Nama Pria ini melegenda dikalangan Sejarawan Muslim
dan barat. Seorang musafir yang membukukan kunjungannya kepenjuru bumi dalam
sebuah buku Fenomenal yang terkenal dibarat maupun ditimur. Buku tersebut
berjudul Rihlah Ibnu Bathutah.
Buku tersebut menjadi acuan sejarawan muslim dan barat
dalam menulis kejadian-kejadian penting pada masa yang dialami Oleh Ibnu
Bathutah.
Terkait hal ini, penggalan hikayat dari Ibnu Bathutah
yang menceritakan kisah ibnu Taimiyah menjadi buah bibir dikalangan para
pembela dan musuhnya.
Dalam penggalan kisah tersebut ibnu Bathutah
menyebutkan
“Saat itu aku di Damaskus, lalu aku
menghadiri majelisnya (Ibnu Taimiyah) pada hari Jum’at, saat ia berada di atas
mimbar Masjid Jami’ sedang menasehati kaum muslimin dan mengingatkan mereka.
Adapun dari sekian perkataannya, ia (Ibnu Taimiyyah) berkata,
‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia
seperti turunku ini’, lalu ia turun satu tangga dari mimbar. Maka seorang
ahli fikih bermadzhab Maliki yang dikenal dengan nama Ibnu az Zahra
menentangnya”[1]
Dari penggalan kalimat tersebut bertambahlah keyakinan
musuh-musuh Ibnu Taimiyah bahwa beliau menyamakan Allah dengan makhluk dan
beraqidahTajsim atau yang terkenal dengan golongan Mujassimah.
Jika para penentang Ibnu Taimiyah mau jujur dan
obyektif, maka tulisan-tulisannya yang beratus-ratus jilid menjadi saksi bahwa
beliau justeru menentangn Aqidah Tajsim dan bahkan
Mengkafirkannya.
Lalu
bagaimana dengan penuturan Ibnu Bathutah? Apa buktinya bahwa dia telah berdusta?
Kebohongan
itu bangkai dan bau busuknya pasti tercium.
Meskipun
menjijikan, saya terpaksa mengajak pembaca untuk mencium bau itu dari 2 Aspek
Pertama:
Ibnu Bathutah
Ibnu Hajar
Al Atsqalani telah menorehkan pena untuk menulis Biografi Ibnu Bathutah dalam
kitabnya Durarul Kamina.
Beliau menyebutkan:
قال ابن حجر في الدرر الكامنة ج: 3 ص: 48 رقم (1285) :
محمد بن عبد الله بن ابراهيم بن محمد بن ابراهيم بن يوسف اللوائي
الطنجي أبو عبد الله ابن بطوطة. قال ابن الخطيب : كان مشاركا في شىء يسير ورحل إلى
المشرق في رجب سنة 25، فجال البلاد وتوغل في عراق العجم، ثم دخل الهند والسند
والصين ورجع على اليمن فحج سنة26، ولقى من الملوك والمشايخ خلقا كثيرا، وجاور ثم
رجع إلى الهند فولاه ملكها القضاء، ثم خلص فرجع الى المغرب فحكى بها أحواله وما
اتفق له وما استفاد من أهلها. قال شيخنا أبو البركات ابن البلفيقي : حدثنا بغرائب
مما رآه، فمن ذلك : أنه زعم انه دخل القسطنطينية فرأى في كنيستها اثني عشر ألف أسقف، ثم انتقل إلى
العدوة ودخل بلاد السودان، ثم استدعاه صاحب فاس، وأمره بتدوين رحلته. انتهى. وقرأت
بخط ابن مرزوق : إن أبا عبد الله بن جزي (ت756هـ) نَمَّقَها وحررها بأمر السلطان
أبي عنان، وكان البلفيقي رماه بالكذب فبرأه ابن مرزوق وقال : إنه بقى إلى سنة سبعين، ومات وهو متولى القضاء
ببعض البلاد. قال ابن مرزوق : ولا اعلم أحدا جال البلاد كرحلته، وكان مع ذلك جوادا
محسناً. انتهى
Arti yang bergaris bawah:
Aku telah membaca tulisan ibnu Marzuq, :
“Sesungguhnya Abu Abdillah bin Jizy Al kalbi menulisnya dan mengeditnya atas
perintah sulthan Abi Annan, sedangkan Al Balfiqy menuduhnya sebagai pendusta”
Dari penuturan Ibnu Hajar yang membaca tulisan Ibnu
Marzuq diatas terlihat bahwa Rihlah Ibnu Bathutah bukan
ditulis Ibnu bathutah sendiri, namun ditulis oleh Abu Abdillah bin Jizy Al
kalbi sedangkan guru beliau yang bernama Al Imam Al Balfiqi menuduh pria ini
sebagai pendusta. Dari perkataan Al Balfiqi juga mengandung isyarat bahwa
beliau mendustakan cerita ibnu Bathutah dengan memilih kata Zaama ketika
menceritakan kisahnya di Konstantin. Siapapun yang mengerti ilmu ushul pasti
mengetahui bahwa zaama digunakan sebagai isyarat untuk
melemahkan sebuah riwayat atau pendapat.
Dalam tempat lain sejarawan Muslim Kontemporer yang
bernama Ibnu Khaldun menceritakan dalam Muqaddimahnya bahwa banyak cerita aneh
ditampilkan ibnu Bathutah , sebagai contoh ia mengatakan bahwa raja di India
itu kalau ingin bepergian jauh maka ia akan memberikan bekal kepada rakyat yang
ia tinggalkan seukuran untuk 6 bulan. Bahkan di dalam kitab tersebut Ibnu
Bathutah juga menyebutkan bahwa ia mengunjungi sebagian jazirah dan negeri dimana
wanitanya hanya memiliki satu payudara.
Dari beberapa keanehan ini terlihat bahwa Rihlah ibnu
Bathutah kurang memiliki nilai Ilmiyah untuk dijadikan sandaran.
Kedua : Konten Cerita
Dalam kitab tersebut Ibnu Bathutah menyebutkan:
“Saat
itu aku di Damaskus,lalu aku menghadiri majelisnya (Ibnu Taimiyyah) pada
hari Jum’at, saat ia berada di atas mimbar Masjid Jami’ sedang menasehati kaum
muslimin dan mengingatkan mereka”
Sangat jelas nukilan dari Ibnu Bathutah bahwa dia
menghadiri majelis tersebut didamaskus, namun kebohongannya terkuak lewat
tulisannya sendiri pada halaman-halaman sebelumnya yang menceritakan rentetan
kejadian di Damaskus dimana dia mengatakan:
Aku
masuk Ba’labak siang hari, lalu aku keluar darinya pada pagi hari, karena
sangat rinduku terhadap kota Damaskus. Dan aku sampai ke kota Damaskus, Syam,
pada hari Kamis, 9 Ramadhan yang agung tahun726 H. Aku pun singgah disana,
di Madrasah al Malikiyah yang dikenal dengan asy Syarabisyiyah.[2]
Jika kita bandingkan dengan tulisan para ahli dan
murid-murid Ibnu Taimiyah maka kan terlihat kontradiksinya. Perhatikan!
Pada Kitab Syarah Qashiidah Ibnul Qayyim (Juz
1, hal. 497) dikatakan,
“Kebohongannya sudah tampak jelas, tidak memerlukan
lagi berpanjang ulasan. Dan Allah-lah Yang Maha Penghitung kebohongan pendusta
ini. Dia (Ibnu Bathuthah) menyebutkan dia masuk ke Damaskus 9 Ramadhan 726
H, padahal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika itu sudah ditahan di benteng
(al Qal’ah) sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama terpercaya, seperti
murid beliau sendiri, Al Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul Hadi dan juga
oleh Al Hafizh Abil Faraj ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab dalam kitab Thabaqat
Hanabilah.
Ia berkata mengenai biografi Syaikh (Ibnu Taimiyyah)
dalam Thabaqat-nya tersebut:
‘Syaikh telah ditahan di benteng itu dari bulan Sya’ban
tahun 726 H sampaiDzulqa’dah tahun 728 H’.
Ibnu ‘Abdul Hadi menambahkan:
‘Ia (Ibnu Taimiyyah) memasuki (tahanan) di benteng
itu pada 6 Sya’ban’
Maka lihatlah pendusta ini (Ibnu Bathuthah) yang
menyebutkan bahwa dia telah menyaksikan Ibnu Taimiyyah sedang memberi nasihat
kepada kaum muslimin di atas mimbar mesjid jami’. Padahal Syaikh (Ibnu
Taimiyyah) rahimahullah setelah masuk ke benteng (tahanan) tersebut pada
tanggal tersebut pula, maka beliau tidak pernah keluar darinya kecuali di atas
kereta jenazah (pada hari wafatnya, Dzulqa’dah 728 H)”
Cerita-cerita penahanan ibnu Taimiyah yang membawanya
kepada Azal ini amat terkenal dikalangan para Sejarawan. Bahkan Ibnu hajar Tak
ketinggalan menuliskan cerita ini di Durarul Kaminah dengan
menukil dari As Shafadi beliau mengatakan:
ثم قاموا عليه في شهر رمضان سنة 719 بسبب مسألة الطلاق وأكد عليه
المنع من الفتيا ثم عقد له مجلس آخر في رجب سنة عشرين ثم حبس بالقلعة ثم أخرج في
عاشوراء سنة 721 ثم قاموا عليه مرة أخرى في شعبان سنة 726 بسبب مسألة الزيارة
واعتقل بالقلعة فلم يزل بها إلى أن مات في ليلة الاثنين العشرين من ذي القعدة سنة
728
Artinya: kemudian mereka mengadilinya pada
bulan Ramadhan tahun 719 Hijriah disebabkan fatwanya terkait thalaq (thalaq
tiga satu majelis, red) dan dilarang untuk berfatwa. Kemudian diadakan
persidangan lagi di Pengadilan lain pada bulan rajab tahun 720 dan ia ditahan
dibenteng, kemudian dikeluarkan pada bulan Asyura tahun 721. kemudian mereka
mengadili lagi untuk kesekian kali lagi pada bulan sya’ban tahun
726 disebabkan Fatwanya tentang Ziyarah kemudian
iapun dipenjara di dalam benteng hingga ia Wafat pada malam senin tanggal 20
Dzulqa’dah tahun 728 Hijriah.
Jadi jelas bahwa Ibnu Bathutah tidak mungkin bertemu
Ibnu Taimiyah pada tahun tersebut, apalagi diceritakan oleh para Ahli Sejarah
bahwa jangankan keluar dari Penjara, menulis dan membaca buku serta
berfatwa saja beliau dilarang, hingga beliau menghabiskan masa penahanannya
hanya dengan membaca qur’an dan dalam penahanan tersebut beliau menghatamkan
qur’an sebanyak 81 kali.
Bau busuk kebohongan tersebut makin bertambah
dengan Fakta berikut :
berdasarkan periwayatan para Huffadz dan Ibnu Hajar
sendiri, penahanan Ibnu Taimiyah ditahun 726 itu disebabkan oleh fatwanya
terkait Ziarah kekubur Rasululullah bukan tentang Nuzul (turunnya Allah
Kelangit dunia.
Disitu juga disebutkan bahwa dipenjara sebelumnya Ibnu
Taimiyah pernah mengarang Kitab Tafsir yang bernama Bahrul Muhith sebanyak
40 jilid padahal Al Imam At Thabari mengarang Tafsir puluhan tahun dan tidak
sampai 40 jilid, dan Ibnu Hajar sendiri mengarang Fathul bari Selama
25 tahun, itupun mereka berada diluar penjara. dari cerita Ibnu Hajar bisa
diketahui bahwa Ibnu taimiyah dipenjara sebelumnya pada bulan Rajab tahun 720
Hijriah hingga bulan Asyura tahun 721 Hijriah atau sekitar 5 bulan saja, atau
kalaupun ditahun-tahun sebelumnya, maka pemenjaraan beliau tidak lebih dari 2
tahun, lalu bagaimana beliau menyelesaikan 40 jilid tafsir dipenjara secepat
itu. Mustahil.
Dalam cerita itu disebutkan pula bahwa panggilan Qadhi
Hanabilah Adalah Izzuddin, padahal panggilannya yang benar adalah Syamsuddin
dan nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Syamsuddin ibnu Musallam As Shalihi.
Adapun panggilan Izzuddin adalah panggilan untuk Qadhi Muhammad bin At
Taqiy Sulaiman yang Wafat tahun 731 Hijriah yang menjadi Qadhi menggantikan
Ibnu Musallam selanjutnya.
Hal yang juga seru dari kitab Rihlah ibnu
Bathutah yang saya dapatkan adalah pentahqiqnya yang juga mengingkari
cerita tentang Ibnu Taimiyah Ini seperti yang ia jabarkan dalam footnotenya.
Dengan Fakta-fakta ini, maka Semoga Allah mensucikan
ruh Ibnu Taimiyah dari fitnah, layaknya Gaharu, wanginya tak akan tercium
kecuali telah dibakar sebelumnya.
Wallahu
A’lam
Semoga
bermanfaat
Saudaramu:
dobdob
[1] Rihlah Ibnu Bathuta 1/217
[2] Rihlah Ibnu Bathutah 1/187