Waspada media syiah www.mudhiatulfata.com, isinya tidak pernah mencela (hanya
penyanjungan) terhadap syiah... gemar menghujat ahlus sunnah ( salafi “wahhabi”).
Tipikal Bunglon ( taqiyaher) Syiah.
Humaidy
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari
Banjarmasin
Abstract
This article traces back the entry of the Shi‟a in
South Kalimantan through the inclusion of Islamic Wujudiyah (panentheism)
Sufism which was first spread in the kingdom of Banjar. This is due to the
similarity between Wujudiyah Sufism with the concept of Irfan in Shi'a.
However, the influence of Shia in South Kalimantan suffered a setback at the
era of Syekh Muhammad al-Banjari Arsyad (1710-1812 AD). According to Habib Ali,
Shia began to revive in South Kalimantan after the Iranian revolution in 1979.
Ja‟fari school of thought (madhabs) is the growing Shiah in South Kalimantan.
The Development of Shi‟a in South kalimantan faces many challenges since
Muslims in South Kalimantan have a strong belief in Sunni.
Kata kunci: Syi‟ah, Islam Sunni, dan Syi‟ah
Ja‟fariyah.
Pendahuluan
Syi‟ah adalah salah satu sekte atau kelompok Islam
yang mempunyai pengikut besar dan tersebar luas di dunia Islam, sesudah sekte
atau kelompok Islam Sunni (Ahlussunnah wal Jama‟ah). Ia merupakan produk
sejarah yang lahir dari rahim peradaban Islam yang sah. Keberadaannya tidak
bisa dipungkiri, apalagi sampai dinafikan sama sekali. Azyumardi Azra
menekankan berkali-kali bahwa kaum Syi‟ah adalah saudara kandung kaum Sunni.
Lebih jauh lagi, ia menegaskan, kaum Syi‟ah adalah bagian hakiki dari Islam.
Bersama kaum Sunni, kaum Syi‟ah adalah sayap-sayap Islam lainnya. Tentunya,
lebih banyak persamaan daripada perbedaan di antara mereka karena keduanya
berasal dari sumber yang persis sama, mereka taat kepada ajaran-ajaran yang
sama yang berkait dengan iman dan Islam.1
Qurais Syihab menyatakan sejak tahun 1961 di Mesir
sudah terdapat fatwa yang terbit dari lembaga Mawsu‟ah Jamal Abdul Nashir
al-Faqqiya (yakni judul ketika pertama kali terbit) yang di dalamnya
tercakup delapan mazhab yang diakui dunia Islam, yakni empat mazhab Sunni yang
terkenal (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali); dua mazhab Syi‟ah (Ja‟fariyah
dan Zaidiyah); dan satu mazhab Khawarij („Ibadiyah); serta satu mazhab Daud
Zahiri (Zahiriyah). Fatwa yang sama muncul dan berlaku pula di negara Turki,
Arab Saudi dan Qathar.2 Selanjutnya Konferensi Ulama Islam Internasional di
Amman, Yordania yang diselengarakan pada tanggal 4-6 Juli 2005 menghasilkan
tiga kesepakatan sebagai berikut:
Pertama, siapa saja yang mengikuti dan menganut
salah satu dari empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali), dua
mazhab Syi‟ah (Ja‟fariyah dan Zaidiyah), mazhab „Ibadiyah dan mazhab Zahiriyah
adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut
mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah
seorang dari mereka tidak boleh dihalalkan. Kedua, ada jauh lebih banyak
kesamaan dalam delapan mazhab tersebut dibandingkan perbedaan-perbedaan di
antara mereka. Para pengikut/penganut delapan mazhab yang telah disebutkan di
atas semuanya sepakat dalam prinsip-prinsip utama Islam. Kesemuanya percaya
kepada satu Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, percaya pada Qur‟an sebagai
wahyu Allah; dan bahwa Muhammad SAW. adalah Nabi dan Rasul untuk seluruh
manusia. Kesemuanya sepakat pada lima rukun Islam, Syahadat, Salat, Zakat,
Puasa di bulan Ramadan dan Haji ke Baitullah di Makkah. Kesemuanya sepakat pada
enam rukun Iman; kepercayaan pada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, Hari Akhir, dan takdir baik dan buruk dari sisi Allah.
Perbedaan di antara ulama kedelapan mazhab, hanya
menyangkut masalah-masalah cabang agama (khilafiyah furu‟iyah) dan
menyangkut prinsip-prinsip dasar (ushuliyah). Perbedaan pada masalah-masalah
cabang agama tersebut adalah rahmat Ilahi. Sejak dahulu dikatakan bahwa
keragaman pendapat di antara ulama adalah hal yang baik. Ketiga,
mengakui kedelapan mazhab berarti bahwa mengikuti suatu metodologi dasar dalam
mengeluarkan fatwa adalah suatu yang absah. Tidak ada orang yang berhak
mengeluarkan fatwa tanpa keahlian pribadi khusus yang telah ditentukan oleh
masing-masing mazhab bagi para pengikutnya. Tidak ada orang yang boleh
mengeluarkan fatwa tanpa mengikuti metodologi yang telah ditentukan oleh
kedelapan mazhab tersebut. Tidak ada orang yang boleh mengklaim untuk melakukan
ijtihad mutlak dan menciptakan mazhab baru atau mengeluarkan fatwa-fatwa yang
tidak bisa diterima hingga membawa umat Islam keluar dari prinsip-prinsip agama
dan kepastian-kepastian syariah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
masing-masing mazhab yang telah disebutkan di atas.
Rekomendasi atau ijma‟ ulama di tingkat internasional
ini ditanda- tangani oleh 500-an lebih ulama dari berbagai dunia Islam. Penanda
tangan dari Indonesia adalah Dr. Hj. Tutty Alawiyah (Rektor Universitas Islam
Al-Syafi‟iyah, Jakarta), Dr. KH. Ahmad Hasyim Muzadi (mantan ketua PBNU), Dr.
H. Dien Syamsuddin (Ketua PP. Muhammadiyah) dan Muhammad Iqbal Sullam (Pengurus
International Conference of Islamic Scholars).3
Pernyataan di atas sengaja ditampilkan pada
pendahuluan dari tulisan ini, dalam rangka untuk mensosialisasikan salah satu
keputusan besar kesepakatan ulama dunia Islam tentang delapan mazhab yang
mungkin belum diketahui oleh banyak umat Islam Indonesia terutama di kalangan
masyarakat awamnya. Seraya diiringi dengan pengenalan salah satu mazhab dari
delapan mazhab yang diakui tersebut, yaitu Syi‟ah. Umat Islam
Indonesia sejak awal kedatangan Islam telah diwarnai oleh paham Syi‟ah ini, bahkan ada sebagian sejarawan yang mengatakan
Syi‟ah lah yang pertama kali masuk sebelum
kalangan Sunni. Jika kemudian Sunni yang menjadi mayoritas di negeri ini, bukan
berarti Syi‟ah tidak
berperan sama sekali, justru telah mewarnai dalam keberagamaan masyarakat
Indonesia yang berpaham Sunni. Pengaruh Syi‟ah ini dapat
dilihat dari paham perseorangan maupun lembaga keagamaan yang berkembang di
Indonesia. Seperti ormas NU misalnya, yang dikenal sebagai penganut Sunni yang
kuat bahkan fanatik disinyalir Gus Dur banyak mengadopsi kultur Syi‟ah dalam penghayatan dan pengamalan keagamaannya,
sehingga ia sering menyebut NU sebagai Syi‟ah kultural atau Syi‟ah tanpa imamah.
Di Kalimantan Selatan yang umat Islamnya sangat kuat
bahkan fanatik berpegang teguh terhadap paham Sunni, sebenarnya secara
diam-diam gerakan Syi‟ah telah
berkembang pula. Di sini nanti akan diuraikan bagaimana perkembangan Syi‟ah? Di mana saja pusat-pusat atau wilayah-wilayah yang
menjadi lokusnya? Siapa saja tokoh-tokoh pentingnya? Berapa kira-kira jumlah
penganut dan pengikutnya? Apa saja kegiatannya? Bagaimana tantangan yang
menghadang dinamikanya? Bagaimana responnya terhadap tantangan tersebut?
Metode Penelitian
Untuk menggali sejumlah pertanyaan di atas, penulis
menggunakan; Pertama, metode wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh Syi‟ah yang dianggap penting yakni tokoh-tokoh Syi‟ah yang mempunyai wawasan luas tentang sejarah
perkembangan Syi‟ah di daerah
ini dan mempunyai jaringan yang kuat dengan tokoh-tokoh lainnya. Kedua, metode
observasi sebagai metode yang berfungsi sebagai verifikasi dan komplementasi
dari hasil wawancara dengan melakukan pengamatan mendalam pada tempat-tempat
tertentu yang dirasa menjadi lokus penting gerakan Syi‟ah. Ketiga, metode dokumenter yang berfungsi sebagai
penunjang dari hasil wawancara dan observasi.
Mengenal Syi’ah
Ja’fariyah
Sebelum memasuki permasalahan, ada baiknya
diperkenalkan terlebih dahulu tentang Syi‟ah Ja‟fariyah. Syi‟ah Jafariyah disebut pula Syi‟ah Imamiyah Itsna „Asyariyah (Syi‟ah Dua Belas Imam), karena mereka punya doktrin
tentang imam yang jumlahnya sebanyak dua belas orang. Sekte ini meyakini bahwa
Nabi Muhammad Saw telah menetapkan dua belas orang imam sebagai penerus risalah
beliau. Mereka mempercayai bahwa imam itu ma‟shum. Apa yang
dikatakan dan dilakukan mereka tidak akan bertentangan dengan kebenaran karena
mereka dijaga oleh Allah Swt dari perbuatan salah dan kelupaan.4 Dengan
demikian imam-imam itu dipercayai sebagai manusia tanpa dosa.5
Nama-nama imam yang berjumlah dua belas orang itu
adalah Ali bin Abi Thalib (Amirul Mukminin), Hasan bin Ali (Mujtaba),
Husein bin Ali (Sayyidus Syuhada), Ali bin Husein Zainal Abidin (Sajjad),
Muhammad bin Ali al-Baqir (Abdus Syakur), Ja‟far bin Muhammad as- Shadiq (Qaim), Musa bin Ja‟far al-Kazhim (Abdus Shaleh), Ali bin Musa
ar-Ridla (Nurul Hidayah), Muhammad bin Ali al-Jawad (Taqiy), Ali
bin Muhammad al-Hadi (Naqiy), Hasan bin Ali al-Askari (Syafiy),
dan Muhammad bin Hasan al-Muntazhar ( Mahdi).6 Menurut Syi‟ah Imamiyah Itsna „Asyariyah, jabatan imamah berakhir
pada Imam Muhammad al-Muntazhar. Imam terakhir ini disebut juga sebagai dengan
Imam Al-Mahdi. Sesudah imam tersebut, tidak ada lagi imam sampai hari kiamat.
Imam Muhammad al-Muntazhar yang terkenal pula sebagai Imam Mahdi ini diyakini
belum mati sampai sekarang. Imam Mahdi masih hidup, tetapi tidak dapat
dijangkau oleh orang banyak. Diyakini bahwa sementara ini ia ghaib
(bersembunyi), dan di akhir zaman nanti ia akan muncul kembali.
Terhentinya rangkaian imam-imam pada Muhammad
al-Muntazhar ini disebabkan ia tidak meninggalkan keturunan. Muhammad, sewaktu
masih kecil, hilang di dalam gua yang terdapat di Masjid Samarra (Irak).
Menurut keyakinan Syi‟ah Imamiyah
Itsna „Asyariyah, Imam ini menghilang buat sementara dan akan kembali lagi
sebagai Imam Mahdi untuk langsung memimpin umat Islam. Oleh karena itu, ia
disebut imam mustatir (imam yang tersembunyi) atau imam muntazhar (imam
yang dinanti). Selama masih bersembunyi ia memimpin umat Islam melalui
raja-raja yang memegang kekuasaan dan ulama-ulama mujtahid Syi‟ah.7
Muncul pertanyaan mengapa Syi‟ah Imamiyah Itsna „Asyariyah dikenal sebagai Syi‟ah Ja‟fariyah?
Jawabnya, karena dinisbatkan kepada Ja‟far bin
Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah Az-Zahra bin
Nabi Muhammad SAW. Ia adalah Imam ke-6 dalam keyakinan kaum Syi‟ah Imamiyah Itsna „Asyariyah. Imam Ja‟far Shadiq dilahirkan pada 17 Rabi‟ul Awwal (80H/699M) di Madinah. Ibunya bernama Farwah
binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shiddiq RA.8 Imam Ja‟far Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak
bidang ilmu, seperti ilmu fikih, filsafat, tasawuf, kimia dan ilmu kedokteran.
Para jumhur ulama berpendapat bahwa Imam Ja‟far Shadiq
adalah seorang mujtahid di dalam ilmu fikih, guru dari Imam Hanafi dan
Imam Maliki. Di dunia filsafat Islam, ia terkenal sebagai filosof besar,
menjadi guru dari Washil bin Atha‟, tokoh
pendiri aliran teologi Mu‟tazilah yang
terkenal sebagai kaum rasionalis muslim.
Di kalangan kaum sufi, ia adalah, Syekh maha
guru dan salah satu mata rantai penting dari silsilah hampir seluruh tarekat mu‟tabarah. Sementara di kalangan ahli kimia, ia dianggap
sebagai pelopor ilmu kimia dalam peradaban Islam, salah seorang muridnya adalah
Jabir bin Hayyan, ahli kimia dan kedokteran Islam. Dalam tradisi fikih Syi‟ah, Imam Ja‟far Shadiq
dapat disebut sebagai Bapak Fikih Syi‟ah, karena
sebagian besar masalah fikih yang dibahas dalam fikih Syi‟ah bersumber atau mencerminkan pandangan-pandangannya.9
Hal ini, karena Imam Ja‟far Shadiq
saja yang paling banyak mendapat kesempatan untuk membimbing umat Islam
terutama kaum Syi‟ah, para
imam yang lain jika tidak kena tahanan rumah, mereka dibatasi ruang geraknya
untuk berhubungan dengan kaum muslim. Sementara, pada masa Ja‟far Shadiq, para penguasa Bani Umayyah sibuk
menghadapi berbagai pemberontakan dan Bani Abbasyiyah yang muncul sesudahnya,
lebih banyak memusatkan perhatian untuk memperkuat kekuasaan mereka yang masih
baru, maka kesimpulan catatan tentang kata dan prilaku imam itu, didominasi
oleh pernyataan-pernyataan dan pandangan-pandangan Imam Ja‟far Shadiq.
Bagi Syi‟ah pintu
ijtihad tak pernah tertutup, ulama-ulama mujtahid Syi‟ah sejak sesudah Imam ke 12 sampai kini, bebas
mempraktikkan ijtihad. Teori-teori baru, sesuai dengan perkembangan
zaman dan pemikiran selalu muncul.
Akhir-akhir ini, misalnya dunia dikejutkan oleh teori
politik wilayatul faqih yang dikembangka oleh Imam Ayatullah Ruhullah Khumaini
sebagai tawaran politik alternatif. Terlepas dari setuju atau tidak setuju
terhadap teori ini, munculnya teori brillian ini sendiri dari orang yang
dipandang oleh kaum intelektual sebagai kaum tradisional menunjukkan adanya
dinamika perkembangan yang pesat dalam dunia Syi‟ah.10 Namun
dalam Syi‟ah, tidak
boleh juga sembarang orang melakukan ijtihad. Ijtihad boleh dilakukan oleh
siapa saja asal memenuhi syarat sebagai mujtahid. Ulama Ja‟fari mewajibkan bagi orang awam bertaklid atau merujuk
kepada ahlinya. Dalam urusan agama kaum awam harus merujuk kepada para Faqih
atau seorang Mujtahid yang memenuhi syarat, yang antara lain; seseorang yang
masih hidup, diakui kemampuan dan kredibilitas ijtihadnya, adil, „abid, takwa,
wara‟,
istiqamah, tidak cinta dunia dan tidak melakukan dosa baik besar maupun kecil.
Syarat taklid kepada mujtahid hidup ini menuntut
adanya orang-orang atau institusi yang terus-menerus memproduksi mengenai
kebutuhan taklid ini. Dari sini, lalu lahirlah apa yang kemudian popular dengan
istilah marja‟iyyah. Ulama-ulama
yang dipilih oleh masyarakat sebagai tempat bertaklid atau berittiba‟ ini disebut marja‟.11 Contoh untuk sekarang yang bisa
menjadi marja‟ salah
satunya adalah Imam Ali Khamenei yang berada di Iran. Secara tradisional, para
marja‟ ini langsung atau tidak langsung,
memiliki seperangkat tuntunan kehidupan beragama bagi para penganutnya, yang
merupakan hasil ijtihadnya pada pelbagai sisi kehidupan, dari persoalan ibadah
mahdlah sampai persoalan siyasah (politik). Seperangkat tuntunan beragama
ini disebut sebagai Risalah Amaliyah. Para mukallid atau penganut
pandangan sang marja‟, biasanya,
selain bertanya langsung kepada sang marja‟ atau
wakilnya dalam urusan agama yang mereka hadapi, akan merujuk ke Risalah
Amaliyah yang dihimpun sang marja‟. Contoh
praktik ibadah khas Syi‟ah Ja‟fariyah yang berbeda dengan kaum Sunni adalah dalam
salat ketika berdiri betul tidak bersedekap sebagaimana kaum Sunni, saat sujud
diletakkan bungkusan tanah (terutama tanah Karbala) pada tempat sujudnya; dalam
puasa Ramadlan ketika musafir mereka wajib berbuka sedangkan bagi Sunni boleh
terus puasa boleh juga berbuka; dalam perkara hewan yang hidup di air mereka
mengharamkan jenis ikan yang tidak bersisik seperti lele, patin, baung,
sembilang, telan dan lain-lain, sedang Sunni menghalalkannya; dalam soal nikah
Mut‟ah mereka menghalalkannya, tetapi Sunni
mengharamkannya; dan dalam masalah air mani bagi mereka najis, sementara Sunni
menganggapnya suci.
Sejarah Syi’ah di Kalimantan
Selatan
Menurut Habib Ali, Syi‟ah secara
kultural datang ke Kalimantan Selatan beriringan dengan masuknya Islam di
kawasan ini. Di Kalimantan Selatan, Islam datang pada masa jauh lebih
belakangan daripada Sumatera dan Jawa. Diperkirakan telah ada sejumlah muslim
di wilayah ini sekitar pertengahan abad ke-15, tepatnya 1475-1500 M. Oleh
karenanya, Hafiz menjelaskan kemungkinan Islam telah masuk ke sini di masa itu
melalui putera Raja Dipa, Raden Sekar Sungsang. Dia melarikan diri ke Jawa
setelah dipukul ibunya, Puteri Kabuwaringin yang dikenal pula dengan nama
Puteri Kalungsu. Sekar Sungsang kemudian menikah dengan anak Juragan Petinggi
yang telah mengasuhnya dan mempunyai putera yang diberi nama Raden Panji Sekar.
Anaknya itulah yang kemudian menjadi murid sekaligus diambil menantu oleh Sunan
Giri dan diberi gelar Sunan Serabut. Beberapa tahun kemudian, Raden Sekar
Sungsang pulang ke Negara Dipa dan diangkat menjadi raja dengan gelar Sari
Kaburangan.12
Tampaknya, anak Sekar Sungsang yang berguru dan
sekaligus menantu Sunan Giri dapat dijadikan bukti bahwa Sekar Sungsang sebagai
besan Sunan Giri telah menjadi muslim sebelum ia kembali ke Negara Dipa. Selain
itu, Hafiz juga mensinyalir bahwa Islam telah masuk ke Negara Dipa melalui
saudagar Arab, Keling, Gujarat, Persia, Cina, Melayu dan Bugis. Namun, Islam
mencapai kemajuan pesat setelah berdirinya Kesultanan Banjar. Hal tersebut
tidak terlepas dari bantuan Kesultanan Demak kepada Pangeran Samudera dalam
perjuangan melawan pamannya sendiri Pangeran barunya Sultan Suriansyah atau
Raja Suryanullah atau Pangeran Maruhum pada sekitar tahun 1526M dan diangkat
sebagai sultan pertama di Kerajaan Banjar.13 Oleh karena itu, dalam Hikayat
Banjar disebutkan bahwa Kerajaan Demak di Jawa adalah pihak yang berperan besar
dalam mengislamkan daerah Banjar.14 yang mempunyai wilayah kekuasaan meliputi
Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Kintap, Biaju Besar, Biaju Kecil,
Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pambuang, di mana bertakluk pula
Sukadana, Sanggau, Sambas, Batang Luwai, Karasikan, Kotawaringin, Paser, Kutai
dan Berau. Kesemuanya ini meliputi sebagian daerah Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah dengan pusat pemerintahannya berada di Kalimantan
Selatan.
Dalam catatan sejarah Banjar, ajaran tasawuf wujudiyah
yang pertama kali tersebar bahkan sempat menjadi ajaran resmi Kerajaan Banjar.
Ini dibuktikan dengan adanya cap kerajaan yang berbentuk segi empat, di
tengah-tengah tersusun angka Arab (angka-angka ini dianggap mempunyai kekuatan
gaib, sebagaimana cap kerajaan di Persia). Di samping bawah cap tertulis
kalimat La Ilaha Illallah, Allah Mawjud. Kalimat tersebut biasanya
dipergunakan oleh sebagian pengikut aliran tasawuf wujudiyah.15 Diperkirakan
aliran ini tersebar karena adanya sebuah risalah yang sangat populer yakni al-Tuhfah
al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Fadlullah al-Burhanpuri di kalangan
pelajar dan masyarakat pada umumnya sebagai pelajaran dasar di kawasan
Nusantara termasuk Kalimantan Selatan.16 Di samping itu, karya-karya Hamzah
Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf Singkel (terkenal sebagai Syi‟ah Kuala) dari Aceh yang ajarannya kental dengan
nuansa wujudiyah banyak juga dibaca dan dihayati oleh masyarakat Banjar. Oleh
karena pada waktu itu hubungan Kerajaan Banjar dengan Kesultanan Aceh sangat
erat terutama dalam konteks hubungan intelektual dan kultural. Lebih dari itu,
Idwar Saleh mengatakan, konon ada seorang ulama yang hidup dalam Kerajaan
Banjar, telah menyusun sebuah buku tasawuf yang bernuansa wujudiyah, berbicara
tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang sangat dipengaruhi ajaran
Wihdatul Wujud Ibnu Arabi.17Zafri Zamzam menyebut pengarang buku tersebut
adalah Syekh Syamsuddin al-Banjari yang ditulis sekitar tahun 1668M,
untuk dipersembahkan kepada Sultanat Tajul Alam Syafiatuddin yang
memerintah Kesultanan Aceh (1641-1675M), seorang Ratu yang sangat loyal
terhadap ajaran tasawuf Wujudiyah.18
Dalam tengarai Habib Ali al-Habsyi, tasawuf yang
bernuansa wujudiyah ini ada kesamaan dengan konsep Irfan dalam Syi‟ah. Apalagi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam
mengajarkan doktrin ini seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan
Abdurrauf Singkel (Syi‟ah Kuala)
memang menurut Ali Hasymi sebagai tokoh-tokoh dari aliran Syi‟ah. Namun, Syi‟ah yang
tadinya cukup besar, mengalami kemunduran ketika Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari (1710-1812M) kembali ke kampung halaman dari di Haramain, setelah
tiga puluh tahun menuntut ilmu di sana. Hal ini terjadi karena Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari sangat gencar mengajarkan Islam dari aliran Sunni. Meskipun
begitu, masih banyak kultur-kultur Syi‟ah yang
merasuk ke dalam kultur Sunni yang menjadi anutan kebanyakan masyarakat Banjar.
Tentu saja sudah bukan bentuk asli, melainkan sudah mengalami modikasi, seperti
peringatan hari 10 Muharram (Asyura), bacaan Tulak
Bala, Tawassul, Ziarah Kubur, Maulid Nabi dan Arba Mustamir. Syi‟ah mulai menggeliat lagi di Kalimantan Selatan menurut
Habib Ali sejak pasca revolusi Iran tahun 1979. Lewat berita-berita yang
dipublikasikan baik oleh media cetak (Surat Kabar, Majalah, Tabloid dll) maupun
elektronik (Radio dan Televisi) tentang kemenangan Ayatullah Ruhullah Khumaini
atas raja Shah Reza Pahlevi yang didukung oleh Amerika Serikat, jelas merupakan
api semangat bagi sebuah kebangkitan kembali. Syi‟ah menjadi perhatian dunia Islam pada umumnya dan umat
Islam Indonesia pada khususnya, untuk mempelajari ajarannya, termasuk anak muda
Kalimantan Selatan. Habib Ali menceriterakan pola penyebaran Syi‟ah ini di Kalimantan Selatan sebagai berikut :
1. Banjarmasin
Banjarmasin adalah ibukota lama dari provinsi
Kalimantan Selatan dan merupakan kota dagang yang penduduknya terpadat di
Kalimantan Selatan bahkan Kalimantan. Sebenarnya sebelum revolusi Iran di
Banjarmasin sudah dan masih ada sisa-sisa penganut Syi‟ah lama, tetapi sangat sedikit dan itupun hanya di
kalangan sebagian Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad Saw) saja dengan belajar
secara sembunyi-sembunyi di dalam lingkungan keluarga yang sangat terbatas.
Memang baru pasca revolusi Iranlah mereka mulai berani menampakkan diri dan
menunjukkan eksistensinya. Pada waktu itu, semarak kajian-kajian intelektual
Syi‟ah dilakukan di berbagai kelompok
diskusi dan LSM terutama oleh dosen muda dan mahasiswa Unlam (Universitas
Lambung Mangkurat) Banjarmasin yang membawahi Fakultas Hukum, Kedokteran,
Ekonomi, Sosial-Politik dan Ilmu Pendidikan, yang dihadiri mahasiswa-mahasiswa
perguruan tinggi lain dengan mengundang narasumber sesekali dari tokoh Syi‟ah sendiri yang berasal dari Jawa. Dari forum inilah
akhirnya melahirkan tokoh-tokoh muda energik sebagai intelektual sekaligus
aktivis Syi‟ah sebut
saja umpama Wahyudiannoor SH dan Habib Ali al-Habsyi SE. Setelah terus berjalan
secara rutin pada tahun 2008 muncullah majlis Syi‟ah yang terbuka untuk umum bernama Majlis Pencinta
Ahlul Bait dan Yayasan Amanah yang dipimpin oleh Habib Sulaiman
al-Idrus.
Habib Sulaiman al-Idrus adalah ulama besar berpengaruh
di Banjarmasin, terutama di Kampung Sungai Mesa yang dulu pernah menjadi basis
NU di Banjarmasin. Ia salah seorang pengurus ABI (Ahlul Bait Indonesia)
wilayah Kalimantan Selatan dan merupakan alumni pondok pesantren YAPI Bangil
yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Syi‟ah
Kalimantan bahkan Indonesia. Majlis Pencinta Ahlul Bait dan Yayasan Amanah beralamat
di Jl. Pahlawan, Kampung Sungai Mesa, di belakang Langgar Hinduwan yang
didirikan oleh Habib Abubakar al-Habsyi (almarhum), seorang Habib yang paling
dihormati di Banjarmasin. Awalnya majlis ini hanya dihadiri antara 10-20 orang,
kini sudah mencapai ratusan orang lebih. Kegiatan majlis ini, selain pengajian
umum yang biasanya bermaterikan akhlak Rasulullah dan keutamaan-keutamaannya,
juga melaksanakan amalan rutin ritual Syi‟ah seminggu
2 kali, malam Rabu dan malam Jum‟at berisi
bacaan-bacaan pujian kepada Rasulullah dan Ahlul Bait, juga do‟a-do‟a terutama do‟a Kumail dan do‟a Jahsyan Kabir. Kemudian
tidak terlalu berselang lama dari berdirinya Majlis Pencinta Ahlul Bait dan
Yayasan Amanah, sekitar tahun 1998 berdiri pula Yayasan Ar-Risalah di
Jalan Sultan Adam oleh H. Busyairi Ali salah seorang mantan aktivis NII yang
kemudian tertarik kepada ajaran Syi‟ah.
Sebenarnya yayasan ini tidak murni milik Syi‟ah karena
ketika proses berdirinya Busyairi masih berstatus sebagai pengurus
Muhammadiyah, bahkan sampai sekarang masih dianggap bagian dari Muhammadiyah
meskipun ia sudah menjadi Syi‟ah.
Kemudian, pada tahun 2008, Busyairi mendirikan lagi Majlis Ta‟lim Al-Mukhlisin.
Yayasan dan majlis ini cukup banyak fungsi dan
kegiatannya, mulai sebagai pondok pesantren yang menampung dan mendidik hampir
50 orang anak, sebagai forum untuk kajian rutin literatur-literatur Syi‟ah bagi yang berminat terutama kalangan mahasiswa,
termasuk sekaligus konsultasi keagamaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
seputar Syi‟ah, sebagai
wadah mengadakan seminar, diskusi, lokakarya baik bagi kalangan sendiri maupun
orang lain, sebagai majlis pengajian yang dihadiri ratusan lebih jamaah dan
pelaksanaan amalan rutin ritual Syi‟ah seminggu
2 kali, malam Rabu dan malam Jum‟at yang bersamaan
dengan Majlis Pencinta Ahlul Bait Sungai Mesa, juga sebagai studio publikasi
Syi‟ah Kalimantan Selatan dari bahan cetak
berupa lembaran sampai buku, dari spanduk sampai promosi di internet. Salah
satu buku yang diterbitkan yayasan ini adalah “Nikah Mut‟ah” yang ditulis
oleh Busyairi sendiri dari tesis S2-nya di Pascasarjana IAIN Antasari
Banjarmasin. Dalam buku tersebut ia memperkenalkan siapa itu Imam Ja‟far Shadiq, keluasan pikirannya yang mencakup ilmu
kalam (teologi), hukum (fiqih) dan irfan (tasawuf), dan cara-caranya melakukan
istinbat hukum atas berbagai perkara termasuk tentang nikah mut‟ah yang menjadi pokok dan fokus pembahasan. Yayasan
dan majlis ini beralamat di Jl. Sultan Adam, Komplek Bumi Graha Lestari Rt. 48,
No. 41, Banjarmasin, wilayah baru pengembangan Kota Banjarmasin, berdekatan
dengan beberapa kampus baik negeri maupun swasta. Ia berjarak sekitar 600 meter
dari kampus Unlam (Universitas Lambung Mangkurat), yang membawahi Fakultas
Hukum, Kedokteran, Ekonomi, Sosial-Politik dan Ilmu Pendidikan, Uniska
(Universitas Islam Kalimantan) dan STIE (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi). Ia dekat
antara 300m dengan STIHSA (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam), Universitas
Terbuka, STIKIP (Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dan STIMIK
(Sekolah Tinggi Ilmu Komputer). Hal ini, membuat Sultan Adam dipenuhi oleh
penginapan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan beragam latar belakang
daerah.
2. Banjarbaru
Banjarbaru berjarak sekitar 27 Km dari Banjarmasin,
yang merupakan ibukota baru dari Kalimantan Selatan. Di sini terdapat Majlis
tak bernama yang dipimpin oleh Habib Abdullah al-Habsyi, selaku Ketua ABI
wilayah Kalimantan Selatan. Ia pernah menuntut ilmu di pondok pesantren YAPI
sampai selesai. Ia salah satu Habib dan Ulama terkenal di Kalimantan Selatan,
khususnya Martapura dan Banjarbaru yang majlisnya dihadiri ratusan orang lebih
dari Banjarbaru dan Martapura. Ia juga menjadi tempat bertanya para pengikut
Syi‟ah di sana bahkan dari seluruh daerah Kalimantan
Selatan.
Kegiatan majlisnya, selain pengajian umum yang
didatangi berbagai kalangan termasuk dari anggota Syi‟ah sendiri, juga melaksanakan amalan rutin ritual Syi‟ah 2 kali seminggu, malam Rabu dan malam Jum‟at dari jamaah Syi‟ah
Banjarbaru dan Martapura.19
3. Martapura
Daerah Martapura sekitar 40 Km dari Banjarmasin, yang
terkenal sebagai kota Serambi Mekkah. Disebut Serambi Mekkah karena daerah ini
pernah menjadi pusat keilmuan Islam pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke
19 bersama-sama Palembang dan Pattani (Thailand Selatan). Di sini, dari dulu
sampai sekarang menjadi basis keagamaan Kaum Tuha (NU) yang banyak melahirkan
ulama-ulama besar. Salah satu pentolan Syi‟ah di daerah
ini adalah Habib Ali al-Habsyi SE. Ia juga termasuk salah satu pengurus ABI
wilayah Kalimantan Selatan. Ia dahulu, pada mulanya bukan penganut Syi‟ah, melainkan berasal dari penganut Sunni jua. Ia
mengaku mulai pertama tertarik dengan Syi‟ah, ketika
masih remaja saat menjadi Ketua Remaja Masjid dari Masjid Raya Sabilal
Muhtadin, Banjarmasin. Ketertarikannya semakin kuat, tatkala ia menjadi
mahasiswa Fakultas Ekonomi Unlam dengan membaca banyak buku-buku Syi‟ah dan para penulis yang apresiatif terhadap Syi‟ah seperti karya-karya Haidar Bagir, Jalaluddin Rahmat,
Ali Syariati, SH. Nasr, Murtada Mutahhari, Thabathaba‟i dan lain-lain. Ketika ia sudah yakin untuk memilih
Syi‟ah sebagai keyakinannya, maka semakin
intens saja ia mempelajari ajaran-ajaran Syi‟ah terutama
seluruh pemikiran Ayatullah Ruhullah Khumaini yang menjadi marja‟nya. Keseriusannya itu tampak pada upayanya untuk
mengakses seluruh buah pikiran Khumaini dalam bentuk apapun, bahkan demi untuk
kedekatan dengan idolanya itu, tampak pada dinding rumahnya di ruang tamu
banyak terpampang tokoh-tokoh Syi‟ah terutama
Khumaini.20
Pada sekitar tahun 2000-an, ia dan kawan-kawan sempat
mendirikan Yayasan Ar-Ridha di Jalan Pendidikan, Sekumpul, Martapura
yang sekarang menjadi rumah kediamannya. Melalui yayasan ini telah dibangun
sebuah perpustakaan yang banyak menyediakan buku-buku bacaan yang berisi ajaran
Syi‟ah atas sumbangan kedutaan Iran,
Jakarta, Penerbit Mizan dan Yayasan Mutahhari, Bandung dan perorangan dari
anggota Syi‟ah.
Perpustakaan ini dulu, banyak dikunjungi oleh para mahasiwa Unlam Banjarbaru,
terdiri dari Fakultas Pertanian, Perikanan, Kehutanan, Mipa, Matematika,
Informatika-Komputer, Komunikasi dan Psikologi, dan para santri pondok
pesantren-pondok pesantren yang ada di seputar Martapura. Para mahasiswa dan
santri tersebut tidak sekadar membaca literatur-literatur Syi‟ah yang ada, tetapi juga ada yang bertanya dan
mengajak Habib Ali diskusi tentang seluk-beluk ajaran Syi‟ah. Namun sayang, tak berapa lama yayasan ini bubar
dan tak pernah bangkit kembali.
Habib Ali di Martapura bisa diterima oleh berbagai
kalangan sehingga ia bisa masuk kemana-mana dan mudah bergaul kepada siapapun.
Di samping, ia dikenal sebagai intelektual dan aktivis muda Syi‟ah, ia aktif juga di berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Forlog (Forum Dialog
Antar Agama), Cakrawala Hijau dan LK3 (Lembaga Kajian Keislaman
Kemasyarakatan). Ia sering diminta menjadi narasumber dalam berbagai seminar
terutama ekonomi baik tingkat lokal, nasional maupun regional. Ia juga sering
diminta menjadi fasilitator dalam pelatihan pemberdayaan ekonomi dan koperasi
di beberapa lembaga ekonomi dan pondok pesantren. Tidak hanya sampai di situ,
pada tahun 2005 ia dengan niat tulus dan semangat pemberdayaan ekonomi umat,
mendirikan BMT Ahsanu Amala secara sederhana di Jl. A. Yani Km.45
Martapura bersama rekanannya membidik peredaran uang dan membudayakan menabung
bagi masyarakat di sini terutama kaum ibu-ibu majlis ta‟lim. Kini bangunan BMTnya sudah cukup megah dengan
omset mencapai milyaran lebih dari nasabah yang berjumlah ribuan lebih.
Sementara di rumahnya sendiri di Jl. Pendidikan, Sekumpul, Martapura, Habib Ali
juga menampung 30-an lebih anak jalanan untuk dibina dan diberdayakannya. Di
depan rumahnya, ia bangun semacam balai atau pendopo untuk tempat diskusi bebas
anak-anak binaannya untuk merumuskan bersama program-program yang harus
dijalankan sehari-hari. Selain itu, ia juga menyisihkan sebagian rezekinya
setiap bulan dengan memberikan santunan 50-an Syarifah yang berstatus janda dan
sudah tua dengan sembako yang diperkirakan cukup untuk satu bulan. Mungkin dari
sejumlah kerja pemberdayaan itu, dua tahun yang lalu Ma‟arif Institute memberikan penghargaan Ma‟arif Award kepadanya.21
4. Rantau
Rantau merupakan ibukota Kabupaten Tapin yang berjarak
sekitar 85 Km dari Banjarmasin. Di sini, dikenal sebagai kota para Datu, karena
demikian banyaknya makam keramat dari para ulama masa lalu. Syi‟ah bertumbuh juga di sini, bahkan melahirkan tokoh
besarnya yakni Habib Husein al-Habsyi yang sangat berpengaruh dan paling
kharismatis, tidak saja pada tingkat lokal, Rantau, tetapi juga tingkat
provinsial Kalimantan Selatan, bahkan tingkat regional Kalimantan. Tidak
terbatas pada kalangan Syi‟ah, tetapi
juga meliputi kalangan Sunni. Di daerahnya, ia dipanggil sebagai Habib Tuha
(Habib Sepuh) yang sangat disegani dan dihormati oleh masyarakatnya.22 Karena
di samping ilmu agama, ia hebat juga ilmu batin dan kanuragannya.Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya tamu dari berbagai kalangan dan tempat jauh (seperti dari
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat) pula yang datang
berkunjung ke tempatnya di desa Mandarahan, belakang Pasar Rantau lama, di
Rantau yang demikian jauh dari pusat keramaian kota. Meskipun majlisnya hanya
dihadiri sedikit jama‟ah, antara
10-40 an, tetapi dipuji sebagai majlis yang berkualitas, terutama yang
dilaksanakan pada waktu tengah malam.23 Karena ia memang tidak dikenal sebagai
da‟i kondang yang pintar berpidato,
melainkan seorang yang sangat baik dan merdu dalam membawakan atau membacakan
syair-syair Maulid Nabi Muhammad Saw.24 Ia alumni pondok pesantren YAPI Bangil
dan pernah juga menjadi pengusaha kayu yang sukses. Sekarang ia adalah salah
seorang dewan pembina ABI wilayah Kalimantan Selatan yang sangat menguasai literatur-literatur
Syi‟ah dalam bahasa Arab seperti Tafsir
al-Mizan karya Thabathaba‟i, Ushul
Madzhab Syi‟ah
al-Imamiyah Itsna „Asyariyah karya al-Qifari,Yawmun Ghadir Khum karya
Abdullah Alaidrus. Ia bisa dikatakan sebagai idelog Syi‟ah yang diikuti pendapatnya, dipatuhi segala
nasehatnya dan ditaati semua kebijaksanaannya bagi kalangan Syi‟ah di Kalimantan Selatan pada umumnya, Rantau pada
khususnya. Hal itu tampak pula, pada atribut-atribut yang ada di dalam rumahnya
yang penuh dengan suasana berbau Syi‟ah, seperti:
Gambar Sayyidina Ali, Imam Khomeini, Silsilah Imam Dua Belas dan lain-lain. Di
samping itu, ia sangat mengidolakan tokoh-tokoh dari kalangan Ahlul Bait dengan
sepenuh jiwa, raga dan keyakinan.
Begitulah pendirian Habib Husein al-Habsyi sebagai
ideolog Syi‟ah
Kalimantan Selatan yang sangat berpengaruh bagi penganut Syi‟ah lainnya terutama bagi kalangan mudanya yang masih
membutuhkan bimbingannya. Namun sayang tokoh besar ini beberapa waktu yang lalu
telah meninggal dunia mendahului kita, disaat kita masih membutuhkan segala
nasehat, binaan dan bimbingannya.
5. Amuntai
Amuntai sekitar 300Km dari Banjarmasin, salah satu
daerah santri juga sebagaimana Martapura. Di sini, dahulu KH. Idcham Chalid
(almarhum) bahkan Indonesia, menghabiskan masa kecil dan remaja bersama
keluarganya. Daerah ini, merupakan basis NU kedua sesudah Martapura yang sangat
kuat memegang ke-Sunniannya.
Kemunculan Syi‟ah di sini,
berbeda dengan daerah-daerah Kalimantan Selatan lainnnya. Ia merupakan jaringan
Syi‟ah dari Kalimantan Timur karena
dikenalkan oleh perantau-perantau warga Amuntai dari Balikpapan dan Samarinda
ketika mereka mudik hari Raya. Sekitar tahun 1990-an komunitas Syi‟ah terbentuk dan sudah mempunyai majlis untuk
melaksanakan amalan-amalan rutin ritual Syi‟ah dua kali
seminggu, malam Rabu dan malam Jum‟at yang
dipimpin ustadz Abdurrahman. Menurut Wahyudiannoor bahwa Habib Ahmad al-Habsyi
salah satu pembina ABI Kalimantan Timur sering berkunjung ke daerah ini untuk
melakukan pembinaan.
Suatu waktu, pernah Syi‟ah di
Amuntai ini yang tepatnya beralamat di Kampung Babirik dicurigai MUI (Majelis
Ulama Indonesia) cabang Amuntai sebagai kelompok sesat. Lantas mereka
memprakarsai untuk mengadakan dialog terbuka tentang ajaran Syi‟ah dengan mengundang ulama dari pesantren dan ulama
dari berbagai ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) tak terkecuali pihak Syi‟ah sendiri. Kebetulan saat itu, sedang berkunjung
Habib Husin al-Kaff, salah seorang tokoh Syi‟ah dari
Jawa. Dialah kemudian didaulat untuk mewakili Syi‟ah dalam forum dialog MUI Amuntai. Cukup lama
perdebatan terjadi, dari satu ulama ke ulama lainnya dan Habib Husin al-Kaff
yang banyak menjadi sasaran tembak. Habib Husin dengan sabar dan tenang
menjawab satu persatu baik berupa pertanyaan, kritik, gugatan maupun tuduhan
dan hujatan dengan pengetahuannya yang sangat luas. Setelah forum menimbang
sana-sini dari berbagai argumen yang diajukan, pada akhirnya forum menyimpulkan
hasil dialog adalah Syi‟ah tidak
termasuk aliran sesat.25
Seusai pernyataan MUI Amuntai bahwa Syi‟ah tidak sesat, maka merekapun semakin bebas
mengekspresikan ke-Syi‟ahannya pada
khalayak umum tanpa ada rasa was-was dan takut lagi. Namun sayang, kata
Wahyudiannoor, saat Syi‟ah makin
berkembang, justru pimpinannya, ustadz Abdurrahman kemudian pindah rumah ke
Jawa sehingga tidak terpantau lagi keberadaannya kini. Apakah mengalami
kemajuan ataukah kemunduran ?
6. Batulicin
Batulicin sekitar 360Km dari Banjarmasin, ia merupakan
daerah pemekaran dari Kabupaten Kotabaru. Penduduk daerah ini terdiri dari
berbagai suku yakni Bugis, Banjar, Dayak, Jawa, Madura dan lain-lain, tetapi
yang dominan adalah suku Bugis.
Syi‟ah muncul di
sini sekitar tahun 2000-an, dibawa oleh Habib Muhammad al-Idrus dari
Banjarmasin saudara dari Habib Sulaiman al-Idrus. Ia salah seorang Habib dan
ulama sekaligus pedagang kembang terkenal di Batulicin, baik di mata kalangan
Syi‟ah sendiri maupun kalangan Sunni. Ia
juga alumni pondok pesantren YAPI Bangil dan salah satu pengurus ABI Kalimantan
Selatan. Ia membuka majlis di rumahnya sekitar pasar Batulicin, untuk umum yang
sering dihadiri oleh ratusan orang lebih dari berbagai pelosok daerah Batulicin
(Satui, Sungai Danau, Angsana, Sebamban dan Pagatan) dan Kotabaru. Majlisnya
juga berfungsi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ABI termasuk melakukan
amalan rutin ritual Syi‟ah dua kali
seminggu, malam Rabu dan malam Jum‟at.26
7. Kotabaru
Kotabaru adalah ibukota Pulau Laut yang jaraknya dari
Banjarmasin sekitar 400 Km. Wilayahnya terbagi dua, ada yang berada di daratan
Kalimantan, ada yang berada di pulau tersendiri yang dipisahkan oleh Selat
Laut.
Syi‟ah tumbuh di
daerah ini, beriringan dengan pertumbuhan Syi‟ah di
Tanahbumbu sekitar tahun 2000-an. Mengapa begitu ? Karena penganut Syi‟ahnya memang kebanyakan dari jama‟ah majlis Habib Muhammad al-Idrus. Mereka aktif
mengikuti kegiatan-kegiatan Syi‟ah yang
dilakukan Habib Muhammad al-Idrus, baik ketika di Batulicin maupun ketika Habib
mengunjungi mereka sebagai agenda rutin.27
Tantangan and Respon Syi‟ah di Kalimantan Selatan adalah Syi‟ah Ja‟fariyah
(Imamiyah Itsna „Asyariyah seperti di Iran), yang umumnya tergabung dalam
organisasi ABI (Ahlul Bait Indonesia) daripada IJABI (Ikatan Jama‟ah Ahlul Bait Indonesia (mereka tidak memakai kata Syi‟ah dalam pembentukan organisasinya). Mungkin hal ini
terjadi, karena tokoh-tokoh Syi‟ah di sini
kebanyakan dari keluarga Ahlul Bait, hanya beberapa orang yang bukan dari
kalangan Habaib seperti Wahyudiannoor dan A. Busyairi Ali. Apalagi orang yang
mendirikan IJABI adalah Jalaluddin Rahmat, meskipun mereka kagumi, tetapi
kurang disenangi kebanyakan masyarakat Sunni di sini, bahkan MUI wilayah
Kalimantan Selatan (masa KH. Asywadie Syukur, almarhum) pernah menolak
kedatangannya.
Habib Ali memperkirakan penganut Syi‟ah di Kalimantan Selatan antara 3000-4000 orang yang
terdiri dari para Masyayikh (para pimpinan yang menguasai ritual Syi‟ah), Ustadz (sebutan untuk para intelektual Syi‟ah), Tasyayyu (penganut kuat Syi‟ah) dan Muhibbin (simpatisan Syi‟ah). Ini terlihat, ketika pelaksanaan acara peringatan
Asyura yang rutin setiap tahun secara bergiliran dipusatkan di Banjarmasin dan
Banjarbaru, dihadiri oleh hampir 5000-an orang, sehingga majlis-majlis dan
yayasan-yayasan yang ada sudah tidak bisa menampung lagi. Beberapa tahun
terakhir ini selalu dilaksanakan di tempat yang lebih luas yakni Aula Gedung
RRI di Banjarmasin atau Gedung Serbaguna Unlam di Banjarbaru yang punya
kapasitas memadai untuk menampung orang lebih dari 6000-an. Apalagi peringatan
Asyura di Kalimantan Selatan, tidak bagi “orang dalam”(tuan rumah Syi‟ah Kalimantan Selatan belaka), tetapi juga dihadiri
oleh penganut Syi‟ah dari
Kalimantan Tengah. Bukan saja terbatas pada penganut Syi‟ah dan simpatisannya, melainkan juga mengundang
kelompok lain, kalau boleh diurutkan terdiri dari para habaib, ustadz,
intelektual, dosen muda, ormas Islam, aktivis mahasiswa dan kalangan LSM.
Hari Asyura diperingati umat Syi‟ah sebagai hari yang sangat bersejarah, mengenang
pembantaian terhadap Saidina Husein cucu Rasulullah Saw oleh tentara Yazid bin
Mu‟awiyah yang dipimpin al-Hajjaj di padang
Karbala. Peristiwa ini mereka peringati dalam suasana duka yang mendalam,
mereka berpuasa 2 hari tanggal 9 dan 10 Muharram, meskipun sebatas menahan haus
sebagai merasakan bagaimana kehausan Saidina Husein sekeluarga ketika
menghadapi perang yang sangat tidak berimbang. Dari peringatan ini kata Habib
Ali diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan yang mendalam terhadap Ahlul Bait
sekaligus menjadi spirit dalam perjuangan membela Syi‟ah sebagai keyakinan yang tidak salah.
Prosesi peringatan Asyura biasanya dimulai dengan
membaca surah al-Fatihah. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kalam ilahi
yang dibawakan oleh seorang qari yang suaranya merdu dan syahdu. Selanjutnya,
sambutan-sambutan dari ketua panitia sampai ketua ABI wilayah Kalimantan
Selatan yang menyampaikan selamat datang kepada segenap undangan, ucapan
terimakasih atas segala bantuan baik berupa materi, tenaga maupun pikiran, dan
permohonan maaf jika ada kesalahan dan kekeliruan dari mulai proses perencanaan
sampai pelaksanaan. Seterusnya, ceramah sekitar hikmah Asyura yang
disampaikan oleh seorang habaib atau ulama baik dari Kalimantan Selatan sendiri
maupun mengundang dari luar, entah dari Kalimantan lainnya atau dari Jawa.
Berikutnya, lalu melantunkan Makhtam yakni nyanyian duka cita mendalam
dari syair-syair yang bernada sedih dari bahasa Arab atau terjemahan yang
dilakukan oleh beberapa penyanyi dengan penuh penghayatan dan ratapan. Lalu,
seterusnya pembacaan Makhtal yakni semacam penyampaian ceritera secara
kronologis perjalanan Saidina Husein dari tanggal 1 sampai 10 Muharram,
sehingga ia menjadi syahid bersama sebagian besar keluarga dan pengikut
setianya di padang Karbala yang kering dan tandus. Hal ini, biasanya dibawakan
oleh orang yang pandai berceritera, dengan artikulasi yang jelas, aksentuasi
dan intonasi yang indah, retorika yang cantik dan ekpressi dengan mimik yang
elok dan mempesona. Terakhir, adalah pembacaan do‟a yang dipimpin seorang habib atau ulama sepuh (Masyayikh).
Sesudah do‟a langsung
acara ditutup dengan membaca hamdalah (alhamdulillah) secara serentak dan
kemudian bubar.
Kemudian, Habib Ali mengatakan Syi‟ah di sini perkembangannya cukup pesat, walaupun ada
pula yang mengalami penurunan. Sekitar tahun 1980-1990-an, pada mulanya hanya
ada seputar Banjarmasin, itupun hanya di lingkungan kampus Unlam terutama di
Fakultas Hukum, Ekonomi dan Sosial-Politik. Lantas sekitar tahun 1990-2000-an
sudah berkembang merambah daerah Martapura, Barabai dan Rantau dengan bertumbuhnya
beberapa majlis dan yayasan. Kemudian, sekitar tahun 2000-sekarang berkembang
lagi ke wilayah Banjarbaru, Amuntai, Batulicin dan Kotabaru, dengan beberapa
tambahan berdirinya majlis, yayasan dan institusi gerakan lain yang baru,
meskipun terdapat satu daerah yakni Barabai yang sudah tidak terdengar lagi
burinik (suara)-nya, juga satu yayasan yang bubar yakni yayasan ar-Ridha.
Selanjutnya, Habib Ali melanjutkan pembicaraan, katanya meskipun aktivitas
kalangan Syi‟ah
Kalimantan Selatan masih dominan baru bersifat ritual, tetapi tak bisa
disangkal sudah ada pula gerakan intelektual, advokasi dan pemberdayaan.
Kesemuanya mempunyai plus-minusnya masing-masing, tetapi sebenarnya justru
saling mengisi satu sama lain. Ada sebagian yang mengatakan gerakan intelektual
lebih baik dan efektif, karena dengan melalui diskusi, dialog dan konsultasi
yang sedikit intens akan dapat dan cepat diterima akal sehat bagi si pendengar
atau si peminat, apalagi jika sasarannya memang kalangan mahasiswa dan kaum terpelajar
yang suka dengan pemikiran logis, rasional dan ilmiah. Sebagian lain,
berpendapat bahwa gerakan ritual berupa bimbingan ibadah dan ajaran do‟a-do‟a para Imam
yang sesuai dengan keyakinan Syi‟ah,
merupakan kegiatan yang baik dan tepat untuk menanamkan dan memantabkan
keyakinan, terutama bagi pendengar dan peminat yang sedang goyah dan tidak
punya pegangan hidup. Sedangkan, Habib Ali lebih memilih gerakan advokasi dan
pemberdayaan sebagai kegiatan yang terbaik tanpa harus melihat latar belakang
apapun bagi mereka yang dibela, semata-mata niat tulus lillahi ta‟ala dan demi nilai kemanusiaan universal. Agak sedikit
berbeda dengan Wahyudiannoor, menginginkan kontekstualisasi ajaran Syi‟ah ke dalam budaya lokal Banjar yang adiluhung. Jika
masyarakat Banjar begitu kuat budaya mistik atau kebatinannya, alangkah sangat
baiknya jika Syi‟ah lebih
mengedepankan dimensi irfan daripada yang lainnya. Artinya, bukan untuk
meninggalkan dimensi ajaran Syi‟ah yang
lain, karena itu juga penting, hanya bagaimana dimensi irfan dijadikan sebagai
angle, biar mudah ketemu dan berpadu ajaran Syi‟ah dengan
budaya Banjar dalam ruang batin manusia Banjar.28 Argumen-argumen pilihan
gerakan di atas, memang tidak bisa dipungkiri akan saling berkompetisi dan
berkontestasi di dalam ruang publik gerakan Syi‟ah di
Kalimantan Selatan, tetapi tentu saja, tidak sampai membuat mereka saling
bersengketa, sebaliknya justru saling bersekutu untuk meraih rahmat Allah
sebanyak-banyaknya. Bukankah sabda Rasulullah Saw perbedaan itu rahmat asal
berlomba demi kebaikan dan saling tolong-menolong dalam ketakwaan. Untuk
memperkuat seluruh gerakan yang ada, Syi‟ah
Kalimantan Selatan sering mendatangkan dan kedatangan tokoh-tokoh Syi‟ah dari luar (luar Kalimantan Selatan dan luar
negeri). Seperti mereka mengundang Habib Thaha dari Semarang sebagai alumni
Universitas Qum, Iran dan beberapa intelektual Syi‟ah dari Bandung adalah bertujuan untuk memperkuat dan
memperkaya ranah gerakan intelektual. Sedangkan mengundang aktivis Syi‟ah Jakarta dan kedatangan aktivis Syi‟ah Iran, Amar al-Hakim Hujjatul Islam al-Hakim adalah
bertujuan untuk memperkuat dan memperkaya gerakan advokasi dan pemberdayaan.
Sementara, kedatangan tokoh Syi‟ah dari
Malaysia dan Zahir Yahya dari Bangil, Jawa Timur adalah bertujuan untuk
memperkuat dan memperkaya gerakan ritual yang selama ini sebenarnya sudah
terlalu dominan. Keadaan Syi‟ah yang
kondusif ini di Kalimantan Selatan, bukan berarti tanpa tantangan. Menurut
Habib Ali ada 2 tantangan yang harus dicermati, mungkin tidak hanya bagi Syi‟ah di Kalimantan Selatan, tetapi juga, bagi Syi‟ah seluruh Indonesia yakni adu domba Syi‟ah-Sunni dan hujatan kaum Wahabi/Salafi.
1. Adu Domba
Syi’ah-Sunni
Ada skenario besar kata Habib Ali yang sedang
dilakukan Kapitalisme global yang dikepalai Amerika Serikat untuk menghancurkan
umat Islam. Mereka sudah sangat paham bagaimana cara menghancurkan sendi-sendi
kekuatan Islam. Bukan langsung diserang secara langsung dan memerangi suatu
negara atau kelompok Islam, melainkan masuk ke dalam secara halus, lantas
melakukan adu domba antar mereka, saat ini yakni adu domba antara Syi‟ah dan Sunni.
Adu domba ini sudah berhasil mereka lakukan pada
beberapa negara Islam yang sedang bertikai seperti negara Mesir, Irak, Syiria,
Pakistan dan Afganistan. Beberapa negara yang disebut barusan sampai sekarang
masih bertikai seperti tanpa kunjung berhenti, belum ada yang mampu mendamaikan
dengan tuntas. Tidak ada lagi persatuan, sudah hilang rasa kekeluargaan, pupus
sudah kebersamaan, tanpa ada keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan, yang ada
hanya pertengkaran, permusuhan, kebencian, dendam kesumat, kepedihan,
penderitaan dan kesengsaraan. Habib Ali mengingatkan, kalau kita (Syi‟ah-Sunni) tidak hati-hati, negara kita Indonesia,
termasuk Kalimantan Selatan akan menjadi giliran berikutnya proyek adu domba.
Gejala ini sudah nampak di mata kita, ketika kita mencermati banyaknya
kepentingan Amerika Serikat di negeri ini. Apalagi jika melihat perke mbangan
ekonomi dunia ke depan yang kemungkinan akan berpusat di Asia-Pasifik, tidak
lagi di Timur Tengah, negara Indonesia menjadi elemen penting dari dinamika
tersebut. Untungnya, sejarah hubungan Syi‟ah-Sunni di
Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan sangat baik, bahu-membahu dalam
mendakwahkan Islam tanpa ada ego aliran satu sama lain sehingga jauh dari
tradisi pertikaian sebagaimana di kawasan Islam lain. Meskipun pada awal
kedatangan Islam, pernah terjadi sedikit konflik karena memang tetap ada
kompetisi dan kontestasi antara Syi‟ah dan
Sunni, tetapi lebih banyak kerjasama dan kebersamaannya. Konflik yang terjadi
tidak pernah berkepanjangan, hanya sesaat, selebihnya adalah saling memberi dan
menerima, saling mengambil dan memperkaya satu sama lain sehingga hampir sulit
membedakan antara keduanya ibarat dua sisi mata uang dalam kesatuan bulatan.
Pendek kata, antara Syi‟ah dan Sunni
di sini banyak persamaannya atau titik temunya seperti sama-sama senang ziarah
kubur, tawassul, maulud, mencintai Rasulullah Saw dan keluarganya dan
lain-lain, walaupun tidak membantah terdapat pula perbedaan-perbedaan.
Pengalaman sejarah yang positif ini, memang bisa menjadi modal dasar membangun
kerukunan antara Syi‟ah dan
Sunni. Namun hanya berbekal itu masih tidak cukup untuk menjalin hubungan yang
erat tak tergoyahkan, harus didukung dengan lebih banyak lagi membangun
hubungan-hubungan baru. Tidak sekadar dengan dialog-dialog wacana belaka, atau
kebersamaan menggarap program, tetapi juga kerjasama-kerjasama karya yang
terkait memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam tarikan satu
nafas.
Habib Ali meyakini Syi‟ah-Sunni di
daerah ini tidak akan mudah terprovokasi apalagi konflik, walaupun potensi itu
ada, karena Syi‟ah di sini
dan daerah lainnya di Indonesia, tidak akan membangun tempat ibadah sendiri
yang ekslusif, melainkan hanya ikut tempat ibadah yang ada dan tidak akan
merebutnya bahkan ikut mempertahankannya dengan cara ibadah yang sama. Demikian
juga dengan lembaga pendidikan yang dimiliki baik berupa pesantren, madrasah
maupun sekolah, tidak akan sampai melahirkan Imam seperti di Iran, Irak, Syiria
dan Lebanon. Artinya, tidak berpotensi untuk menyebarkan perbedaan-perbedaan,
justru lebih mengedepankan persamaan-persamaan. Sebaliknya juga, Habib Ali
percaya NU (Nahdlatul Ulama) yang menjadi refresentasi Sunni Indonesia,
termasuk Kalimantan Selatan sudah jauh-jauh hari mengantisipasi gejala ini. Dia
berharap banyak NU wilayah Kalimantan Selatan mampu menjadi saudara kandung Syi‟ah yang baik, tidak terpancing oleh isu-isu negatif
dan provokasi destruktif yang sengaja dilontarkan orang yang tidak bertanggung
Jawab untuk memancing di air keruh. Lebih dari itu, Syi‟ah ingin ada dialog yang intensif, reguler dan
permanen dengan NU, untuk membangun kesepahaman dan mengenal ajaran satu sama
lain. Syukur-syukur setelah itu ada semacam program kerja bersama dalam
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan seperti mengentaskan kemiskinan,
memperbaiki kualitas pendidikan, membela mereka yang tertindas, melawan
penguasa diktator, menggelorakan keadilan, kesejahteraan dan akhlakul karimah.
2. Hujatan Kaum
Wahabi/Salafi ( ? )
Sebenarnya tantangan yang kedua ini merupakan bagian
tak terpisahkan dari tantangan yang pertama. Habib Ali mengatakan bahwa
Wahabi/Salafi dipakai Amerika Serikat untuk proses eskalasi adu domba Syi‟ah-Sunni, karena mereka sudah lama memusuhi Syi‟ah dan terbiasa melakukan tindakan kekerasan atas nama
agama. Sekitar Februari 2014 yang lalu kelompok ini semacam melakukan
sosialisasi dan kampanye tentang kesesatan Syi‟ah dengan
acara bedah buku “Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi‟ah di Indonesia” di Masjid
Hasanuddin HM. Jl. H. Hasan Basri (Kayutangi), Banjarmasin. Di sana, mereka
melontarkan beberapa penyimpangan yang dilakukan Syi‟ah seperti soal penyimpangan faham tentang
orisinalitas Al-Qur‟an, penyimpangan
tentang Ahlul Bait Rasul, pengkapiran sahabat Nabi, pengkapiran umat Islam
lain, penyimpangan faham tentang kedudukan Imam Syi‟ah dan penyimpangan tentang hokum
nikah Mut‟ah yang menurut
mereka salah, kemudian mereka mengaku didukung oleh pendapat Hamka (tokoh
Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy'ari (tokoh NU).29 Lebih dari itu, menurut HM.
Yusuf (dosen F. Tarbiyah IAIN Antasari) yang sering salat berjama‟ah di masjid-masjid sekitar kota Banjarbaru yang
dikuasai kaum Wahabi/Salafi, para da‟i mereka
tidak henti-hentinya menghujat kesesatan Syi‟ah, bahkan
baru-baru ini mereka memperbanyak sendiri buku “Mengenal & Mewaspadai
Penyimpangan Syi‟ah di
Indonesia” dengan mencetaknya secara massif dan disebarkan ke berbagai
kalangan.30 Habib Ali menanggapi kejadian ini dengan sikap tenang sekali,
seolah-olah tidak merasa terganggu dengan berbagai hujatan tersebut. Katanya;
tak perlu digubris kicauan keras mereka anggap saja angin lalu atau seperti
ungkapan pepatah biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Karena
mereka juga tak bisa diajak diskusi dan dialog secara baik-baik, ingin mereka
kita harus mengikuti dan mengamini segala yang mereka katakan, tak ada ruang
untuk membantah dan membela diri. Saat ini, kita cukup berdiam diri saja tak
usah terpancing provokasi mereka yang penting kita terus berkarya menunjukkan
segala pengabdian kita untuk Tuhan dan kemanusiaan. Apalagi pengurus pusat ABI
organisasi kami sudah menerbitkan sebuah buku pada Desember 2012 yakni Buku
Putih Mazhab Syi‟ah, yang
diberi kata pengantar oleh Bapak Quraish Shihab dengan sangat baik, dan isinya
sendiri menjawabseluruh tuduhan dan hujatan yang selama ini dilontarkan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab.
Penutup
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa Syi‟ah adalah
mazhab terbesar kedua setelah Sunni di dalam lingkungan umat Islam, yang
mencakup tak kurang dari 300 juta orang diberbagai belahan dunia termasuk di
Indonesia yang di dalamnya ada Kalimantan Selatan. Lebih dari itu, Syi‟ah Ja‟fariyah
diakui sebagai salah satu mazhab sah dalam Islam oleh para ulama dari berbagai
kelompok dan berbagai Negara Islam sepanjang sejarah agama ini. Demikian pula,
kontribusinya terhadap kebudayaan dan peradaban Islam juga sama sekali tak bisa
diabaikan. Syi‟ah hadir di
Kalimantan Selatan sejak masuknya Islam di daerah ini, bersama-sama
berdampingan dengan kalangan Sunni. Wajar, jika sampai sekarang masih ada dan
mulai semakin berkembang, meskipun dahulu mungkin Syi‟ah Zaidiyah, sedangkan yang sekarang Syi‟ah Ja‟fariyah.
Pertumbuhan dan perkembangan Syi‟ah Ja‟fariyah di
sini tidak semata-mata di kota Banjarmasin, tetapi sudah meluas ke Banjarbaru,
Martapura, Rantau, Amuntai, Batulicin
dan Kotabaru dengan jumlah penganut/pengikut mencapai kira-kira 3000-4000 an
orang yang terdiri dari Masyayikh, Ustadz, Tasyayyu‟ dan Muhibbin dan mereka kebanyakan tergabung dalam
organisasi ABI daripada IJABI, yang keduanya sudah menjadi ormas keagamaan
resmi sebagaimana organisasi NU dan Muhammadiyah. Demikian juga, dengan
pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga baik berupa yayasan maupun majlis
yang melakukan berbagai kegiatan dan gerakan. Meskipun tampak kegiatan ritual
lebih dominan, tetapi kegiatan lainnya juga cukup beragam seperti gerakan
pemberdayaan ekonomi, advokasi, sosial dan pendidikan yang pada saatnya nanti
akan saling menyokong satu-sama lain, menjadi semacam satu-kesatuan gerakan.
Memang gerakan Syi‟ah Ja‟fariyah di Kalimantan Selatan, tidak sunyi dari
tantangan baik berupa hujatan, tuduhan maupun kecaman dan stigmatisasi terutama
dari kelompok Wahabi/Salafi. Namun, karena para tokohnya tidak mudah terpancing
untuk membalas dengan cara yang dilakukan lawan-lawannya, melainkan menghadapi
mereka dengan sabar, tenang dan cerdas, jauh dari sikap keras dan kasar. Lebih
dari itu, seperti Habib Sulaiman al-Idrus, Habib Muhammad al-Idrus, Habib
Abdullah al-Habsyi dan Habib Husein al-Habsyi (almarhum) adalah
Masyayikh-Masyayikh yang sangat kharismatis, dihormati pihak kawan dan pihak
lawan, mereka bisa berinteraksi dengan siapapun tanpa takut kehilangan
identitas diri dan tercerabut dari akar tradisi kesyi‟ahannya. Demikian juga, dengan Busyairi Ali dan Habib
Ali sebagai Ustadz-Ustadz cerdas dan familiar yang bisa diterima oleh berbagai
kalangan yang berada di lingkungannya masing-masing. Ditambah lagi,
Wahyudiannoor, seorang aktivis yang punya obsesi untuk melakukan
kontekstualisasi doktrin Syi‟ah dengan
kebudayaan Banjar. Tentu kesemuanya ini, akan membuat Syi‟ah Ja‟fariyah yang
tergabung dalam organisasi ABI atau IJABI secara perlahan-lahan akan diterima
baik oleh masyarakat Banjar yang pada umumnya penganut/pengikut Sunni. Semoga
perjalanan sejarah akan membuktikannya.
Daftar Pustaka
Ad-Dakhil, Ali Muhammad
Ali, Aimmatuna, Beirut Lebanon: Dar al-Murtadla, 1982.
Adib, Muhammad Husain, Sekilas
Mengenal Empat Belas Ma‟sum, Qum,Iran: Yayasan Imam Ali as, 1973. Ali,
Busyairi, Nikah Mut‟ah, Halal atau Haram, Banjarmasin: Ar-Risalah
Islamic Centre Foundation, 2012.
Anshary, Hafiz, Islam
di Selatan Borneo sebelum Kerajaan Banjar, Orasi Ilmiah, Banjarmasin: IAIN
Antasari, 2002.
Azra,
Azyumardi,”Interaksi dan Akomadasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”, makalah Simposium
Nasional, 1996.
Azra, Azyumardi, Jringan
Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994.
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran
Teologi, Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2013.
Hasan, Ilyas, Rasul
Ja‟farian, Sejarah Islam, Study Kritis Sejak Wafat Nabi Saw Hingga Runtuhnya
Bani Umayyah, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004.
Isa,
Ahmadi,”Perkembangan Tasawuf di Kalimantan Selatan”, tabloid Serambi
Ummah No.045, 8-14 September 2000.
Khumaini, Imam, Al-Ahkam
al-Muyassarah, Qum Iran: Dar al-Tiyar al-Jadid, 1982
Mughniyah, Muhammad
Jawad, Fiqh al-Imam Ja‟far al-Shadiq, Beirut: Dar al-Ilmi li
al-Malayin, 1966. Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta:
UI-Press, 1986.
Ras, J.J, Hikajat
Bandjar; A Study in Malay Historiography, The Hague: Martinus Nijhoff,
1968.
Saleh, Idwar, Bandjarmasin,
Banjarbaru: Unlam, 1982.
Sofyan, Dicky, Peny., Sejarah
& Budaya Syi‟ah di Asia Tenggara Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
UGM, 2013.
Tim ABI, Buku
Putih Mazhab Syi‟ah, Jakarta: DPP ABI,2012.
Tim ICRO & Tim
ACCRoS, Tim MUI Pusat, Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi‟ah di
Indonesia, Jakarta: Formas,2013.
Tim Peneliti F.
Syari‟ah, Gerakan Syi‟ah di Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Puslit
IAIN Antasari, 2001. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, jilid I,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,2005.
Usman, Gazali, Kerajaan
Banjar, Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama,
Banjarbaru: Unlam Press, 1998.
Foot Note :
1Dicky Sofyan, Peny., Sejarah
& Budaya Syi‟ah di Asia Tenggara, Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM,
2013, hlm. 5.
2Tim ABI, Buku
Putih Mazhab Syi‟ah, Jakarta: DPP ABI, 2012, hlm. xix.
3Tim Penyusun, Ensiklopedi
Islam, jilid I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005, hlm. 2-3.
4Tim Penyusun, Ensiklopedi
Islam, jilid I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005, hlm. 316.
5Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi, Dalam Sejarah Pemikiran
Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2013, hlm. 46.
6Muhammad Husain Adib, Sekilas
Mengenal Empat Belas Ma‟sum, Qum, Iran: Yayasan Imam Ali as, 1973, hlm.
8-25.
7Nasution, Harun, Teologi
Islam, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 99.
8Ali Muhammad Ali
Ad-Dakhil, Aimmatuna, Beirut Lebanon: Dar al-Murtadla, 1982, hlm.
428.
9Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqh al-Imam Ja‟far al-Shadiq, Beirut: Dar al-Ilmi li
al-Malayin, 1966, hlm. 23.
10Busyairi Ali, Nikah
Mut‟ah, Halal atau Haram, Banjarmasin: Ar-Risalah Islamic Centre
Foundation, 2012, hlm. 38.
11Imam Khumaini, Al-Ahkam
al-Muyassarah, Qum Iran: Dar al-Tiyar al-Jadid, 1982, hlm. 1316.
12A. Hafiz Anshary, Islam
di Selatan Borneo sebelum Kerajaan Banjar, Orasi Ilmiah, Banjarmasin: IAIN
Antasari, 2002, hlm. 15.
13Azyumardi Azra,, Jaringan
Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 251.
14J.J. Ras, Hikajat
Bandjar; A Study in Malay Historiography, The Hague: Martinus Nijhoff,
1968, hlm. 107-109.
15Ahmadi
Isa,”Perkembangan Tasawuf di Kalimantan Selatan”, tabloid Serambi
Ummah No.045, 8-14 September 2000, hlm. 10.
16Azyumardi
Azra,,”Interaksi dan Akomadasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”, makalah Simposium
Nasional, 1996, hlm. 120.
17Idwar Saleh, Bandjarmasin,
Banjarbaru: Unlam, 1982, hlm. 30.
18Gazali Usman, Kerajaan
Banjar, Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama,
Banjarbaru: Unlam Press, 1998, hlm. 130.
19Wawancara dengan Habib
Ali, 20 Maret 2014.
20Wawancara dengan Habib
Ali 15 Maret 2014
21Wawancara dengan Habib
Ali, 20 Maret 2014.
22Tim Peneliti F.
Syari‟ah, Gerakan Syi‟ah di Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Puslit
IAIN Antasari, 2001, hlm. 8.
23Wawancara dengan Nur
Effendy, 20 April 2014.
24 Wawancara dengan H.
Yusuf Hifni, 21 April 2014.
25Wawancara dengan
Wahyudiannoor 30 April 2014
26Wawancara dengan Wahyudiannoor,
2 Mei 2014.
27Wawancara dengan
Wahyudiannoor 2 Mei 2014.
28Wawancara dengan
Wahyudiannoor, 21 April 2014.
29Tim MUI Pusat, Mengenal
& Mewaspadai Penyimpangan Syi‟ah di Indonesia, Jakarta: Formas,2013,
hlm. 7.
30Wawancara dengan H.M.
Yusuf, 5 Mei 2014.
syiah semakin gencar menyebarkan ajarannya
di tanah air indonesia, bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan indonesia
akan menjadi seperti Yaman,Iraq,Suriah,dan negara yang telah di guncangkan
ajaran yang mengaku-ngaku bagian agama islam ini.karena syiah di indonesia
menargetkan menSyiahkan indonesia pada 2020. naudzubillah
salah satunya adalah kalimantan selatan,mereka seperti biasa
menuduh orang yang sebenarnya adalah golongan aswaja(assunah wal jama'ah)
sebagai wahabi.bahkan Ulama,dan organisasi-organisasi islam(MUI,dsb) ikut di
fitnah sebagai wahabi di kalimantan selatan(bahkan pusat).
Syiah di kalsel sendiri telah tersebar ke berbagai daerah di
kota-kota kalsel,mereka telah mengadakan kegiatan yang menjadi kegiatan syiah
mereka seperti memperingati hari karbala,arbain,idul ghadir,dll
mereka juga memiliki yayasan(yayasan arridho, yayasan al
kahfi banjarmasin)
jika anda berkunjung ke situs syiah banjarmasin yaitu
:
http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.co.id/ dan http://buletinmajelispecintarasul.blogspot.co.id/
anda akan menemukan bahwa mereka sering berbicara masalah persatuan(padahal
mereka sangat benci aswaja). memang jika kita tak berhati-hati/waspada kita
akan mengaggap bahwa apa yang mereka paparkan benar,padahal mereka sedang
bertaqiyah(menutupi/berdusta) namun faktanya banyak sekali di situs itu kita
menemukan mereka menjelek-jelekkan seorang ulama dengan menuduhnya sebagai
wahabi.
mereka memang tak terlihat bergerak,sama seperti negara yang
telah di rusak syiah saat ini,awalnya mereka tak terlihat berbahaya malah
mungkin sangat tak nampak.namun makin berangsur-angsur mereka akan menggoyahkan
umat islam,bahkan suatu negara.
kita tentu tak menginginkan apa yang telah terjadi di
yaman,iraq,suriah,dll.syiah sudah sangat berbeda dengan agama islam.maka
marilah saudaraku perdalam ilmu agama dan sebarkanlah.
Related articles
Gunakan Cara-Cara Provokatif,
Di Banjarmasin (Kalsel) Kembali Ustadz Ahlus Sunnah DR Khalid Basalamah MA
Dihadang. Kenapa Tidak Gunakan Ranah Hukum Atau MUI ? Makin Antusiasnya Animo
Umat Islam Merujuk Dakwah Al-Haq (AhlusSunnah). GAJAH Dipelupuk Mata TIDAK
Tampak.
Awas: seruan provokatif untuk mensyi’ahkan kalimantan
selatan
Penggerebekan Aliran Sesat
Syiah di Kab Ketapang Kalbar
Kegiatan sekte Syiah di Banjarmasin,
peringatan Asyura Haul di Gedung Yayasan Kanker Indonesia Cabang Banjarmasin,
Jalan Dharma Praja Raya, Sabtu (24/11) sore. Acara ini digagas oleh Forum
Kajian Keislaman (FK2) Kalimantan Selatan