikatan dinas dengan depkeu, ana memiliki konsekuensi untuk membayar denda kepada negara yang jumlahnya cukup besar, ana tak sanggup memenuhinya melihat kondisi ekonomi ana dan ortu ana sekarang. . .

lalu, bagaimana saran ustadz berkaitan dengan kondisi ana saat ini? apakah ini dapat dikatakan sebagai perkara dhoruri karena ana terkesan seperti “dipaksa” bekerja di pajak namun hati ini tetap membenci dan menolaknya? kemudian, bagaimana dengan status gaji ana saat ini ya ustadz. . apakah halal apakah haram?

jazakallohu khoiron. . .
ustadzaris
Mei 17, 2010, 5:35 pm
Untuk Ibnu

Coba anda tanyakan kepada ustadz yang lain, semisal kepada ustadz Abu Ubaidah Yusuf dalam situs beliau.

Mei 19, 2010, 9:57 am
Assalamu’alaikum ustadz,Ada 3 hal yg muncul di benak saya ketika membaca tulisan ini. Yg pertama adlh untuk terjemahan dr bahasa arab, kata bea cukai dan pajak yg langsung diterjemahkan secara mentah2. Saya kurang mengerti bhs arab, tp saya tahu bahwa dlm bahasa arab sendiri ada beberapa kata yg mengacu pd kata pajak. Menurut saya ini bs memberikan interpretasi yg salah bg pembaca, terutama yg awam sperti saya. Saya mengerti bahwa pembahasan mengenai permasalah berkaitan agama Islam hrs mengacu pd dalil, namun seringkali translate yg salah/kurang hati2 dr dalil yg berbahasa arab ke bhs lain menimbulkan penafsiran yg salah pula. Mohon ini dicermati…Kedua, menurut saya dlm Islam ada beberapa jenis pajak yg dibolehkan, antara lain berkaitan dgn perdagangan dan pajak bumi yg diambil dr kaum nonmuslim. Di arab sendiri jg berlaku pajak terhadap orang asing dan perusahaan asing/partner. Ketiga, jika memang pajak memang haram, maka seluruh rakyat indonesia telah menikmati hasil dr uang haram tsb brp pemanfaatan jalan umum, raskin, jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat miskin), sekolah gratis, subsidi listrik, subsidi bbm krn pajak di negara ini menyumbang lebih dr 70% pemasukan untuk pembangunan negara, termasuk jg untuk gaji seluruh pegawai sipil, guru dsb. Apakah telah ada solusi untuk permasalahan ini?Terima kasih,Wassalamu’alaikum…
ustadzaris
Mei 20, 2010, 5:49 am
Untuk Akum

Wa’alaikumussalam

1. Tolong sampaikan dimana letak kesalahan penerjemahan dari tulisan di atas.

2. Pajak bumi dari non muslim memang boleh, lalu bagaimana dengan pajak bumi dari muslim?

Pajak untuk barang impor dari negara kafir memang dibenarkan, lalu bagaimana dengan pajak barang impor dari sesama negara muslim?
3. Kewajiban kita untuk mencari solusi, bukan malah ‘mempertanyakan’ aturan syariat.

ummu unaisah
Mei 20, 2010, 4:33 pm
assalamu’alaykum ustadz

‘afwan ana mau menanyakan.. ad salah seorang akhwat salafy yg mana di blognya memposting info tentang “usm STAN/ujian saringan masuk STAN” yg mana diketahui setelah lulus dr STAN salah satunya pasti akan di tempatkan di ditjen pajak. Ana sudah menasehati akhwat tsb tp beliau tdk mau menghapusnya kecuali ad pernyataan dr salah satu ustadz yg “melarang info penyebaran tsb”

Ana mohon dengan sangat, ustadz bisa menjelaskan secara detail beserta dalil-dalilnya..???

barakallahu fiik..

ustadzaris
Mei 24, 2010, 4:21 pm
Untuk Ummu

Wa’alaikumussalam

Cukuplah tulisan-tulisan tentang haramnya pajak sebagai peringatan

orang awam
Jun 15, 2010, 6:41 pm
Assalamu’alaikum,

Ustadz, apakah musibah yang menimpa bangsa indonesia, banyaknya penguasa yang dzalim, dan hal-hal jelek lainnya, salah satu penyebabnya karena bangsa ini dibangun dengan dana dari pajak??

Sehingga tidak membawa keberkahan terhadap bangsa ini??

ustadzaris
Jun 15, 2010, 10:34 pm
Untuk Orang

Mungkin. Moga Allah memaafkan kita.

Dwi
Agu 2, 2010, 1:35 pm
Assalamualaikum WrWb Ustad

Saya mendapatkan sebuah artikel dimana Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menyatakan haram hukumnya gerakan memboikot pajak karena membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah.


Beliau menyebutkan, membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah. Hal itu mencontoh penerapan kebijakan serupa dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab usai Nabi wafat.

“Saat itu, kekhalifahan Islam telah memiliki banyak pegawai dan tentara yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Namun, dana baitulmal bersumber zakat tidak mencukupi. Terlebih, dana zakat hanya bisa digunakan untuk delapan golongan saja. Karena tidak cukup dari Baitulmal makanya ada pajak yang dikenal dengan istilah darb,’’ kata Ma’ruf.
Bagaimana tanggapan Ustad? Terima Kasih

ustadzaris
Agu 3, 2010, 1:46 pm
Untuk Dwi

Wa’alaikumussalam

Silahkan bandingkan dalil-dalil dari dua pihak yang berbeda.

Kita tidak menyerukan untuk memboikot pajak. Tolong baca:

jojo
Agu 19, 2010, 5:50 am
pak ustadz, bagaimana dengan pembayaran PLN, klo kita tidak bayar walaupun tidak mampu, maka langsung di putus alirannya, bukannya ini juga suatu bentuk kezaliman juga??
ustadzaris
Agu 19, 2010, 10:51 pm
utk jojo

Itu bukan termasuk pajak tapi jual beli jasa.

Kasep
Sep 26, 2010, 2:50 pm
@all,

Spertiny,’profesi’ yg aman cm jd ustad saja y?

Bs tentukan halal & haram..

Klo profesi lain psti brhub.dgn yg haram sec. langsung/tdk langsung..

ibnu ruhadi
Okt 27, 2010, 11:42 am
Assalaamu ‘alaykum..


ustadz, afwan…ana belum sempat membaca keseluruhan komentar disini, semoga pertanyaan ana tidak mengulang.


1.) ana kuliah di fakultas ekonomi, bolehkah mempelajari mata kuliah perpajakan?
2.) ana bekerja di perusahaan swasta, jika ana mengurus tentang pajak perusahaan (yg harus dibayar, dan dilapor pada pemerintah)…bagaimana hukumnya?
Jazakallåh khoyro.

ustadzaris
Okt 27, 2010, 1:53 pm
#ibnu

1. boleh

2. jika bag pajak, tidak boleh

Ikhwan
Okt 29, 2010, 1:26 pm
#kasep

ustad itu bukan profesi. . . Jika dijadikan profesi sama aja dgn menjual agama. . . .

Jazakallah khoiron. . .

Abul Balqis
Jan 13, 2011, 8:54 am
Assalamu’alaikum Ustadz..

Ana akan mengutip perkataan antum Antum pada artikel di atas:

‘Akan tetapi mayoritas orang yang masuk di kancah ini mereka menjadi wakil orang yang zalim (baca: penguasa yang zalim), pilih kasih pada pihak-pihak tertentu, meminta suap, membela orang yang dia sukai dan mengambil pajak dari orang yang dia sukai’

Dari kutipan di atas, ana mau bertanya, apakah hukum nya untuk ana yg bekerja di kantor pajak tetapi tdk menjadi wakil penguasa yg zalim, tdk pilih kasih pada pihak-pihak tertentu, tdk meminta suap, tdk membela orang yg ana sukai, dan tdk mengambil pajak dari org yg ana sukai??

Alhamdulillah smp saat ini ana sllu memegang amanah dlm bkrj dan insya Allah akan trs ana pertahankan. Ana mohon kpd Ustadz agar mendoakan ana dan saudara2 lainnya yg bekerja di kantor pajak agar mendapatkan pekerjaan yg lbh halal jika mmg integritas dan kejujuran, sesuai tuntutan syariat, yg telah dilakukan, tdk menjadikannya halal utk dijadikan profesi..
Jazakallah Ustadz..

Feb 14, 2011, 3:23 pm
Ustadz, ana pegawai di direktorat jenderal pajak, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini. .ana sekarang sedang mencari alternatif pekerjaan lain yang lebih berkah. . .namun, ana sekarang bingung akan status gaji yang ana terima sekarang. . .jikalau itu statusnya haram, maka apakah boleh ana gunakan untuk infaq dan shodaqoh?

tetapi asal muasal gaji ana itu tidak murni dari hasil pemungutan pajak, tapi bercampur dengan penerimaan negara lainnya, sedangkan ana dapati bahwa hukum sesuatu yang bercampur itu halal. .

mohon penjelasannya ustadz, jikalau ana salah, mohon diluruskan. . .


jazaakallohu khoiron
ustadzaris
Feb 14, 2011, 5:56 pm
#muharram

Tolak ukur halal dan haramnya gaji adalah halal atau haramnya pekerjaan, bukan masalah sumber gaji.

dika
Mar 27, 2011, 12:26 am
ustadz, kok gak dijawab semua pertanyaannya?

Dari kutipan di atas, ana mau bertanya, apakah hukum nya untuk ana yg bekerja di kantor pajak tetapi tdk menjadi wakil penguasa yg zalim, tdk pilih kasih pada pihak-pihak tertentu, tdk meminta suap, tdk membela orang yg ana sukai, dan tdk mengambil pajak dari org yg ana sukai??


jawabanya apa ustadz, mohon sungguh mohon penjelasannya?

apa gaji yang saya terima di kantor pajak haram?

ustadzaris
Mar 27, 2011, 8:33 am
#dika

Gaji anda bisa bernilai halal jika anda bisa berupaya mengurangi kezaliman (baca:pajak) yang dialami oleh rakyat tanpa memanipulasi aturan-aturan perpajakan.

Demikian terorinya. Kira-kira bisa diwujudkan di alam nyata ataukah tidak?

Penguasa yang mewajibkan pajak itulah penguasa yang zalim.

Umi Bitta
Mei 13, 2011, 12:48 pm
Maaf Ustadz, di Indonesia, Pajak dilaksanakan berdasarkan UU yg dibuat oleh para wakil Rakyat di DPR. Sistem ini yang menghendaki adalah rakyat sendiri, sehingga pemerintah tidak punya kemampuan untuk mengganti pajak dengan zakat. 80% biaya negera dibiayai dari pajak, jadi apabila pajak ini dihapus atau semua pegawai pajak tidak mau bekerja karena dianggap membantu kedholiman, tentu saja akibatnya negara akan hancur. jadi kalau dianggap pajak adalah haram, maka yang harus menanggung dosanya adalah seluruh Rakyat Indonesia, pegawai pajak hanya melaksanakan UU yg ada, yg dibuat oleh DPR yg dipilih oleh Rakyat sebagai wakil mereka untuk menyampaikan aspirasi mereka. lagipula sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment, wajib pajak menghitung sendiri pajak yang harus mereka bayar dan menyetor sendiri pajak mereka. jadi pegawai pajak tidak memungut pajak dari masyarakat. Petugas pajak hanya mengadministrasikan pajak dan menjaga agar keadilan tetap berjalan, dengan meyakinkan bahwa semua sudah berjalan menurut UU yang ada. Maaf ustadz, bukannya saya mau membantah, menurut saya lebih banyak petugas pajak yg bekerja dengan menggunakan hati nurani daripada yang hanya menuruti hawa nafsu mereka. Menurut saya kalau mau menghapus pajak, bukan petugas pajaknya yg harus keluar dari pekerjaan mereka, karena hal itu akan mengganggu stabilitas negara,  tapi Rakyat yang harus disadarkan lebih dulu.
Agu 4, 2011, 2:47 pm
Assalaamualaykum warohmatulloh..

yang komentar kebanyakan pegawai pajak nih……


DJP Maju Pasti aja deh,

yakini yg sampai ilmunya kepada antum sekalian
Barokallohu fik

fery
Agu 5, 2011, 2:16 pm
assalamua ‘alaikum ustadz..

bagaimana dengan para juru parkir? apakah uang parkir yang ditariknya termsuk ke dalam pajak juga?

abu sufyan
Agu 19, 2011, 2:21 pm
Bismillah

Syaikh Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah menjawab tentang masalah pajak:

Tentang masalah pajak yang ditetapkan pemerintah, padanya terdapat rincian. Apabila pemerintah sangat membutuhkannya dimana mereka jadikan pajak tersebut untuk membantu keuangan negara dalam menggaji petugas keamanan negara, pegawai negeri sipil dan sebagainya maka yang demikian diperbolehkan. Akan tetapi apabila pemerintah terpenuhi kebutuhannya dari pendapatan yang lain, maka tidak boleh baginya untuk menarik pajak. Wabillahit taufiq.
(dijawab oleh ustadz Abu Abdillah) http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/63
Demikian fatwa Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah tentang pajak yang

dipungut oleh pemerintah, dan telah dimuat dalam Risalah Ilmiyah

An-Nashihah vol. 12, sebagaimana yang dinukil oleh Ustadz Abu Abdillah

Muhammad Yahya.

Adapun orang yang bekerja dalam perpajakan, telah saya tanyakan kepada
Syaikh Sholih Al-Fauzan -hafizhohullah wa syafaah- dan beliau
menjelaskan bahwa tidak boleh bekerja di tempat tersebut. Bila dia
mendapat bahaya karena keluarnya, maka dia tetap bekerja hingga
mendapatkan pekerjaan lain.
Wallahu A’lam. (dijawab oleh al ustadz Dzulqarnain http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/64)
Baarakallaahu fiikum, bagaimana tanggapan ustadz tentang fatwa ulama kita di atas?

al fadhl
Agu 22, 2011, 4:12 pm
sependapat dengan umi bitta,
jika dengan sistem perpajakan di indonesia yg telah di paparkan oleh saudari umi bitta di anggap haram, bagaimana dengan sistem koperasi? dimana modal koperasi berasal dari iuran anggotanya yg tidak keberatan atas pungutan/iuran tersebut. menurut saya sistem pepajakan mirip dengan sistem koperasi, dimana pungutan/iuran tersebut sudah disetujui anggotanya dan anggota merasa tidak keberatan. demikian pula dgn pajak anggota masyarakat dianggap setuju dan tidak keberatan atas pungutan pajak tersebut, krn dasar pemungutan pajak adalah undang-undang yg telah disetujui DPR dimana DPR adalah perwujudan aspirasi rakyat. jika DPR setuju berarti rakyat setuju.
Agu 23, 2011, 8:30 pm
Umi Bitta berkata:

Menurut saya kalau mau menghapus pajak, bukan petugas pajaknya yg harus keluar dari pekerjaan mereka, karena hal itu akan mengganggu stabilitas negara,  tapi Rakyat yang harus disadarkan lebih dulu 

Ini metode dakwah yang aneh. Kita diminta menyadarkan masyarakat bahwa pajak itu tidak dibenarkan syariat di sisi lain diminta membolehkan bekerja di perpajakan.
Kurniawan
Sep 6, 2011, 10:35 am
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu Beliau berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Semua perkara yang aku larang maka jauhilah dan seluruh perkara yang aku perintahkan maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian. Sesungguhnya tidaklah yang menyebabkan ummat sebelum kalian hancur melainkan banyaknya mereka bertanya kepada Nabinya dan menyelisihinya”. [Muttafaqun ‘alaih]
Okt 7, 2011, 5:03 pm
oiya, ada sdikit pertanyaan tadz,

bagaimana dgn hal2 ini yg biasa terjadi di lingkungan kita?

misalkan ada petugas dari RT/RW yg mengutip iuran bulanan dari warganya yg Muslim,

yg nantinya akan dipakai untuk kas RT/RW, keamanan, kebersihan, dll.

kalau dilihat dr modusnya, perbuatan ini sama sperti negara yg menarik pajak dari warganya, yg nantinya akan digunakan untuk kepentingan negara/warga itu jg.
nah, apakah pungutan sperti ini bs disebut sbg pajak yg diharamkan jg tadz?
mohon penjelasannya.

Okt 10, 2011, 3:36 pm
#abu

Iuaran jelas beda dengan pajak.

Jawablah dengan jujur dari hati anda yang paling dalam.

Okt 10, 2011, 11:52 pm
#1.

sbelumnya afwan tadz,

berdasarkan instruksi dari ustadz td,

saya barusan sudah mempertanyakannya (dan mencoba menjawab sendiri) “dgn jujur” tadz,

kmudian saya coba mmbayangkan/menghayati kduanya,
dan ternyata yg saya dapati, bahwa iuran oleh rt dan iuran oleh negara itu identik,
(hanya mungkin beda dlm skala kuantitas dan dasar hukumnya saja).

iuran rt dibebankan kpada smua warga anggota rt (baik setuju atau tidak, yg penting hal tsb sdh ada yg memusyawarahkan, maka hasil musyawarah tersebut berlaku buat semuanya, termasuk yg tdk hadir).

sifatnya jg sama, dipaksakan, krn yg tdk brsedia mmbayar, resikonya akan dikucilkan dr masyarakat, atau tdk diperbolehkan memakai sarana milik wrga rt (grobak sampah dll)

dan sangat mungkin jg jika org yg tdk brsedia mmbayar ini akan mengalami ksulitan dlm hal mngurus administrsi kpendudukan (KTP, KK, akte lahir, dll) krn tdk dianggap sbg warga.

kmudian msalah penggunaannya, iuran rt itu pun tdk musti untuk kpentingan brsama warga yg sesuai syaro’,

trkadang dananya jg dipakai untuk acara 17an, kumpul2 warga (dgn ikhtilath), bid’ah dan acara2 dosa yg lain, yg jelas itu bkn untuk kpentingan smua warga

(krn kita yg walopun sdh bayar, tdk mungkin akan mengikuti acara2 tsb).

jd mohon ptunjuk ustadz, tentang yg membedakannya?

(saya baru saja baca komen2 d blakang, trnyata sdh ada yg brtanya tntang msalah ini jg, dan ustadz bilang bahwa perbedaannya sangat gamblang,
jujur, saya bnr2 blm faham dmn bedanya, afwan tadz mungkin krn memang saya yg bodoh)
#2.
kalau tdk salah, sbelum tulisan komen saya di atas, msh ada 1 tulisan saya lg (yg lbh pnjang),
tp blm ikut tampil ya tadz? atau cara saya postingnya yg salah? (sayang tulisannya blm sempat saya kopi)
menambahkan komentar atas isi dari 5 paragraf terakhir dari artikel,
yaitu tentang org yg mnjadi wakil dari org yg terdzholimi,
sbenernya ini adalah definisi dri konsultan pajak/auditor yg ustadz bilang haram td.
jd konsultan pajak/auditor sjenis yg ditanyakan, sbenarny adlah org di luar penarik pajak yg membantu wajib pajak untuk mengetahui apa saja kewajiban dan hak2 para wajib pajak ini,
dan biasanya mreka mmbantu wajib pajak mncari cara bagaimana agar kewajiban perpajakannya bisa mnjadi ringan,
tentu saja dgn cara yg resmi, ataupun mungkin bs saja dgn suap (tp cara yg ini tdk perlu dibahas, jelas kita spakat bhwa hukumnya adlah haram)
apa benar pkerjaan konsultan sperti ini jg haram?

#3.

saya sendiri saat ini msh bekerja sbg pegawai pajak

namun tanpa perlu mmpertanyakan lg pndapat mana yg benar tentang hukum pajak pun, saya sdh berniat untuk resign jika sdh memungkinkan

(alhamdulillah saya sdh mencoba berdagang dan usaha lain, tp qodarullah blm ada yg brhasil)

nah, mungkin perlu diketahui tentang pekerjaan para pegawai pajak ini (agar jelas),

bahwa tdk semua pegawainya bertindak sbg penarik pajak.

memang sbagian pgawai tugasnya mmbantu tugas mreka (sperti bagian umum/tata usaha, dll)

tp sbagian yg lain justru memiliki tugas yg sebaliknya, membantu wajib pajak.

sbg contoh saja pkerjaan saya.
bagian saya itu melayani keluhan, pertanyaan dan menerima permohonan2 wajib pajak yg tujuan akhirnya adalah mmbantu agar mmpermudah plaksanaan administrasi perpajakan mreka,

selain itu saya jg memroses permohonan pengurangan pajak bagi wajib pajak yg menyatakan diri kurang mampu (tp khusus untuk pajak bumi dan bangunan),

kmudian pkerjaan lain saya jg membantu memroses permohonan wajib pajak yang meminta agar setoran pajak mereka yg ternyata lebih disetor, agar bisa dikembalikan ke rekening mreka (atau dibantu dialihkan ke tagihan pajak mreka yg lain).

bahkan sering, saya lbh mmpermudah lg urusannya jika wajib pajaknya adalah seorang muslim.

apakah yg saya lakukan tersebut bs dikategorikan sperti tulisan di artikel?
Sedangkan orang yang menolong orang yang terzalimi agar kadar kezalimannya berkurang atau agar apa yang menjadi haknya bisa kembali maka status orang tersebut adalah wakil dari orang yang teraniaya, bukan wakil orang yang menganiaya. Orang tersebut berstatus seperti orang yang memberi hutangan kepada orang yang dizalimi atau mewakili orang yang dizalimi untuk menyerahkan hartanya kepada orang yang zalim.
berdasarkan pemahaman saya yg memang msh dangkal ini, rasanya kasusnya mirip dgn pekerjaan saya.
tp kalaupun benar bahwa yg saya lakukan tersebut bs dikategorikan sbg wakil org yg teraniaya,
namun tetap saja status saya adalah jg bagian dari pegawai pajak (bkn penarik/pemungut pajak ya),
jadi apakah keharaman pkerjaan sbg pegawai pajak itu mutlak?
pdahal pajak terhadap muslim yg diharamkan itu hanyalah sbagian, sdangkan sbagian lg (mungkin malah sbagian besar) adalah pajak yg didapat dr orang2 kaya (yg di negri ini notabene didominasi oleh kafir chinesse)

mohon tanggapan dari ustadz.

barokallahufiikum.

Okt 11, 2011, 4:04 pm
#nisrin

Jika memang sifat iuran RT yang ada di tempat anda bersifat sebagaimana sifat pajak maka hukumnya adalah haram dan dosa besar sebagaimana hukum pajak.

Okt 11, 2011, 10:05 pm
trus yg pertanyaan #2 dan #3 gmn tadz?
bgaimana hukum pekerjaan seorang konsultan pajak? (mreka ini diluar pegawai pajak)
dan bgaimana pula hukum pegawai pajak (internal di pajak sendiri) tp tugasnya justru untuk membantu memberikan kemudahan kepada wajib pajak,

(semisal mmberikan pengurangan bgi yg kurang mampu, mengundurkan jatuh tempo pembayaran, mengembalikan uang kelebihan pembayaran kepada wajib pajak yg memang menjadi hak mereka, dll)

mohon pnjelasannya.

barokallahu fiik

ummu ahmad
Nov 6, 2011, 12:41 pm
# Abu nishrin

Mengutip akhuna kurniawan

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu Beliau berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Semua perkara yang aku larang maka jauhilah dan seluruh perkara yang aku perintahkan maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian. Sesungguhnya tidaklah yang menyebabkan ummat sebelum kalian hancur melainkan banyaknya mereka bertanya kepada Nabinya dan menyelisihinya”. [Muttafaqun ‘alaih]


Sepengetahuan ana sebagai lulusan STAN yang alhamdulillah sekarang sudah diberi ketetapan hati oleh Alloh untuk keluar dari PNS (meskipun bukan di kantor pajak) dan sekarang menjadi ibu rumah tangga, mereka yang bekerja di departemen keuangan apalagi kantor pajak adalah mereka yang punya IQ yang cukup tinggi karena rata – rata lulusan dari STAN atau dari S1 yang ujian seleksi masuk ke departemen keuangannya cukup sulit.
Oleh karena itu, sebagai saudara sesama muslim, ana sarankan anta cari pekerjaan lain aja, kalo berdagang gagal terus, coba lamar jd pegawai di perusahaan swasta (banyak perusahaan yang mau dan mampu membayar sama dengan atau lebih dari gaji anta sekarang di kantor pajak) beli koran kompas yang terbit hari sabtu atau hari minggu, disitu banyak lowongan kerja, jadi dosen atau pindah departemen kalo ada lowongan deprtemen lain misal BAPEPAM, BPK atau yang gak ada syubhatnya.

Insyaa Alloh dimudahkan, apalagi dari cara anta mengajukan pertanyaan dan mengomentari jawaban ustadz, ana yakin anta adalah orang yang dianugrahi oleh Alloh kepintaran yang mungkin tidak dimiliki oleh setiap orang. Jadi syukurilah nikmat kepintaran dari Alloh itu dengan ketaatan kepadanya.(kembali kepada hadist awal di atas)
Sedikit cerita dari ana, semoga bisa bermanfaat
Saat ana keluar dari PNS, saat itu adalah keadaan yang cukup sulit buat ana tepat 2 tahun setelah lulus kuliah atau 1 tahun lebih setelah menikah. Suami ana adalah seorang wiraswasta yang sejak kami menikah usahanya sering gagal hingga saat ana memutuskan untuk keluar bekerja ,saat itu pun keadaanya masih sangat kekurangan, kami tinggal dalam rumah kontrakan yang kumuh jauh dari layak, hingga orang gak ada yang mengira kalo saat itu ana adalah orang yang berpenghasilan 4 jutaan, uang tabungan ana yang rencananya akan digunakan untuk bayar TGR ikatan dinas, ana pilih untuk membayar hutang-hutang suami ana karena kegagalan usahanya yang melibatkan pihak ketiga, 2 tahun lebih setelahnya kami hidup dalam keadaan berkekurangan tapi alhamdulillah sekarang suami ana sudah jadi dosen dan dapet beasiswa S2 dari tempatnya mengajar, meskipun gajinya hanya cukup untuk makan dan kami masih tinggal di rumah kontrakan yang dulu tapi keadaan sudah jauh lebih baik hingga sekarang dimudahkan untuk mengangsur TGR ikatan dinas saya. dan semoga prospek ke depannya juga akan lebih baik… amin

dari sinilah saya mendapat pelajaran, bahwa setiap kebaikan itu tidak bisa diperoleh dari cara yang harom. Sekeras apapun dan sehemat apapun saya mengumpulkan uang dari gaji saya untuk membayar TGR ikatan dinas, akhirnya uang itu diambil oleh Alloh melalui caranya sehingga sekarang saya masih harus mengangsur TGR itu dengan uang hasil kerja suami saya sekarang. Waalohu ta’ala A’lam

Nov 14, 2011, 1:48 am
#ummu ahmad

terima kasih atas sharingnya.

insyaAllah sangat berguna.

semoga Allah melimpahkan kebaikan kpada kaum muslim,

khususnya pada saya, pada anti skeluarga, pada ustadz dan pngelola, jg pada smua saudara yg ikut berkomentar di sini.
smoga diberikan kmudahan.
aamiin..

ummu ahmad
Nov 26, 2011, 3:53 pm
#abu nisrin

afwan , jika perkataan ana sebelumnya kurang berkenan bagi anta dan ikhwah yang bekerja di kantor pajak lainnya.

Pada saat itu ana hanya merasa agak geregetan dengan pertanyaan-pertanyaan maupun komentar anta karena menurut ana terkesan agak mendesak ustadz supaya melegalkan pekerjaan anta yang sekarang.

ana menduga ustadz tidak mau menjawab pertanyaan anta.. karena biasanya jika ustadz aris tidak mengetahui jawaban dari suatu pertanyaan, maka beliau tetap akan menjawabnya dengan pengakuan bahwa beliau belum mengetahui jawabannya.
Ana ibaratkan “seseorang yang menggembala hewan gembalaan di dekat kebun atau lahan orang lain, kuat dugaan bila hewan gembalaan tersebut akan beresiko menimbulkan kerusakan bagi lahan atau kebun orang lain tersebut”

Ambil contoh, salah satu bentuk pekerjaan anta memproses pengurangan pajak, kuat dugaan bila anta tidak akan terlepas dari kasus sbb:

“Bapak, pajak yang seharusnya bapak bayar adalah sebesar xxxxx, tetapi bapak mendapat pengurangan pajak sebesar xxxxx,

jadi bapak hanya dikenakan pajak sebesar xxxxx”

Perkataan “bapak hanya dikenakan pajak sebesar xxxxx” bukankah sama saja dengan telah menetapkan pajak bagi orang tersebut
wallohu ta’ala a’lam bish showab………

Mengenai sedikit cerita dari ana sebelumnya, hal itu tidak bisa digeneralisir akan terjadi juga pada orang lain. ana hanya ingin berbagi pelajaran hidup bahwa setiap perkara kebaikan itu tidak bisa diperoleh dengan cara yang salah.

Sebelum kami menikah, suami ana secara tersirat pernah mengatakan bahwa dialah yang akan membayar TGR ana sesegera mungkin setelah kami menikah,sedangkan ana memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu karena sebagai anak pertama ana punya tanggungan terhadap orang tua dan adik-adik ana. dulu, ana pernah berjanji bahwa ana hanya akan menggunakan gaji ana untuk orang tua dan untuk membayar TGR.

Tetapi setelah menikah, hati manusia itu mudah berbolak balik, karena satu dan lain hal,suami ana urung mengambil sebagian investasinya untuk membayar TGR ana, dan ana memutuskan untuk membayarnya sendiri dengan menabung dari gaji ana. Hingga kemudian ana merasa ana telah ketergantungan dengan pekerjaan ana yang mungkin disebabkan karena tidak berberkahnya rizqi yang ana peroleh.

Dan suatu ketika Alloh menetapkan hati ana yang lemah ini untuk keluar dari bekerja tanpa pikir panjang lagi.

ana tidak menyalahkan suami ana karena ana pernah mendengar perkataan ali bin abi tholib rodhiyallohu anhu ketika ditanya tentang mengapa pada masa pemerintahan ali tidak sama seperti pada pemerintahan rosulullloh sholollohu ‘alayhi wasallam, kemudian beliau menjawab dengan:
” Karena pada masa pemerintahan rosululloh itu, yang menjadi rakyatnya adalah saya dan orang-orang seperti saya sedangkan pada masa pemerintahan saya, yang menjadi rakyatnya adalah kalian dan orang-orang seperti kalian”
maka cukuplah hal itu sebagai alat introspeksi bagi diri saya bahwa kualitas seorang pemimpin itu ditentukan oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Jadi, Kualitas suami saya itu ditentukan oleh saya sendiri.
semoga Alloh ta’ala berkenan mengampuni kami berdua atas keterbatasan kami dalam meniti jalan-nya
wallohul musta’an

ibnu sarbini
Des 22, 2011, 8:07 am
ijin copy artikelnya.
Abu Hanaa
Apr 27, 2012, 7:58 am

Wahai Saudara-saudaraku, sesungguhnya saya memahami kegalauanmu, untuk itu marilah kita meyakini janji-janji Alloh dan Rosul-Nya:


”Barangsiapa yang bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. Ath-Thalaq 2-3)

”Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, melainkan pasti Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.” (HR Ahmad, al-Albani mengatakan, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).
Janganlah kita ikuti pemikiran orang-orang yang mengatakan: ”mencari rejeki yang haram saja susah, apalagi yang halal!”
Tapi, orang yang beriman harus meyakini bahwa dengan meninggalkan cara yang haram, niscaya Alloh akan memberikan kemudahan untuk mendapatkan rejeki yang halal dan lebih bernilai. Kita harus yakin akan janji Alloh.
Alloh pasti akan menggantikannya dengan yang lebih baik di dunia, sebelum ganti yang lebih kekal di akhirat. Ganti yang dimaksud mungkin saja secara jenis dan bentuknya sama, tapi dengan nilai yang lebih berharga. Tapi ada juga kemungkinan, Allah memberi ganti dalam wujud lain yang tak dikenali pelakunya. Namun dipastikan, bahwa ganti itu lebih besar manfaatnya dari yang ditinggalkannya.
Sesuai informasi dari Saudari kita, kita bisa mencoba pekerjaan lain, atau kita bisa pindah ke tempat lain di dalam kementerian yang terhindar dari hal-hal yang harom. Sudah banyak saudara kita yang berhasil, maka, mari teguhkan langkah kita, berdo’a kepada Pencipta kita, Pemberi rizqi kita, gunakanlah Nama-nama-Nya yang agung tuk meminta, kemudian yakinlah dan bertawakallah, semoga Alloh memudahkan segala urusan kita.
Saya atas nama saudara-saudara saya minta maaf kepada Ustadz karena kami telah menentang larangan Alloh dan Rosul-Nya dengan pemikiran-pemikiran sempit manusia.

eva
Agu 12, 2012, 6:41 pm
assalamu’alaykum wr wb

an mau tny,,,bgmn hukum orang yg bekerja di konsultan Pajak

Hamba Allah
Jan 8, 2013, 9:01 pm
Assalamualaikum wr wb..

Ustadz bagaimana hukumnya bekerja di perusahaan swasta bagian pajak? Mohon penjelasannya ustadz. Trus kalau gak boleh, siapa yang melakukannya? karena pada akhirnya perusahaan swasta tersebut harus membayar pajak dan harus ada orang mengurusi bagian pajak. Ana mohon maaf atas ilmu ana yang awam ini. Syukron

Kebetulan ana skrng bekerja di bank, dan berkeinginan kuat untuk keluar sistem ribawi tersebut. Ana kebetulan ditawari kerja di bagian accounting dan pajak. Bagaimana menyikapi hal ini ustadz..sykron
Jan 9, 2013, 10:21 am
#hamba allah

bisa boleh

wirausahawan
Jun 3, 2013, 3:21 pm
Aww. kalo sebagai pengusaha yang diharuskan menghitung pajaknya sendiri apakah juga haram? Karena kalo tdk dihitung nanti melanggar hukum, kalo menghitung haram, jadi dilema ustadz? wallahu ‘alam
Agu 31, 2013, 11:27 pm
#wirausahawan
Dihitung sendiri insya allah tidak mengapa.

By: muhammad abduh
Perbedaan Antara Zakat dengan Pajak dan Syarat Diperbolehkannya Memungut Pajak
السؤال: ما الفرق بين الزكاة والضرائب ، وهل يجوز فرض هذه الضرائب؟ وهل يجب دفعها؟
Pertanyaan, “Apa perbedaan antara zakat dengan pajak? Apakah negara diperbolehkan untuk mewajibkan zakat atas rakyatnya? Apakah rakyat berkewajiban untuk membayar zakat?”
الجواب :
الحمد لله
الزكاة ركن من أركان الإسلام ، فرضها الله تعالى على المسلمين الأغنياء تحقيقاً لنوع من التكافل الاجتماعي ، والتعاون والقيام بالمصالح العامة كالجهاد في سبيل الله
Jawaban, “Zakat adalah salah satu rukun Islam yang Allah wajibkan atas kaum muslimin yang kaya sebagai salah satu bentuk solidaritas sosial dan tolong menolong untuk mewujudkan kepentingan banyak orang semisal jihad di jalan Allah.
وقد قرنها الله تعالى بالصلاة في أكثر من آية ، وهو مما يؤكد على أهميتها ، وقد ثبت وجوبها بالكتاب والسنة والإجماع .
Allah menggandengkan kewajiban zakat dengan kewajiban shalat dalam banyak ayat. Hal ini menunjukkan betapa urgennya zakat. Dalil wajibnya zakat adalah al Qur’an, sunnah dan ijma.
أما الضرائب التي تقررها الدولة وتفرضها على الناس ، فلا علاقة لها بما فرضه الله عليهم من زكاة المال .
Sedangkan pajak yang ditetapkan dan diwajibkan negara atas rakyatnya itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan zakat mal yang Allah wajibkan.
والضرائب من حيث الجملة : هي التزامات مالية تفرضها الدولة على الناس ، لتنفق منها في المصالح العامة ، كالمواصلات ، والصحة ، والتعليم ، ونحو ذلك .
Secara umum, pajak adalah kewajiban finansial yang diwajibkan negara atas rakyatnya. Sebagian uang pajak yang terkumpul akan digunakan untuk kepentingan umum semacam membangun sarana transportasi, kesehatan, pendidikan dll.
فالضرائب من وضع الناس وأنظمتهم ، لم يشرعها الله تعالى ، وأما الزكاة فهي شريعة ربانية ، وعبادة من أعظم عبادات الإسلام .
Pajak adalah kewajiban dan aturan buatan manusia yang tidak pernah Allah syariatkan. Sedangkan zakat adalah aturan Allah dan salah satu ibadah agung yang ada dalam Islam.
وبعض الناس لا يخرج زكاة ماله اكتفاء بالضريبة التي يدفعها للدولة ، وهذا غير جائز، فالضرائب شيء ، والزكاة شيء آخر .
Sebagian orang tidak mau membayar zakat dengan alasan karena telah merasa cukup dengan membayar pajak kepada negara. Inilah adalah alasan yang tidak bisa dibenarkan karena pajak dan zakat adalah dua hal yang berbeda.
قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء” :لا يجوز أن تحتسب الضرائب التي يدفعها أصحاب الأموال على أموالهم من زكاة ما تجب فيه الزكاة منها ، بل يجب أن يخرج الزكاة المفروضة ويصرفها في مصارفها الشرعية ، التي نص عليها سبحانه وتعالى بقوله : إنَِّماَ الصَّدقَاَت للِفْقُرَاَءِ واَلمْسَاَكيِن الآية” انتهى .فتاوى اللجنة الدائمة9/285
Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mengatakan, “Tidak diperbolehkan menilai pajak yang yang dibayarkan seseorang sebagai bagian dari zakat atas harta yang wajib dizakati. Wajib membayar zakat secara khusus dan menyalurkannya pada sasaran yang telah ditetapkan oleh syariat sebagaimana yang telah Allah firmankan yang artinya, “Zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin…” (QS at Taubah:60)” [Fatawa al Lajnah al Daimah 9/285).
والأصل في فرض الضرائب على الناس أنه محرم ، بل من كبائر الذنوب ، ومتوعد فاعله أنه لن يدخل الجنة ، وقد جاء في السنة النبوية ما يدل على أن الضريبة أعظم إثما من الزنا ، وقد سبق بيان ذلك في جواب السؤال رقم 39461
Pada asalnya mewajibkan pajak atas rakyat hukumnya haram bahkan termasuk dosa besar. Pelakunya terancam untuk tidak masuk surga. Dalam hadits disebutkan bahwa pemungut pajak itu dosanya lebih besar dari pada dosa zina.
وقد يجوز في حالات استثنائية أن تفرض الدولة ضرائب على الناس ، وفق شروط معينة ، منها:
Dalam kondisi darurat negara diperbolehkan untuk mewajibkan pajak atas rakyatnya asal memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1- أن تكون عادلة , بحيث توزع على الناس بالعدل , فلا ترهق بها طائفة دون طائفة ، بل تكون على الأغنياء ، كل شخص على حسب غناه ، ولا يجوز أن تفرض على الفقراء ، ولا أن يسوى فيها بين الفقراء والأغنياء .
Pertama, hendaknya adil artinya kewajiban membayar pajak didistribusikan di antara rakyat dengan adil, tidak hanya dibebankan pada kelompok orang kaya tertentu. Pajak hanya boleh dibebankan atas orang-orang kaya, masing-masing orang sesuai dengan tingkat kekayaannya. Tidak boleh membebankan pajak atas fakir miskin. Tidak boleh membebankan pajak atas semua orang, baik kaya ataupun miskin.
2- أن يكون بيت المال وهو ما يسمى حاليا بخزينة الدولة فارغا , أما إذا كانت الدولة غنية بمواردها , فلا يجوز فرض تلك الضرائب على الناس ، وهي حينئذ من المكوس المحرمة، والتي تعد من كبائر الذنوب
Kedua, hendaknya baitul mal yang pada era sekarang disebut kas negara dalam kondisi kosong. Sehingga jika kas negara berlimpah ruah dikarenakan sumber pendapatan negara yang lain maka tidak boleh mewajibkan pajak atas rakyat. Pajak dalam kondisi kas negara berlimpah itu dinilai sebagai pajak yang haram bahkan tergolong dosa besar.
3- أن يكون ذلك في حالات استثنائية لمواجهة ضرورة ما ، ولا يجوز أن يكون ذلك نظاماً مستمرا في جميع الأوقات .
Ketiga, pajak hanya diwajibkan atas rakyat dalam kondisi tertentu ketika menghadapi permasalahan yang sangat mendesak. Tidak boleh menjadikan pajak sebagai aturan yang bersifat terus menerus pada semua waktu.
جاء في “الموسوعة الفقهية” ( 247 / 8) أن من موارد بيت المال :
الضَّراَئبِ المْوُظََّفةَ علَىَ الرَّعيَِّة لمِصَلْحَتَهِمِ , سوَاَءٌ أكَاَن ذلَكِ للِجْهِاَد أمَ لغِيَرْهِ , ولَا تضُرْبَ علَيَهْمِْ إَّلا إذاَ لمَ يكَنُ فيِ بيَتْ المْاَل ماَ يكَفْيِ لذِلَكِ , وكَاَنَ
لضِرَوُرةَ , وإَلَِّا كاَنتَ موَرْدِاً غيَرْ شرَعْيٍِّ” انتهى
Dalam al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah jilid 8 halaman 247 disebutkan, “Di antara sumber baitul mal adalah pajak yang dibebankan atas rakyat demi kepentingan mereka baik untuk jihad ataupun yang lainnya. Namun pajak tidaklah diwajibkan atas rakyat kecuali jika dalam baitul mal tidak terdapat dana yang mencukupi untuk keperluan tersebut. Demikian pula pajak itu diwajibkan dalam kondisi darurat. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka pajak itu menjadi sumber kas negara yang tidak dibenarkan oleh syariat”.
وموارد بيت مال المسلمين المالية المباحة والمشروعة كثيرة جدا ، قد سبق ذكرها في جواب السؤال رقم138115
Sumber pendapatan kas negara muslim yang diperbolehkan oleh syariat itu banyak sekali.
فلو عمل بها المسلمون لأغناهم الله تعالى ، ولما احتاجوا إلى فرض الضرائب ، إلا في حالات نادرة جدا
Andai kaum muslimin mau memanfaatkan sumber-sumber tersebut tentu Allah akan mencukupi kebutuhan mereka sehingga negara tidak perlu mewajibkan pajak kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak yang ini tentu sangat langka terjadi.
4- أن تنفق في المصالح الحقيقية للأمة ، فلا ينفق منها شيء في معصية الله ، أو في غير مصلحة ، كالأموال التي تنفق على الممثلين والفنانين واللاعبين.
Keempat, dana hasil pajak tersebut dibelanjakan oleh negara dalam hal-hal yang bermanfaat secara real bagi rakyat, tidak ada yang dipergunakan untuk maksiat atau untuk perkara yang tidak mendatangkan manfaat semisal dana yang dikeluarkan negara untuk kepentingan artis, seniman atau pemain sepak bola.
قال الشيخ ابن جبرين رحمه الله :
في دفع الضرائب التي تفرضها الحكومات كضريبة المبيعات ، وضريبة الأرباح ، وضريبة المصانع ، والضرائب على العمال ونحوهم ، وهي محل اجتهاد
Syeikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Tentang hukum membayar pajak yang diwajibkan oleh pemerintah semisal pajak barang (baca: Ppn), pajak atas keuntungan bisnis, pajak pabrik, pajak atas karyawan dll itu perlu mendapatkan rincian hukum.
فإن كانت الدولة تجمع الضرائب عوضاً عن الزكاة المفروضة على التجار ونحوهم لزم دفعها ،
Jika negara mengumpulkan dana pajak sebagai ganti dari zakat yang diwajibkan atas pedagang atau semisalnya maka harus membayarkannya.
وإن كانت تجمع ضرائب زائدة عن الزكاة ، ولكن بيت المال بحاجة إلى تمويل للمصالح الضرورية كالمدارس ، والقناطر ، والمساجد ، وخدام الدولة جاز دفعها ، ولم يجز كتمانها
Jika negara mengumpulkan dana pajak dan pajak tersebut lain dengan zakat namun baitul mal memang membutuhkan suntikan dana untuk pembangunan berbagai sarana vital semisal membangun sekolah, jembatan, masjid dan PNS maka membayar pajak hukumnya boleh sehingga tidak boleh menutup-nutupi adanya harta yang wajib dipajaki.
أما إن كانت الدولة تأخذ ضرائب على المواطنين غير الزكاة ، وتعبث بها في إسراف وفساد ، ولهو وسهو وحرام ، ولا تصرفها في مصارفها الشرعية كأهل الزكاة ، فإنه يجوز كتمان المال أو الأرباح حتى لا يدفع لهم مالا حراماً ، فيساعدهم على فعل المحرمات ، فقد قال تعالى : (ولَا تعَاَونَوُا علَىَ الْإثِمْ واَلعْدُوْاَن)ِ” انتهى
Namun jika negara membebani penduduk dengan pajak dan itu bukan zakat dan setelah terkumpul dana pajak tersebut digunakan untuk fora-foya, untuk dikorupsi, main-main dan kelalaian (baca:hal-hal yang haram) dan tidak membelanjakannya pada sasaran yang diperintahkan syariat semisal orang-orang yang berhak mendapatkan zakat maka diperbolehkan menyembunyikan harta atau keuntungan yang terkena pajak sehingga kita tidak menyerahkan uang haram kepada negara yang akan mempergunakannya untuk melakukan hal-hal yang haram. Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS al Maidah:2)”.
وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
كل شيء يؤخذ بلا حق فهو من الضرائب ، وهو محرم ، ولا يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق ، كما قال النبي عليه الصلاة والسلام: إذا بعت من أخيك ثمرا فأصابته جائحة ، فلا يحل لك أن تأخذ منه شيئا ، بم تأكل مال أخيك بغير حق ؟
Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Segala harta yang diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan adalah bagian dari pajak yang hukumnya haram. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil harta saudaranya sesama muslim tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebagaimana sabda Nabi tentang jual beli dengan sistem ijon, “Jika anda jual buah-buahan dengan sistem ijon dengan saudaramu lalu buah-buahan tersebut terkena penyakit sehingga gagal panen maka anda tidak boleh mengambil uang yang telah diserahkan sedikit pun. Dengan alasan apa anda memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan?”.
ولكن على المسلم السمع والطاعة ، وأن يسمع لولاة الأمور ويطيع ولاة الأمور ، وإذا طلبوا مالا على هذه الأشياء سلمه لهم ، ثم إن كان له حق فسيجده أمامه – يعني يوم القيامة -، وإن لم يكن له حق بأن كان الذي أخذ منه على وجه العدل فليس له حق ،
Namun seorang muslim berkewajiban untuk mendengar dan mematuhi aturan pemerintah. Jika pemerintah meminta sejumlah uang (baca:pajak) atas benda-benda ini maka seorang muslim akan membayarkannya. Jika uang tersebut adalah hak rakyat maka rakyat akan mendapati gantinya pada hari Kiamat. Jika rakyat tidak memiliki hak atas harta tersebut karena pajak telah ditetapkan secara adil maka rakyat tersebut tentu tidak memiliki hak (baca: ganti pahala pada hari Kiamat) atas harta tadi.
والمهم أن الواجب علينا السمع والطاعة من ولاة الأمور ، قال النبي عليه الصلاة والسلام :اسمع وأطع وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك ولا يجوز أن نتخذ من مثل هذه الأمور وسيلة إلى القدح في ولاة الأمور وسبهم في المجالس وما أشبه ذلك ، ولنصبر ، وما لا ندركه من الدنيا ندركه في الآخرة” انتهى .
لقاء الباب المفتوح( 12 / 65 ) .
Ringkasnya menjadi kewajiban kita untuk mendengar dan patuh dengan aturan pemerintah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dengarkan dan patuhilah aturan penguasa, meski penguasa tersebut memukuli punggungmu dan merampas hartamu”. Tidak boleh menjadikan permasalah pajak atau masalah lain yang semisal sebagai sarana untuk mencela pemerintah dan mencaci maki pemerintah di berbagai forum dan semisalnya. Hendaknya kita bersabar. Harta dunia yang tidak kita dapatkan di dunia pasti akan kita dapatkan pada hari Kiamat nanti” (Liqa’ al Bab al Maftuh 12/65).
atau islamqa.com/ar/ref/102157/pdf/dl dengan beberapa perubahan.

Hukum Pajak dan Bea Cukai (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah)

By: muhammad abduh
Pertanyaan,
قرأت في كتاب ( الزواجر عن اقتراف الكبائر ) لابن حجر الهيتمي في حكم المكوس ، ونهي النبي صلى الله عليه وسلم عنها ، وأن أصحابها أشد الناس عذابا يوم القيامة ، وكثير من الدول يعتمد اقتصادها على تحصيل الرسوم الجمركية على الواردات والصادرات وهذه الرسوم بالتالي يقوم التجار بإضافتها إلى ثمن البضاعة المباعة بالتجزئة للجمهور ، وبهذه الأموال المحصلة تقوم الدولة بمشروعاتها المختلفة لبناء مرافق الدولة . فأرجو توضيح حكم هذه الرسوم وحكم الجمارك والعمل بها وهل يعتبر نفس حكم المكوس أم لا يعتبر نفس الحكم ؟.
“Aku membaca buku al Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair karya Ibnu Hajar al Haitami tentang hukum maks (pajak) dan larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hal tersebut. Di sana juga disebutkan bahwa pemungut maks adalah manusia yang paling keras siksaannya pada hari Kiamat nanti. Di sisi lain, banyak negara yang perekonomiannya mengandalkan bea cukai atas barang impor ataupun barang ekspor. Pada gilirannya bea cukai ini oleh produsen dibebankan kepada konsumen sehingga harga barang tersebut menjadi lebih mahal. Dari uang bea cukai ini negara mengadakan berbagai proyek untuk membangun berbagai fasilitas negara. Aku berharap akan adanya penjelasan tentang hukum pajak dan bea cukai serta bekerja di bidang itu. Apakah hukum pajak itu sama dengan hukum maks ataukah berbeda?”
فيما يلي نص فتوى اللجنة الدائمة للإفتاء
تحصيل الرسوم الجمركية من الواردات والصادرات من المكوس ، والمكوس حرام ، والعمل بها حرام ، ولو كانت ممن يصرفها ولاة الأمور في المشروعات المختلفة كبناء مرافق الدولة لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن أخذ المكوس وتشديده فيه ،
Jawaban dari Lajnah Daimah,
“Bea cukai atas barang impor atau ekspor itu termasuk maks sedangkan maks adalah haram. Oleh karena itu, bekerja di bidang itu hukumnya haram meskipun pajak tersebut dibelanjakan oleh negara untuk mengadakan berbagai proyek semisal membangun berbagai fasilitas negara. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bahkan memberi ancaman keras untuk perbuatan mengambil maks.
فقد ثبت في حديث عبد الله بن بريدة عن أبيه في رجم الغامدية التي ولدت من الزنا أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ) الحديث رواه أحمد ومسلم وأبو داوود
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya tentang dirajamnya wanita dari suku al Ghamidiyyah setelah melahirkan anak karena zina. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang wanita tersebut, “Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik maks (baca: pajak) bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
وروى أحمد وأبو داوود والحاكم عن عقبة بن عامر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( لا يدخل الجنة صاحب مكس ) وصححه الحاكم .
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan al Hakim dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Penarik pajak itu tidak akan masuk surga”. Hadits ini dinilai sahih oleh al Hakim.
وقد قال الذهبي في كتابه الكبائر : والمكاس داخل في عموم قوله تعالى : ( إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون
في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم ) الشورى/42 .
Dalam al Kabair, adz Dzahabi mengatakan, “Pemungut pajak itu termasuk dalam keumuman firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS asy Syura:42).
والمكاس من أكبر أعوان الظلمة بل هو من الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ، واستدل على ذلك بحديث بريدة وحديث عقبة المتقدمين ثم قال : والمكاس فيه شبه من قاطع الطريق وهو من اللصوص ، وجابي المكس وكاتبه وشاهده وآخذه من جندي وشيخ وصاحب راية شركاء في الوزر آكلون للسحت والحرام . انتهى .
Pemungut pajak adalah termasuk pembantu bagi penguasa zalim yang paling penting. Bahkan pemungut pajak itu termasuk pelaku kezaliman karena mereka mengambil harta yang tidak berhak untuk diambil”.
Adz Dzahabi lantas berdalil dengan hadits dari Buraidah dan ‘Uqbah yang telah disebutkan di atas. Setelah itu adz Dzahabi mengatakan, “Pemungut pajak itu memiliki kesamaan dengan pembegal bahkan dia termasuk pencuri. Pemungut pajak, jurus tulisnya, saksi dan semua pemungutnya baik seorang tentara, kepala suku atau kepala daerah adalah orang-orang yang bersekutu dalam dosa. Semua mereka adalah orang-orang yang memakan harta yang haram”. Sekian kutipan dari al Kabair.
ولأن ذلك من أكل أموال الناس بالباطل وقد قال تعالى :( ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل ) البقرة/188 .
Dalam pajak terdapat perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar padahal Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang tidak benar” (QS al Baqarah:188).
ولما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال في خطبته بمنى يوم العيد في حجة الوداع : ( إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في بلدكم هذا في شهركم هذا ) .
Ketika memberikan khutbah di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah ketika haji wada’, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian itu tidak boleh diganggu sebagaimana kehormatan hari ini, di negeri ini dan bulan ini”.
فعلى المسلم أن يتقي الله ويدع طرق الكسب الحرام ويسلك طرق الكسب الحلال وهي كثيرة ولله الحمد ومن يستغن يغنه الله ،
Menjadi kewajiban setiap muslim untuk bertakwa kepada Allah dengan meninggalkan cara-cara mendapatkan rezeki yang haram dan memilih cara-cara mendapatkan rezeki yang halal yang jumlahnya banyak, Alhamdulillah. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang halal maka Allah akan memberi kecukupan untuknya.
قال الله تعالى : (ومن يتق الله يجعل له مخرجا * ويرزقه من حيث لا يحتسب ومن يتوكل على الله فهو حسبه إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدرا ) الطلاق/2-3
Allah berfirman yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS ath Thalaq:2-3).
وقال : ( ومن يتق الله يجعل له من أمره يسرا ) الطلاق/ 4
Allah juga berfirman yang artinya, “Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS ath Thalaq:4).
وبالله التوفيق
فتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء 23 / 489 .
Demikian yang terdapat dalam Fatwa al Lajnah al Daimah lil Ifta’ jilid 23 halaman 489.
Sumber:


Pajak lagi pajak lagi, ga ada tema yang lain apa?.. J. Dengan niat yang ikhlas mengharapkan Wajah Allah Ta’ala untuk saling berbagi, nasehat-menasehati dalam kebaikan dan takwa, kalaupun harus menulis dan mengulang seribu tema yang sama pun tidak jadi masalah. Menurut para ulama, menerangkan hukum sya’ri adalah perkara yang utama, karena dengan mengetahui hukum-hukum agama itu manusia bisa membedakan/ memisahkan mana yang haq dan mana yang bathil, yang halal, yang syubhat dan yang haram. Jika kita sekedar beramal saja tanpa mengetahui ilmunya, lalu bagaimana kita akan tahu dan yakin kalau amalan (yang kita kerjakan) tersebut benar?. Saking pentingnya ilmu, sampai-sampai Al-Imam al-Bukhari –raheemahullaahu- membuat sebuah judul bab pada kitab shahih-nya: “al-‘ilmu qabla al-qoul wal ‘amal: ilmu itu sebelum berkata dan beramal.” Begitu pula dengan masalah Pajak, sebelum berdalam-dalam di dunia tersebut, mengambil dan memakan harta dari sumber tersebut, sudah seharusnya kita mencari tahu hukum-hukumnya terlebih dahulu agar tidak menyesal di kemudian hari. Saya kutipkan penjelasan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi –raheemahullaahu- terkait dengan Maks/Pajak/Bea Cukai dalam bab: المكاس. Namun sebelumnya, siapakah beliau?, Beliau adalah Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz at-Turkmany al-Fariqy ad-Dimasyqy asy-Syafi’i atau masyhur dengan sebutan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi (w. 747 H), murid dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –raheemahullahu-. Beliau digelari Imamul Wujud Hifzhan (imamnya semua yang ada di hafalan), Syaikhul Jarhi wa Ta’dil (pakar dalam menilai ketsiqahan para perawi hadits) dan Rajul ar-Rijal fii Kulli Sabil (satu dari seribu orang dalam seluruh disiplin ilmu) oleh para ulama lain. Beliau juga seorang huffadz (hafal ribuan hadits i.e matan hadits beserta jalur-jalur periwayatannya, red) dengan banyak karya tulis terkenal semisal Mizanul I’tidal yang digunakan oleh para ahlul hadits sebagai rujukan dalam menilai ketsiqahan para perawi sanad. Berikut penjelasan beliau dalam kitabnya, al-Kabaair:
وهو داخل في قول الله تعالى إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم والمكاس من أكبر أعوان الظلمة بل هو من الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق ولهذا قال النبي المكاس لا يدخل الجنة وقال لا يدخل الجنة صاحب مكس رواه أبو داود وما ذاك إلا لأنه يتقلد مظالم العباد ومن أين للمكاس يوم القيامة أن يؤدي للناس ما أخذ منهم إنما يأخذون من حسناته إن كان له حسنات وهو داخل في قول النبي أتدرون من المفلس قالوا يا رسول الله المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع قال إن المفلس من أمتي من يأتي بصلاة وزكاة وصيام وحج ويأتي وقد شتم هذا وضرب هذا وأخذ مال هذا فيؤخذ لهذا من حسناته وهذا من حسناته فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من سيئاتهم فطرحت عليه ثم طرح في النار
Perbuatan memungut pajak/cukai termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:
إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih”. (QS. Asy-Syura: 42)
Orang yang memungut pajak/cukai itu adalah orang yang paling besar bantuannya kepada orang-orang yang dzalim. Bahkan ia sendiri termasuk yang dzalim. Sebab, ia telah mengambil apa yang bukan menjadi haknya dan memberikannya kepada yang tidak berhak.
Nabi (Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) bersabda:
المكاس لا يدخل الجنة
“Pemungut pajak/cukai itu tidak akan masuk surga”
Beliau juga bersabda:
لا يدخل الجنة صاحب مكس رواه أبو داود
“Tidak akan masuk surga orang yang kerjanya memungut pajak/cukai” (HR. Abu Dawud)
Pemungut pajak/cukai itu memikul tanggung jawab penganiayaan terhadap manusia. Pada hari kiamat kelak mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk membayar kembali hak orang yang sudah diambilnya. Sesungguhnya mereka akan membayarnya dengan diambilkan kebaikannya jika ia mempunyai kebaikan.
Rasulullah (Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) bersabda: “Tahukah kamu, siapakah orang-orang yang muflis/bangkrut itu?”, Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, menurut kami orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dirham atau kekayaan”, Rasulullah (Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) menjelaskan, “Sebenarnya orang yang bangkrut dari ummatku itu adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa shalat, zakat, shiyam/puasa dan haji, namun ia datang dalam keadaan telah mencela si anu dan menumpahkan darah si anu. Maka kebaikannya diambil untuk si anu, diambil lagi untuk si anu. Apabila kebaikannya sudah habis sebelum habisnya kesalahannya terhadap orang-orang itu, maka diambillah kejahatan orang-orang itu lalu dipikulkan kepadanya, hingga akhirnya ia masuk neraka”... [al-Kabaair hal. 115, al-Hafidz adz-Dzahabi]
Pengutip: Salah satu alasan mengapa banyak orang yang tertarik untuk bekerja di sektor Perpajakan dan Bea Cukai adalah status sosial/ kedudukannya yang dianggap prestigeous di mata masyarakat dan pendapatannya (yang katanya) cukup besar. Namun bagi orang yang mengetahui hukum syariat seperti para ulama yang wara’ dan hanif, pekerjaan seperti itu tidaklah berfaidah sama sekali dan harus ditinggalkan. Mengapa demikian? Apa alasannya?. Kan prestigeous, kan gajinya gedhe, kan... kan.... Let’s take a look perkataan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi berikut di dalam bab: “Memakan Barang Haram” (masih di dalam kitab yang sama i.e al-Kabaair), serem mas Bro..:
قال الله عز وجل ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil”. (QS. Al-Baqarah: 188)
قال ابن عباس رضي الله عنهما يعني باليمين الباطلة الكاذبة يقتطع بها الرجل مال أخيه بالباطل والأكل بالباطل على وجهين أحدهما أن يكون على جهة الظلم نحو الغصب والخيانة والسرقة والثاني على جهة الهزل واللعب كالذي يؤخذ في القمار والملاهي ونحو ذلك
Ibnu Abbas –radhiyallaahu ‘anhuma- berkata, “Maksudnya adalah dengan sumpah palsu, yang dengan sumpah palsu itu seseorang bisa mendapatkan harta saudaranya secara bathil.”
Memakan dengan cara yang bathil itu ada dua macam:
Pertama, Diperoleh dengan jalan kedzaliman seperti merampas, berkhianat atau mencuri.
Kedua, Diperoleh dengan cara bermain seperti berjudi, tempat-tempat hiburan dan lain-lain.
وفي صحيح البخاري أن رسول الله قال إن رجالا يتخوضونن في مال الله بغير حق فلهم النار يوم القيامة
Dalam shahih Bukhari disebutkan, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang menceburkan diri ke dalam harta Allah tanpa hak, maka bagi mereka disediakan Neraka pada hari kiamat.”
وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله الدنيا حلوة خضرة من اكتسب فيها مالا من حله وأنفقه في حقه أثابه الله وأورثه جنته ومن اكتسب فيها مالا من غير حله وأنفقه في غير حقه أدخله الله تعالى دار الهوان ورب متخوض فيما اشتهت نفسه من الحرام له النار يوم القيامة
Ibnu Umar -radhiyallaahu ‘anhuma- meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Dunia itu manis dan hijau. Barangsiapa berusaha di dalamnya secara halal lalu menafkahkannya pada jalan yang benar, niscaya Allah Ta’ala akan mengganjarnya dan mewariskan Surga baginya. Dan barangsiapa berusaha di dalamnya melalui cara yang haram dan membelanjakannya pada jalan yang tidak benar, niscaya Allah Ta’ala akan memasukannya ke tempat yang hina (Neraka). Berapa banyak orang yang menceburkan diri pada apa-apa yang haram yang disenangi hawa nafsunya, mengakibatkan ia masuk neraka pada hari Kiamat nanti”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab [5139] dari Ibnu Umar, ash-Shahih [3410])
وقال سفيان الثوري من أنفق الحرام في الطاعة كمن طهر الثوب بالبول والثوب لا يطهره إلا الماء والذنب لا يكفره إلا الحلال
Berkata Sufyan ats-Tsauri –Raheemahullaahu-, “Orang yang menafkahkan uang haram dalam perbuatan ta’at adalah ibarat orang yang mencuci baju dengan air seni. Padahal baju tidaklah dicuci kecuali dengan air, dan dosa tidaklah dihapus kecuali dengan yang halal.”.... [al-Kabaair hal. 118, al-Imam adz-Dzahabi]
Look!, al-Imam Sufyan ats-Tsauri (salah seorang ulama besar salafus shalih dari (salah satu) generasi terbaik Islam, tabi’ut tabi’in, red) saja menyamakan “uang haram” dengan “air seni” yang jelas-jelas najis dan tidak bisa digunakan untuk bersuci. Padahal itu ditujukan untuk kebaikan semisal menafkahi anak istri, shadaqah, menyantuni anak yatim dll, apatah lagi jika digunakan untuk keburukan/ kemaksiatan. Pertanyaannya; Jika Maks/Pajak/Bea Cukai dihukumi haram oleh para ulama berdasarkan nash-nash shahih karena mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak haq (syar’i), lantas bagaimana dengan penghasilannya?, bagaimana dengan daging yang tumbuh dari makanan yang dibeli dari uang tersebut?, bagaimana dengan doa dan ibadah dari orang yang mendapatkan harta dengan jalan tersebut?...
Sebenarnya tidak ada masalah dengan sisi prestigeousnya, begitu pula dengan pendapatannya yang besar, namun jangan sampai hal-hal membanggakan dan mengagumkan yang sifatnya fana dan hanya sementara itu mengalahkan perkataan/ hukum Allah dan RasulNya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Kemulian tidaklah diukur dengan banyak atau sedikitnya harta koq mas Bro, karena jika itu tolok ukurnya, tentu Fir’aun dianggap lebih mulia dari nabi Musa ‘Alaihissalam. Yang memandang mulia tidaknya seseorang dari banyak sedikitnya harta hanya mereka kaum kuffar sebagaimana penjelasan al-Imam al-Qurthubi, “..Sesungguhnya kemuliaan menurut orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang mukmin, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan kepada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberinya rizki di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya.” [Al-Jaami’ li Ahkamil Qur’an]
Jika saya seorang pegawai Pajak, maka tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagi saya kecuali mengajukan pindah ke bagian lain atau resign dari pekerjaan tersebut (worst case jika ikhtiar pertama ditolak atasan, red) dan mencari pekerjaan lain yang lebih halal demi kebaikan saya sendiri dan keluarga... Wallaahu a’lam...

9 Respones to "Jika Saya Seorang Pegawai Pajak..."

ruhiyat zaelani mengatakan... 
alhamdulillah pendapatnya,, jikalau antum merasa bahwa pajak itu haram,, niscaya antum pastinya mengerti memakai sesuatu yang haram,, dan menikmati sesuatu yang haram tersebut pastinya antum pun akan berdosa,, sekarang saya tanya.. apakah selama antum hidup antum memakai jalan raya sebagai sarana perjalanan antum?? kalau memang antum merasa pajak haram,, silahkan jalan di jalan yang masih tanah dan belum dibangun oleh pemerintah,, lalu apakah antum masih merasakan subsidi pemerintah?? kalau masih,, cobalah berpikir ,, dosakah antum memakai dan menikmati sesuatu yang menurut antum adalah haram??? mohon penjelasan..
Old Nakula mengatakan... 
Apakah anda bisa memastikan bahwa fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah 100% berasal dari uang Pajak? Atau berasal dari harta yang bercampur (dari jalur Niaga -via BUMN dkk misalnya- + uang Pajak)?. Karena sejauh informasi yang saya ketahui bahwa Kas negara itu tidak hanya berasal dari sektor pajak saja, namun juga berasal dari berbagai macam sumber lain (baik melalui jalan yang halal seperti perniagaan maupun yang haram seperti pajak, riba dll). Dan membangun fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari harta seperti ini -sejauh pengetahuan saya, wallaahu a'lam- diperbolehkan. Untuk memperkaya wawasan, silahkan anda membaca artikel lain di tempat yang lain yang membahas masalah "Hukum memanfaatkan uang haram".

Kembali lagi ke konteks pembahasan diatas bahwa yang dikritik oleh para ulama (pada artikel di atas, red) adalah pekerjaan haramnya (yang berimplikasi kepada harta yang ia makan, yang juga dikonsumsi oleh anak dan istrinya, red) bukan pemanfaatan hartanya.

Btw, anda bekerja di kantor Pajak ya?,.. saran saya berusahalah untuk keluar dari lingkaran pekerjaan tersebut dan mencari pekerjaan lain yang halalan thayyiban sebagai sikap wara', insyaAllah Allah Ta'ala akan memudahkan hamba-hambaNya yang menjaga diri dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Emilia Gustika Hadi mengatakan... 
Waduh om dalil memperbolehkannya uang haram dari mana y? Saya jg td udh ikut baca yg disuruh yaitu "hukum memanfaatkan uang haram" referensi dr om. tp mlh yg saya dapetin kl dr memperolehnya aj udh hram pggunaannya sama aja. Berhubung saya org awam. Tolong donk kasih dalilny yg membolehkan. Setau saya yg mengharamkan pajak itu hanya ulama wahabi. Ulama lainnya justru menghalal kan. Skrg coba deh om yg googling lg tentang pajak haram gaknya. Krn setau saya pun. Mengharamkan suatu yg halal itu dosa. :)
Old Nakula mengatakan... 
Mohon dibaca baik-baik komentar saya sebelumnya ya Tante :), perhatikan kalimat berikut:

"Apakah anda bisa memastikan bahwa fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah 100% berasal dari uang Pajak? Atau berasal dari harta yang BERCAMPUR(dari jalur Niaga -via BUMN dkk misalnya- + uang Pajak)?. Karena sejauh informasi yang saya ketahui bahwa Kas negara itu TIDAK HANYA BERASAL dari sektor pajak saja, namun juga berasal dari berbagai macam sumber lain (baik melalui jalan yang halal seperti perniagaan maupun yang haram seperti pajak, riba dll). Dan membangun fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari harta seperti ini -sejauh pengetahuan saya, wallaahu a'lam- DIPERBOLEHKAN."

Dari penjelasan al-Hafizh adz-Dzahabiy -raheemahullaahu- dalam bab: Maks atau Pajak (pada artikel) di atas, maka saya meyakini akan haramnya pajak secara mutlak (Dalilnya jelas, silahkan baca kembali artikel di atas, kecuali dalam kondisi yang darurat, seperti kosongnya kas negara dll, red). Kemudian saya bertanya; Apakah harta yang digunakan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas umum itu seluruhnya berasal dari Pajak?? (ini adalah pertanyaan saya kepada komentator sebelumnya sebagai counter balik kepada ybs akan sinismenya dia terhadap penjelasan al-Hafzih adz-Dzahabiy, red). Perhatikan kalimat yang saya CAPSLOCK diatas, i.e kalimat "Harta Bercampur", dan inilah yang saya maksud hukumnya "boleh". Adapun seseorang yang mendapatkan upah dari pekerjaan yang haram, maka uang yang didapatkannya juga haram. Namun apakah orang lain yang menerima uang haram tersebut (melalui proses jual beli misalnya, red) atau dalam bentuk yang lain otomatis akan dikatakan "telah memperoleh harta yang haram"? atau dilarang menerima uang tersebut?.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا . . . الْحَدِيْثَ

“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya…. ” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)

Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani banyak memakan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan mereka. Oleh karenanya muncul kaidah ushul fiqh:

أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqa’ Al Bab Al Maftuh)

Dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَهُ فَقَالَ: إِنَّ لِيْ جَارًا يَأْكُلُ الرِّباَ وَإنَِّهُ لاَ يَزَالُ يَدْعُوْنِي. فَقَالَ: مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ

“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata: ‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang memakan riba dan senantiasa mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’. [Mushannaf 'Abdurrazaq (no. 14675) dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal]

Dan dalil tentang haramnya Pajak itu jelas, maka tidakkah engkau takut pula mengikuti pendapat yang menghalalkannya (yang artinya menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah)?, atau dirimu tidak membaca dengan teliti mengapa sebagian ulama menghalalkannya?. Silahkan dipikirkan,..
ruhiyat zaelani mengatakan... 
JAKARTA (Pos Kota) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menyatakan haram hukumnya gerakan memboikot pajak karena membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah.

“Saya memahami kekecewaan masyarakat terkait adanya pegawai pajak yang menjadi makelar pajak. Namun, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memboikot membayar pajak,” tutur Ma’ruf di Kantor MUI, Jakatar, Rabu (7/4).

Ia mengatakan hukum pajak adalah wajib berdasarkan hukm syariah untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena pajak itu untuk untuk kemaslahatan kita semua, di mana uang pajak itu masuk ke kas negara yang nantinya dipergunakan untuk membangun berbagai fasilitas yang akan digunakan oleh rakyat.

Maruf menyebutkan, membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah. Hal itu mencontoh penerapan kebijakan serupa dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab usai Nabi wafat.

“Saat itu, kekhalifahan Islam telah memiliki banyak pegawai dan tentara yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Namun, dana baitulmal bersumber zakat tidak mencukupi. Terlebih, dana zakat hanya bisa digunakan untuk delapan golongan saja. Karena tidak cukup dari Baitulmal makanya ada pajak yang dikenal dengan istilah darb,’’ kata Ma’ruf.

Diberitakan sebelumnya ide gerakan boikot pajak muncul lewat situs jejaring sosial facebook. Gerakan ini muncul atas kekecewaan dengan terjadinya kasus makelar pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, pegawai pajak di Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki dana di rekeningnya sebesar Rp28 miliar.

sumber : http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/04/07/mui-boikot-pajak-itu-haram
Old Nakula mengatakan... 
@Ruhiyat, Hehe,.. Hujjahnya kira-kira apa ya?, silahkan anda paparkan disini secara ilmiyah dari al-Kitab wa Sunnah bi fahmy as-Salaful ummah ya,..
Anonim mengatakan... 
Berarti boleh ya mengambil/memanfaatkan sesuatu yg sumbernya dari campuran halal+haram. Padahal kita tahu betul, bahwa itu berasal dari sesuatu yg bercampur halal+haram. Beneran nanya nih, soalnya kok beda banget dengan yg kutahu selama ini
Anonim mengatakan... 
membayar pajak haram tpi memanfaatkannya halal..?? gimana sih gak ngerti?? pembangunan di biayai oleh APBN sedangkan mayoritas APBN dari pajak 78% klo gak salah dan itu belum termasuk bea cukai, tidak termasuk Pajak bumi dan bangunan dan retribusi, jdi klo pajak haram besok2 berangkat kerja terbang aja jgn manfaatkan jalan yg di bangun pemerintah dari hasil pajak.. hahaha
METROJAYA mengatakan... 
perlunya ijma ulama kalo pajak dan cukai sudah mendzolimi orang islam. kasihan pegawai pajak yang niatnya cuma kerja tapi nggak mengerti hukum syar'i.Dampaknya besar bagi negara makanya negara ini hutang melulu.padahal kalo zakat orang muslim dimaksimalkan bisa menjadi solusi buat negara.


Pegawai Pajak (Terutama Alumni STAN) Ramai-Ramai Mengundurkan Diri, 
Ada Apa?

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui hampir setiap hari menerima surat pengunduran diri dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Apa sebabnya?
"Hampir setiap hari saya terima surat pengunduran diri dari pegawai Ditjen Pajak," ungkap Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Kamis (5/2/2015), seperti dilansir detikcom.

Setelah ditelusuri, ternyata permasalahannya adalah gaji yang diterima oleh pegawai masih sangat rendah. Apalagi bila dibandingkan dengan pekerjaan di swasta. Padahal tanggung jawabnya luar biasa besar.
"Ini pasti karena demand yang lebih besar dari luar. Gajinya pasti lebih besar," sebutnya.
Ia mencontohkan, pegawai yang berasal dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) memiliki ikatan dinas beberapa tahun untuk bekerja di Ditjen Pajak. Biasanya, lulusan STAN hanya menyelesaikan dinas dan kemudian keluar.
"Jadi dihabiskan ikatan dinasnya saja. Terus dia kerja tempat lain," imbuh Bambang.
Menurutnya, daya tarik bekerja di Ditjen Pajak sudah menurun. Padahal ke depan, tantangan semakin besar. Untuk tahun ini saja harus mengejar penerimaan perpajakan lebih dari Rp 1.400 triliun.
"Daya tarik kerja di Ditjen Pajak menurun. Padahal kondisi semakin menantang," ujarnya.
Maka dari itu, Kementerian Keuangan menganggarkan tambahan tunjangan kinerja atau remunerasi untuk Ditjen Pajak. Ini diharapkan bisa menambah gairan pegawai pajak.
"Itu alasan harus dilakukan remunerasi sebagai solusi," tukas Bambang.
Menurut penuturan dari salah seorang pegawai Pajak di Yogyakarta (yang juga alumni STAN), beban kerja di Direktorat Jenderal Pajak semakin berat. Hal ini lantaran beban target penerimaan pajak yang naik dari Rp 1.246 Triliun di tahun 2014 menjadi Rp 1.400 Triliun di tahun 2015. Padahal realisasi penerimaan pajak 2014 tak sesuai target. Realisasi penerimaan pajak 2014 hanya Rp 1.143,3 triliun atau 91,75 persen dari target tersebut, dan ini merupakan realisasi pajak terendah sepanjang sejarah. (Baca:
Rekor, Realisasi Pajak 2014 Terendah Sepanjang Sejarah)
Dengan beban target penerimaan pajak yang semakin meningkat di tahun 2015 ini maka beban kerja para pegawai Direktorat Jenderal Pajak semakin berat.

Related Articles

HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM, Bagaimana Kaum Muslimin Menyikapinya? Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
Adakah Bea Cukai Untuk Barang Orang Kafir?
Hukum Pajak dan Bekerja di Pajak, Apakah Gaji Bekerja Disitu Halal?
Perpajakan yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat (1)
Ketua Dewan Pembina/Pendiri CISFED ( Center for Studies in Finance, Economics, and Development )
Perpajakan yang Adil dan Kesejahteraan Masyarakat (2-Habis)
Ketua Dewan Pembina/Pendiri CISFED ( Center for Studies in Finance, Economics, and Development )
Mengelak dari Pajak dan zakat, Bolehkah?
Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc
MENGAPA ISLAM MENGHARAMKAN PAJAK?
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Hukum Pajak dan Bekerja di Pajak
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. (Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia)
https://konsultasisyariah.com/106-hukum-pajak-dan-bekerja-di-pajak.html
Pandangan Syariat Terhadap Pajak dan Bea Cukai
Ustadz Aris Munandar