“Saya
ingin menunjukkan bahwa kebrutalan Israel ini didukung oleh negara-negara
Barat. Saya juga dengan sangat sedih ingin mengatakan bahwa beberapa negara
Arab turut melakukan ini,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Tuduhan
serius terhadap “beberapa negara Arab” di atas disampaikan dalam pertemuan
menteri sosial negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul,
akhir tahun lalu.
Menurut
Ibnu Rajab, pengamat dunia Islam dan Timur Tengah, sikap Erdogan yang senang
mengumbar seperti di atas yang membuat orang Arab tidak simpati.
Semua
tahu, kawasan yang paling terdampak oleh manuver Israel adalah negara-negara
Arab.
Ketika
Jordan kehabisan uang karena dana untuk 3,2 juta pengungsi dari PBB diveto AS,
yang membantu Jordan adalah Saudi Arabia. Begitu juga Qatar yang menyuntik dana
ke Palestina jutaan dollar.
Disisi
lain, Turki justru menikmati hubungan dagang hingga militer dengan Israel.
Bahkan tidak tercatat ada komunitas Palestina di Turki. Pun, kerjasama Mossad
dan intelijen Turki sudah lama terjalin.
Saat
Amerika menghentikan support ke UNRWA sejak 2 tahun lalu, posisinya digantikan
oleh Saudi dan UEA. Tidak banyak publikasi dan gaduh di media masssa seperti
Erdogan.
Ketika
Erdogan menggagas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Muslim di Kuala
Lumpur, Malaysia (18-21 Desember 2019), dia menuding ketidakhadiran Pakistan
karena ancaman Arab Saudi yang akan mengusir 4 juta ekspatriat Pakistan dan
menarik kembali investasinya.
KTT
KL yang sedianya mengundang 56 negara anggota OKI, tetapi hanya sedikit yang
hadir. Pemimpin negara kekuatan utama dunia Islam menolak untuk hadir dalam
konferensi tersebut. Yang hadir, kebanyakan tokoh Ikhwanul Muslimin dan
negara-negara yang mendukung gerakan mereka.
Saat
fasilitas minyak Saudi Aramco di Baqiq dan Khurais terbakar karena serangan
drone, Erdogan
mengomentari: “Agar kita ingat siapa yang pertama kali mengebom
Yaman? Kami akan melihat di mana (bencana) dimulai.” Tapi
apa yang dilakukan Raja Salman ketika terjadi gempa di Izmir Turki? Khadimul
Haramain perintahkan segera mengirim bantuan kemanusiaan dan medis melalui
KSRelief untuk korban gempa yang mematikan tersebut.
Dalam
sebuah kesempatan pidato, Erdogan menegaskan posisinya bersama negara Iran dan
Qatar, dua negara yang dikucilkan di Timur Tengah atas dukungannya terhadap
terorisme.
Kemudian
di dalam negerinya, dia berbicara ancaman dan
hinaan kepada negara Arab: “kita jangan sampai lupa,
sesungguhnya negera mereka belulm ada sebelumnya dan bisa jadi tidak akan
pernah ada di masa akan datang.” The
Peninsula, media Qatar berbahasa Inggris, menuliskan bahwa di sela-sela
kunjungan kerja Presiden Turki ke Doha, Erdogan membuat ancaman implisit ke
negara-negara di kawasan Teluk, menuduh mereka berusaha menyebarkan kekacauan.
Erdogan
tidak menyebutkan negara tertentu. Namun, dia berkata, “Tidak ada yang boleh
mengganggu kehadiran Turki dan tentaranya di Teluk, kecuali pihak-pihak yang
ingin menyebarkan kekacauan.”
Tidak
ketinggalan media Turki, hatta Kantor Berita Resmi Turki, Anadolu
Agency (AA) sering memanipulasi berita, menyebarkan hoax dan fitnah.
Di
antaranya yang dikonter stasiun televisi berita Arab Saudi, Al-Ikhbariyah,
yang merilis video sebagai tanggapan AA, yang mengklaim ruwwaq (lorong)
Utsman bin ‘Affan di Masjidil Haram dibangun di era Daulah Utsmaniyah.
Di
saat pandemi pada puncaknya, portal berita AA menulis judul yang lagi-lagi
penuh tuduhan: “Houtsi Mengatakan Arab Saudi Mengirim Kasus Covid-19 ke Yaman.”
AA
mengutip berita dari milisi syiah Houtsi di Yaman yang memberontak kepada
pemerintah Yaman.
Saat
Arab Saudi mulai melarang perkumpulan massa untuk menghindari penyebaran virus
corona, AA menulis di twitternya dengan sinis: “Breaking | Ketakutan
melumpuhkan kehidupan sosial di Arab Saudi…. penangguhan acara pertemuan
di hall dan hotel-hotel.”
Tidak
cukup disitu, orang Turki yang ikut-ikutan melakukan propaganda anti Arab.
Mereka
menganggap bahwa tanggal 23 September adalah hari di mana rakyat Saudi
merayakan “Hari Kemerdekaan” dari Turki.
Padahal,
tanggal tersebut merupakan hari di mana nama Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah
al-Arabiyah al-Saudiyah) resmi ditetapkan sebagai ganti dari nama “Kerajaan
Nejd dan Hijaz beserta Anneksnya” (Mamlakah al-Najd wa al-Hijaz wa Mulhaqatiha.
Beberapa
kutipan berita di atas hanyalah segelintir contoh sikap Presiden, media dan
sebagian rakyatnya.
Wajar,
jika terjadi respon negatif dari warga Arab, bukan hanya Saudi. Muncullah aksi
boikot sebagai jawaban atas semua di atas.
Tidak
heran, jika da’i masyhur Aidh Al-Qarni, menyerang sangat tajam kepada Presiden
Turki, Recep Tayyip Erdogan.
Melalui
video yang diunggah sepanjang 6.45 menit tersebut, Al-Qarni mengatakan bahwa
pemimpin Turki tersebut sangat memalukan dan dianggap sebagai “pengobral
kata-kata.”
Al-Qarni
sengaja mengunggah video serangannya tersebut, menebus apa yang telah
dilakukannya sebelumnya, yaitu dengan memuji-muji Erdogan.
Netizen
yang tidak paham kronologi ini, cenderung menyepelekan dengan menganggap “cuma
para guluwer masing-masing-nya yang sering cakar-cakaran.”
Atau
ada yang menggangap bahwa upaya membongkar hakekat Erdogan dan Turki dituding
sebagai agen pemecah belah persatuan umat.
Maka
ketahuilah, persatuan tidak akan tegak di atas sifat hipoktrit dan kebijakan
pemimpin yang hanya melontarkan fitnah dan perpecahan.[]
*)
Mohammed Fachri, Wapemred Saudinesia