Hanya Ilustrasi: Bukan Gambar Uthman
‘Uthman dibunuh secara zalim
akibat fitnah yang dibangkitkan oleh ‘Abd Allah ibn Saba’. Beliau seorang
Yahudi dari Yaman yang berpura-pura mengaku Islam dan mencetuskan fitnah
terhadap Khalifah ‘Uthman. Fitnahnya sampai sekarang masih dipercayai oleh
golongan Syi’ah. Salah satu hasutannya adalah dengan mengatakan bahwa Nabi
Muhammad SAW telah mewasiatkan yang akan menjadi pengganti beliau adalah Ali.
‘Abd Allah menuduh bahwa ‘Uthman telah berlaku zalim karena tidak mematuhi
wasiat Nabi SAW, dikarenakan mengangkat dirinya sebagai khalifah, bukannya Ali.
‘Abd Allah mengapi-apikan
masyarakat untuk bangkit dan mencerca pemimpin-pemimpin mereka yaitu ‘Uthman
dan para gubernurnya. Cerita tentang keburukan ‘Uthman dan para gubernurnya
semakin meluas sehingga tersebar ke wilayah lain.
Akhirnya berita jahat ini
sampai juga ke telingan ‘Uthman dan beliau merasa terperanjat mendengarnya.
Beliau segera mengutus wakil-wakilnya ke setiap wilayah untuk menyelidiki
apakah benar berita mengenai para gubernurnya yang berlaku zalim. Beliau
kemudian mengutus salah seorang sahabat Nabi SAW, Muhammad ibn Maslamah, ke
Kufah. ‘Uthman juga mengutus Usamah ibn Zayd ke Basrah, ‘Ammar ibn Yasir ke
Mesir dan ‘Abd Allah ibn ‘Umar ke Syam. Kesemua wakil tersebut kembali dengan
membawa berita bahwa para gubernur ‘Uthman sebenarnya telah berlaku adil kepada
rakyat mereka.
Selain mengirimkan wakil ke
setiap wilayah, ‘Uthman juga menulis surat kepada rakyat jelata mengenai fitnah
tersebut. Apabila surat ini dibaca di setiap negeri, maka rakyat jelata pun
mengangis dan berkata: “Sesungguhnya telah bergerak di kalangan umat ini
kejahatan yaitu fitnah yang telah menular di tengah-tengah umat”.
Tidak cukup dengan hanya
percaya kepada laporan wakilnya tersebut, ‘Uthman juga memanggil para
gubernurnya untuk didengar keterangan langsung olehnya. Setelah mendengar
segala keterangan dari para gubernurnya, ‘Uthman pun bangun dan memuji Allah
dan berkata: “Aku telah mendengar semua penjelasan kamu. Setiap perkara ada
pintu yang mendahuluinya. Sesungguhnya fitnah yang ditakuti umat telah terjadi.
Kita akan mencoba menghalanginya dengan bersikap lembut, memberi dan meneliti
setiap keadaan, kecuali terhadap hukum-hakam Allah yang telah Allah nyatakan,
karena tidak ada seorangpun yang boleh mempertikaikannya. Apa yang telah
diketahui bahwa aku tidak pernah mengurangkan kebaikan untuk orang ramai juga
untuk diriku sendiri. Sesungguhnya putaran fitnah itu telah berputar.
Beruntunglah ‘Uthman kalau dia mati sedangkan dia tidak menggerakkan fitnah
tersebut. Jagalah orang ramai, berikanlah hak mereka dan maafkanlah mereka.
Namun kalau mereka melanggar larangan Allah, maka tiada maaf bagi mereka”.
Inilah sikap ‘Uthman yang begitu warak dan berlapang dada terhadap rakyatnya.
Sikat terlalu lembut ini telah diambil kesempatan oleh golongan yang berkhianat
dan ingin merusakkan umat.
Keadaan semakin menegangkan.
‘Abd Allah ibn Saba’ dan pengikutnya mensosialisasikan rencana jahat mereka
dengan bersungguh-sungguh. Pengaruh mereka di Kufah, Basrah dan Mesir semakin
berkembang. Melihat keadaan ini Mu’awiyah menyarankan ‘Uthman untuk pindah ke
Syam. Namun ‘Uthman menolak meninggalkan Madinah tempat di mana beliau selalu
mendampingi Nabi SAW, walaupun urat tengkuknya dipotong. Mu’awiyah kemudian
mengusulkan agar tentaranya di tempatkan di Madinah untuk melindingi ‘Uthman
dan rakyat Madinah. Sekali lagi ‘Uthman menolak dengan alasan kehadiran tentara
akan menyempitkan rezeki penduduk Madinah dan pembantu Nabi Muhammad SAW.
Akhirnya Mu’awiyah berkata: “Demi Allah wahai Amir al-Mukminin! Mereka akan
menyerang dan memeangimu.” ‘Uthman r.a. menjawab: “Cukuplah Allah sebagai
penolong.”
Ketika pengikut ‘Abd Allah
ibn Saba’ sampai ke Madinah, ‘Uthman mengundang mereka untuk hadir ke masjid di
hadapan para sahabat agar beliau bisa menjawab segala tuduhan yang diarahkan
kepadanya. Akan tetapi para sahabat menyarankan agar pemberontak itu dikenakan
hukuman bunuh. Namun ‘Uthman menolaknya dengan alasan hukuman hudud hanya
dikenakan kepada mereka yang telah jelas kekufurannya. Setelah itu ‘Uthman
menjawab satu-persatu tuduhan yang diarahkan kepadanya:
1. Mereka menuduh bahwa
‘Utsman tidak menqasarkan shalatnya ketika sedang bermusafir. ‘Utsman menjawab
bahwa beliau tidak perlu mengqasar shalatnya karena beliau bermusafir ke negeri
Makkah dimana sanak keluarganya tinggal di sana.
2. Mereka menuduh
‘Utsman telah membuat al-Hima (tanah mati yang menjadi kawasan larangan untuk
menggembala ternak di dalamnya, hanya unta-unta yang dapatkan dari hasil zakat
dan jihad saja yang boleh digembalakan di situ). ‘Utsman menjawab bahwa tanah
mati itu telah ada sejak jaman Rasulullah s.a.w, Abu Bakar dan ‘Umar. Sekarang
ini, ‘Uthman hanya menambah unta-unta zakat dan jihad saja, bukannya unta-unta
milik ‘Uthman. Walaupun dulunya ‘Uthman adalah orang Arab yang paling banyak
memiliki unta dan kambing, sekarang ini beliau hanya memiliki dua ekor unta
saja untuk naik haji.
3. Mereka munuduh
‘Utsman mengurangi jumlah ‘mushaf Al’Quran dari banyak menjadi satu. ‘Uthman
menjawab bahwa beliau hanya mengikuti perbuatan Abu Bakar dan para sahabat yang
bersamanya.
4. Mereka menuduh
‘Utsman telah mengizinkan al-Hakam kembali ke Madinah setelah di hukum buang
keluar daerah oleh Rasulullah s.a.w., karena suka menghidupkan fitnah di kalangan
umat Islam dan bekerja sama dengan golongan kuffar. ‘Uthman menjawab bahwa
Rasullulah s.a.w yang membuang al-Hakam keluar dari makkah ke Taif. Kemudian
Rasulullah jugalah yang mengembalikannya.
5. Mereka menuduh
‘Uthman melantik pegawai yang masih muda. ‘Uthman menjawab bahwa beliau
melantik mereka yang memiliki kemampuan dan disukai.
6. Mereka menuduh bahwa
‘Uthman memberikan harta benda orang Islam kepada keluarganya dan lebih sayang
keluarganya. ‘Uthman menjawab bahwa perasaan sayangnya kepada keluarganya tidak
menyebabkan beliau menzalimi rakyatnya. Harta yang diberikan ‘Uthman kepada
keluargnya juga adalah harta miliknya sendiri. Beliau berkata bahwa beliau
tidak akan menghalalkan harta benda orang islam (harta yang diperoleh dari
pajak-pajak wilayah Islam) untuk dirinya sendiri dan orang lain.
7. Mereka menuduh
‘Uthman telah memberikan tanah kepada orang-orang tertentu. ‘Uthman berkata,
tanah itu mulai dibuka oleh golongan Muhajirin dan Ansar. Kaum mujahidin yang
berjihad kemudian melanjutkan pembukaan tanah itu. Di kalangan Mujahidin ada
yang menetap dan dan ada yang pulang. Bagi yang pulang, ‘Uthman akan menjual
tanah tersebut dengan persetujuan dari Mujahidin yang akan pulang tersebut, dan
memberikan hasil penjualan tersebut kepada Mujahidin tersebut.
8. Mereka menuduh
‘Uthman telah memberikan uang hadian sebesar 100 ribu dari harta rampasan
perang (al-fai’) kepada Ibn Abi Sarh yang berjasa membuka Afrika. Abu Bakar dan
‘Umar juga pernah melakukan hal yang sama. Namun karena tentara tidak setuju, maka
‘Uthman mengambil kembali uang tersebut dan memberikannya kepada para tentara.
Penjelasan tersebut membuat
wakil para pemberontak terdiam. ‘Uthman memaafkan mereka dan mengizinkan mereka
pulang kepada kaum mereka dalam keadaan putus asa. Para sahabat dan orang ramai
meminta ‘Uthman membunuh mereka, tapi ‘Uthman menolak permintaan tersebut.
Sebenarnya tujuan pemberontak
itu bukan mencari kebenaran, tapi mencari alasan yang membolehkan mengambil
tindakan terhadap ‘Uthman. Untuk mencapai hasrat ini, para pemberontak yang
menjadi pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ telah membuat rencana yang baru. Mereka
menuju Madinah melalui tiga markas mereka yaitu Mesir, Kufah dan Basrah. Mereka
berpura-pura hendak naik haji. Padahal rencana mereka adalah, setelah sampai di
Madinah, mereka akan meninggalkan jamaah haji lain yang menuju Makkah dan
kemudian mengepung ‘Uthman pada saat banyak penduduk Madinah yang pergi haji
juga. Ada sekitar 3000 pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ yang akan mengepung
Madinah.
Mereka juga memperalat nama
para sahabat untuk mengaburi mata orang ramai. Para pemberontak dari Mesir
kononnya mengatakan bahwa mereka akan melantik ‘Ali sebagai khalifah.
Pemberontak dari Kufah menginginkan al-Zubayr ibn ‘Awwam dilantik sebagai
khalifah. Sedangkan pemberontak dari Basrah menginginkan supaya Talhah ibn
‘Ubayd Allah sebagai khalifah. Namun ketiga sahabat tersebut menolak, bahkan
memberitahu para pemberontak bahwa mereka semua dilaknat oleh Rasulullah s.a.w.
Cerita yang mengatakan bahwa ketiga sahabat tersebut terlibat dalam
pemberontakan inilah yang coba digambarkan oleh perawi Syi’ah seperti Abu
Mikhnaf.
Apabila para pemberontak ini
tiba di Madinah lagi, mereka sekali lagi membuat ketegangan dengan ‘Uthman.
Sehubungan dengan itu sekali lagi terjadi perbincangan antara ‘Uthman dan
pemberontak. ‘Uthman telah menjelaskan segala kekeliruan mereka. Para
pemberontak itu berpura-pura menunjukkan rasa puas hati dan berjanji untuk
taat. Mereka pun pulang ke negeri masing-masing. Penduduk Madinah lega dengan
keluarnya pemberontak itu dari Madinah. Mereka merasakan segala masalah sudah
berkahir. Namun perkara sebaliknya berlaku.
Sebenarnya dalam pihak
pemberontak pun ada dua golongan. Golongan yang menipu dan golongan yang
ditipu. Ini dibuktikan ketika para peberontak kembali ke wilayahnya
masing-masing, pemberontak dari Mesir merampas sebuah surat dari seorang
penunggang kuda yang mengaku wakil ‘Uthman untuk gubernur Mesir. Isi surat
untuk gubernur Mesir itu adalah perintah dari ‘Uthman kepada gubernur Mesir
untuk menyalib, membunuh serta memotong tangan dan kaki mereka apabila mereka
tiba di Mesir. Pemberontak dari Mesir itu dengan segera kembali ke Madinah.
Mereka menemui Ali r.a. untuk segera menentang ‘Uthman. Mereka beralasan bahwa
Ali r.a. pernah mengirimkan surat kepada mereka untuk menentang ‘Uthman. Tapi
Ali menolak tuduhan itu. Beliau menyatakan tidak pernah menulis surat kepada
pemberontak Mesir untuk memberontak terhadap ‘Uthman. Sebagian pemberontak dari
Mesir itu terkejut dan saling berpandangan ketika mendengar jawaban Ali. Mereka
berkata kalau bukan Ali yang menulis surat tersebut, terus siapa pula yang
menulis surat ajakan untuk memberontak? Yang herannya kaum pemberontak dari
Kafah dan Basrah juga ikut kembali ke Madinah. Padahal mereka tidak terlibat
dengan insiden surat ‘Uthman yang menyuruh gubernur Mesir untuk membunuh para
pemberontak. Jadi memang ada rencana jahat yang membuat surat palsu ‘Uthman.
Tujuannya agar pemberontak itu kembali lagi ke Madinah.
Golongan munafiqin kemudian
menemui ‘Uthman sekali lagi dan menunjukkan isi surat tersebut. ‘Uthman
menyangkal pernah menulis surat tersebut. Para pemberontak meminta ‘Uthman
turun dari jabatannya sebagai khalifah. Tapi ‘Uthman menolak karena Nabi s.a.w.
pernah berkata kepada ‘Uthman apabila ada orang yang menyuruh ‘Uthman
meletakkan jabatan khalifah tersebut, jangan ikuti mereka. Segala nasihat
‘Uthman tidak dipedulikan oleh kaum pemberontak tersebut, karena tujuan mereka
sebenarnya untuk membunuh ‘Uthman. Mereka terus mengepung ‘Uthman dan terus
bersikap biadap terhadap khalifah tersebut. Kepungan bertambah hebat apabila
ada berita yang menyatakan tentara Islam bersiap-siap menuju Madinah.
Ibn ‘Abbas yang mengepalai
jamaah haji dari Madinah memberitahui umat Islam apa yang terjadi Madinah.
Mendengar berita tersebut, para jamaah haji tersebut berniat untuk segera
menuju ke Madinah setelah haji mereka selesai untuk mempertahankan khalifah.
Pada saat yang sama, Mu’awiyah gubernur ‘Uthman di Syam segera mengutus
tentaranya di bawah pimpinan Habib ibn Maslamah seorang sahabat Nabi s.a.w.
Apabila kaum pemeberontak mendengar berita kedatangan tentara tersebut, mereka
mempercepat rencana mereka. Mereka segera membakar pintu rumah ‘Uthman.
Masyarakat dan para sahabat yang ada berusaha melindungi ‘Uthman, di antaranya
adalah ‘Abd Allah ibn al-Zubayr, Abu Hurayrah r.a., dan anak Saydina Ali,
Saydina Hasan. Ramai di kalangan sahabat yang cedera bahkan ada juga anggota
masyarakat yang terbunuh.
Jadi tidak benar seperti
tuduhan Syi’ah sampai saat ini yang menyatakan bahwa para sahabatlah yang
sebenarnya hendak menjatuhkan ‘Uthman. Yang sebenarnya adalah para sahabat dari
wilayah Islam berdatangan ke Madinah untuk mempertahankan ‘Uthman. Dari Kufah
ada ‘Uqbah ibn ‘Amar. Ada juga ‘Abd Allah ibn Abi Awfa. Dari Basrah bangkit ‘Imran
ibn Husayn. Dan banyak lainnya.
Para pemberontak itu juga
sangat kejam. Mereka menahan air yang hendak diberikan kepada ‘Uthman oleh
istri Nabi, Umm al-Mukminin Umm Habibah. Para pemberontak itu memukul
tunggaannya dan lari, hingga hampir menyebabkan beliau hampir terbunuh. Jadi
tidak heran dalam buku-buku Syi’ah banyak menghina istri-istri Nabi s.a.w
dengan tuduhan yang kotor.
Ketika keadaan menjadi gawat,
‘Uthman melarang para sahabat menghunuskan senjata bahkan meminta mereka untuk
pulang ke rumah masing-masing. Keadaan ini membuat para sahabat merasa serba
salah. Mereka tahu ‘Uthman harus ditolong, tapi ‘Uthman telah menggunakan kuasa
khalifahnya yang wajib ditaati dengan melarang mereka menghunuskan senjata.
Pada hari para pemberontak
itu membunuh ‘Uthman, beliau sedang berpuasa. Pada hari yang sama beliau
memerdekakan 20 orang budak. Beliau juga meminta untuk memakai celana, padahal
beliau tidak pernah sekalipun memakai celana panjang. Beliau memberitahu mereka
yang bersama-samanya: “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah s.a.w, Abu
Bakr dan ‘Umar di dalam mimpiku, mereka berkata kepadaku: ‘Bersabarlah! Engkau
akan berbuka puasa di sisi kami nanti.’ “. Kemudian ‘Uthman meminta al-Quran
untuk dibaca. Kemudian beliau dibunuh ketika sedang membaca al-Quran. Lebih
menyayat hati apabila para pemberontak itu memasuki rumah ‘Uthman, mereka
memukul ‘Uthman dengan besi dan memijak Al-Quran yang sedang dibacanya. Darah
‘Uthman menitis di atas mashaf. Istri ‘Uthman pula dipotong jarinya. Pembunuh
‘Uthman bergelar al-Mar’u al-Aswad. Ada kemungkinan al-Mar’u al-Aswad adalah
‘Abd Allah ibn Saba’. Ini karena dia turut hadir bersama-sama para pemberontak.
Barang siapa yang membaca
peristiwa tersebut maka akan timbul perasaan marah, benci dan dendam terhadap
mereka yang terlibat dalam konspirasi jahat tersebut. Sudah pasti yang hidup
pada jaman itu, lebih membara lagi kemarahannya. Inilah keadaan yang harus
dihadapi oleh Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. pada masa pemerintahannya.
Perasaan marah yang lahir dari keimanan para sahabat yang mendesak agar segera
diambil tindakan terhadap para pembunuh ‘Uthman r.a., sedangkan suasana
pemerintahan ‘Ali ketika itu tidak mengizinkan. Di sinilah bermulanya fitnah
yang besar di kalangan para sahabat.
Referensi:
1. Dr. Mohd Asri Zainul Abidin, “Pertelingkahan Para Sahabat Nabi s.a.w: Antara
keltulenan Fakta dan Pembohongan Sejarah“