Tolak RUU PKS, Wali Kota Padang: Ini
seperti
Melegalkan Zina
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual (RUU PKS) mendapat banyak kritikan dan penolakan. Salah satunya datang
dari Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah.
Mahyeldi dengan tegas menolak RUU PKS
yang tengah dibahas DPR RI. Menurutnya, draf RUU PKS dapat menghilangkan fungsi
agama, adat, dan sosial budaya. Bahkan mengancam peran orang tua dalam mendidik
anaknya sendiri.
"Saya, wali kota pertama di
Indonesia yang menolak draf RUU PKS. Sepertinya ini sengaja dirancang untuk
melindungi kalangan LGBT. Ini seperti lampu hijau melegalkan perbuatan zina.
Ini bisa merusak tatanan keluarga dan hidup berumah tangga", kata
Mahyeldi, Selasa (5/4).
Pada pasal 7 ayat (2) RUU PKS dinyatakan bahwa
kontrol seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemaksaan
menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Maka orang tua tidak boleh
mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Sebab itu dianggap kontrol
seksual dalam hal busana.
Begitu juga pada frasa pasal 5 ayat (2) huruf b
yang dapat diartikan mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas
seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Bahkan, pihak yang melakukan kontrol
seksual justru bisa dipidanakan.
"Orang tua tidak boleh melarang anak
lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial.
Aktivitas LGBT juga terlindungi dengan frasa ini," tegas Politikus Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
RUU PKS juga tampak mengedepankan kebebasan
seksual di pasal 7 ayat (1). Ada hak mengambil keputusan yang terbaik atas
diri, tubuh, dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak
berbuat. Artinya, kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih
seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang semisal LGBT.
"Ini jelas-jelas sudah bertentangan
dengan agama, filosofi orang Minangkabau. Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Apalagi kami di Kota Padang sudah menjalankan program wajib
berbusana muslim bagi pelajar muslim, pesantren Ramadan, dan baru-baru ini
mendeklarasikan Kota Padang Bersih Maksiat," tandasnya.
Masih banyak lagi pasal dalam RUU PKS
yang terindikasi melindungi dan melegalkan kebebasan seksual. Jika draf RUU PKS
tidak mengalami perubahan, Mahyeldi akan terus menyuarakan penolakan terhadap
draf RUU PKS. "Saya sangat yakin, banyak dari pendukung LGBT dan kalangan
liberal yang mendukung dan berusaha meloloskan draf RUU PKS," cetus
Mhayeldi. [JP]
HRS Center: RUU PKS Tak Sesuai dengan
Ajaran Islam
Pendiri HRS Center, Abdul Chair Ramadhan
memandang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tak
sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Di menambahkan, RUU PKS mengesampingkan
prinsip-prinsip dasar pernikahan yang diatur oleh Islam.
“Asas pernikahan yang diatur dalam agama Islam
itu dikesampingkan dengan pemikiran-pemikiran liberal. Jadi ada inkonsistensi
antara ajaran agama dan pemahaman kaum liberalisme dalam RUU PKS,” ujar Abdul
Chair kepada Kiblat.net di Jakarta pada Rabu (06/02/2019).
Anggota Komisi Hukum dan
Perundang-undangan MUI itu juga menilai bahwa pengajuan RUU PKS sangatlah
berlebihan.
Menurutnya, poin-poin dalam pasal-pasal RUU PKS
sudah banyak diatur dalam undang-undang yang lain, sehingga RUU PKS tak
diperlukan.
“Kan sudah ada undang-undang perkawinan, sudah
ada undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. Diatur kok tentang hal-hal
kekerasan psikis itu. Untuk apa lagi ada RUU PKS,” katanya.
Merujuk isi pada RUU PKS, bisa saja nantinya
ada suami yang mengajak istrinya berhubungan, lalu istrinya merasa terpaksa
kemudian melaporkan suaminya karena dianggap telah melakukan kekerasan seksual.
“Sedangkan melayani suami itu adalah ibadah,”
imbuh Abdul Chair.
Dia pun mengatakan ada banyak pihak yang
diuntungkan jika RUU PKS disahkan. Yaitu mereka yang tidak ingin Islam berdiri
dan berlaku secara kaffah.
“Diantaranya pendukung sipilis, sekuler
liberalis. Berbahayanya RUU PKS ini menegasikan ajaran Islam tentang
pernikahan,” pungkasnya.
Terkait Dengan RUU PKS, Direktur INSISTS:
Ada Akar Ideologi Feminis Radikal!
Direktur Eksekutif Institute for the
Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr. Henri Shalahuddin, MA
mengkritisi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Menurut Henri, meskipun RUU ini dimunculkan untuk melindungi perempuan
dari kekerasan seksual, akan tetapi perlindungan negara bukan hanya terhadap
perempuan saja.
“Tetapi laki-laki, perempuan, tua-muda
harus mendapatkan perlindungan maksimal dari negara,” ungkap Henri dalam
diskusi “Kiblat Review: RUU PKS” di Studio Kiblat News, Jum’at (01/02/2019).
Henri juga menyayangkan penggunaan
kata-kata yang manipulatif, seperti kalimat “kekerasan dalam perlindungan
terkait seksualitas”.
“Kenapa tidak kejahatan? Kalau dalam KBBI
tentu ada perbedaan yang sangat mendasar. Kekerasan dan kejahatan, kalau
kekerasan dalam KBBI adalah pemaksaan, dan ini yang dimaksud pengusung RUU PKS
ini,” jelasnya.
Jadi, Henri memandang bahwa perlindungan
kekerasan seksual itu perlindungan hanya untuk kaum rentan, dalam artian kaum
rentan versi para pengusung RUU.
“Ini yang perlu dipertanyakan lagi, jadi
kaum rentan itu ujung-ujungnya kaum minoritas dalam perilaku seksualitas,
seperti gay, lesbi, dan seterusnya itu,” ungkap Henri.
Ia juga menyinggung nilai-nilai paham
ideologi asing yang dimasukkan ke dalam RUU PKS ini.
“Ini kelanjutan dari RUU KKG (Kesetaraan
dan keadilan gender) yang sudah di tolak dan mati suri itu, itu dari redaksi
bahasa yang mereka susun itupun ini sudah terjemahan dari undang-undang negara
lain yang mau di aplikasikan disini,” jelas Henri.
Henri menambahkan bahwa RUU PKS hanya
melindungi sebagian kecil kelompok tertentu dari sekian ratus juta bangsa
Indonesia.
“Kalau begini caranya, RUU PKS ini adalah
bentuk kekerasan terhadap mayoritas bangsa Indonesia, jadi dia main paksa dan
itu memang ciri khas feminis,” tegasnya.
Dalam pandangan Henri, kelompok feminis itu
berjuang di ranah konstitusi, dan mereka selalu mengklaim dirinya bebas
tetapi memaksa orang lain tidak bebas, sehingga melepaskan kebebasan yang
mereka anut sendiri.
“Terkait dengan RUU PKS ini ada akar ideologi
dari feminis radikal. Jadi feminisme itu banyak alirannya, ada feminis liberal,
sosialis, marxis, ada feminis global dan banyak lagi,” pungkasnya.
Komnas Perempuan sebagai salah satu
penggagas kampanye penghapusan kekerasan seksual di Indonesia merumuskan arti
kekerasan seksual sebagaimana definisi PBB, namun ditambahkan frasa “karena
ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”.
“ … setiap perbuatan merendahkan,
menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang terkait
dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi
reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau
perbuatan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan
persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi
gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan
secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau politik.” (Dikutip dari berbagai sumber kampanye komnas perempuan,
Naskah Ademik dan Draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual)
Definisi kekerasan seksual menggaris bawahi
dari frasa relasi kuasa dan/atau relasi gender serta digaris bawahi oleh
kata-kata consent (persetujuan). Artinya, filosofi mendasar dari konsep
kekerasan seksual atau RUU PKS ini bukan pada baik/halal atau buruk/haramnya
suatu perilaku seksual, tetapi pada suka atau tidak sukanya (persetujuan) si
pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.
Aroma Kebebasan Seksual
Sebagai contoh Frasa ‘kontrol seksual’
pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya
mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol
dari pihak lain. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan
hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial termasuk memilih
seks bebas, kumpul kebo, dan LGBT. Pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum,
sedangkan yang sukarela diperbolehkan.
Turunannya seorang istri bisa sesuka
hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk
berhubungan, atau mencolek istrinya sedangkan istrinya tidak mau, maka
terkategori pemerkosaan.
Lebih jauh lagi, tidak boleh ada
pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Maka, orang tua
yang mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat dapat dipidanakan
karena melakukan kontrol seksual dalam hal busana, ekstrem bukan?
Kalimat hukum yang tertera dalam draft
tersebut seolah manis mengangkat isu seksualitas terutama kekerasan pada
perempuan padahal bak buah simalakama, konsekuensi dari hal tersebut ialah free
sex, berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi.
Tentu saja RUU PKS ini perlu diwaspadai,
terutama pasal-pasal dalam rancangan tersebut sarat dengan agenda feminis kaum
liberal, sebagaimana yang disampaikan oleh Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia (MIUMI) Ustaz Bachtiar Nasir, beliau mengungkapkan bahwa saat
ini kelompok feminis radikal telah mengusung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
(PKS) untuk mengelabui masyarakat Indonesia. Hal itu beliau ungkapkan saat
memberi kajian di Insan Cendekia Madani (ICM), Serpong, Tangerang Selatan,
Banten, Rabu, (23/1/2019).
Kalau kita amati tentang terjadinya
kekerasan seksual di masyarakat, terjadi karena masyarakat kita saat ini hidup
di dalam sebuah kehidupan yang liberal (bebas). Naluri seksual akan bisa
terjaga fitrahnya jika tidak ada faktor yang merangsang kemunculannya. Namun
faktanya dalam kehidupan kita, senantiasa disuguhi dengan pornografi dan
pornoaksi, dan ini dilegalkan oleh negara.
Betapa banyaknya perempuan yang mengumbar
tubuh seksinya, bahkan dalam tataran keluarga pun mereka tidak memiliki
pengaturan pergaulan dengan anggota keluarga yang lain sehingga sering kita
temui justru yang melakukan tindakan kekerasan seksual adalah keluarga terdekat
mereka.
Faktor pemikiran materialistik pun
menjadi momok yang menjijikkan di tengah masyarakat. Bagaimana masyarakat
memandang materi adalah puncak dari kebahagiaan, sehingga beberapa kalangan
menganggap prostitusi suka sama suka dengan bayaran puluhan juta bahkan ratusan
juta adalah hal yang patut dibanggakan.
Sebaliknya, kehidupan suami dan istri
dalam lingkup keluarga justru dianggap sebagai perbudakan kepada perempuan,
na’udzubillahi min dzalik. Semua ini adalah buah dari sistem sekulerisme yang
melingkupi kehidupan kita.
Permasalahan seksual dan solusi yang
ditawarkan memang masih tambal sulam. Solusi yang tambal sulam ini pun nyata
akhirnya bukannya menyelesaikan permasalahan, justru menuai konflik demi
konflik. Hal ini terjadi karena sistem saat ini membiarkan bahkan seolah
menjadikan tuntutan agar masing-masing kepala berfikir untuk mencari solusi
terhadap setiap permasalahan yang terjadi.
Islam sebagai agama yang sempurna
memiliki peraturan antara laki laki dan perempuan. Aturan pergaulan dalam Islam
ini sangat praktis jika dilegislasi menjadi qanun (undang-undang) beserta
dengan sistem sanksinya.
Adanya ketaqwaan individu dengan aqidah
yang benar, kontrol masyarakat, aturan dalam keluarga dan yang terakhir adalah
penerapan syariat oleh negara karena negara-lah yang berhak menghukum adanya
tindakan kriminal di tengah masyarakat.
Penerapan hudud oleh negara, misal
penerapan rajam ataupun hukum cambuk untuk pezina akan memberikan efek yang
luar biasa bagi masyarakat ataupun pezina itu sendiri. Bagi pezina, hudud yang
diberlakukan oleh negara akan menjadi penghapus dosa zina-nya sehingga tidak
akan lagi dihukum oleh Allah SWT di akhirat.
Negara juga menerapkan sistem pendidikan
dan pergaulan sesuai dengan Islam. Menjamin informasi bersih dari pornografi dan
pornoaksi. Menjamin pengaturan ekonomi untuk masyarakat, serta menjamin
kewajiban suami sebagai kepala keluarga bisa terpenuhi dengan menyediakan
pekerjaan yang layak bagi mereka. Inilah solusi tuntas kekerasan seksual.
Pendiri Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia (MIUMI) Fahmi Salim menyatakan pihaknya menolak RUU PKS karena
ada poin yang menggiring masyarakat melakukan tindakan bebas. Beberapa poinnya
adalah isu soal legalisasi LGBT.
“Kekerasan
seksual yang dilakukan suka sama suka boleh saja, Anda kumpul kebo boleh kawin
sejenis walau bertentangan masih boleh. Istri yang menolak hubungan suami istri
juga dikriminalisasi. Ini yang tidak boleh,” tutup Fahmi.
Di dalam draf UU PKS, terdapat sembilan
jenis bentuk kekerasan seksual yang dijabarkan secara detail. Kekerasan itu
ialah, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan
pemaksaan aborsi.
Kemudian ada perkosaan, pemaksaan
perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Sumber: cnn indonesia
AILA Menilai Langkah Penghapusan RUU P-KS
Justru Bentuk Kekerasan Seksual
Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia
memandang, RUU P-KS (Penghapusan Kekerasan Seksual) merupakan proyek kaum
feminis yang ingin mengubah cara pandang masyarakat Indonesia terhadap isu
seksualitas.
Ketua Bidang Media Aila Suci Susanti
menyatakan, banyak perempuan yang tertipu dengan berbagai tawaran solusi yang
diberikan. Atas nama penghapusan kekerasan seksual, masyarakat Indonesia justru
mendukungnya.
“Padahal jika dicermati, banyak agenda
tersembunyi dalam definisi maupun berbagai pasal dalam RUU ini,” katanya Kamis
(24/1).
Menurutnya, Filosofi RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual (P-KS) membebaskan tubuh perempuan (dari nilai moral dan
agama). Dirinya mempertanyakan, yang mengontrol tubuh perempuan (contohnya
mengatur cara berpakaian) maka, kata Suci penghapusan RUU ini telah melakukan
kekerasan seksual dan harus dipidanakan.
“Maka dalam RUU P-KS ini perzinaan, LGBT,
pelacuran, aborsi, tidaklah dilarang (bukan kejahatan) apabila dilakukan dengan
kesadaran atau tanpa paksaan (by consent),” ungkapnya.
Ia menjelaskan, RUU P-KS ini akan menjadi
prioritas untuk disahkan di tahun 2019. Suci juga menekankan, kekerasan seksual
tidak sama dengan kejahatan seksual.
Suci menuturkan, kekerasan seksual
asasnya tidak ada paksaan. Aktivitas seksual yang haram jika dilakukan dengan
kesadaran (suka sama suka) bukanlah suatu kejahatan.
“Kejahatan seksual justru melanggar norma
dalam masyarakat, melanggar moralitas dan nilai – nilai agama,” pungkasnya.
Oleh karena itu, AILA mengajak untuk
menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena RUU P-KS ini tidak akan
mengkriminalisasi para pelaku kejahatan seksual.
Reporter: rhio
Penolakan mengenai RUU PKS sebelumnya
datang dari sebuah petisi yang dibuat Maimon Herawati, pengajar di Universitas
Padjajaran, di situs Change.org. Maimon menilai RUU PKS pro zina lantaran
karena tidak ada pengaturan kejahatan seksual, yaitu hubungan seksual yang
melanggar norma susila dan agama. Selain itu, Maimon juga berpandangan bahwa
RUU PKS membolehkan lelaki berhubungan dengan sesama lelaki asal suka sama
suka. Juga menganggap konsekuensi RUU PKS adalah seks bebas.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan
Maimon Herawati menolak RUU PKS. Di antaranya RUU ini dianggap berpotensi
melegalkan perzinahan.
“Pemaksaan hubungan seksual bisa kena
jerat hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka, walaupun di luar
pernikahan, diperbolehkan. Zina boleh kalau suka sama suka,” tulis Maimon.
Maimon juga menuding bahwa RUU PKS
melegalkan aborsi dan LGBT.
"Pemaksaan aborsi bisa dijerat
hukum, sedangkan yg sukarela diperbolehkan. Bahkan, seorang ibu yg memaksakan
anak perempuan nya untuk berhijab, bisa dijerat hukum. Ekstrim, bukan?”
Tulisnya.
“Relasi yg dibahas adalah relasi kuasa
berbasis gender, artinya lelaki boleh berhubungan badan dengan sesama lelaki,
asal suka sama suka.”