Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 – 1206 H/1701 –
1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب
التميمى) adalah seorang ahli
teologi agama Islam dan seorang tokoh
pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah, yang kemudian
berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para
pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih
memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang
berarti “satu Tuhan”.
Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb, yang memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin
Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin
al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali
pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini
sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada
dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan
ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti “satu Tuhan”.
Istilah
Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan
kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka
kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan
alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab
dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Nama
Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama ‘Abd al-Wahhab
iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab al-Najdi.
Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri
dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun(3) (unitarians)
kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam
dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan
Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan,
Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul
Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar “keluarga kerajaan” negara Arab Saudi dipegang oleh
keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab
misalnya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz.
Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang
70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan
dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh
agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar),
tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala
sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama,
maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik
dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab.
Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan
kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz
al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh
orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya
untuk belajar ke luar daerah
Saudara kandungnya, Sulaiman bin
Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, “Sungguh
aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad,
terutama di bidang ilmu Fiqh”.
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah
suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima –
mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji,
ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama
beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk
berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar
yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif
an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
Kehidupannya di
Madinah
Ketika berada di kota Madinah, ia
melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat
syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian
memohon sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan
dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada
Allah.
Hal ini membuat Syeikh Muhammad
semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berjuang dan bertekad
untuk mengembalikanaqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari
sifat khurafat, tahayul, ataubidah.
Belajar dan
berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di
Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang
diperolehinya, terutaman di bidang hadits danmusthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab
memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu
ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui
banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di
kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat
tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau
meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan
ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, beliau lalu
kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif
al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang
selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa
waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya
berpindah dari ‘Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan
belajar kepada bapanya. Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat
terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya
pertentangan dan perselisihan yang hebat antara beliau dengan bapanya yang
Ahlussunnah wal jama’ah (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus
berlanjut hingga ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.
Perjuangan
memurnikan aqidah Islam
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad
tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya,
menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat
itu dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat islam yang
sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan
ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah
Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai
pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh
seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau
berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan
yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin
al-Khattab adalah saudara
kandungUmar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat
bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir
menjawab “Silakan… tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang
mulia ini.” Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh
penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600
orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan
maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya
apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin
al-Khattab ra. yang gugur sebagai
syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah
al-Kazzab)
di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka.
Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan)Yamamah yang dikebumikan
tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa
saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain.
Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan
bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah
masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan
Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan
beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya
adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan
oleh masyarakat Islam setempat.
Berita
tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah
mahupun di luar Uyainah.
Ketika
pemerintah al-Ahsa’ mendapat berita bahwa Muhammad bin’Abd al-Wahhab
mendakwahkan pendapat, dan pemerintah ‘Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian
memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah’Uyainah. Hal ini rupanya
berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad
untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa’. Amir
Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin
mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan
Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir
Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah
Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam
bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da’watuhu Wasiratuhu,
SyeikhMuhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau
berkata: “Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan
lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh
meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan
secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia
meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah
pada waktu malam hari.” (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi
ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad
mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin
Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat
mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar
kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak
atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang
sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian,
Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah.
Kehidupannya di Dir’iyyah
Sesampainya
Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir’iyyah, yang tidak berapa jauh
dari tempat kediaman Amir Muhammad bin
Saud (pemerintah wilayah
Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut
bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Bin Suwailim ini adalah
seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta
izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke
tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena
suasana Dir’iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah
Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke
negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras
kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di
rumahnya.
Peraturan
di Dir’iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada
penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad
untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah
serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau. Namun mereka gagal
menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan
pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah
seorang wanita yang soleh. Maka,
tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri
menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata
kepada suaminya: “Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan
di mana Allah telah mengirimkan ke
negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada
agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah
ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga
kakanda menjemputnya kemari.”
Namun
baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil
datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk
dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari
beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang
lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh
Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut.
Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin
Suwailim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya
baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan
dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: “Ya
Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut
kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk
menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah
kepada masyarakat Dir’iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda
rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa
dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan
menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya
Allah!”
Kemudian
Syeikh menjawab: “Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah
negeri ini akan diberkatiAllah Subhanahu wa Taala. Kami ingin
mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini,
Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan
mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang
tidak begitu lama.” Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri
Dir’iyyah, yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga
sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang berarti di
antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, dan
senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi
Dir’iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar
ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan
kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu
terdengar di kalanganmasyarakat, baik di dalam
negeri Dir’iyyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir’iyyah
pun berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini,
sehingga negeri Dir’iyyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh
pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan
kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan beliau, yang meliputi
disiplin ilmu Aqidahal-Qur’an, tafsir,
fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah
hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam
waktu yang singkat , Dir’iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang
hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun
datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga
dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau
begitu membahana di seluruh pelosok Dir’iyyah dan negeri-negeri jiran yang
lain. Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad,
menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung
dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh
beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi
membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka
masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri
Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan
penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Syeikh
menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan
keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau
juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu
beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka
Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah
satunya adalahDahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa.
Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik
yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang
bahaya syirik yang mengancam
negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Berkat hubungan surat menyurat
Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan
kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya,
hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak
kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia,
seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara,Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan
lain-lain lagi.
Memang cukup banyak para da’i dan
ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka
tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki
ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Demikian banyaknya surat-menyurat di
antara Syeikh dengan para ulama baik di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga
menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan
beliau, yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk
dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia
Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (di masa mendatang). Begitu juga
dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta
tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah
mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar
luas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Dengan demikian, jadilah Dir’iyyah
sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud.
Kemudian murid-murid keluaran Dir’iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid
murni ini ke seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di
daerah mereka masing-masing.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan
oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai
yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan
suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun
harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari
dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang
takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari
Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab
yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya,
demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah
komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir’iyyah
beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh Al Saud dan
Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan
diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir’iyyah, bahkan sebagiannya
dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin
Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Beliau
dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah
Su’udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su’ud bin Abdul Aziz bin Muhammad
bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Beliau dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su’udiyyah I
(1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su’udiyyah II (1240-1309 H), dan yang
terakhir ialah Daulah Su’udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al
Mamlakah Al ‘Arabiyyah As Su’udiyyah (Kerajaan Arab Saudi), yang didirikan oleh
Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun
1319 H hingga kini.
Selain mendapat perlawanan sengit
dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi’ah
Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu
pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan
bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi’ah Bathiniyyah, dan
peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam
Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi’ah
yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, beliau ditikam dari belakang
ketika sedang mengimami salat berjama’ah.
Selain perlawanan sengit dari mereka
yang mengatasnamakan Islam, para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab juga
dimusuhi oleh pihak kafir. Imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum
muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh
Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab beliau menghidupkan kembali
ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid’ah, sedangkan
Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di situlah titik kelemahan
kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan
meninggalkan semua bentuk syrik dan bid’ah, niscaya mereka akan angkat senjata
melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah ‘Wahhabi’ dan
merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut
dakwah Syaikh Ibn Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di
negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta
membenci mereka.
Alhamdulillah, masa-masa tersebut
telah berlalu. Umat Islam kini lebih faham tentang apa dan siapa kaum pengikut
dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab (yang dijuluki
Wahabi) tersebut. Satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam
semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya
begitu hebat, baik dari luar maupun dalam, yang dilancarkan melalui pena atau
ucapan demi membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka,
karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memenangkan perjuangan dakwah
tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat
sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah
menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai keMerauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan pemurnian
ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh pelbagai
macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang
yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang
tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga
lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya
dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab
fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh
Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah
terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang
pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti
berikut:
“Sebenarnya tuduhan tersebut telah
dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang
ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah
yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah
bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid.”
Kemudian dalam sebuah risalah yang
dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: “Aqidah dan agama yang aku anut,
ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam
Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka
menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka
berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada
orang-orang soleh dan lainnya.”
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul
Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya
ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut: “Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah
mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah
mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbalrahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab
dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui
seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami
tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa
mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut.
Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun
di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian.
Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas,
baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya,
atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya,
serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan
kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang
menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian
mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali).”
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab
Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata: “Adapun yang mereka
fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan
menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata:
`Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan
kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami
ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada kubur Nabi itu
tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti makna “La ilaha illallah” sehingga perlu
diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: “Fa’lam annahu La ilaha illallah,” dan
ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya
kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para
ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami
dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan
orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain
itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu
bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa kami telah
melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan
mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika
seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan
diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau
hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak mahu mengakui
kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu ‘anhum. Dan
kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang
tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan
dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang diada-adakan
dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai
jawaban, kecuali yang dapat kami katakan hanya “Subhanaka – Maha suci Engkau ya
Allah” ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa
menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan
kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan
bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa
kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh
musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk
mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah
kepadaNya.
Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang
mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim
tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak,
meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam
(murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah
dalam semua ibadahnya.” (Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus tentang Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: “Dan
apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam
bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara
mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih
daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena
Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan
kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata
dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah
ke masjid Nabi dan melakukan salat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya.
Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat
ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan
mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.”
Tantangan Dakwah
dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang
pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik
dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah
dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun
surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap
penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh
pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau
dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah
dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya
sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat
berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya
yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa
buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah
ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang
menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
Permusuhan atau tentangan atas nama
ilmiyah dan agama,
Atas
nama politik yang berselubung agama.
Bagi
yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung
kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka
menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai
kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai
macam tuduhan buruk lainnya.
Namun
Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan
beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan
orang yang mencelanya.
Pada
hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
Golongan
ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang
batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu
dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan
mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta
syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang
yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi
nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan
orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
Golongan
ulama taashub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan
percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan
oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap
Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan
untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan
para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi
orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh
habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
Golongan
yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka
golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh
Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh
suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah
tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang
digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang
perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan
lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada
mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang
pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat
Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang meneruskan perjuangan
al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab, yang dibantu oleh para muridnya
dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal
dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung
sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.
Beliau pertama kali yang mengumandangkan
jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa
seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti
dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun
pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan
ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang
paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus
didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada
dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka
harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan
senjata.
Alangkah benarnya firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: ” Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami,
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka
Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuat dan Maha Perkasa.” (al-Hadid:25)
Ayat
di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para RasulNya
dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan
menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang
di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan
penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk
serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah
umat manusia.
Namun
semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh
kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun
syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata
tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain
lagi, yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh
besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana
al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi
umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan
menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang
yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima
ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, mahupun oleh para ulama.
Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan
oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya,
melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan
lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama
Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh
Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun
1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
Wafat
Muhammad
bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah.
Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan
berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah
Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada
tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.
Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd). Innalillah
Referensi
Sumber ini dicopas oleh Anwar Baru Belajar
dari Wikipedia pada hari Rabu tanggal 3 Agustus 2011, tanpa merubah sedikitpun
isi yang tertulis dalam Wikipedia dan di-upload kembali pada hari dan tanggal
yang sama.
Sumber
aslinya: