Hindari tolok ukur kebenaran
ala jahiliyah [1]
Oleh
Syaikh Shalih Fauzan bin
Abdullah Al Fauzan
Setiap kali mendengar
kata-kata jahiliyah, maka tergambarlah di benak kita dengan berbagai kebiasaan
buruk yang dilakukan manusia sebelum kedatangan Islam. Dan memang, semua yang
dikaitkan dengan kata-kata jahiliyah, semuanya memiliki konotasi buruk dan kita
dilarang mengikutinya.
Alhamdulillah, secara umum
masa Jahiliyah itu sudah berakhir [2] seiring dengan diutusnya Muhammad n
sebagai rasul dengan membawa Al Qur`an sebagai pedoman hidup. Namun, ini bukan
berarti semua tradisi jahiliyah juga sudah terkikis habis. Tradisi atau tabiat
jahiliyah masih ditemukan pada diri seseorang atau satu kelompok tertentu, atau
bahkan pada satu wilayah negara. Sebagaimana tersirat dalam sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mendengar ada seseorang menghina kawannya dengan ucapan “Hai anak wanita
hitam!” Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menegurnya dengan
bersabda: “Apakah engkau menghinanya karena ibunya?” Lalu Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
Sesungguhnya engkau manusia
yang masih terjerat tabiat jahiliyah [HR Muslim].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ
الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي
الْأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ
Ada empat perkara jahiliyah
yang ada pada umatku, mereka tidak meninggalkannya ; yaitu mencaci keturunan,
membanggakan kedudukan, meratapi orang meninggal dunia, serta mengaitkan
turunnya hujan dengan bintang-bintang.[3]
Juga ketika terjadi
pertengkaran antara seorang Anshar dan Muhajirin, lalu masing-masing mencari
pendukung. Seseorang yang dari Anshar memanggil orang Anshar “hai, orang
Anshar!” dan dari Muhajirin memanggil orang Muhajirin, dia berkata “wahai kaum
Muhajirin”. Menanggapi kejadian tersebut, Rasulullah bersabda,”Apakah kalian masih
bangga dengan semboyan jahiliyah, sementara aku masih berada di tengah kalian?
Tinggalkanlah fanatisme itu, karena itu berbau busuk!”
Dari sabda Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam di atas, para ulama berpendapat, masih adanya tradisi
jahiliyah yang melekat di tengah masyarakat. Sehingga para ulama bangkit
menjelaskannya, agar masyarakat menjauhinya dan tetap istiqamah menempuh jalan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena tradisi jahiliyah bertentangan dengan syariat
yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Diantara tradisi jahiliyah
yang diperingatkan oleh para ulama agar dijauhi, yaitu tradisi jahiliyah dalam
menilai sebuah kebenaran dan sumber nilai itu sendiri. Islam mengajarkan kepada
penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang diperintahkan dalam Al
Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Begitu juga dalam
menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar mejadikan Al
Qur’an dan Sunnah tolok ukurnya. Berbeda dengan tradisi jahiliyah, mereka
menjadikan pendapat nenek moyang serta pendapat mayoritas orang sebagai tolok
ukur. Yang sejalan dianggap benar dan yang bertentangan dinilai salah.
BERALASAN DENGAN KEBIASAAN
MAYORITAS MANUSIA, TANPA MELIHAT DALILNYA
Diantara kebiasaan jahiliyah,
yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar
menilai kebenaran. Suatu kebenaran didasarkan kepada pendapat mayoritas.
Sebaliknya, pendapat minoritas dianggapnya sebagai kebathilan tanpa melihat
dalil-dalilnya. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa
melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan
dengan Islam. Allah berfirman.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalanNya [Al An’am : 116].
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
Tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui. [Al A’raf : 187].
وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن
وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
Dan Kami tidak mendapati
kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka
orang-orang yang fasik. [Al A’raf : 102].
Dan masih banyak lagi ayat
lain yang menjelaskan hal itu.
Jadi, yang menjadi tolok ukur
kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah
kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika
mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak.
Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan
manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang
berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti.
Ketika menceritakan umat-umat
terdahulu, Allah l memberitahukan bahwa minoritas sering berada dalam
kebenaran. Sebagaimana firman Allah :
وَمَآءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ
Dan tidak beriman bersama
dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hud : 40].
Dalam sebuah hadits terdapat
riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
diperlihatkan tentang pengikut para nabi terdahulu. Ada nabi yang diikuti oleh
beberapa orang saja. Ada yang hanya disertai oleh seorang saja, bahkan ada nabi
yang tanpa pengikut.
Jadi tolok ukur kebenaran
bukan karena jumlah pengikutnya yang besar, tetapi tolok ukurnya adalah
kebenaran atau kebathilan yang menyertainya. Setiap yang benar meskipun
pengikutnya sedikit, maka harus dipegang teguh. Itulah jalan keselamatan. Dan
semua kebathilan, tidak bisa berubah menjadi benar hanya karena jumlah
pengikutnya yang banyak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا
بَدَأَ
Islam itu muncul sebagai
agama yang asing dan suatu saat akan kembali asing sebagaimana pertama kali
muncul. [4]
Maksudnya ketika kejahatan,
fitnah dan kesesatan melanda manusia, yang tersisa berpegang teguh dengan
kebenaran hanyalah segelintir orang yang dianggap asing, hanya beberapa
gelintir orang dari suku-suku yang ada, sehingga menjadi asing di tengah masyarakat.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, umat manusia berada
dalam kekufuran dan kesesatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tampil
mengajak manusia, namun hanya diterima oleh beberapa orang saja, yang kemudian
terus bertambah banyak. Suku Quraisy, seluruh tanah Arab, juga seluruh dunia
berada dalam kesesatan. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sendiri mengajak umat manusia kepada kebenaran, tetapi yang menerima dakwah
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikutinya sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia. Allah berfirman :
وَمَآأَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebahagian besar manusia
tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. [Yusuf:103].
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalanNya. [Al An’am:116].
BERARGUMENTASI DENGAN
PENDAPAT LELUHUR (NENEK MOYANG) TANPA MENELITI SUMBER PENDAPAT ITU
Ketika para rasul datang
membawa kebenaran dari Allah Azza wa Jalla, kaum jahiliyah membantahnya dengan
menggunakan pendapat nenek moyang mereka. Ketika Nabi Musa Alaihissallam
mengajak Fir’aun agar beriman, Fir’aun berdalih dengan pendapat orang-orang
kafir terdahulu. Ini merupakan argumen yang bathil dan alasan ala jahiliyah.
Begitu pula jawaban kaum Nabi Nuh Alaihissallam ketika diajak untuk beriman
kepada Allah Azza wa Jalla, mereka justru berkata sebagaimana tersebut di dalam
Al Qur`an :
مَاهَذَآ إِلاَّبَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُرِيدُ أَن
يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَنزَلَ مَلاَئِكَةً مَّاسَمِعْنَا
بِهَذَا فِي ءَابَآئِنَا اْلأَوَّلِينَ
Orang ini tidak lain hanyalah
manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi
dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang
malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek
moyang kami yang dahulu. [Al Mukminun:24]
Mereka menolak dakwah Nabi
Nuh Alaihissallam dengan pendapat nenek moyang mereka yang disangka benar.
Adapun ajaran yang dibawa Nabi Nuh Alaihissallam dianggap salah, juga karena
bertentangan dengan pendapat nenek moyang mereka. Begitu juga orang-orang kafir
Quraisy ketika menyanggah dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mereka mengatakan:
مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ
إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ
Kami tidak pernah mendengar
hal ini (mengesakan Allah) dalam agama yang terakhir; ini tidak lain
hanyalah(dusta) yang diada-adakan. [Shad:7].
Maksud dari agama yang
terakhir ialah, ajaran nenek moyang mereka. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap merupakan dusta. Mengapa? Tidak lain
karena bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yang
menyembah berhala. Mereka tidak kembali kepada agama kakeknya, yaitu Ibrahim
Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam. Tetapi justru menyanggahnya dengan
merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih muda. Maksudnya bapak-bapak dan
kakek-kakek mereka di Mekkah, yaitu orang-orang kafir Quraisy. Itulah kebiasaan
orang-orang kafir jahiliyah, yaitu beralasan dengan orang-orang terdahulu,
tanpa melihat sumber pengambilannya.
Padahal, semestinya orang
yang berakal memperhatikan ajaran para rasul, lalu membandingkannnya dengan
ajaran nenek moyangnya, agar tampak jelas antara yang haq dan yang bathil.
Menutup diri sembari mengatakan “kami hanya menerima pendapat nenek moyang kami
saja dan tidak menerima pendapat yang bertentangan dengannya” ini, bukanlah
tradisi orang-orang yang berakal, lebih-lebih bagi yang menginginkan
kesalamatan.
Sekarang ini, bila penyembah
kubur dilarang melakukannya, biasanya mereka mengatakan, “ini merupakan tradisi
di negeri fulan”, “ini kebiasaan anggota jama’ah fulan”, atau “inilah kebiasaan
orang-orang terdahulu”. Begitu juga orang-orang yang terbiasa merayakan maulid
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bila dilarang, mereka akan membantah “ini
sudah dilakukan oleh orang-orang sebelum kami, kalau memang perayaan ini
bathil, tentu tidak akan mereka lakukan”.
Inilah di antara hujjah ala
jahiliyah. Menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang boleh dijadikan sebagai
ukuran hanyalah Al Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabat yang mendapat bimbingan langsung dari Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Itulah tolok ukur kebenaran yang benar. Yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti benar. Allah tidak pernah menyuruh manusia
mengikuti nenek moyangnya. Kalaulah tradisi nenek moyang sudah cukup bagi kita,
tentu Allah k tidak akan mengutus seorang rasul ke dunia.
(Diangkat dari kitab Syarh
Masail Jahiliyah, Karya Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan)
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M ]
_______
Footnote
[1]. Syarah Masail Jahiliyah,
karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan.
[2]. Lihat Syarh Masail
Jahiliyah, hlm. 14.
[3]. HR Bukhari dengan
ringkas dan Muslim, dan lafazh dari Muslim no. 934.
[4]. Dikeluarkan oleh Imam
Muslim, no. 146.
Jika berbicara tanpa ilmu
Memahami ilmu agama merupakan
kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi
wassallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan
kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin
Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang
telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan
disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk
kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari
Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat
Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa
ilmu:
1.Hal itu merupakan perkara
tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن
تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu
ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin
Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu
termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan
lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh
mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai
yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh
tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya,
syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan
sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu)
tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah
‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali
bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah
tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ
الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan
terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini
haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16):
116)
3.Berbicara tentang Allah
tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi
wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan
mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu
dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang
‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para
pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi
sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa
“Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya
dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga
mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa
yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias
dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa
Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul
Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang Allah
tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi
Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya
dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ
بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih sesat
dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk
dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib
Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
5.Berbicara tentang Allah
tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan
RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah
memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan
terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan
menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti
perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar
mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata,
sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh
memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara
tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang
Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena
itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah
sholallohu ‘alaihi wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ
اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ
آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru kepada
petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana
dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka
sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)
7.Berbicara tentang Allah
tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS.
Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat
para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan
penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara
tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan
dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
8.Orang yang berbicara
tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah
turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad
Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa
ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi
nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya
adalah firman Allah di bawah ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ
فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa ilmu
menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi
rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami
berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang
ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah,
hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu
merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ
وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan itu
hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa
yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri
dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia
belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu.
Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari