by Sofyan Chalid bin Idham Ruray @sofyanruray
August 19, 2016
Segala puji hanya bagi Allah
ta’ala, dengan pertolongan-Nya, kemudian perjuangan, ilmu dan hikmah para da’i
dan ikhwan sunnah dengan berbagai sarana dakwah, maka kajian-kajian sunnah pun
semakin marak dan tersebar, di masjid-masjid, kantor-kantor, dari desa hingga
perkotaan.
Bersamaan dengan itu pula,
kajian-kajian yang tidak berlandaskan sunnah dengan sendirinya berangsur
meredup, melemah, tersingkir bahkan tak sedikit yang akhirnya ‘punah’,
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ
الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: Telah datang
yang benar dan telah lenyap yang batil, sungguh yang batil itu pasti lenyap.”
[Al-Isra’: 81]
Asy-Syaikh Al-Mufassir
As-Sa’di rahimahullah berkata,
أي: هذا وصف الباطل، ولكنه قد يكون له صولة
وروجان إذا لم يقابله الحق فعند مجيء الحق يضمحل الباطل، فلا يبقى له حراك. ولهذا
لا يروج الباطل إلا في الأزمان والأمكنة الخالية من العلم بآيات الله وبيناته.
“Maknanya: Yang pasti lenyap
adalah sifat kebatilan, namun terkadang kebatilan itu memiliki kekuatan dan
tersebar jika tidak ada kebenaran yang menghadangnya, maka tatkala kebenaran
itu datang, kebatilan pun melemah, sampai tidak tersisa gerakannya. Oleh karena
itu tidaklah tersebar kebatilan kecuali di masa-masa dan tempat-tempat yang
kosong dari ilmu tentang ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla dan
penjelasan-penjelasannya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 464]
LATAR BELAKANG PENAMAAN
“USTADZ SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”
Penamaan “Ustadz Sunnah” dan
“Kajian Sunnah” tidaklah datang dengan sendirinya, tapi karena adanya faktor
yang sangat kuat, yaitu tidak lain adalah karena kajian-kajian yang dibahas
oleh para da’i tersebut selalu merujuk kepada sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, dan menjauhi setiap ajaran baru (bid’ah) yang tidak berdasar petunjuk
beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
Semua kajian berdasarkan
pemahaman sunnah, apakah itu kajian tafsir, hadits, tauhid, fiqh, adab dan
lain-lain selalu merujuk kepada sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
karena sunnah yang dimaksudkan di sini adalah semua ajaran yang berasal dari Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
sesuai Pemahaman Salaf.
Atau dengan kata lain “Ustadz
Sunnah” dan “Kajian Sunnah” yang dimaksudkan di sini adalah ustadz atau kajian
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seorang ustadz atau kajian yang selalu merujuk kepada
manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, nama lainnya adalah Salafiyyah, sebuah metode
beragama yang selalu merujuk kepada generasi Salaf, generasi Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum.
Disebutkan dalam fatwa Lajnah
Daimah,
من كانوا على مثل ما كان عليه محمد بن عبد الله
عليه الصلاة والسلام وأصحابه رضوان الله عليهم أجمعين، فهؤلاء هم أهل السنة
والجماعة
“Orang-orang yang mengikuti
ajaran Muhammad bin Abdullah ‘alaihissholaatu was salaam dan para sahabat
beliau ridhwaanullaahi ‘alaihim ‘ajma’in, mereka itulah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.” [Fatawa Al-Lajnah ad-Daimah, 2/230]
Disebutkan juga dalam fatwa
Lajnah Daimah,
والسلفيون: جمع سلفي نسبة إلى السلف، وقد تقدم
معناه، وهم الذين ساروا على منهاج السلف من اتباع الكتاب والسنة والدعوة إليهما
والعمل بهما، فكانوا بذلك أهل السنة والجماعة
“Salafiyun adalah kata jamak
‘salafiy’ yang merupakan penisbatan kepada generasi salaf yang telah berlalu
penjelasan maknanya (yaitu generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan
sahabat radhiyallahu’anhum), maka salafiyun adalah orang-orang yang berjalan di
atas manhaj (metode beragama) kaum salaf, yaitu mengikuti Al-Qur’an dan
As-Sunnah serta mendakwahkannya dan mengamalkannya, sehingga dengan itu merekalah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/243]
Maka sunnah yang dimaksudkan
di sini adalah yang berlawanan dengan bid’ah, bukan yang berlawanan dengan
makruh, bukan pula nama lain dari hadits, tetapi semua petunjuk yang datang
dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam apakah tertera dalam Al-Qur’an
maupun Al-Hadits yang sesuai dengan Pemahaman Salaf, itulah yang dimaksud
sunnah.
Jadi salah kaprah apabila
“Ustadz Sunnah” yang dimaksudkan di sini disamakan dengan ahli hadits yang kurang
paham fiqh, dan selain “Ustadz Sunnah” adalah ahli fiqh walau kurang menghapal
dalil.
Bahkan kenyataannya di
kalangan para da’i sunnah terdapat para ustadz yang juga pakar fiqh, ushul fiqh
dan ekonomi syari’ah.
Demikian pula kajian-kajian
sunnah bukan hanya membahas hadits, dan pada umumnya kajian-kajian tersebut
langsung menggunakan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam
berbagai bidang:
1. Dalam pembahasan tafsir
misalkan menggunakan kitab Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di dan lain-lain.
2. Dalam pembahasan hadits
menggunakan Kutubus Sittah, Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Riyadhus Shaalihin,
Bulughul Marom, ‘Umdatul Ahkam dan lain-lain.
3. Dalam pembahasan aqidah
menggunakan kitab Syarhus Sunnah karya Imam Ahmad, Syarhus Sunnah karya Imam
Muzani Asy-Syafi’i, Syarhus Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahari, Aqidah
Thahawiyyah, Aqidah Washitiyyah dan lain-lain.
4. Dalam pembahasan tauhid
menggunakan Kitab Tauhid, Tsalatsatul Ushul, Al-Qowa’idul Arba’, Nawaqidhul
Islam dan lain-lain.
5. Dalam pembahasan fiqh
menggunakan kitab Zaadul Mustaqni’ (Manhaj Hanbali), Minhajus Saalikin (Mazhab
Hanbali), Minhajut Thalibin (Mazhab Syafi’i), Al-Ghayah wat Taqrib (Mazhab
Syafi’i), Al-Fiqhul Muyassar dan lain-lain.
Inilah diantara kitab-kitab
yang kami saksikan diajarkan oleh para da’i sunnah untuk masyarakat umum, yaitu
kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipenuhi dengan seruan-seruan
untuk kembali kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.
Lain halnya dengan umumnya
para da’i partai atau ormas, atau selain da’i sunnah, pada umumnya hanya
bermain retorika, seringnya hanya memberi motivasi, tapi tidak mengajarkan
bagaimana seharusnya aqidah yang benar dan amalan-amalan yang sesuai petunjuk
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih,
tidak pula atau sangat jarang membahas ayat-ayat dan hadits-hadits terkait fiqh
maupun kitab-kitab fiqh, bagaimana bisa dikatakan ahli fiqh…?! Apatah lagi
hendak disamakan dengan ulama ahli fiqh…?!
PENTINGNYA PENAMAAN “USTADZ
SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”
Sebagaimana penamaan
Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu diperlukan untuk membedakan antara
Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, demikian pula penamaan “Ustadz Sunnah” dan
“Kajian Sunnah” diperlukan untuk membedakan mana yang mengajak kepada sunnah
dan mana yang mengajak kepada bid’ah, apakah bid’ah dalam aqidah seperti bid’ah
khawarij, asy’ariyyah, shufiyyah maupun bid’ah dalam amalan-amalan.
Disebutkan dalam fatwa Lajnah
Daimah,
فالسلفية: لقب صالح تعني أنهم على طريق السلف
الصالح من الصحابة فمن بعدهم– رضي الله عن الجميع– فهو لقب يتميزون به عن أهل
البدعة ممن غير وبدل وحرف
“Salafiyyah adalah predikat
yang baik, maknanya adalah mereka mengikuti jalan generasi As-Salafus Shalih,
yaitu generasi sahabat dan pengikut mereka setelahnya –semoga Allah meridhoi
mereka semuanya-. Maka salafiyyah adalah predikat yang membedakan mereka dengan
ahlul bid’ah, yaitu orang-orang yang telah merubah, mengganti dan menyimpangkan
agama.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/407]
Dalam fatwa para ulama besar
Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini kita dapat memetik pelajaran akan pentingnya
penamaan untuk tujuan membedakan antara kelompok yang mengikuti sunnah dan
kelompok yang berbuat bid’ah dalam agama, dan agar kaum muslimin dengan mudah
mengenali yang mana Ahlus Sunnah dan yang mana Ahlul Bid’ah.
Mengapa Perlu Dibedakan?
Karena kaum muslimin
diperintah untuk menuntut ilmu dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meninggalkan
golongan-golongan yang menyimpang.
Al-Imam Muhammad bin Sirin
rahimahullah berkata,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا
عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah
agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” [Riwayat
Muslim]
Al-Imam Muhammad bin Sirin
rahimahullah juga berkata,
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ،
فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ
إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ
الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Para ulama dahulu tidak
pernah bertanya tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah (kesesatan), maka
para ulama berkata: “Sebutkan kepada kami para perawi kalian”. Kemudian dilihat
apakah berasal dari Ahlus Sunnah maka hadits mereka diterima, ataukah berasal
dari Ahlul Bid’ah maka hadits mereka ditolak.” [Riwayat Muslim]
LARANGAN MENGHADIRI MAJELIS
YANG MENYELISIHI MANHAJ SUNNAH
Allah tabaraka wa ta’ala
berfirman,
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي
آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا
يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ
الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat
orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka
sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan
kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang
yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’am: 68]
Al-Imam Asy-Syaukani
rahimahullah berkata,
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ مَوْعِظَةٌ عَظِيمَةٌ
لِمَنْ يَتَسَمَّحُ بِمُجَالَسَةِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّذِينَ يُحَرِّفُونَ كَلَامَ
اللَّهِ وَيَتَلَاعَبُونَ بِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، وَيَرُدُّونَ ذَلِكَ
إِلَى أَهْوَائِهِمُ الْمُضِلَّةِ وَبِدَعِهِمُ الْفَاسِدَةِ، فَإِنَّهُ إِذَا
لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ وَيُغَيِّرْ مَا هُمْ فِيهِ فَأَقَلُّ الْأَحْوَالِ أَنْ
يَتْرُكَ مُجَالَسَتَهُمْ، وَذَلِكَ يَسِيرٌ عَلَيْهِ غَيْرُ عَسِيرٍ
“Dalam ayat yang mulia ini
terdapat nasihat yang agung terhadap orang yang mentolerir untuk bermajelis
bersama ahlul bid’ah yang menyelewengkan ucapan Allah, mempermainkan kitab-Nya
dan sunnah Rasul-Nya, dan mengembalikan penafsirannya kepada hawa nafsu mereka
yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak, karena yang seharusnya ia
lakukan adalah, apabila ia tidak mengingkari mereka dan berusaha merubah
kemungkaran mereka, maka paling tidak ia meninggalkan majelis mereka, dan itu
mudah baginya tidak sulit.” [Fathul Qodir, 2/146]
Al-Imam Asy-Syaukani
rahimahullah juga berkata,
وَقَدْ يَجْعَلُونَ حُضُورَهُ مَعَهُمْ مَعَ
تَنَزُّهِهِ عَمَّا يَتَلَبَّسُونَ بِهِ شُبْهَةً يُشَبِّهُونَ بِهَا عَلَى
الْعَامَّةِ، فَيَكُونُ فِي حُضُورِهِ مَفْسَدَةٌ زَائِدَةٌ عَلَى مُجَرَّدِ
سَمَاعِ الْمُنْكَرِ
“Dan bisa jadi mereka (ahlul
bid’ah) memanfaatkan kehadirannya bersama mereka sebagai syubhat untuk menipu
orang-orang awam, walau sebenarnya ia bersih dari bid’ah mereka, maka dalam
kehadirannya terdapat kerusakan tambahan yang lebih dari sekedar mendengarkan
kemungkaran.” [Fathul Qodir, 2/146]
PRAKTEK PARA ULAMA DALAM
PENAMAAN “ULAMA SUNNAH” DAN “ULAMA BID’AH”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata,
وَأَمَّا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ ”
فَهُوَ أَحَدُ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَهُوَ إمَامُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي
مَعْرِفَةِ صِحَّتِهِ وَعِلَلِهِ وَرِجَالِهِ وَضَبْطِهِ حَتَّى قَالَ أَحْمَد:
مَا رَأَيْت بِعَيْنِي مِثْلَهُ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْفَنِّ وَعَنْهُ أَخَذَ
ذَلِكَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ وَعَنْ عَلِيٍّ أَخَذَ ذَلِكَ الْبُخَارِيُّ
صَاحِبُ الصَّحِيحِ وَقَدْ ذَكَرَ التِّرْمِذِيُّ أَنَّهُ لَمْ يَرَ فِي
مَعْرِفَةِ عِلَلِ الْحَدِيثِ مِثْلَ مُحَمَّدِ بْنِ إسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيِّ
“Adapun Yahya bi Sa’id
Al-Qoththon maka beliau adalah salah satu ULAMA SUNNAH dan imam ahli hadits
dalam mengenal keshahihan hadits, ‘ilal-nya, rijal-nya dan dhobth-nya,
sampai-sampai berkata Imam Ahmad: Saya tidak pernah melihat dengan kedua mataku
orang yang seperti beliau dalam bidang tersebut. Dari beliaulah Ali bin Madini
meriwayatkan, dan dari Ali kemudian Al-Bukhari sang penulis kitab Ash-Shahih
meriwayatkan, padahal At-Tirmidzi berkata bahwa ia tidak pernah melihat dalam
mengenal ‘ilal hadits yang seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.” [Majmu’
Al-Fatawa, 12/327]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah juga berkata,
ثُمَّ ظَهَرَ جَهْمُ مِنْ نَاحِيَةِ الْمَشْرِقِ
مِنْ تِرْمِذَ، وَمِنْهَا ظَهَرَ رَأْيُ جَهْمٍ، وَلِهَذَا كَانَ عُلَمَاءُ
السُّنَّةِ بِالْمَشْرِقِ أَكْثَرَ كَلَامًا فِي رَدِّ مَذْهَبِهِمْ مِنْ أَهْلِ
الْحِجَازِ وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ، مِثْلُ إبْرَاهِيمَ بْنِ طهمان، وَخَارِجَةُ
بْنُ مُصْعَبٍ، وَمِثْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، وَأَمْثَالُهُمْ، وَقَدْ
تَكَلَّمَ فِي ذَمِّهِمْ مَالِكُ وَابْنُ الماجشون وَغَيْرُهُمَا، وَكَذَلِكَ
الأوزاعي، وَحَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ وَغَيْرُهُمْ، وَإِنَّمَا اشْتَهَرَتْ
مَقَالَتُهُمْ مِنْ حِينِ مِحْنَةِ الْإِمَامِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ، مِنْ عُلَمَاءِ
السُّنَّةِ
“Kemudian muncul Jahm bin
Shofwan dari ujung Timur dari wilayah Tirmidz, dari sanalah muncul pemikiran
Jahm, oleh karena itu ULAMA SUNNAH di Timur lebih banyak pembicaraan mereka
dalam membantah mazhab Jahmiyyah, dibandingkan ulama di Hijaz, Syam dan Irak.
Ulama Sunnah di Timur seperti Ibrahim bin Thohman, Kharijah bin Mush’ab,
Abdullah bin Mubarak dan yang semisal dengan mereka. Dan juga dalam membantah
Jahmiyah telah berbicara Imam Malik, Ibnul Majisyun dan selain mereka berdua.
Demikian pula Auza’i, Hammad bin Zaid dan selain mereka. Hanyalah menjadi
terkenal pendapat mereka setelah cobaan yang menimpa Imam Ahmad dan selain
beliau dari kalangan ULAMA SUNNAH.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/229]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah juga berkata,
وَأَنْكَرَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَصْحَابِ أَحْمَد
وَغَيْرِهِمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ مَنْ قَالَ: إنَّ أَصْوَاتَ الْعِبَادِ
وَأَفْعَالَهُمْ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ
“Para ulama dari kalangan
murid-murid Imam Ahmad maupun selain mereka dari kalangan ULAMA SUNNAH telah
mengingkari orang yang berpendapat bahwa suara dan gerakan hamba bukan
makhluk.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/407]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah juga berkata tatkala membantah pendapat yang menyamakan anatara
ucapan Allah dan ucapan makhluk,
وَهِيَ بِدْعَةٌ شَنِيعَةٌ لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ
قَطُّ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ: لَا عُلَمَاءُ السُّنَّةِ وَلَا عُلَمَاءُ
الْبِدْعَةِ وَلَا يَقُولُهَا عَاقِلٌ يَفْهَمُ مَا يَقُولُ
“Ucapan tersebut adalah
bid’ah yang sangat jelek, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang pernah
mengatakan itu, tidak ULAMA SUNNAH dan tidak pula ULAMA BID’AH, bahkan tidak
pula dikatakan oleh orang yang berakal, yang masih memahami ucapannya sendiri.”
[Majmu’ Al-Fatawa, 12/324]
SEKILAS FAKTA DI LAPANGAN
Salah satu fakta yang kami
saksikan di salah satu masjid di Ibu Kota, sebuah masjid yang marak dengan
majelis ilmu dan dihadiri dengan antusias oleh jama’ah di sekitarnya dan
jama’ah yang dating dari luar.
Pada awalnya yang mengisi
ceramah di masjid tersebut berasal dari berbagai kalangan, hingga diundanglah
sebagian da’i sunnah untuk mengisi, ada yang mengisi materi tafsir, hadits,
tauhid, fiqh, ekonomi syari’ah, adab-adab dan lain-lain.
Sebagaimana ciri khas umumnya
da’i sunnah, penyampaian ilmu yang penuh semangat, berusaha datang tepat waktu,
lembut dan hikmah namun tegas, yang benar dikatakan benar dan yang salah
dikatakan salah, dan yang terpenting adalah selalu berpedoman pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf. Setiap pendapat selalu disertai dalil dan
mengingatkan untuk tidak mengikuti yang tidak berdasarkan dalil. Selalu menyeru
kepada tauhid dan memberantas kesyirikan, mengajak kepada sunnah dan
meninggalkan bid’ah.
Sementara di sisi lain,
terdapat para da’i dan penceramah yang berbicara hanya berdasarkan logika,
akal-akalan, mengajak untuk taklid saja, menjawab pertanyaan tidak tegas,
menyisakan kebimbangan, sangat jarang mengutip dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah,
tidak merujuk kepada Pemahaman Salaf, tidak jarang berbicara politik di depan
orang-orang awam sambil menyindir bahkan menjelek-jelekan Pemerintah, ditambah
lagi jika sang da’i dikenal aktif di sebuah partai atau ormas, maka tidak
jarang mereka cenderung menggiring manusia kepada partai dan ormas mereka.
Apa yang Terjadi?
Selang beberapa waktu,
masyarakat sendiri yang akhirnya bisa menilai, mana para da’i yang menyampaikan
dengan berdasarkan ilmu dan mana yang sangat sedikit muatan ilmiahnya, bahkan
cenderung menyelisihi sunnah. Masyarakat sendiri yang kemudian memberi nama
“Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”.
Pada akhirnya yang menghadiri
kajian sunnah makin marak, dan yang menghadiri kajian yang tidak berlandaskan
sunnah makin berkurang, melemah dan satu persatu tersingkir dengan sendirinya,
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا
مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ
الْأَمْثَالَ
“Adapun buih, akan hilang
sebagai suatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan
tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” [Ar-Ra’ad: 17]
Asy-Syaikh Al-Mufassir
As-Sa’di rahimahullah berkata,
كذلك الشبهات والشهوات لا يزال القلب يكرهها،
ويجاهدها بالبراهين الصادقة، والإرادات الجازمة، حتى تذهب وتضمحل ويبقى القلب
خالصا صافيا ليس فيه إلا ما ينفع الناس من العلم بالحق وإيثاره، والرغبة فيه،
فالباطل يذهب ويمحقه الحق {إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا} وقال هنا: {كَذَلِكَ
يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ} ليتضح الحق من الباطل والهدى والضلال.
“Demikianlah syubhat
(pendapat yang seakan benar namun hakikatnya batil karena tidak berdasarkan
dalil) dan syahwat, maka hati sebenarnya membencinya, menundukkannya dengan
dalil-dalil yang benar dan keinginanan yang kuat untuk mengikuti kebenaran,
hingga akhirnya kebatilan itu pergi dan melemah, maka hati tetap dalam keadaan
murni dan bersih, tidak ada padanya kecuali apa yang bermanfaat bagi manusia,
yaitu ilmu tentang kebenaran, lebih mengutamakannya dan cinta kepadanya. Maka
kebatilan pun pergi, dan kebenaran melenyapkannya, sebagaimana firman Allah:
“Sungguh yang batil itu pasti lenyap” (Al-Isra’: 81). Dan di sini Allah berfirman:
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan” (Ar-Ra’ad: 17), agar menjadi jelas
antara kebenaran dan kebatilan, hidayah dan kesesatan.” [Tafsir As-Sa’di, hal.
415]
Alhamdulillaah ini fakta umum
yang kami saksikan di Ibu Kota, meski pun tidak dinafikan ada sebagian da’i
sunnah yang kurang hikmah, atau murid-muridnya yang terlalu bersemangat namun
kurang ilmu, sehingga mengakibatkan penolakan yang keras dari sebagian
masyarakat. Semoga Allah ta’ala memperbaiki dan memberikan kemudahan.
Da'i Sunnah
Istilah dai sunnah, pengajian
sunnah, dan radio sunnah dewasa ini memang lagi ‘ngetrend’. Istilah ini dipakai
untuk entitas yang mengajak kepada sunnah, menisbatkan diri kepada sunnah,
cinta kepada sunnah. ‘Ngetrend’ karena ajakan kembali kepada sunnah dan
meninggalkan kebid’ahan memang mendapatkan sambutan dan antusiasme yang cukup
besar dari masyarakat. Seperti lazimnya dalam ilmu statistik, ada saja data
pencilan (outlier) - yang dalam hal ini diwakili himpunan orang-orang yang
tidak senang dan tidak tenang terhadap dakwah sunnah dan orang-orangnya. Mereka
melakukan berbagai usaha untuk menghentikan atau minimal menghambat
perkembangan dakwah sunnah. Yang paling mutakhir adalah ulah sebagian orang
yang mengembangbiakkan alergen terhadap istilah dai sunnah, pengajian sunnah,
dan radio sunnah sebagaimana disinggung di awal.
Sebenarnya istilah ini tidak
ada masalah, bahkan bagus sebagai identitas penisbatan kepada sunnah.
Contohnya istilah ‘dai
sunnah’. Para ulama sudah banyak menggunakannya dari jaman dahulu untuk memuji
orang-orang yang berkomitmen terhadap sunnah, seperti misal Adz-Dzahabiy
rahimahullah ketika berkata tentang beberapa ulama Ahlus-Sunnah:
كان ابن خزيمة رأساً في الفقه، من دعاة السنة، وغلاة
المثبتة، له جلالة عظيمة بخراسان....
“Ibnu Khuzaimah adalah
pemimpin dalam bidang fiqh, termasuk du’aat sunnah, dan orang yang berlebihan
dalam penetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Ia memiliki kedudukan yang agung di negeri
Khurasaan….” [Al-‘Ulluw, hal. 152].
وكان من دعاة السنة، وأعداء البدعة، توفي في سنة
إحدى وسبعين وأربعمائة.
“Ia (Sa’d bin ‘Aliy
Az-Zanjaaniy) termasuk du’aat sunnah dan musuh bid’ah. Wafat pada tahun 471 H”
[idem, hal. 189].
Yang semisal dengan istilah
‘dai sunnah’ adalah ‘ulama sunnah’.
Al-Baghawiy rahimahullah (w.
516 H) pernah berkata:
اتَّفَقَتِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ، فَمَنْ
بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الأَعْمَالَ مِنَ الإِيمَانِ،
لِقَوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ
وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ، إِلَى قَوْلِهِ: وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
“Para shahabat, taabi’iin,
dan orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama sunnah telah bersepakat
bahwa amal termasuk bagian dari iman berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka ….’ hingga firman-Nya : ‘…..dan yang menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal : 2-3)”
[Syarhus-Sunnah, 1/38].
Abul-Qaasim Ismaa’iil
Al-Ashbahaaniy rahimahullah (w. 535 H) yang berkata:
فصل قال أحد علماء السنة: حرام عَلَى العقول أن
تمثل الله، حرام عَلَى الخلق أن يكيفوه
“Pasal : Telah berkata
seorang dari kalangan ulama sunnah :
Diharamkan bagi akal membuat perumpamaan (tamtsiil) untuk Allah, dan diharamkan
bagi makhluk untuk menanyakan kaifiyyah Allah” [Al-Hujjah fii
Bayaanil-Mahajjah, 2/468].
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w.
748 H) pernah berkata tentang Abu Haatim Ar-Raaziy Al-Bazzaaz rahimahullah:
أحمد بن الحسين بن محمد المحدِّث الأمام أبو حاتم
بن خاموش الرّازي البزّاز.من علماء السُّنَّة.
“Ahmad bin Al-Husain bin
Muhammad, Al-Muhaddits, Al-Imaam, Abu Haatim bin Khaamuusy Ar-Raaziy Al-Bazzaaz, termasuk ulama sunnah”
[Taariikh Al-Islaam, 7/76].
Dan yang lainnya masih
banyak.
Dai sunnah adalah dai yang
mengajak kepada sunnah dan mengisi pengajiannya dengan materi sunnah. Dai yang
cinta kepada sunnah dan mengajak orang untuk mencintai sunnah. Dai sunnah tentu
bukan dai yang doyan bid’ah dan mendakwahkan bid’ah, karena sunnah dan bid’ah
adalah dua hal yang berlawanan. Nabi ﷺ
bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Barangsiapa diantara kalian
yang hidup setelahku, niscaya ia melihat perselisihan yang banyak. Maka,
berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang
mendapat petunjuk. Berpegang-teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan
gigi geraham. Dan waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru (dalam urusan
agama), karena setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah kesesatan”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih. Takhrij lebih lengkap bisa
dibaca di sini].
Dai sunnah bukan pula
pendongeng dan tukang cerita, shaahibu ‘ndabul’ dan ‘nggedebus’. Ibnu Abi
‘Aashim rahimahullah (w. 287 H) berkata:
لذا؛ كره السلف القصص ومجالس القصاص، فحذروا منها
أيما تحذير، وحاربوا أصحابها بشتى الوسائل
“Oleh karena itu, salaf telah
membenci cerita-cerita dan majelis cerita-cerita. Mereka memperingatkan untuk
berhati-hati darinya dengan segala macam peringatan, serta memerangi pelakunya
dengan berbagai sarana yang memungkinkan” [Al-Mudzakkir wat-Tadzkiir oleh Ibnu
Abi ‘Aashim, hal. 26].
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal
rahimahumallah berkata:
أكذب الناس القُصَّاص والسؤَّال ..، قيل له :
أكنت تحضر مجالسهم ؟، قال : لا
“Sedusta-dusta manusia adalah
para pencerita/pendongeng dan orang yang banyak bertanya (pada sesuatu hal yang
tidak bermanfaat)”. Kemudian dikatakan
kepada beliau : “Apakah engkau menghadiri majelis mereka?”. Beliau menjawab :
“Tidak” [Al-Hawaadits wal-Bida’ oleh Ath-Thurthuusyiy, hal. 112].
Apalagi dai yang main film ……
laa haula wa laa quwwata illaa billaah…..
Seandainya ada yang salah
pada perilaku dai sunnah dan simpatisannya, maka bukan menjadi alasan untuk
mempermasalahkan istilah ‘dai sunnah’. Sebagaimana tingkah arogan sebagian kaum
yang katanya memiliki otoritas istilah ‘Aswaja’ ( = Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah);
maka itu bukan pula menjadi alasan mencari-cari dalih untuk mengeliminasi
istilah Aswaja (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) dari lisan. Yang dikritik adalah
perilakunya, kesesuaiannya terhadap klaim yang diserukan.
Seandainya gugatan terhadap
istilah ‘dai sunnah’ hanya sekedar kecemburuan sosial karena tidak terkenal
sebagai ‘dai sunnah’, tentu itu masalah lain. Yang bersangkutan bisa ambil
inisiatif request kepada para penggemarnya agar disebut dai sunnah. Tapi, ini
bukan perkara yang patut saya kira. Hanya perlu diingat, sebutan orang hanyalah
sekedar sebutan, baik pujian maupun celaan. Allah ta’ala hanya melihat
ketaqwaan serta bagusnya niat dan amal-amal kita.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kalian” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Nabi ﷺ
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ،
وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ، وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah
melihat pada rupa-rupa dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada
hati-hati kalian dan amal-amal kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
Somewhere, 17
Dzulqa’dah 1437
Sebagian Kaedah Dalam Berdakwah
Ada beberapa kaedah dan landasan
yang perlu diperhatikan bagi orang yang berdakwah di jalan Allah ta’ala:
1.Orang yang berdakwah tidak dituntut untuk
merealisasikan hasil akhir berupa kemenangan agama Islam atau penerimaan dari
objek yang didakwahi, karena karena hal
ini adalah urusan dan kehendak Allah ta’ala. Rasulullah ﷺ dulu dengan segala kemampuannya menginginkan pamannya Abu
Thaalib untuk menerima Islam, namun ternyata Allah ta’ala berkehendak lain.
عَنْ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: " لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ
جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَوَجَدَ
عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ،
فَقَالَ: " أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ
لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ "، فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ
أَبِي أُمَيَّةَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَلَمْ يَزَلْ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى، قَالَ أَبُو
طَالِبٍ: آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ،
يَقُولَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا
لَمْ أُنْهَ عَنْكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ
آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي
طَالِبٍ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: إِنَّكَ
لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Dari Al-Musayyib, ia
berkata : Ketika Abu Thaalib hampir mati, Rasulullah ﷺ
mengunjunginya dan beliau mendapati Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin
Al-Mughiirah ada di sisi Abu Thaalib. Rasulullah ﷺ
sallam bersabda (kepada Abu Thaalib): “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha
illallaah; satu kalimat yang aku dapat berhujjah membelamu kelak di hadapan
Allah”. Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata : “Wahai Abu Thaalib,
apakah engkau membenci agama ‘Abdul-Muthallib ?”. Rasulullah ﷺ
tidak henti-hentinya mengulangi kalimat tersebut agar Abu Thaalib
mengucapkannya, namun keduanya (Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Umayyah) juga
mengulang apa yang telah mereka katakan sebelumnya. Hingga akhir perkataan Abu
Thaalib saat kematiannya adalah di atas agama ‘Abdul-Muthallib dan enggan untuk
mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Rasulullah ﷺ
bersabda : “Demi Allah, sungguh aku akan memintakan ampun kepadamu selama tidak
dilarang”. Maka Allah menurunkan ayat : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,
walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam” (QS.
At-Taubah : 113). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thaalib. Dan Allah
berfirman kepada Rasulullah ﷺ : “Sesungguhnya
kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah
(lah) memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Qashshash :
56)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4675 & 4772, Muslim no. 24, Ahmad
5/433, dan yang lainnya].
Yang dituntut bagi
seorang pendakwah berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk berdakwah.
2.Dakwah tidak diukur oleh banyak-sedikitnya
pengikut dan jama’ah, akan tetapi dakwah diukur dengan kebenaran.
Dakwah bukan sekedar
bertujuan untuk mengumpulkan manusia, akan tetapi menyampaikan kebenaran yang
telah Allah perintahkan. Bukan menjadi sesuatu yang diharuskan dalam dakwah agar
semua orang menyambut dakwahnya.
Dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa ada Nabi yang mempunyai sedikit pengikut, atau bahkan tidak
mempunyai pengikut sama sekali.
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَا صُدِّقَ نَبِيٌّ مَا صُدِّقْتُ، إِنَّ
مِنَ الأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلا رَجُلٌ وَاحِدٌ "
Dari Anas bin Maalik,
ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Tidak ada
seorangpun Nabi yang dibenarkan seperti aku dibenarkan (oleh umatnya).
Sesungguhnya ada di kalangan para nabi yang tidak dibenarkan oleh umatnya
kecuali hanya satu orang saja” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 14/136].
Begitu juga hadits:
عُرِضَتْ عَلَيَّ
الْأُمَمُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّونَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ،
وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Umat-umat pernah
ditampakkan kepadaku. Lalu nampaklah seorang nabi dan dua orang nabi lain lewat
bersama dengan beberapa orang saja (= tidak sampai 10 orang), dan seorang nabi
lagi yang tidak bersama seorang pun (pengikut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 5705].
Sebagian ulama salaf
berkata:
عَلَيْكَ بِطَرِيْقِ
اْلحَقِّ وَلاَ تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ السَّالِكِينَ. وَ إِيَّاكَ وَطَرِيقَ
اْلبَاطِلِ وَلاَ تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ اْلهَالِكِينَ
“Wajib bagi engkau
untuk mengikuti jalan kebenaran dan jangan merasa kesepian dengan sedikitnya
orang yang menempuhnya. Waspadailah jalan kebathilan, dan jangan terpedaya
dengan banyaknya orang yang binasa (yang menempuh jalan itu)”
[Madaarijus-Saalikiin, 1/22].
Sufyaan bin ‘Uyainah
rahimahullah berkata:
الْزَمِ الْحَقَّ،
وَلا تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ أَهْلِهِ
“Berpegang teguhlah
kepada kebenaran, dan jangan engkau terpedaya karena sedikitnya orang yang
berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd no. 247].
3.Pahala yang akan diperoleh dari usahanya
untuk berdakwah, tidak terkait dengan respon (objek dakwah), apakah ia menerima
ataukah menolak dakwah yang disampaikan.
Pahala yang didapat
tergantung pada niat, usaha, dan cara (yang mengikuti sunnah).
Para Nabi dan Rasul
berdakwah sama sekali tidak mengharapkan upah, namun hanya mengharapkan
keridlaan dan pahala dari Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
وَمَآ أَسْئَلُكُمْ
عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan aku sekali-kali
tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah
dari Rabb semesta alam” [QS. Asy Syu’araa’ (26) : 109, 127, 145, 164, 180].
قُل لآ أَسْئَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Aku
tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu
tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat” [QS. Al-An’aam (6) : 90].
Adapun apabila ada
orang yang menyambut dakwahnya dan melakukan kebenaran/kebaikan dari apa yang
diserukan, maka baginya tambahan pahala yang berlipat sebagai satu karunia
dari-Nya ta’ala.
Nabi ﷺ
bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى
خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang
menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang
mengerjakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1677].
مَنْ دَعَا إِلَى
هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ
ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ
مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ
شَيْئًا
“Barangsiapa mengajak
kepada petunjuk, baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mengajak kepada
kesesatan, baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi
dosa mereka sedikitpun” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2674].
فَوَاللَّهِ لَأَنْ
يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ
النَّعَمِ
“Maka demi Allah,
sungguh seandainya Allah melalui perantaraan dirimu memberikan petunjuk kepada
seseorang, maka itu baik bagimu daripada onta merah (= harta dunia yang paling
baik)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3009].
4.Berupaya mewujudkan persatuan kaum
muslimin di atas kebenaran dan kalimat tauhid, karena kalimat tauhid (Laa ilaha
illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan barisan (كلمة التوحيد أساس توحيد الكلمة).
Allah ta’ala
berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ
الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا
نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا
بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا
بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah:
"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" [QS. Aali ‘Imraan
(3) : 64].
5.Dakwah dimulai dari yang paling penting,
kemudian yang penting, dan seterusnya.
Hal ini seperti
pengajaran Rasulullah ﷺ kepada Mu’’adz
bin Jabal radliyallaahu ‘anhu saat diutus ke negeri Yaman:
إِنَّكَ تَأْتِي
قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ،
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ
يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ
افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فِي
فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ،
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ
حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau
akan mendatangi Ahli Kitaab. Maka serulah (untuk yang pertama kali) kepada
persaksian (syahadat) bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali
Allah dan aku adalah Rasullullah. Seandainya mereka mentaatimu dalam perkara
tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada
mereka shalat lima kali dalam sehari semalam. Apabila mereka telah mentaatimu
dalam perkara tersebut, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat
yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang
faqirnya. Jika mereka mentaatimu dalam perkara tersebut, maka jauhkanlah dirimu
dari harta pilihan mereka dan takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya,
karena sesungguhnya tidak ada hijab antara dia dengan Allah” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 19].
Hadits ini juga
memberikan faedah kepada kita bahwa metode dakwah Rasulullah ﷺ
dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus.
6.Dakwah mengajak loyal kepada agama
(syari’at Islam), bukan untuk para tokoh, karena kebenaran akan kekal sedangkan
tokoh akan wafat.
‘Aliy bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اْلحَقَّ لاَ
يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya
kebenaran itu tidak dikenal melalui orang-orangnya. Tetapi kenalilah kebenaran,
niscaya engkau akan tahu siapa orang-orang yang berada di atas kebenaran”
[Talbiis Ibliis oleh Ibnul-Jauziy].
Dakwah hanyalah untuk
mengajak orang lain kepada agama/jalan Allah sebagaimana firman Allah ta’ala:
قُلْ هَذِهِ
سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik" [QS. Yuusuf (12) : 108].
وَمَنْ أَحْسَنُ
قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih
baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal
yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri” [QS. Fushshilat (41) : 33].
7.Mengikuti metode hikmah dan nasihat yang
baik.
Allah ta’ala
berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik” [QS. An-Nahl (16) : 125].
Ibnu Katsiir
rahimahullah berkata:
“Allah ta’ala telah
memerintahkan Rasul-Nya Muhammad ﷺ agar menyeru
manusia kepada Allah ta’ala dengan ‘hikmah’. Ibnu Jariir berkata bahwa yang
dimaksud dengan hikmah adalah apa yang diturunkan Allah kepada Nabi ﷺ
berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah.
(وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ) ‘pelajaran yang baik’ maksudnya
adalah berupa larangan-larangan dan berbagai kejadian yang menimpa manusia yang
disebutkan di dalamnya (Al-Qur’an dan As-Sunnah), agar dijadikan peringatan
bagi mereka akan hukuman Allah ta’ala.
Firman Allah ta’ala :
‘dan bantahlah mereka dengan cara yang baik’, maksudnya adalah : barangsiapa
yang membutuhkan perdebatan dan perbantahan, hendaknya dilakukan dengan cara
yang baik, yaitu dengan kelemahlembutan, keramahan, dan tutur kata yang baik;
sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli
Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang lalim
di antara mereka’ (QS. Al-Ankabuut : 46). Maka, (dengan ayat ini) Allah
memerintahkan Nabi ﷺ untuk
berlemah-lembut sebagaimana Allah telah memerintahkan Muusaa dan Haaruun
‘alaihimas-salaam ketika memerintahkan keduanya datang (berdakwah) kepada
Fir’aun sebagaimana dalam firman-Nya : ‘maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut’ (QS.
Thaha (20) : 44)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/613].
Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا
يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya
kelembutan tidaklah ada ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan
tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu melainkan akan membuatnya jelek”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2594].
مَنْ يُحْرَمْ
الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Barangsiapa
dijauhkan dari sifat lemah-lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2592].
8.Menghindari perdebatan.
Asy-Syaikh Bakr Abu
Zaid rahimahullah menjelaskan ada 3 (tiga) jenis perdebatan yang tercela,
yaitu:
a.Berdebat dengan kebathilan untuk
melenyapkan kebenaran.
Allah ta’ala
berfirman:
وَجَادَلُوا
بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
“Dan mereka membantah
dengan (alasan) yang bathil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang bathil itu”
[QS. Al-Mukmin (40) : 5].
b.Berdebat tentang kebenaran setelah jelas
kebenaran tersebut.
Allah ta’ala
berfirman:
يُجَادِلُونَكَ فِي
الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ
“Mereka membantahmu
tentang kebenaran sesudah jelas kebenaran itu” [QS. Al-Anfaal (8) : 6].
c.Berdebat tentang perkara yang tidak
diketahui oleh pihak yang berdebat.
Allah ta’ala
berfirman:
هَا أَنْتُمْ
هَؤُلاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ
لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ
“Beginilah kamu, kamu
ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa
kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui?” [QS. Aali ‘Imraan :
66].
[Ar-Radd
’alal-Mukhaalif, hal. 51-52].
Sebagai tambahan,
perdebatan tercela:
d.Perdebatan dengan orang yang susah
diharapkan kembali kepada kebenaran dari kalangan pelaku bid’ah dan orang-orang
yang menyimpang lainnya, karena nampak dari mereka sikap sombong terhadap
kebenaran, permusuhannya yang keras terhadap orang-orang yang benar, dan
kukuhnya dalam membela kebathilan.
e.Perdebatan pada perkara yang telah jelas
dan tidak ada kesamaran padanya, baik bagi yang mendebat maupun yang didebat.
f.Perdebatan yang tidak diniatkan ikhlash
untuk menggapai keridlaan Allah ta’ala.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ
بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا،
وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ كَانَ
مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ "
“Aku menjamin rumah
di tepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar,
(menjamin) rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun
hanya sekedar bergurau, serta (menjamin) rumah di surga yang paling tinggi bagi
orang yang membaguskan akhlaqnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4800;
hasan].
Tidak dapat
dipungkiri menahan untuk tidak mendebat dengan orang lain saat ia memandang
orang lain salah dan dirinya benar adalah sangat sulit. Suka berdebat itu
adalah tabiat, sehingga seringkali seseorang melakukannya mempunyai sangkaan
bahwa apa yang dilakukannya benar dan mendapatkan pahala. Ia menganggap dirinya
sebagai penolong agama Allah melalui debatnya. Tentu saja, tidak seperti itu
keadaannya.
9.Menghindari sikap dari tasyaddud
(mempersulit/keras) serta mengutamakan sikap mudah dan lapang selama
diperbolehkan syari’at.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّ الدِّينَ
يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
“Sesungguhnya agama
itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama
melainkan ia akan dikalahkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 39].
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
[Balideli
– 14 Sya’ban 1437 H/21-05-2016].