Bisakah Melihat Wajah ALLAH - Ustadz
Firanda Andirdja, MA
Apakah Nabi Muhammad saw melihat Allah
saat naik ke langit - Ustadz Firanda Andirja, MA
Bahasan Pertama (Rangkuman), Aqidah Ahlus
Sunnah Wal Jamaah Menurut Ulama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama
Al-Syafi‘Iyyah : Allah Di Atas Arsynya (Langit). Bandingkan Dengan Pendapat
Intelektual (Muharrif Dan Mukayyif) Aswaja Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) Dan Idrus
Ramli.
'Aqidah
Ahlus-Sunnah : Kaum Mukminin Kelak Akan Melihat Allah di Hari Kiamat/Akhirat
(Ru'yatullah)
Allah
Berfirman dengan Suara yang Dapat Didengar
Allah
Berfirman dengan Suara dan Huruf
(Bagian
6) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf
dan bersuara "
Melihat
Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa (Bagian 2) http://lamurkha.blogspot.com/2015/08/melihat-allah-di-akhirat-anugerah.html
Melihat
Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa (Bagian 3)
Apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Melihat Allah ketika Isra Mi’raj? (Ammi Nur Baits )
https://konsultasisyariah.com/18564-nabi-melihat-allah-ketika-isra-dan-miraj.html
Al-Qur’an Menafikkan Adanya Kemungkinan Melihat Allah Selama-Lamanya
Al-Qur’an Menafikkan Adanya Kemungkinan Melihat Allah Selama-Lamanya
Bisakah Melihat Allah di Dunia?
Hadis tentang Ru'yatullah | Melihat Allah
Melihat Allah di Akhirat
Melihat Allah Di Akhirat (Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin)
Melihat Allah, Bag. 1 (Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah)
Melihat Allah, Bag. 2 (Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah)
Memandang Wajah Allah Azza Wa Jalla
Anugerah Terbesar Di Surga (Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA)
Ru’yatullaah (Melihat Allah Pada Hari
Kiamat)
(Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Ru’yatullah (Melihat Allah) Dalam
Pandangan Ahlus Sunnah Dan Mu’tazilah (Nurul Mukhlishin Asyraf).
https://almanhaj.or.id/3053-ruyatullah-melihat-allah-dalam-pandangan-ahlus-sunnah-dan-mutazilah.html
Ternyata Raja Islam Pertama di Jawa
Yakini Aqidah Ru’yatullah (Sultan Fattah, Raja Islam Pertama Penakluk Tanah
Jawa)
MEMANDANG WAJAH ALLAH AZZA WA JALLA
ANUGERAH TERBESAR DI SURGA
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Salah satu prinsip dasar Ahlus sunnah wal
jamâ’ah yang tercantum dalam kitab-kitab aqidah para Ulama salaf adalah
kewajiban mengimani bahwa kaum Mukminin akan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla
yang maha mulia di akhirat nanti. Ini adalah balasan terhadap keimanan dan
keyakinan mereka yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla semasa hidup di dunia.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,,
salah seorang imam Ahlus sunnah wal jamâ’ah di zamannya, menegaskan prinsip
dasar Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau rahimahullah, “(Termasuk
prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum
Mukminin) akan melihat (wajah Allâh Azza wa Jalla yang maha mulia) pada hari
kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits-hadits yang shahih”[1]
Imam Ismail bin Yahya al-Muzani
rahimahullah berkata [2] , “Pada hari kimat, para penghuni surga akan melihat
(wajah) Rabb mereka (Allâh Azza wa Jalla), mereka tidak merasa ragu dan bimbang
dalam melihat Allâh Azza wa Jalla, sehingga wajah-wajah mereka akan ceria
dengan kemuliaan dari-Nya dan dengan karunia-Nya mata-mata mereka akan melihat
kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…”[3] .
Demikian pula imam Abu Ja’far ath-Thahawi
rahimahullah [4] menegaskan prinsip yang agung ini dengan lebih terperinci
dalam ucapannya, “Memandang wajah Allâh Azza wa Jalla bagi penghuni surga
adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tidak menyeluruh
(artinya, tidak melihat secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana
(keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah
(al-Qur’an) :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada
hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat
[al-Qiyâmah/75:22-23]
Penafsiran ayat ini haruslah sebagaimana
yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu
manusia), dan semua hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil
(menyelewengkan arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta
tidak mereka-reka dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan
seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allâh Azza
wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu
dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para
ulama Ahlus sunnah)”[5] .
DASAR PENETAPAN AQIDAH INI
1. Firman Allâh Azza wa Jalla:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada
hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat
[al-Qiyâmah/75:22-23]
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa
orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allâh Azza wa Jalladengan mata
mereka di akhirat nanti. Karena dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menggandengakan kata “melihat” dengan kata depan “ilâ” yang berarti bahwa
penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka. Artinya mereka melihat
wajah Allâh Azza wa Jalladengan indera penglihatan mereka.[6]
Bahkan firman Allâh Azza wa Jalla ini
menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang indah dan berseri-seri karena
kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah dengan mereka
melihat wajah Allâh Azza wa Jalla. Dan waktu mereka melihat wajah Allâh
Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan surga yang mereka tempati,
ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang, dan ada yang
melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pekan [7] .
2. Firman Allâh Azza wa Jalla:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ
وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ
الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allâh Azza wa
Jalla). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan.
Mereka itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya [Yûnus/10:26]
Kata “tambahan” dalam ayat ini
ditafsirkan langsung oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
yang shahih, yaitu dengan kenikmatan melihat wajah Allâh Azza wa Jalla, dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna
firman Allâh Azza wa Jalla[8] . Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat
yang mulia, Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ
يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ
فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ
وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا
أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ
بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Jika penghuni surga telah masuk surga,
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (yang artinya) “Apakah kalian (wahai
penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)
?” Maka mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami ?
Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami
dari (azab) neraka ?” Maka (pada waktu itu) Allâh membuka hijab (yang menutupi
wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu
(kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allâh Azza wa
Jalla”. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut
di atas.[9]
Dalam hadits ini dengan gamblang,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat
wajah Allâh Azza wa Jallaadalah kenikmatan paling mulia dan agung serta
melebihi kenikmatan lainnya di surga.[10]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di
surga adalah memandang wajah Allâh yang maha mulia. Karena inilah “tambahan”
yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allâh berikan kepada para
penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan
(semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat
Allâh”[11] .
Lebih lanjut imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab beliau Ighâtsatul Lahafân[12] menjelaskan
bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (yaitu melihat wajah Allâh Azza wa
Jalla) merupakan balasan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada orang yang
merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman,
kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan
tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Beliau
rahimahullah menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih, “Aku meminta kepada-Mu (ya
Allâh) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta
kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…”[13]
3. Firman Allâh Azza wa Jalla:
لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا
مَزِيدٌ
Mereka di dalam surga memperoleh apa yang
mereka kehendaki; dan pada sisi Kami (ada) tambahannya (yaitu melihat wajah
Allâh Azza wa Jalla). [Qâf/50:35]
4. Firman Allâh Azza wa Jalla:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka
(orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb
mereka [al-Muthaffifin/83:15]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika
menafsirkan ayat ini, beliau rahimahullah berkata, “Ketika Allâh Azza wa Jalla
menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada
mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan
melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka).”[14]
Demikian pula dalil-dalil dari
hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menetapkan masalah
ini sangat banyak bahkan mencapai derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak
jalur sehingga tidak bisa ditolak).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allâh
Subhanahu wa Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang
shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir,
menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari”[15]
.
Di antara hadits-hadits tersebut adalah
dua hadits yang sudah kami sebutkan di atas. Demikian pula hadits yang
diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
(Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat
bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam
waktu melihat-Nya…”[16]
KERANCUAN DAN JAWABANNYA
Demikian jelas dan gamblang keyakinan dan
prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa
kelompok sesat yang pemahamannya menyimpang, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah
mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang
mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang mereka selewengkan artinya
sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Namun, kalau kita renungkan dengan
seksama, kita akan dapati bahwa semua dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan
sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka gunakan untuk
membela kebatilan dan kesesatan mereka, pada hakikatnya justru merupakan dalil
untuk menyanggah kebatilan mereka dan bukan untuk mendukungnya [17] .
Di antara sybhat-syubhat mereka tersebut
adalah:
1. Mereka berdalih dengan firman Allâh
Azza wa Jalla:
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا
وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي
وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا
ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman
(langsung kepadanya), berkatalah Musa, “Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu)
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allâh Azza wa Jallaberfirman, “Kamu
sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika
ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.
Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu
hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang
pertama-tama beriman” [al-A’râf/7:143]
Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini
Allâh Azza wa Jalla menolak permintaan nabi Musa Alaihissallam untuk
melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya,
ini menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jallatidak akan mungkin bisa dilihat
selama-lamanya [18] .
Jawaban Terhadap Syubhat Ini :
a. Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti
penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini
bertentangan dengan penjelasan para Ulama ahli bahasa arab.
Ibnu Malik, salah seorang Ulama ahli tata
bahasa Arab, berkata dalam syairnya :
Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata)
“lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah
pendapat selainnya [19]
Maka makna yang benar dari ayat ini
adalah bahwa Allâh Azza wa Jalla menolak permintaan nabi Musa Alaihissallam
tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya
di dunia. Adapun di akhirat nanti maka Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan hal
itu bagi orang-orang yang beriman [20] . Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam
sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ
رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ
Ketahuilah, tidak ada seorangpun di
antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allâh) Azza wa Jalla sampai dia mati
(di akhirat nanti)” [21]
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya oleh Abu Dzar Radhiyallahu anhu :
هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى
أَرَاهُ
Apakah engkau telah melihat Rabb-mu
(Allâh Azza wa Jalla) ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Dia
terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya ?”[22] .
Oleh karena itulah, Ummul Mukminin Aisyah
Radhiyallahu anhuma berkata, “Barangsiapa yang menyangka bahwa nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allâh Azza wa Jalla) maka
sungguh dia telah melakukan kedustaan yang besar atas (nama) Allâh”[23]
b. Permintaan nabi Musa Alaihissallam
dalam ayat ini untuk melihat Allâh Azza wa Jalla justru menunjukkan bahwa Allâh
Azza wa Jalla mungkin untuk dilihat. Karena tidak mungkin seorang hamba yang
mulia dan shaleh seperti nabi Musa Alaihissallam meminta sesuatu yang mustahil
terjadi dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak
Allâh Azza wa Jalla. Karena permintaan sesuatu yang mustahil dan melampaui
batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allâh Azza wa Jalla hanya
dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya. Sementara nabi
Musa Alaihissallam terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan
beliau Alaihisallam adalah termasuk nabi Allâh Azza wa Jalla yang mulia dan
hamba-Nya yang paling mengenal-Nya[24] .
Maka jelaslah bahwa ayat yang mereka
jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah
kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
2. Mereka berdalih dengan firman Allâh
Azza wa Jalla:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ
الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah
Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui [al-An’âm/6:103]
Jawaban Atas Syubhat Ini:
a. Sebagian dari Ulama salaf ada yang
menafsirkan ayat ini dengan, “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh
penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata
(orang-orang yang beriman) bisa melihatnya.”[25]
b. Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla
hanya menafikan al-idrâk yang berarti al-ihâthah (meliputi/melihat secara
keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi[26] , bukankan
manusia bisa melihat matahari di siang hari tapi dia tidak bisa mengetahuinya
secara keseluruhan?[27]
c. al-Idrâk (meliputi/melihat secara
keseluruhan) artinya lebih khusus (spesifik) dibandingkan dengan kata ar-ru’yah
(melihat), maka dengan dinafikannya al-idrâk menunjukkan adanya ar-ru’yah
(melihat Allâh Azza wa Jalla), karena penafian sesuatu yang lebih khusus
menunjukkan keberadaan sesuatu yang lebih umum [28] .
Sekali lagi ini membuktikan bahwa ayat
yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk
menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
PENUTUP
Demikianlah penjelasan ringkas tentang
salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung,
melihat wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Dengan memahami dan mengimani masalah
ini dengan benar, maka peluang kita untuk mendapatkan anugrah dan kenikmatan
tersebut akan semakin besar, dengan rahmat dan karunia-Nya.
Adapun orang-orang yang tidak memahaminya
dengan benar, apalagi mengingkarinya, maka mereka sangat terancam untuk
terhalangi dari mendapatkan kemuliaan dan anugrah tersebut, minimal akan
berkurang kesempurnaannya, na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Dalam hal ini salah seorang ulama salaf
berkata, “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia
tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut.”[29]
Akhirnya kami berdoa kepada Allâh Azza wa
Jalladengan doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas:
Aku meminta kepada-Mu (ya Allâh)
kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti)
dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk
bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه
أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kitab Ushûlus Sunnah (hlm. 23, cet.
Dârul Manâr, Arab Saudi).
[2]. Beliau adalah imam besar, ahli fikih
dan murid senior imam asy-Syâfi’i (wafat 264 H). Biografi beliau dalam kitab
Siyaru a’lâmin Nubalâ (12/493).
[3]. Kitab Syarhus Sunnah, al-Muzani
(hlm. 82, cet. Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah).
[4]. Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin
Salâmah, imam besar dan penghafal hadits Rasûlullâh n (wafat 321 H). Biografi
beliau dalam kitab Siyaru A’lâmin Nubalâ’” (27/15).
[5]. Kitab Syarhul Aqîdatith Thahâwiyyah
(hlm. 188-189, cet. Ad-Daarul Islaami, Yordania).
[6]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin
rahimahullah dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/448).
[7]. Lihat keterangan syaikh Abdurrahman
as-Sa’di dalam kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 899).
[8]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil
Wâshithiyyah (1/452).
[9]. HSR Muslim dalam Shahîh Muslim (no.
181).
[10]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil
Wâshithiyyah (1/453).
[11]. Kitab Tafsir Ibnu Katsir (4/262).
[12]. Mawâridul Amân, cet. Daar Ibnil
Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H, hlm. 70-71 dan 79
[13]. HR an Nasa-i dalam as-Sunan (3/54
dan 3/55), Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/264), Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (no.
1971) dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibbân,
al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam Zhilâlul
Jannah fii Takhrîjis Sunnah (no. 424).
[14]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam
“Haadil arwaah” (hal. 201) dan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (8/351).
[15]. Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (8/279).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 529) dan Muslim
(no. 633).
[17]. Lihat keterangan syaikh
al-‘Utsaimin dalam kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/457).
[18]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir
(3/469) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/455).
[19]. Dinukil oleh syaikh al-‘Utsaimin
kitab Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[20]. Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân
(hlm. 302) dan Syarhul ‘Aqîdatil Wâshithiyyah (1/456).
[21]. HSR Muslim (no. 169).
[22]. HSR Muslim (no. 291).
[23]. HSR Muslim (no. 177).
[24]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil
Wâshithiyyah (1/457).
[25]. Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[26]. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir
(3l310).
[27]. Lihat kitab Syarhul ‘Aqîdatil
Wâshithiyyah (1/457).
[28]. Ibid.
[29]. Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam
kitab an-Nihâyah fiil Fitani wal Malâhim (hlm. 127).
Silahkan Bandingkan dengan Pemahaman (Muharrif Dan Mukayyif) Aswaja (mutiara zuhud, Zon Jonggol).
Melihat Rabb dengan hati
Melihat Allah
Keyakinan yang benar seorang muslim terhadap nama dan sifat Allah adalah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan Rasulullah tetapkan untuk Allah tanpa melakukan tahrif, ta’thil, tamtsil, dan takyif “ (Al ‘Aqidah Al Wasitiyyah).
Tahrif artinya mengubah, baik mengubah lafaz maupun makna. Namun yang banyak terjadi adalah tahrif makna. Pelaku tahrif disebut muharrif. Penggunaan istilah tahrif lebih tepat dan lebih adil. Sebagian ulama menjelaskan istilah tahrif dengan istilah ta’wil, dan pelakunya disebut muawwil. Namun penggunaan istilah ta’wil kurang tepat, yang lebih tepat adalah tahrif. Orang yang melakukan ta’wil tanpa dalil tidak tepat (ta’wil yang batil) dikatakan muawwil, namun lebih tepat disebut muharrif. Ta’wil yang tidak didasari dalil merupakan kebatilan, sehingga wajib menjauhkan hal tersebut dari manusia. Penggunaan istilah tahrif akan lebih membuat manusia takut dan meninggalkan perbuatan tersebut daripada penggunaan istilah ta’wil. Ahlussunah wal jama’ah mengimani nama dan sifat Allah tanpa disertai tahrif. Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyah (karakteristik) suatu sifat. Takyif merupakan jawaban dari pertanyaan “bagaimana?”. Ahlussnunnah wal jama’ah tidak men-takyif sifat Allah. Terdapat dalil naqli dan dalil ‘aqli yang menunjukkan larang takyif.Tamtsil adalah menyebutkan sesuatu dengan yang semisalnya. Takyif dan tamtsil mempunyai makna yang hampir sama, namun terdapat perbedaan. Takyif lebih umum daripada tamtsil. Setiap mumatstsil adalah mukayyif, namun tidak setiap mukayyif adalah mumatstsil. Takyif adalah menyebutkan bentuk sesuatu tanpa menyebutkan contohnya.
Sumber: