Pertanyaan : Apakah boleh
menyelesihi ijmaa’ ulama dalam satu permasalahan ketika diketahui sebelumnya
(yaitu sebelum terjadinya ijmaa’ tersebut) terjadi khilaaf ?. Misalnya seperti
nikah mut’ah yang dikatakan sebagian salaf ada yang membolehkannya ?.
Jawab : Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.
Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi ajma’iin, wa ba’d.
Terkait dengan nikah mut’ah, maka
jenis pernikahan itu telah diharamkan dalam syari’at Islam berdasarkan nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala bersabda:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”
[QS. Al-Mukminuun : 5-7].
Ayat di atas
menegaskan bahwa kemaluan tidaklah halal kecuali kepada istri melalui
pernikahan yang sah, atau menggauli budak (wanita). Adapun nikah mut’ah, maka
ia adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu yang apabila waktunya telah
terlampaui (sebagaimana disebutkan dalam akad awal), ikatan nikahnya bubar
dengan sendirinya tanpa perlu thalaq. Apalagi yang dilakukan para praktisi
mut’ah jaman sekarang yang membolehkan durasi waktu pernikahan hanya satu kali
hubungan badan[1], maka ini lebih mirip dengan zina. Tidak ada kewajiban
nafkah, dan tidak pula ada pewarisan. Nikah mut’ah bukanlah nikah syar’iy. Oleh
karena itu, Nabi ﷺ melarangnya
hingga hari kiamat setelah sebelumnya pernah diperbolehkan.
عَنْ عَلِيّ بْن
أَبِي طَالِبٍ، يَقُولُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: " نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ
أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ"
Dari ‘Aliy bin Abi
Thaalib, ia berkata kepada Ibnu ‘Abbaas : “Rasulullah ﷺ
telah melarang menikahi wanita secara mut’ah dan makan daging keledai jinak
pada tahun Khaibar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
عَنْ سَبْرَةَ الْجُهَنِي أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ
كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ
قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ
شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
Dari Sabrah Al-Juhaniy
: ia pernah bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau
bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian
nikah mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat.
Barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan
janganlah kalian ambil sesuatupun yang telah kalian berikan kepada wanita yang
kalian mut’ahi itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Para ulama telah
bersepakat (ijmaa’) tentang keharaman nikah mut’ah.
Ath-Thahawiy
rahimahullah berkata:
فَهَذَا عُمَرُ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ، بِحَضْرَةِ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ مِنْهُمْ مُنْكِرٌ،
وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى مُتَابَعَتِهِمْ لَهُ عَلَى مَا نَهَى عَنْهُ مِنْ
ذَلِكَ، وَفِي إِجْمَاعِهِمْ عَلَى النَّهْيِ فِي ذَلِكَ عَنْهَا، دَلِيلٌ عَلَى
نَسْخِهَا وَحُجَّةٌ.
“Inilah ‘Umar (bin
Al-Khaththaab) radliyallaahu ‘anhu yang telah melarang nikah mut’ah dengan
kehadiran para shahabat Rasulullah ﷺ tanpa adanya
pengingkaran. Dan pada riwayat ini adalah dalil atas persetujuan para shahabat
kepada ‘Umar terhadap apa yang ia larang (yaitu nikah mut’ah). Selain itu,
kesepakatan (ijma’) mereka terhadap larangan nikah adalah dalil terhadap
penghapusan hukumnya dan sekaligus merupakan hujjah” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar,
3/27].
Ibnul-‘Arabiy
rahimahullah berkata:
وقد كان ابن عباس
يقول بجوازها ثم ثبت رجوعه عنا فانعقد الإجماع على تحريمها فإذا فعلها أحد رجم في
مشهور المذهب
“Ibnu ‘Abbaas dulu
memang pernah membolehkannya, kemudian telah sah sikap rujuknya atas
pembolehannya tersebut. Maka, terjadilah ijmaa’ atas pengharamannya. Apabila
ada seseorang yang melakukannya, maka ia dirajam menurut pendapat masyhur dalam
madzhab (Maalikiyyah)” [Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan oleh Al-Qurthubiy,
5/132-133].
Al-Maaziriy
rahimahullah berkata:
وَانْعَقَدَ
الْإِجْمَاع عَلَى تَحْرِيمه وَلَمْ يُخَالِف فِيهِ إِلَّا طَائِفَة مِنْ
الْمُسْتَبْدِعَة ، وَتَعَلَّقُوا بِالْأَحَادِيثِ الْوَارِدَة فِي ذَلِكَ ،
وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهَا مَنْسُوخَة فَلَا دَلَالَة لَهُمْ فِيهَا
“Telah terjadi ijmaa’
atas keharamannya tanpa ada perselisihan padanya, kecuali kelompok dari
kelompok ahli bid’ah[2] yang bergantung pada hadits-hadits yang dianggap
membolehkannya. Telah kami sebutkan bahwa hadits-hadits tersebut mansuukh
(terhapus), sehingga tidak ada dalil dalam hal tersebut bagi mereka” [Syarh
Shahiih Muslim oleh An-Nawawiy, 9/179].
Adapun yang ternukil
dari sebagian shahabat dan taabi’iin yang membolehkan – jika memang shahih
riwayatnya dari mereka - , maka itu tidaklah dianggap karena menyalahi nash
yang shahih dan sharih.
Selain itu, para
ulama sendiri telah menjelaskan ada kemungkinan riwayat ternukil dari mereka
(sebagian salaf) tidak sah, atau mereka rujuk sebagaimana rujuknya Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak boleh ada seorang pun yang boleh menyelisihi
ijmaa’ ini hanya karena adanya penyelisihan sebagian salaf dan kemudian
berdalil dengan perkataan mereka. Perkara ini telah selesai (final) hukumnya.
Barangsiapa yang menyelisihi ijmaa’, berarti menyelisihi jalan yang lurus.
Ini yang pertama…..
Kemudian selanjutnya, permasalahan ijmaa’ setelah sebelumnya didahului dengan
khilaaf adalah permasalahan yang boleh terjadi menurut pendapat yang kuat
(raajih). Maksudnya di sini adalah : Terjadi khilaf dalam satu permasalahan di
satu masa, kemudian masa setelahnya terjadi ijmaa’ – sebagaimana tergambar
dalam pertanyaan.
Dalil tentang
kebolehannya diantaranya adalah firman Allah ta’ala:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
[QS. An-Nisaa’ : 59].
Mafhum dari ayat ini,
sesuatu yang disepakati (tidak ada perselisihan pendapat) para ulama – tidak
ada pembatasan masa tertentu - merupakan kebenaran (hujjah).
Juga sabda Nabi ﷺ:
لَا تَزَالُ
طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ، ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
“Akan senantiasa ada
sekelompok dari umatku berada di atas kebenaran yang selalu menang hingga hari
kiamat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 156 & 1923 dari Jaabir radliyallaahu
‘anhu].
Hadits ini
menunjukkan bahwa akan senantiasa ada di setiap masa orang yang mengatakan
kebenaran dari umat ini, baik sedikit maupun banyak. Allah ta’ala tidak akan
mengumpulkan umat Islam dalam kesesatan selamanya hingga tegak hari kiamat,
sebagaimana sabda beliau ﷺ yang lain:
لا يَجْمَعُ اللَّهُ
أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةٍ أَبَدًا
“Allah tidak akan
mengumpulkan umatku di atas kesesatan selamanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
‘Aashim dalam As-Sunnah no. 80, Al-Haakim 1/115-116, dan yang lainnya dari Ibnu
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Hadits ini diperselisihkan para ulama, namun
Asy-Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya di beberapa tempat dalam kitabnya karena
banyak jalan penguatnya, diantaranya Dhilaalul-Jannah no. 80-84, tahqiq
Bidaayatus-Suul hal. 70, dan Shahiihul-Jaami’ 1/378 no. 1848].
Hujjah/dalil lainnya
adalah seandainya taabii’iin atau ulama setelahnya berselisih pendapat dalam
perkara tertentu pada satu masa, kemudian mereka bersepakat dalam perkara
tersebut pada masa itu, maka itulah kesepakatan yang mengikuti khilaaf
(perselisihan). Kesepakatan tersebut memutuskan perselisihan, sehingga menjadi
ijmaa’. Tidak diperbolehkan adanya penyelisihan setelah itu[3]. Secara
substansi, tidak ada beda antara antara perkara yang terjadi pada satu masa
atau dua masa yang berlainan.
Ini adalah madzhab
jumhur Hanafiyyah, jumhur Maalikiyyah, sebagian Syaafi’iyyah seperti Al-Qaffaal
dan Abu Ishaaq Asy-Syiiraaziy, serta sebagian Hanaabilah seperti
Abul-Khaththaab [lihat pembahasan ini dalam Al-Jaami’ li-Masaaili Ushuulil-Fiqh
oleh ‘Abdul-Kariim An-Namlah hal. 325-326, Al-Muhadzdab fii ‘Ilmi Ushuulil-Fiqh
Al-Muqaaran oleh ‘Abdul-Kariim An-Namlah 2/921-923, dan Syarh Ushuul min ‘Ilmil-Ushuul
oleh Sa’d Asy-Syatsriy hal. 251-252 & 259].
Catatan : Ijmaa’
menjadi hal yang sangat dipertimbangkan apabila dikatakan oleh para ulama
tsiqah yang dikenal teliti dan luas penelaahannya. Apalagi, jika ijmaa’
tersebut ternukil dari masa ke masa.
Contoh selain nikah
mut’ah dari perkara yang ditanyakan adalah permasalahan berwudlu setelah makan
makanan yang disentuh dengan api. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
كَانَ الْخِلَاف
فِيهِ مَعْرُوفًا بَيْن الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، ثُمَّ اِسْتَقَرَّ الْإِجْمَاع
عَلَى أَنَّهُ لَا وُضُوء مِمَّا مَسَّتْ النَّار إِلَّا مَا تَقَدَّمَ
اِسْتِثْنَاؤُهُ مِنْ لُحُوم الْإِبِل
“Perselisihan
pendapat dalam permasalahan tersebut masyhuur
di kalangan shahabat dan taabi’iin, namun kemudian terjadilah ijmaa’
bahwasannya tidak wajib wudlu dengan sebab makan makanan yang disentuh api,
kecuali apa yang telah lalu pengecualiannya dari daging onta[4]”
[Fathul-Baariy, 1/311].
Dulu shahabat
berselisih pendapat tentang masalah memakai emas bagi laki-laki, namun setelah
itu terjadi ijmaa’ akan keharamannya.
Ibnu Rajab
rahimahullah berkata:
ويحملُ فعلُ من
لبسهُ من الصحابةِ على أنهُ لم يبلغهم الناسخ
“Perbuatan sebagian
shahabat yang memakai perhiasan emas dibawa pada kemungkinan bahwa belum sampai
kepada mereka nash yang menghapuskan (kebolehannya)” [Ahkaamul-Khawaatiim, hal.
60].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
أَجْمَع
الْمُسْلِمُونَ عَلَى إِبَاحَة خَاتَم الذَّهَب لِلنِّسَاءِ ، وَأَجْمَعُوا عَلَى
تَحْرِيمه عَلَى الرِّجَال ، إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْر بْن مُحَمَّد بْن
عُمَر بْن مُحَمَّد بْن حَزْم أَنَّهُ أَبَاحَهُ ، وَعَنْ بَعْضٌ أَنَّهُ مَكْرُوه
لَا حَرَام ، وَهَذَانِ النَّقْلَانِ بَاطِلَانِ ، فَقَائِلهمَا مَحْجُوج بِهَذِهِ
الْأَحَادِيث الَّتِي ذَكَرهَا مُسْلِم مَعَ إِجْمَاع مَنْ قَبْله عَلَى تَحْرِيمه
“Kaum muslimin
bersepakat diperbolehkannya cincin emas bagi wanita, dan mereka bersepakat pula
diharamkannya cincin emas bagi laki-laki. Kecuali yang dihikayatkan dari Abu
Bakr bin Muhammad bin ‘Umar bin Muhammad bin Hazm yang memperbolehkannya. Juga
dari sebagian ulama yang menyatakan makruh saja, tidak haram. Dua nukilan ini
batil, dan yang mengatakannya dihujjahi dengan hadits-hadits yang disebutkan
Muslim bersamaan dengan adanya ijmaa’ sebelumnya yang menyatakan keharamannya”
[Syarh Shahiih Muslim, 14/65].
Dulu, sebagian salaf
ada yang membolehkan keluar ketaatan dari penguasa dhalim. Namun setelah itu,
terjadilah ijmaa’ akan larangannya. Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
كان يرى السيف يعني
كان يرى الخروج بالسيف على أئمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن أستقر الأمر على
ترك ذلك لما رأوه قد أفضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة بن الأشعث وغيرهما عظة
لمن تدبر
”Pendapat mereka
menyatakan bolehnya keluar mengangkat pedang/senjata terhadap para pemimpin
yang jahat/dhalim. Maka, ini adalah madzhab (sebagian) orang-orang salaf dahulu
(sebagaian shahabat dan tabi’in). Akan tetapi kemudian menjadi sebuah ketetapan
(ijmaa’) untuk meninggalkannya, karena justru menimbulkan dampak yang lebih
fatal. Apa yang terjadi dalam peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats menjadi
pelajaran yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran”
[Tahdziibut-Tahdziib, 2/288].
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata :
ولهذا استقر أمر أهل
السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه
و سلم وصاروا يذكرون هذا في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك قتالهم
وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم والدين
“Oleh karena itu,
tetaplah perkara Ahlus-Sunnah untuk meninggalkan perang dalam masa fitnah
berdasarkan hadits-hadits shahih dari Nabi ﷺ, hingga kemudian
mereka menyebutkan masalah ini dalam ‘aqidah-‘aqidah mereka; dan mereka
(Ahlus-Sunnah) memerintahkan bersabar atas kedhaliman para imam (pemimpin) dan
tidak memeranginya, meskipun dalam masa fitnah tersebut telah melibatkan banyak
ahli ilmu dan ulama” [Minhajus-Sunnah, 4/529-530].[5]
Dulu, para ulama
berselisih pendapat tentang keimamahan Abu Haniifah An-Nu’maan bin Tsaabit
rahimahumallah. Sebagian ulama ada yang mengkritik beliau dengan keras
sebagaimana terdokumentasi dalam kitab-kitab Al-Jarh wat-Ta’diil. Beliau rahimahullah
tergelincir diantaranya dalam masalah iman, sehingga muncul istilah
Murji’atul-Fuqahaa’ yang dinisbatkan kepada beliau. Abu ‘Abdirrahmaan Al-Muqri’
rahimahullah pernah berkata:
كان والله أبو حنيفة
مرجئاً ودعاني إلى الإرجاء فأبيت عليه
“Demi Allah, Abu
Haniifah adalah seorang Murji’, dan mengajakku kepada pemahaman irjaa’ namun
aku menolaknya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no.
386].
Namun setelah
berlalunya masa, para ulama sepakat akan keimaman beliau rahimahullah sebagai
salah satu ulama Ahlus-Sunnah, satu diantara 4 imam yang dikenal.
Ketergelinciranya tidak kita ikuti dan diberikan udzur sebagai satu ijtihad
yang keliru.
Dan yang permasalahan
lainnya.
Tidak boleh bagi
seorang pun berhujjah dengan khilaf yang disebutkan di atas. Begitu juga
mentoleransi orang-orang yang menyelisihi ijmaa’. Bahkan, wajib untuk
mengingarinya.[6] Apalagi jika penyelisihan itu dikenal menjadi syiar
kelompok/golongan yang menyimpang dari Ahlus-Sunnah, seperti misal nikah mut’ah
yang menjadi syiar kelompok Syi’ah, keluar ketaatan dari penguasa muslim dhalim
yang menjadi syiar kelompok Khawaarij, amalan tidak masuk bagian dari iman yang
menjadi syiar kelompok Murjiah (Fuqahaa), dan memakai cincin emas bagi
laki-laki menjadi syiar orang-orang fasiq; maka pengingkarannya lebih keras dan
harus ditahdzir. Akan selalu ada orang yang mencari-cari ketergelinciran para
ulama dan menebarkan syubuhaat. Adz-Dzahabiy rahimahullah memperingatkan:
ومن تتبع رخص
المذاهب، وزلات المجتهدين، فقد رق دينه
“Barangsiapa yang
mencari-cari keringanan madzhab-madzhab dan ketergelinciran para mujtahid,
sungguh buruk agamanya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 8/90].[7]
Semoga dapat menjawab
serta ada manfaatnya bagi yang menulis dan membaca, wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Somewhere,
12 Dzulqa’dah 1437.
[1]Dalilnya adalah riwayat palsu berikut:
عَنْ زُرَارَةَ
قَالَ قُلْتُ لَهُ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ سَاعَةً
أَوْ سَاعَتَيْنِ فَقَالَ السَّاعَةُ وَ السَّاعَتَانِ لَا يُوقَفُ عَلَى
حَدِّهِمَا وَ لَكِنَّ الْعَرْدَ وَ الْعَرْدَيْنِ وَ الْيَوْمَ وَ الْيَوْمَيْنِ
وَ اللَّيْلَةَ وَ أَشْبَاهَ ذَلِكَ
Dari Zuraarah, ia
berkata : Aku berkata kepadanya (imam, yaitu : Abu ‘Abdillah) : “Apakah boleh
seorang laki-laki melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita selama satu atau
dua jam ?”. Ia menjawab : “Satu atau dua jam itu tidak diketahui batas
(akhirnya). Akan tetapi nikahlah sekali atau dua kali senggama, sehari atau dua
hari, semalam, dan yang seperti itu” [Al-Kaafiy, 5/459].
Silakan baca artikel
: Ada Beda Antara Nikah Mut'ah dengan Zina !!.
[2]Yaitu kelompok
Syi’ah.
[3] Dalilnya
diantaranya adalah perselisihan para shahabat dalam perkara memerangi
orang-orang yang menahan pembayaran zakat. Setelah itu, mereka menyepakati Abu
Bakr dalam perkara tersebut, sehingga tercapailah ijmaa’.
[4]Silakan baca
artikel suplemen : Pembatal Wudlu : Makan Daging Onta.
[5]Silakan baca buku
berjudul : Fatwa Ulama Seputar Penguasa di Era Kontemporer tulisan Abul-Fatih Ristiyan, semoga
Allah membalas kebaikannya dengan jannah.
[6]Bagi yang mampu.
Allah ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ
مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabuun : 16].
Nabi ﷺ
bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di
antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika
ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya,
dan itulah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, Abu Daawud no.
1140, dan yang lainnya].
[7]Muncul retorika
apologi orang-orang belakangan untuk membela kebatilan dilakukan seperti
perkataan “apakah kalian juga akan menuduh sebagian salaf yang membolehkan
nikah mut’ah sebagai Raafidlah ?, apakah kalian juga akan menuduh sebagian
salaf yang melakukan pemberontakan sebagai Khawaarij ?, apakah kalian juga akan
menuduh Abu Haniifah sebagai gembong Murji’ah yang mengatakan amalan tidak
masuk bagian dari iman ? apakah kalian juga akan mengecap Abu Bakr bin Muhammad
bin Hazm sebagai orang fasiq karena membolehkan memakai cincin emas ?.
COMMENTS
zjm
mengatakan...
jadi
kesimpulanya gimana tadz? bolehkan menerjang ijma atau kita hrs taklid kpd
ijma'.. terkait contoh diatas..
16
Agustus 2016 06.29
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tidak
boleh
16
Agustus 2016 06.42
roni
ekaputra mengatakan...
Assalamu
alaikum ustad
16
Agustus 2016 07.37