PBNU Minta Pemerintah Tutup Akun dan Media
Online Kelompok Wahabi
Kelak akun dan media online ormas lainnya (M-P-AI dll) diminta ditutup, akhirnya merajalela akun dan media online islam nusantara, sekte syiah, ilmu perdukunan dan mistik-mistik, ilmu khurafat, cara-cara ritual dikuburan, ilmu santet, ilmu pengkultus individu, media didominasi tokoh-tokoh yang gemar narasi- narasi kotor (seperti kata-kata goblok kepada golongan lain), kelak sdm umat islam indonesia jeblok dan gaptek, tidak mampu bersaing dengan bangsa lain. Dikhawatirkan, ulama khibar al-lajnah ad-daimah lil ifta arab saudi dan kerajaan arab saudi mengeluarkan balasan, tokoh- tokoh jahat tehadap salafi (islam yg haq, al an'am 153) di black list (persona non grata) dan dilarang masuk negeri tauhid- khadimul haramain al-syarifain (Saudi Arabia), bahkan lebih dari itu, akhirnya umat islam indonesia yang mayoritas - hatinya bersih - berharap janah, sangat dirugikan.
Said Aqil Siraj kembali melontarkan gagasan
adanya ancaman Wahabi lewat media online. Dia mengingatkan bahwa saat ini
Wahabi mendominasi media online, dan narasinya
radikal dan intoleran sehingga harus ditutup. Ketua umum PBNU ini
memandang bahwa media online inilah yang membuat masyarakat berpikir radikal
dan intoleran. Bagi masyarakat yang bersumbu pendek dan berwawasan lokal, maka
narasi alumnus Ummul Qura’ ini akan ditelan mentah-mentah dan berbalik memusuhi
media itu. Namun bagi mereka berwawasan global akan menyadari bahwa hal itu
sebagai bentuk kegalauan melihat perkembangan dakwah Salafi-Wahabi yang pesat,
baik di perkotaan maupun pinggiran desa. Tidak seharusnya pemimpin ormas Islam
terbesar menggunakan pendekatan kekuasaan, tetapi hendaknya mengedepankan cara-cara persuasif dan literatif,
sehingga masyarakat tidak terbelah.
Meskipun demikian, masyarakat saat ini lebih cerdas dan selektif dalam menilai
media mana yang mencerahkan dan mana yang memburamkan. Wahabi dan Media online Said Aqil menyampaikan gagasan agar pemerintah
menutup akun dan media online Wahabi. Hal ini disebabkan media-media online
Wahabi ini dipandang menyebarkan radikalisme. Oleh karena itu, Ketua umum PBNU
itu meminta ketegasan Menkoinfo untuk menutup akun media sosial dan media
online, dan meyakinkan agar tak khawatir memblokir situs-situs tersebut. Sebab
tindakan itu mendatangkan pahala dan sesuai perintah Al-Qur’an. Pernyataan ini
dia sampaikan saat acara Harlah ke 98 PBNU sekaligus peluncuran NU mobile dan
televisi Channel. (moslemtoday.com 28/2/2021) Apa yang disampaikan bisa jadi akan menciptakan
kegaduhan tapi bisa jadi dianggap sebagai angin lalu. Dikatakan menciptakan
kegaduhan, karena akan menghidupkan kembali dua kelompok masyarakat hingga
saling berhadap-hadapan, saling tuduh dan saling umpat. Satu kelompok
menyatakan dirinya sebagai pengawal panji toleransi, dan yang lain membela
secara a-priori. Hal ini jelas merusak jalinan ukhuwah Islamiyah di antara
mereka. Namun dengan lontaran ini, masyarakat akan mendiamkan dan wacana
kegelisahan Said Aqil ini akan hilang dengan sendirinya. Hilang sendirinya,
karena masyarakat sudah terdidik dan bisa membedakan mana media yang
mencerahkan dan media yang sedang kehilangan arah, sehingga menjual isu ancaman
Wahabi. Masyarakat yang sudah terdidik ini sudah memahami mana media yang
menjadi sumber pengetahuan, dan mana media yang menjadi sumber caci maki-adu
domba.Upaya mengikis media Wahabi memang sudah
diupayakan seiring dengan gencarnya dakwah Wahabi lewat media online. Wahabi
yang dilekatkan pada kelompok Salafi terus mengalami hantaman, karena distigma
dengan menyebarkan ajaran garis keras, seperti intoleransi terhadap
budaya-budaya lokal. Kajian-kajian Salafi yang mengalir setiap saat, baik di
instansi pemerintah, kantor, masjid, dan bahkan di rumah-rumah, membanjiri dan
menjadi papan atas di berbagai media online. NU online sendiri mengakui bahwa media online
Wahabi memasuki wilayah internet dan masuk dalam peringkat 10 besar media
online berlatar Islam intoleran. Dikatakan intoleran, karena mengampanyekan
Islam penuh amarah, serba menyalahkan berbagai tradisi local dengan tudingan
bid’ah dan sebagainya. Dalam pandangan mereka, realitas inilah yang memunculkan
kesan bahwa wajah Islam di Indonesia tidak ramah, bahkan radikal. NU online sendiri mengakui bahwa mereka kalah
dominasi di media, khususnya media onlime. NU online mengakui bahwa dirinya
sebagai salah satu media Islam non-wahabi yang ada di 10 besar. Kalau lima
tahun lalu, NU online belum masuk 20 besar, dan dengan perjuangan gigih tiada lelah, akhirnya
masuk dalam 10 besar. Keberhasilan itu belum prestisius karena tidak
menggambarkan kondisi dunia nyata dimana NU adalah organisasi terbesar dengan
jumlah anggota terbanyak, yang seharusnya mewarnai dunia maya. Namun pada
kenyataanya, media online berlatar Wahabi justru yang mendominasi. Kegelisahan terhadap media online Wahabi
merujuk pada pernyataan Said Aqil beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa
aliran Wahabi mengajarkan larangan ziarah kubur, tahlilan, haul, dan
istighosah. Semua perbuatan itu dikatakan bid’ah, dan bila demikian maka
seluruh amalan yang selama ini dilakukan oleh para pendahulu dan tokoh NU
dikatakan sebagai bid’ah. Seiring dengan tersebarnya larangan terhadap
perbuatan bid’ah, lewat media online ini, maka inilah relevansi ungkapan Said
Aqil untuk menutup media online Wahabi. Kesalahan Generasi Terdidik Masyarakat yang semakin terdidik dan
tercerahkan memandang bahwa apa yang dilontarkan Said Aqil selalu pemimpin
ormas terbesar yang merasa gelisah terhadap perkembangan dakwah Salafi yang
sangat akseleratif. Kalau kaum terdidik muslim saat ini menyadari saat ini umat
Islam sedang ,emgalami kolonisasi pemikiran-pemikiran liberal. Kesadaran
kolektif umat Islam saat ini sedang disingkirkan dengan wacana ancaman media
online berbasis Wahabi.Tudingan media online Wahabi sebagai bahaya
munculnya radikalisme, dipandang oleh muslim terdidik, sebagai upaya untuk
menutupi upaya liberalisasi Islam. SKB tiga menteri yang melegalkan lepasnya
jilbab, permintaan PGI agar mengevalusi pembelajaran mata pelajaran sejarah
Islam, hingga munculnya Perpres yang membuka investasi miras, justru tidak
menjadi perhatian Said Aqil. Berdirinya pondok pesantren dan lembaga
pendidikan berbasis Salafi-Wahabi yang demikian menjamur justru belum pernah
ternodai atau melahirkan pemikiran-pemikiran radikal. Justru kelompok ini yang
melakukan gerakan deradikalisasi, dan pemerintah tidak pernah merasa mengganggu
terdapa keberadaannya. Fokus pada dakwah dan pendidikan inilah yang membuatnya
eksis, dan masyarakat mempercayakan anak-anak mereka dididik di lembaga
pendidikan atau pesantren Salafi-Wahabi. Betapa mahalnya ongkos sosial yang akan
dirasakan pemerintah bila lontaran Said Aqil ini ditanggapi. Ketika media
online Wahabi ini ditutup, jelas akan merembet pada tuntutan penghentian
aktivitas pesantren dan lembaga pendidikan yang berbasis Salafi-Wahabi. Apa
yang digagas Said Aqil, untuk menutup media online Wahabi, tidak lebih sebagai
kegelisahan Said Aqil atas merebaknya dakwah Salafi-Wahabi yang sangat
akseleratif. Biarkan kaum muslimin yang menilai mana di antara gerakan dakwah
yang membawa ketenteraman dan mana yang menciptakan kekacauan batin. Mereka
sudah terdidik, tercerahkan, dan tak perlu diombang-ambingkan.Surabaya, 1 Maret 2021Oleh : Dr. Slamet Muliono Redjosari (Dosen di
STAI Ali bin Abi Thalib dan Direktur Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP)
Surabaya)
Said Aqil Siraj kembali melontarkan gagasan adanya ancaman Wahabi lewat media online. Dia mengingatkan bahwa saat ini Wahabi mendominasi media online, dan narasinya radikal dan intoleran sehingga harus ditutup. Ketua umum PBNU ini memandang bahwa media online inilah yang membuat masyarakat berpikir radikal dan intoleran. Bagi masyarakat yang bersumbu pendek dan berwawasan lokal, maka narasi alumnus Ummul Qura’ ini akan ditelan mentah-mentah dan berbalik memusuhi media itu. Namun bagi mereka berwawasan global akan menyadari bahwa hal itu sebagai bentuk kegalauan melihat perkembangan dakwah Salafi-Wahabi yang pesat, baik di perkotaan maupun pinggiran desa. Tidak seharusnya pemimpin ormas Islam terbesar menggunakan pendekatan kekuasaan, tetapi hendaknya mengedepankan cara-cara persuasif dan literatif, sehingga masyarakat tidak terbelah. Meskipun demikian, masyarakat saat ini lebih cerdas dan selektif dalam menilai media mana yang mencerahkan dan mana yang memburamkan.