Friday, September 16, 2016

Perlukah Sanad Di Zaman Ini?


Sanad/isnad merupakan kekhususan umat Islam. Al-Qur’an telah diriwayatkan kepada kita oleh para perawi dengan sanad yang mutawatir. Demikian pula telah sampai kepada kita hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad-sanad yang shahih. Berbeda dengan kitab Injil dan Taurat yang ada pada kaum Nashrani dan Yahudi tanpa sanad yang bersambung dan shahih, sehingga sangat diragukan keabsahan kedua kitab tersebut.
Isnad hadits adalah silsilah para perawi yang meriwayatkan matan (sabda) hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ahli hadits telah memberikan kriteria yang ketat agar suatu hadits dinilai sebagai hadits yang shahih, mereka ketat dalam menilai para perawi hadits tersebut. Karenanya mereka (para ahli hadits) mendefinisikan hadits shahih dengan definisi berikut : Yaitu para perawinya dari bawah hingga ke atas seluruhnya harus tsiqoh dan memiliki kredibilitas hafalan yang sempurna, serta sanad tersebut harus bersambung dan tidak ada ‘illahnya (penyakit) yang bisa merusak keshahihan suatu hadits.
Ibnu Siiriin berkata : Mereka dahulu tidak bertanya tentang isnad, akan tetapi tatkala terjadi fitnah maka mereka berkata : “Sebutkanlah nama-nama para perawi kalian“, maka dilihatlah Ahlus sunnah dan diambilah periwayatan hadits mereka dan dilihatlah ahlul bid’ah maka tidak diambil periwayatan hadits mereka.
Sebagian orang salah faham dengan perkataan Ibnul Mubaarok rahimahullah :
“Isnad adalah bagian dari agama, kalau bukan karena isnad maka setiap orang yang berkeinginan akan mengucapkan apa yang ia kehendaki”
Mereka memahami bahwasanya : “Perkataan Ibnul Mubarok ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak punya isnad bicaranya akan ngawur, dan sebaliknya orang yang punya isnad maka bicaranya pasti lurus”
Akan tetapi bukan demikian maksud perkataan Ibnul Mubaarok rahimahullah. Maksud perkataan beliau adalah : Tidak sembarang orang bisa menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi menyampaikan hadits Nabi harus ada sanadnya. Dan jika sudah ada sanadnya maka HARUS diperiksa para perawinya sehingga bisa ketahuan haditsnya shahih ataukah lemah.

Praktek al-jarh wa at-ta’diil

Untuk menerapkan kriteria ini (yaitu pengecekan kedudukan dan kredibilitas para perawi hadits) maka para ulama ahli hadits menulis buku-buku al-jarh wa at-ta’diil yang menyebutkan tentang biografi para perawi, dengan menjelaskan kedudukan para perawi tersebut apakah tsiqoh ataukah dho’iif?
Berbagai macam buku yang ditulis oleh para ulama:
Ada kitab-kitab yang khusus berkaitan dengan para perawi yang tsiqoh
Ada kitab-kitab yang khusus berkaitan dengan para perawi yang dho’if dan majruuh
Ada kitab-kitab yang menggabungkan antara para perawi yang tsiqoh dan dho’iif
Ada kitab-kitab yang berkaitan dengan para perawi yang menempati kota tertentu, seperti Taariikh Baghdaad, Taariikh Dimasq, Taariikh Waasith, dll
Ada kitab-kitab yang menjelaskan tentang para perawi kitab-kitab hadits tertentu, seperti ada kitab yang khusus menjelaskan para perawi dalam kitab Muwaatho’ Imam Malik, ada kitab yang khusus menjelaskan tentang para perawi Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, ada kitab yang khusus menjelaskan tentang kedudukan para perawi al-kutub as-sittah
Dan jenis-jenis kitab yang lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku al-jarh wa at-ta’diil atau ‘ilmu ar-rijaal.
Karenanya dengan meneliti kedudukan para perawi tersebut –berdasarkan kaidah al jarh wa at-ta’diil yang diletakkan oleh para ahli hadits- maka akan jelas apakan sanad suatu hadits shahih ataukah lemah atau maudhuu’ (palsu).
Alhamdulillah para ulama telah mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak kitab-kitab hadits sebagaimana yang masyhuur diantaranya : Muwatthho’ al-Imam Maalik, Musnad Al-Imam Ahmad, Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih Ibnu Hibbaan, Shahih ibnu Khuziamah, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Thirmidzi, Sunan An-Nasaai, Sunan Ibni Maajah, Mu’jam-mu’jam At-Thobrooni, Sunan Al-Baihaqi, dan kitab-kitab hadits yang laiinya. Yang seluruh penulis kitab-kitab tersebut meriwayatkan hadits dengan menyebutkan sanad mereka dari jalur mereka hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dengan penerapan kaidah ilmu mustholah al-hadits dan ilmu al-jarh wa at-t’adiil terhadap para perawi yang terdapat dalam sanad-sanad hadits maka bisa dinilai apakah suatu hadits dari kitab-kitab tersebut shahih ataukah dhoiif.
Karenanya untuk mengecek keabsahan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab di atas adalah dengan mengecek para perawi yang termaktub dalam isnad-isnad dari para penulis kitab-kitab tersebut.
Sebagai contoh untuk mengecek shahih tidaknya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Thirimidzi dalam kitab “sunan” beliau maka kita mengecek para perawi di atas Imam At-Thirimidzi (dalam hal ini adalah guru imam At-Thirmidzi) hingga keatas sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
SANAD ZAMAN SEKARANG ??
Di zaman kita sekarang ini masih banyak ahli hadits atau para syaikh atau para penuntut ilmu yang masih melestarikan kebiasaan para ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dengan sanad. Sehingga banyak diantara mereka yang meriwayatkan hadits dengan beberapa model sanad hadits, diantaranya:
Pertama : sanad yang bersambung kepada salah satu dari para penulis hadits. Ada sanad di zaman sekarang ini yang bersambung hingga Al-Imam Al-Bukhari atau kepada At-Thirmidzi, atau kepada Abu Dawud, atau
Kedua : Sanad yang bertemu di guru-guru para penulis tersebut, atau bertemu di para perawi yang lebih di atasnya lagi (para guru dari para guru dari para penulis), atau
Ketiga : Sanad yang melalui jalur lain hingga kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa melalui jalur para penulis kitab-kitab tersebut.
Dari sini jelas bahwasanya fungsi sanad di zaman ini (jika berkaitan dengan sanad hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka kurang bermanfaat dari dua sisi:
Pertama : Karena para perawi yang dibawah para penulis kitab-kitab hadits tersebut hingga perawi di zaman kita sekarang ini tidak bisa diperiksa kredibilitasnya karena biografi mereka tidak diperhatikan oleh para ulama dan tidak termaktub dalam kitab-kitab al-jarh wa at-ta’diil
Kedua : Kalaupun jika seluruh para perawi tersebut (dari zaman kita hingga ke penulis kitab) kita anggap tsiqoh maka kembali lagi kita harus mengecek para perawi dari zaman gurunya para penulis kitab-kitab hadits tersebut hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka seakan-akan kita ngecek langsung para perawi yang terdapat dalam sanad-sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadits tersebut.
Jadi keberadaan isnad dari zaman sekarang hingga nyambung ke para penulis kitab-kitab hadits tersebut kurang bermanfaat, itu kalau tidak mau dikatakan tidak ada faedahnya !!!
Adapun jenis isnad yang ketiga, yaitu periwayatan hadits yang diriwayatakan oleh seseorang di zaman sekarang hingga zaman Rasulullah –tanpa melalui jalur para penulis kitab-kitab hadits diatas- maka tentunya kita akan mendapatkan minimal sekitar 20 orang perawi. Dan 20 orang perawi tersebut tidak mungkin kita cek kredibilitas mereka karena tidak adanya kitab-kitab al-jarh wa at-tadiil yang menjelaskan biografi mereka.
Dari sebab-sebab inilah maka terlalu banyak para penuntut ilmu yang berpaling dari mencari sanad hadits-hadits Nabi di zaman sekarang ini karena tidak ada faedah besar yang bisa diperoleh. Namun meskipun demikian masih saja ada para penuntut ilmu dan para ulama yang masih melestarikan periwayatan hadits dengan sanad-sanad tersebut untuk melestarikan adatnya para ahli hadits.
Diringkas dari firanda.com

Periwayatan hadits di zaman modern

Diskusi di FB Group Mendekatkan Hadits & Sunnah Ke Hadapan Ummat :
Quote :
“Bisa di bayangkan jika sanad itu mesti di teliti hingga periwayat di masa ini.Para Ulama sudah mencukupkan dengan sanad yang tersebut di kitab itu saja,untuk selanjutnya sebagian mereka ada yang tetap menggunakan sanad periwayatan hingga ke pengarang kitab tersebut,tapi ini bukan sanad hadits,tapi sanad kitab buat membuktikan bahwa penisbatan sebuah kitab hadits memang benar telah di susun oleh Muhaddist bersangkutan.”

Bisa dishare aqwal atau ijma’ ulama’mengenai hal ini ustadz?

Agar bisa sebagai bantahan thd orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan bahwa hanya yg punya “Sanad” dan “Silsilah nasab yg mulia”, dalam tanda kutip, yg berhaq dan punya otoritas dalam menjelaskan Sunnah dan Diin ini. Padahal dalam prakteknya mereka banyak melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
Jawaban diskusi :
Ustadz Habibi Ihsan :
Setau ana untuk sanad dari masa kita kepada pengarang Kitab hadits bersangkutan bukan hal utama,sebab kitab-kitab hadits telah masyhur dan mengemuka,yang seandainya seseorang menemukan sebuah kitab ,shohih bukhari misalnya,lalu dia mengamalkannya dengan penjelasan hadits sebagaimana para Ulama bawakan,ini adalah hal yang sah.

Ya,walaupun sebagian Masyayikh kita,tetap ada yg mementingkan masalah sanad ini,hingga di antara mereka mengambil sanad2 kitab itu dari para Ulama sebelumnya hingga ke penyusun kitab-kitab hadits tersebut,Syaikh Ali HasanHalaby (muridnya Syaikh Al-albani) misalnya beliau sempat mengambil sanad periwayatan berbagai kitab hadits dari seorang Ulama yg di kenal punya ratusan sanad tersambung kepada penyusun kitab-kitab hadits tersebut,yaitu Syaikh Yasin Al-padani.
Ana pribadi punya sanad melalui jalur Syaikh Yasin ini.
Untuk penjelasan lebih luas tentang masalah sanad-sanad Kutub Hadits bisa di tanyakan kepada Ustadz Rikrik Aulia Rahman beliau spesialis dalam masalah ini
Diskusi Lebih Lanjut :
Na’am ustadz,
setau ana memang yg bersisa hanyalah ijazah sanad periwayatan hadits dari kutubul hadits, dan juga periwayatan dalam bentuk model wijadah (penemuan).

Sebagian besar dari ummat yg belum memiliki kesempatan untuk talaqqi kepada Syaikh yg mempunyai sanad ijazah periwayatan hadits dari kitab2 hadits, umumnya mengambil periwayatan hadits dengan cara wijadah.

Imma dengan cara membeli kitab, melihat dari tulisan di situs ataupun yg lain2 semisal.

Adapun maksud pertanyaan saya:
Terdapat sebagian orang yg ta’ashub dan muqollid, mengklaim bahwa yg berhaq memahami dan menjelaskan hadits hanyalah orang yg mempunyai sanad ijazah periwayatan kitab hadits.

Orang Islam secara umum yg biasanya mendapatkan hadits dengan cara wijadah dipandang tidak berhaq dan tidak punya otoritas dalam memahami, menjelaskan, dan berdalil dengan hadits dalam suatu perkara.

Bagaimanakah perincian bantahan terhadap syubhat ini, terutama dari qoul ulama yg ahlul hadits itu sendiri?

Padahal orang yg mendapatkan ijazah itu bukanlah mesti orang yg mempunyai pemahaman dan manhaj yg shohih. Dan sanad ijazahnya juga bukanlah sanad dalam artian dia adalah seorang perowi yg berlaku padanya jarh wa ta’dil dalam kemaqbulan untuk menerima periwayatannya.
Jazakallloh khoir
Jawaban Diskusi :
Ustadz Rikrik Aulia Rahman :
Ahli Hadits Mesir Syaikh Ahmad Syakir, pentahqiq musnad ahmad rahimahullahu berkata,
والكتب الأصول الامهات في السنة وغيرها : تواترت روايتها الى مؤلفيها بالوجادة ومختلف الاصول العتيقة الخطية الموثوق بها. ولا يتثكك في هدا الا غافل عن دقة المعنى في الراوية والوجادة اومتعنت لا تقنعه حجة
 “Dan kitab-kitab pokok dalam sunnah dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al-wijadah. Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa manuskrip tapi dapat dipercaya, Tidak meragukan keabsahannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al-wijadah, atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah”. (Al Baitsul Hatsits hal 126 –cet Darul Kutub Al-Ilmiyah).

Imam As-Sayuthi (w. 911 H/ 1505 M) dalam Tadribur Rawi fi Syarah Taqrib An-Nawawi hal 75-76 mengatakan,
قَالَ ابْنُ بَرْهَانٍ فِي الْأَوْسَطِ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ كَافَّةً إلَى أَنَّهُ لَا يَتَوَقَّفُ الْعَمَلُ بِالْحَدِيثِ عَلَى سَمَاعِهِ بَلْ إذَا صَحَّ عِنْدَهُ النُّسْخَةُ جَازَ لَهُ الْعَمَلُ بِهَا وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ ، وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو إِسْحَاقَ الْإسْفَرايِينِيّ الْإِجْمَاعَ عَلَى جَوَازِ النَّقْلِ مِنْ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَلَا يُشْتَرَطُ اتِّصَالُ السَّنَدِ إلَى مُصَنِّفِهَا وَذَلِكَ شَامِلٌ لِكُتُبِ الْأَحَادِيثِ وَالْفِقْهِ ، وَقَالَ الطَّبَرِيُّ مَنْ وَجَدَ حَدِيثًا فِي كِتَابٍ صَحِيحٍ جَازَ لَهُ أَنْ يَرْوِيَهُ وَيَحْتَجُّ بِهِ
 “Berkata Ibn Barhan didalam kitab Al-Ausath: Ahli fiqh secara keseluruhan berpendapat bahwa mengamalkan hadits tidak hanya terbatas dengan mendengarkannya saja, bahkan jika teks hadits itu shahih menurutnya, maka boleh mengamalkan teks hadits itu walaupun tidak didengarkan. Ustadz Abu Ishaq Al-Asfarayaini menceritakan ijma atas bolehnya menukil dari beberapa kitab yang menjadi pegangan dan tidak diisyaratkan bahwa sanadnya harus bersambung dengan penulisnya, sama saja baik kitab-kitab hadits atau fiqh. Ath-Thabari berkata, “Barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits didalam kitab shahih, maka ia boleh meriwayatkannya dan berhujjah dengannya”.

Syaikh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi Ahlu Hadits dari Syam menyebutkan pula nukilan ijma ini dalam kitabnya Al-Mashu ’ala Al-Jaurabain hal 61. Kitab ini diberi muqadimah oleh Syaikh Ahmad Syakir dan dikomentari oleh Syaikh Al-Albani. Al-Qasimi menyebutkannya pula dalam Qawa’id al-Tahdits hal 213.

Perlu diketahui, semua Ahli hadits yang telah ana sebutkan diatas memiliki sanad periwayatan, barokallahufikum.
Khotimah
Jazakalloh khoir ustadz Rikrik Aulia Rahman,
Alhamdulillaah,
ini hujjah yang sangat kuat untuk membantah para muqollidin yg berusaha untuk menolak nasehat dan al-Haq dari orang2 yg mendapatkan hadits shohih dengan cara “wijadah”, dengan syubhat arogansi kesombongan “sanad ijazah” yang diaku-aku dimiliki oleh guru mereka yg mereka taqlidi itu.
Izin untuk mengutip dan menshare penjelasan para ulama yg antum berikan itu.
Baarokalloohu fiik