(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu
Muhammad Harits)
Syaikhul
Islam pernah mengungkapkan: “Di antara Sunnatullah yang ada, apabila Dia ingin
menampakkan dien-Nya, maka Dia munculkan pula orang yang akan menentang ajaran
dien-Nya. Lalu Dia membenarkan al-haq itu dengan firman-firman-Nya, dan Dia
melontarkan yang haq kepada yang batil (lalu yang haq itu menghancurkannya),
maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”
Seteru Syaikhul Islam t
sangat banyak. Mulai dari yang sezaman dengan beliau hingga zaman kita ini.
Umumnya mereka adalah musuh-musuh aqidah salafus shalih. Sebab itulah,
kebanyakan mereka menyerang beliau dalam masalah aqidah, berlanjut kepada
hal-hal yang terkait, seperti metode penerimaan ilmu (talaqqi) dan penggunaan dalil
(istidlal).
Sehingga untuk memilah
lawan-lawan beliau menjadi beberapa bagian cukup sulit. Sebagai contoh, mereka
yang terang-terangan memusuhi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan ahli
fiqih justru memiliki keyakinan aqidah Asy’ariyah. Sementara itu banyak di
kalangan tokoh Asy’ariyah berpahaman tarekat Sufiyah. Bahkan cukup banyak pula
mereka yang berpegang pada ajaran filsafat.
Yang jelas, di manapun dan
kapanpun, ahlul batil senantiasa bersatu padu mengarahkan serangannya kepada
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hingga saat ini.
Salah seorang murid beliau,
Al-Imam Abu Hafsh Al-Bazzar t (wafat 749 H), dengan ungkapan yang sangat
mengesankan berkata:
“Ahli bid’ah dan pengekor
hawa nafsu senantiasa meraih dunia dengan (memanfaatkan) ajaran dien ini. Mereka
saling dukung dan membantu satu sama lain di dalam memusuhi beliau. Bahkan
selalu mencurahkan segenap daya upaya mereka untuk melenyapkan Syaikhul Islam.
Tidak segan-segan mereka menyerang beliau dengan kedustaan yang nyata,
menisbahkan kepada beliau hal-hal yang tidak pernah beliau nukil dan tidak
pernah beliau ucapkan, bahkan tidak pula ditemukan dalam tulisan dan fatwa
beliau, atau di majelis ilmu yang beliau adakan. Apakah kamu kira mereka tidak
tahu bahwa mereka akan ditanya dan dihisab oleh Allah l tentang semua itu?
Tidakkah mereka mendengar firman Allah l:
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat
mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk
di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 16-18)
Tentu, demi Allah
(demikianlah). Tetapi ambisi mereka yang lebih mementingkan dunia daripada
akhirat, telah menguasai mereka. Sebab itulah mereka mendengki dan membencinya,
karena beliau berbeda dan menyelisihi mereka.”
Berbagai upaya senantiasa
mereka lakukan untuk melenyapkan pengaruh Ibnu Taimiyah di dalam hati umat,
ketika mereka tidak mampu lagi membantah hujjah beliau dalam meruntuhkan
sendi-sendi kesesatan mereka.
Di antara bentuk-bentuk
permusuhan yang mereka lancarkan terhadap Syaikhul Islam ialah:1
1. Melemparkan tuduhan palsu
kepada beliau, antara lain:
a. Syaikhul Islam
berpemahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah l dengan makhluk-Nya) tentang
istiwa’ Allah l di atas ‘Arsy-Nya dan sifat turun bagi Allah l serta sifat
lainnya.
b. Syaikhul Islam
mengharamkan ziarah kubur secara mutlak, terutama kubur Rasulullah n.
c. Syaikhul Islam lancang
menyalah-nyalahkan ‘Umar bin Al-Khaththab z dan ‘Ali bin Abi Thalib z.
2. Talbis (pemalsuan) dan
Tadhlil (penyesatan)
a. Misalnya, ahli bid’ah
menyampaikan sebagian masalah aqidah yang sesat, lalu menukil perkataan
Syaikhul Islam untuk mendukung pendapat dan keyakinannya itu. Salah satu
contohnya, mereka (Khawarij di zaman ini) menghasut kaum muslimin untuk
mengkafirkan dan memberontak kepada pemerintah muslimin dengan dalil bahwa
Syaikhul Islam mengkafirkan raja Tartar (yang sudah masuk Islam), memerintahkan
kaum muslimin menyerang mereka karena mereka kafir.
b. Syaikhul Islam
membolehkan tawassul dengan Rasulullah n.
c. Syaikhul Islam memuji
kaum Asya’irah dan menganggap mereka para pembela ushuluddin.
d. Syaikhul Islam tidak
menerima khabar ahad (hadits yang dari satu jalan sanad) dalam masalah aqidah.
3. Tahdzir (agar menjauh)
dan tidak tertipu dari beliau, terang-terangan.
Ketika mereka tidak mampu
menghadapi Ibnu Taimiyah secara ilmiah, mereka menggunakan cara lain. Akhirnya
dengan memenjarakan beliau, mereka merasa telah menghinakannya. Ternyata tidak
demikian hasilnya. Kaum muslimin semakin mencintai beliau. Lisan mereka
senantiasa basah memanjatkan doa kepada Allah l untuk beliau. Akhirnya mereka
men-tahdzir kaum muslimin untuk tidak sampai membaca buku-buku Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
Yang paling panjang menulis
tahdzir terhadap Syaikhul Islam dan buku-bukunya dewasa ini adalah Yusuf
An-Nabhani. Seolah-olah dia sedang memberi nasihat dan merasa kasihan kepada
umat ini, lalu mengingatkan orang agar tidak tertipu dari perkataan setan dan
pendapat Ibnu Taimiyah.
Tetapi al-haq justru semakin
menjulang. Kebatilan dan kesesatan semakin tenggelam meskipun selang beberapa
waktu. Allah l memuliakan Syaikhul Islam, mengabadikan namanya, menyebarkan
ilmunya, menghinakan musuh-musuhnya dan membutakan mata (hati) mereka.
4. Menuduh Syaikhul Islam
sebagai orang pertama dalam kebid’ahan dan kesesatan:
Di antaranya tentang
larangan bertawassul dan sebagainya.
Bantahan terhadap Sebagian
Syubhat dan Tuduhan
Sebagaimana kita uraikan
tadi, bahwa semua yang dialamatkan kepada Syaikhul Islam adalah kepalsuan,
tuduhan dusta, dan tanpa bukti. Pada bagian ini, akan kita paparkan sebagian
bukti kepalsuan dan tuduhan-tuduhan dusta tersebut, dengan izin Allah l.
Semestinya, mereka yang
melontarkan tuduhan dusta dan syubhat seputar pemikiran Syaikhul Islam, harus
siap untuk mendatangkan bukti tuduhan tersebut. Namun mereka selalu menghindar
dan mundur.
Seorang peneliti yang jujur
dan adil, ketika melihat nukilan-nukilan dusta yang diklaim berasal dari
Syaikhul Islam, tentu melihat kenyataan bahwa nukilan itu hanya
sepotong-sepotong, tidak sempurna. Atau nukilan itu adalah dari pernyataan ahli
bid’ah yang sedang dibantah oleh Syaikhul Islam, tapi dia –dengan sengaja atau
tidak– meninggalkan bantahan yang ditulis oleh Syaikhul Islam, kemudian
mengklaim bahwa itulah bid’ah yang dibuat-buat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Atau dia menukil sesuatu dari Syaikhul Islam tapi tidak memahami apa maksudnya.
Tuduhan mereka bahwa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyelisihi aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal
Jamaah), maka dijawab: “Apa yang dimaksud dengan salaf? Kalau yang dimaksud
salaf adalah golongan Asya’irah atau Tarekat Sufiyah, dan kebid’ahan lainnya,
maka beliau memang tidak menisbahkan diri kepada salah satunya. Beliau tidak
berpegang dengan pendapat mereka bahkan membantah mereka.”
Namun jika yang dimaksud
salaf adalah para pendahulu umat ini serta para imamnya, dari kalangan sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in dan aimmatul huda (imam-imam petunjuk), lalu Ibnu
Taimiyah menyelisihi keyakinan dan prinsip mereka, maka ini adalah sesuatu yang
sangat mengherankan. Sebab, beliau yang selalu menjelaskan aqidah salaf,
berhujjah dengannya dan membelanya serta membantah orang-orang yang
menyelisihinya, bagaimana lantas dikatakan memiliki aqidah yang menyimpang dari
aqidah salaf?
Para penulis biografi beliau
selalu menukil pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam buku-buku mereka, baik
dalam fiqih maupun i’tiqad (keyakinan/aqidah).
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sendiri memberi kesempatan selama tiga tahun kepada orang-orang yang
menyelisihinya untuk meneliti tulisan-tulisannya dalam masalah aqidah agar
mereka menunjukkan satu masalah yang di dalamnya beliau menyelisihi keyakinan
ulama salaf. Sebab ketika itu, kalau beliau membantah dengan lisan lalu
menjelaskannya, mungkin akan dicurigai bahwa uraian tersebut ada yang dikurangi
atau ditambah.
Berbagai tuduhan yang
ditujukan kepada beliau, dapat dijelaskan:
Pertama yang harus kita
ketahui bahwa kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa
nafsunya adalah senantiasa memberi gelar-gelar yang buruk kepada para nabi
serta pengikut-pengikut mereka.
Sejak zaman Rasul yang
pertama diutus ke tengah-tengah umat manusia, Nabiullah Nuh q, mereka telah
melakukannya. Allah l berfirman menceritakan ucapan mereka tentang pengikut
Nabi Nuh q:
“Dan kami tidak melihat
orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara
kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Begitu pula kepada Nabi yang
diutus kepada mereka, sebagaimana Allah l berfirman:
“Demikianlah tidak seorang
rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka
mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.” (Adz-Dzariyat:
52)
Apalagi terhadap pengikut
Rasulullah n, para pewaris nabi dan rasul.
Al-Imam Ash-Shabuni t (wafat
449 H) meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi t, dia
mengatakan:
• Tanda-tanda/ciri-ciri ahli
bid’ah adalah penghinaannya terhadap ahli atsar.2
• Tanda-tanda kaum zanadiqah
(orang-orang zindiq) ialah menggelari ahli atsar sebagai hasyawiyah3, karena
hendak menggugurkan atsar.
• Tanda-tanda Qadariyah
ialah menamakan Ahlus Sunnah sebagai Mujbirah (berpemahaman Jabriyah).4
• Tanda-tanda Jahmiyah
adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (golongan yang menyerupakan
Allah l dengan makhluk).
• Tanda-tanda Rafidhah
(Syi’ah) adalah menjuluki ahli atsar sebagai Nabitah dan Nashibah.”5
Demikianlah keadaan ahli
ahwa’ dan ahli bid’ah serta musuh-musuh Islam lainnya. Tidak ada satupun yang
menisbahkan diri kepada kebid’ahan dan kesesatan apalagi kekafiran melainkan
mereka sangat antipati dan memusuhi Ahlus Sunnah, baik pakar haditsnya, ahli
fiqihnya, maupun ahli tafsir. Mereka melecehkan dan memandang rendah Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Menganggap Ahlus Sunnah wal Jamaah hanya mengerti teks
Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak memahami maksud di balik lafadz-lafadz
tersebut. Wallahul musta’an.
Tetapi, semua julukan itu
tidak mengena pada diri Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana tuduhan para
pendahulu mereka, dari kalangan musyrikin terhadap para Nabi dan pengikutnya,
terlebih terhadap Nabi n. Allah l berfirman:
“Lihatlah bagaimana mereka
membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan
tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).” (Al-Isra’: 48)
Itulah sebagian ciri dan
tanda ahli bid’ah serta orang-orang yang menyimpang, dahulu dan sekarang.
Sebagaimana telah
diterangkan, bahwa ciri-ciri Jahmiyah adalah menggelari Ahlus Sunnah wal Jamaah
sebagai mujassimah atau musyabbihah.6
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih7
mengingatkan bahwa kaum mu’aththilah8 (yang menolak sifat-sifat Allah l) itulah
sejatinya yang pantas dikatakan musyabbihah karena mereka mula-mula melakukan
tasybih (penyerupaan terhadap makhluk), kemudian ta’thil (penolakan sifat-sifat
Allah l).
Karena salah memahami makna
tauhid dan tanzih9, mereka terjerumus ke dalam perkara sesat yang lebih buruk
dari apa yang mereka tinggalkan. Mereka ingin menyucikan Allah l dari
keserupaan dengan makhluk-Nya kalau menyandarkan adanya sifat bagi Allah l, tapi
akhirnya mereka terjerumus ke dalam penyembahan sesuatu yang ‘adam (tiada).
Karena sesuatu yang tidak punya sifat adalah sesuatu yang hakikatnya tidak ada,
karena sesuatu yang ada mesti mempunyai sifat.
Contoh, kalau Allah l
dikatakan punya Tangan, maka -menurut mereka- tidak dikenal tangan melainkan
yang ada pada manusia. Sehingga merekapun menafikan bahwa Allah l mempunyai
tangan.
Sedangkan prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah adalah menetapkan sifat-sifat yang Allah l tetapkan dalam
Kitab-Nya, dan ditetapkan oleh Rasul-Nya n dalam Sunnah beliau, tanpa
menyelewengkan maknanya (tahrif), tanpa menolaknya (ta’thil), tanpa
menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil), dan tanpa mempertanyakan bagaimana
hakikat sifat itu (takyif).
Termasuk kedustaan yang
paling laris dilansir musuh-musuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t adalah nukilan
pengelana Ibnu Bathuthah yang mengatakan: “Ibnu Taimiyah menjelaskan hadits
‘Rabb kita turun pada sepertiga akhir malam,’ seperti turunku ini.” Saya
menyaksikan dia turun satu tingkat dari mimbar tempatnya berkhutbah.”
Mari kita lihat kebohongan
yang dia lakukan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Kapan Ibnu Bathuthah masuk
ke Damaskus?
Ibnu Bathuthah sendiri
menerangkan bahwa dia masuk negeri Damaskus tanggal 17 Ramadhan tahun 726 H, selang
beberapa hari sesudah Syaikhul Islam masuk penjara yang terakhir kalinya, yaitu
di awal Sya’ban tahun itu juga. Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat
dalam keadaan tetap di penjara. Lantas, dari mana dia menyaksikan Syaikhul
Islam berkhutbah di atas mimbar? Apalagi Syaikhul Islam bukan seorang khatib,
sehingga kapan beliau berdiri di mimbar lalu turun, dan disaksikan oleh Ibnu
Bathuthah?
Untuk menampakkan bukti
kebohongan ini, periksalah buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t baik
‘Aqidah Wasithiyah, At-Tadmuriyah, Al-Hamawiyah, dan lainnya. Semua menegaskan
betapa jauhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari pemahaman musyabbihah dan
mujassimah. Apalagi mengatakan Allah l turun seperti turunnya Ibnu Taimiyah t?
Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang nyata.
Tuduhan bahwa Syaikhul Islam
menganggap alam ini bersifat qidam (tidak berawalan), adalah dusta. Karena
pernyataan beliau tentang masalah ini sangat jelas dalam semua tulisan beliau.
Tuduhan mereka, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kuburan terutama kubur Nabi n, juga
satu dari sekian kedustaan yang mereka timpakan kepada beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa lafadz ziarah itu global, masuk ke dalamnya ziarah yang
syar’i dan ziarah yang bid’ah. Adapun ziarah bid’ah adalah ziarah yang
mengandung kesyirikan.
Beliau terangkan pula bahwa
ulama salaf berbeda pendapat tentang disyariatkannya ziarah kubur. Sebagian
mengatakan bahwa ziarah kubur haram secara mutlak dan bahwa larangan ziarah
tidak mansukh (dihapus hukumnya). Di antara mereka ada yang tidak menganggapnya
sunnah dan ada pula yang memakruhkannya secara mutlak, sebagaimana dinukil dari
Al-Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Ibnu Sirin.
Ibnu Baththal menukil dari
Asy-Sya’bi, bahwa beliau mengatakan: “Kalaulah ziarah kubur tidak dilarang
Rasulullah n, tentulah aku ziarahi kuburan anakku.”10
Tidak diperselisihkan oleh
kaum muslimin bahwa Rasulullah n pernah melarang ziarah kubur. Ada yang
mengatakan alasannya adalah karena menggiring ke arah kesyirikan. Tapi
kemudian, mereka berselisih apakah pengharaman ini, apakah mansukh atau tidak?
Sebagian mengatakan sudah mansukh, yang lain ada yang mengatakan tidak. Yang
mengatakan mansukh, berbeda pula pendapatnya, apakah mansukh dari haram kepada
sunnah, atau kepada mubah?
Maka, ziarah yang mengandung
perkara yang diharamkan, baik kesyirikan, kedustaan, ratapan, dan sejenisnya,
hukumnya haram. Sedangkan ziarah hanya karena berduka kepada si mayit, kerabat
atau sahabatnya, ini boleh. Bahkan dibolehkan pula menziarahi orang kafir untuk
memperbanyak mengingat kampung akhirat, bukan untuk mendoakan atau memintakan
ampunan.
Telah shahih diriwayatkan
bahwa Rasulullah n meminta izin menziarahi kuburan ibundanya, dan beliau
diizinkan. Tetapi beliau tidak diizinkan memintakan ampunan untuk ibunda
beliau, lalu beliaupun menangis dan para sahabat yang menyertai juga menangis.
Kemudian, ziarah ke kuburan
kaum mukminin, untuk mendoakan dan mengucapkan salam kepada mereka, ini
disunnahkan.
Beberapa ulama Baghdad juga
bangkit membela pendapat Syaikhul Islam seputar masalah ziarah kubur terutama
dalam masalah hadits Syaddu Rihal.
Asy-Syaikh Jamaluddin Yusuf
bin ‘Abdil Mahmud Al-Hanbali mengatakan: “…Sesungguhnya jawaban beliau dalam
masalah ini, tuntas memaparkan adanya perbedaan pendapat di antara ulama, bukan
hakim pemutus. Tanpa memandang apakah yang dituju adalah orang shalih atau para
nabi… Sehingga dosa apa orang yang menjawab bila dia menyebutkan dalam masalah
ini beberapa pendapat ulama yang berbeda lalu dia memilih condong kepada salah
satu pendapat tersebut? Persoalan ini, memang seperti inilah adanya sejak
dahulu kala…
Tidaklah hal itu dibawa oleh
yang mengritik melainkan karena hawa nafsu yang mendorong pemiliknya kepada
penyimpangan….”
Jadi, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah membagi ziarah itu ada dua; ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah.
Jelas pula bahwa beliau tidak mengharamkan ziarah secara mutlak. Sedangkan
ziarah kubur Nabi n, tidaklah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Tidak
pula ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, perintah menziarahi kuburan
beliau secara khusus. Yang ada hanyalah memanjatkan shalawat dan salam untuk
beliau. Sebagaimana diamalkan oleh para ulama, dengan mengerjakan shalat di
masjid beliau dan mengucapkan salam kepada beliau ketika masuk ke dalam masjid.
Hal inilah yang disyariatkan. Wallahu a’lam.
Inilah sekelumit dari
penggalan sejarah hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Lembaran dan waktu yang
tersedia, kiranya tak cukup menorehkan gambaran emas kehidupan beliau yang
penuh perjuangan, dakwah dan bimbingan untuk umat Islam. Cukuplah karya-karya
tulis dan buah pikiran beliau yang tergambar dalam corak berbagai pergerakan
Islam yang ada di zaman ini, sebagai bukti harumnya nama besar beliau di hati
umat Islam. Semoga Allah l membalasi beliau dengan kebaikan atas jasanya
terhadap Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah l memelihara warisan beliau dan
memelihara para ulama yang terus menghidupkan peninggalan dan perjuangan
beliau. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.
Sumber Bacaan11:
1 Ar-Raddul Wafir, Ibnu
Nashiruddin Ad-Dismasyqi
2. Al-A’lamul ‘Aliyyah fi
Manaqib Ibni Taimiyah, ‘Umar bin ‘Ali Al-Bazzar
3. Syahadatuz Zakiyah, Mar’i
Yusuf Al-Karmani
4. Fihris Al-Faharis,
Al-Kattani
5. Ad-Durarul Kaminah, Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani
6. Al-Bidayah wan Nihayah,
Ibnu Katsir
7. Al-‘Uqud Ad-Durriyah,
Ibnu ‘Abdil Hadi
8. Adh-Dhau’ Al-Lami’,
As-Sakhawi
9. Tarikhul Islam,
Adz-Dzahabi
10. Al-‘Ibar fi Khabari man
Ghabar, Adz-Dzahabi
11. Dzail Thabaqat
Al-Hanabilah, Ibnu Rajab Al-Hanbali
12. Da’awi Al-Munawi’in li
Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Abdullah bin Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz
Al-Ghashani.
13. Mauqif Ibni Taimiyah
Minal Asya’irah, Dr. ‘Abdurrahman bin Shalih bin Shalih Al-Hamud (tesis
doktoral).
14. Da’wah Syaikhil Islam
Ibni Taimiyah, Shalahuddin Maqbul
15. Al-Ushul Al-Fikriyah Lil
Manahij As-Salafiyah, Syaikh Khalid Al-‘Ik
16. Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi.
1 Apa yang diuraikan di sini
hanyalah sebagian contoh. Wallahu a’lam.
2 Ahli Atsar adalah golongan
yang mengambil ajaran aqidah mereka melalui periwayatan dari Allah k dalam
Kitab-Nya atau sunnah Rasul-Nya n serta yang shahih dari salafus shalih, baik
dari kalangan sahabat dan tabi’in, bukan dari ahli bid’ah dan ahwa’.
3 Hasyawiyah, dari kata
hasywu orang kebanyakan (keumuman manusia).
4 Jabriyah: meyakini bahwa
manusia tidak punya kehendak dalam melakukan perbuatannya, bahkan itu
semata-mata kehendak Allah l. Sehingga mereka menganggap manusia seperti sebuah
pohon yang ditiup angin, mengikuti arah angin bertiup.
5 Nabitah, golongan ingusan,
yang muda, baru tumbuh. Nashibah, yang menancapkan permusuhan terhadap ‘Ali bin
Abi Thalib z dan ahli bait serta berlepas diri dari mereka. (lihat ‘Aqidah
Salaf Ash-habil Hadits hal. 304-305)
6 Jahmiyah, pengikut Jahm
bin Shafwan yang berkeyakinan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat Allah l.
Mujassimah adalah golongan yang menyatakan bahwa Allah l memiliki jasmani
seperti jasmani manusia. Musyabbihah yaitu golongan yang menyerupakan sifat
Allah l dengan sifat manusia.
7 Lihat Khalqu Af’alil ‘Ibad
karya Al-Imam Al-Bukhari t.
8 Golongan Mu’aththilah
(yang menolak sifat Allah l) ini terbagi dua, yang kulli (menolak sifat secara
keseluruhan) seperti Jahmiyah dan para pengikutnya. Yang kedua, juz’i (menolak
sebagian sifat), dan penolakan ini baik dengan penentangan atau dengan
melakukan tahrif. Wallahu a’lam.
9 Tanzih: Menyucikan Allah l
dari sifat-sifat tercela dan kekurangan.
10 Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (4/345), Kitab Al-Jana’iz
11 Sebagian besar dari Program
Komputer Asy-Syamilah, kecuali 13, 14, 15 dan 16.