Suatu
hal yang membingungkan banyak orang adalah disebutkan pada sebagian sumber
bahwa Syaikhul Islam Rahimahullah telah menulis sebuah surat yang didalamnya
terdapat aqidah yang menyalahi apa yang ia dakwahkan dan fatwakan sepanjang
hidupnya, bahkan menjadi sebab ia dimasukkan kedalam penjara.
Maka
kami katakan sebagai ulasan dan Sanggahanbagi Siapapun yang telah diombang
–ambing oleh hawa nafsu :
Cerita rujuknya beliau (kedalam aqidah Asy’ari. Pent) bisa didapatkan
dari :
Muridnya-Ibnu
Abdil Hadi- (Wafat tahun 744 Hijriah) Seperti terdapat pada (Uqududduriyyah:
197) yang menukil dari Az Zahabi
Az
Zahabi (Wafat tahun 748 Hijriah) –muridnya- seperti yang telah dinukil oleh
Ibnu Abdil Hadi diatas:
Lafadznya
adalah sebagai Berikut
“….terjadi
perkara yang panjang, kemudian dikirim surat Sultan ke Syam untuk
menjebloskannya ke penjara, maka dibaca didepan banyak Orang, maka orang-orang
menjadi sedih. Ia dipenjara satu tahun setengah (yaitu pada tahun 707 Hijriah)
kemudian dikeluarkan, dan ia diminta untuk menulis surat, diancam dan
dijanjikan untuk dibunuh jika tidak menulisnya. Ia bermukim di Mesir membacakan
Ilmu dan manusia berkumpul disisinya.”
Ibnul
Muallim (Wafat tahun 725 Hijriah) di dalam kitab “Najmul
Muhtadi wa Rajmil Mubtadi” (Naskah di Paris Nomor 638) dan Nuwairi (Wafat
tahun 733 Hijriah) didalam Kitab Nihayatul
Arab-lihat
Kitab Aljami’ lishirathi syaikhil Islam Ibnu
Taimiyah hal
:181-182-, pada kitab tersebut diterangkan Bahwasanya Majelis (pertobatan,
pent) tersebut setelah kedatangan Amir Husamuddin Muhinnan (Rabiul Akhir 707
Hijriah) dan Syaikhul Islam dibebaskan hari Jum’at tanggal 23 Rabiul
Awwal 707 Hiriah.
Kemudian
An Nuwairy menukil kandungan surat tersebut yang menceritakan apa yang terjadi,
Bahwa (Syaikhul Islam) telah menyebutkan bahwa dia adalah “Asyariy”, dan
meletakkan Kitab Asy’ari diatas kepalanya, serta ruju pada beberapa masalah
(arsy, Qur’an, nuzul, dan Istiwa) dari mazhabnya –ahlussunnah-. Surat tersebut
tertanggal 25 Rabiul Awal 707 Hijriah.
Kemudian
diadakan majelis berikutnya, dia (syaikhul Islam) menulis mirip dengan tulisan
sebelumnya pada Rabiul Akhir 707 Hijriah dan ia disumpah
Ad
Duwadi (Wafat setelah tahun 736 H) menyebutkan dalam Kitab “Kanzud durar” bahwa
mereka mengadakan majelis berikutnya pada tanggal 12 Rabiul akhir 707 Hijriah
setelah kepergian amir Husamuddin, dan terjadi kesepakatan untuk merubah
lafadz-lafadz tentang Aqidah dan berakhirnya majelis dalam Kebaikan.
Ibnu
Rajab (Wafat tahun 795 H) menyebutkan Dalam Kitab Dzail
alat thabaqatil hanabilah mirip dengan yang disebutkan oleh Ibnu Abdil
Hadi pada Kitab Al Uqud. Kemudian ia berkata : “telah menyebutkan Az Zahabi dan
Al Barzali dan lain-lain bahwa Syaikh telah menulis sebuah surat secara Mujmal
yang berisi perkataan dan lafadz ketika ia di Ancam untuk dibunuh”
Ibnu
Hajar (Wafat Tahun 752 H) dalam Kitab ad durarul Kaminah mirip dengan apa yang
disebutkan oleh An Nuwairi dalam Kitab “Nihayatul Arab” kemudian Ibnu Hajar
mengaitkan nukilan tersebut kepada Tarikh Al Barzaliy.
Ibnu
Taghri bardi (Wafat tahun 874 H) dalam kitab Al Minhal As Shufi mirip dengan
apa yang disebutkan Oleh ibnu Hajar. Konteks penukilan menunjukkan bahwa
Ia menukil dari kitab Kamaluddin bin Zamlakani-permusuhannya dengan syaikhul
islam amat terkenal-. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Syaikhul Islam,
Dia juga telah menukil dari kitab an Nujum Az Zahirah.
Adapun
Barzaliy (Wafat tahun 739 H)-Sahabatnya- tidak menulis sama Sekali
kejadian-kejadian tersebut pada tahun-tahun tersebut. (Aljami’
lishirathi syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 213-214)[1]
Ibnu
katsir hanya menyebutkan Kisah yang terkait dengan pertobatan tersebut
Pada peristiwa yang terjadi pada tahun 706 Hijriah tanpa menyebutkan
kelanjutannya dengan cerita sebagai berikut:” dan pada malam Iedul Fithri al-
Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok
Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan
alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah Al-Baaji, Al-Jazarii, dan An
Namrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah
dikeluarkan dari penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di
antaranya : beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan
agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau
menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir).
Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada pendirian untuk tidak
hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majelis
itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan”.Cerita tersebut
mengesankan bahwa penggalan kisah pertobatan ini memang ada, namun akhir dari
kisah tersebut adalah justeru menguatkan pendapat bahwa Ibnu Taimiyah Justeru
menulis Surat yang mengokohkan Aqidahnya, bukan Surat yang menyatakan Bahwa dia
Adalah Asy’ari. Ibnu katsir tidak mengisyaratkan Penulisan surat disini tapi
ditempat lain disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah menulis jawaban singkat terhadap
undangan pertobatan dan menulis bantahan rinci dalam Kitab yang kemudian
dinamakan Tis’iniyat. Akan datang penjelasan
tentang sebab ditulisnya kitab ini disisi ketiga tertolaknya kisah akhir
pertobatan Ibnu Taimiyah. Dari uraian diatas jelaslah bahwasanya :
Sebagian
ahli sejarah tidak menyebutkan Kisah tersebut dan juga sama sekali tidak
ditulis
Sebagian
dari ahli sejarah hanya mengisyaratkan adanya kisah tersebut tanpa merinci
surat yang ditulis dan atau menyebutkan bahwa penulisan surat tersebut disertai
Intimidasi dan ancaman pembunuhan.
Sebagian
dari Ahli sejarah ada yang merincinya dan menyebutkan teks surat tersebut,
tetapi tanpa menyebutkan bahwa penulisan surat disertai intimidasi dan ancaman
pembunuhan.
Dari
uraian tersebut kita bisa mengungkapkan bahwa Sesungguhnya ibnul Muallam dan An
Nuwairi telah menyendiri diantara orang-orang yang hidup sezaman dengan
Syaikhul Islam tentang permasalah ruju’nya beliau dari konteks tulisannya. Dan
itu diikuti oleh sebagian Ahli Sejarah.
Oleh
karena itu,dari isu ini dapat diambil salah satu sikap berikut:
Kita
mendustakan semua yang telah disebutkan oleh para ahli sejarah baik secara
global maupun terperinci,dan kita katakan bahwa semua itu tidak mungkin pernah
terjadi
Kita
menetapkan pokok Kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun terkait ruju’ dari
aqidah , dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihannya jelas dengan apa
yang telah didakwahkan oleh Syaikhul Islam sebelum tanggal tersebut dan
setelahnya.
Kita
menetapkan seluruh tulisan yang Ibnul Muallim dan An Nuwairi telah menyendiri
terkait masalah ruju dan surat.
Sikap
pertama menusuk dada Sendiri! sedangkan Sikap ketiga sama saja dengan
menetapkan penyendirian dan keganjilan serta mendahulukan keduanya atas pendapat
lain yang masyhur dan lebih banyak.
Yang
tsabit berdasarkan pemeriksaan dan tarjih adalah sikap yang kedua: yaitu
Syaikhul Islam telah menulis ungkapan secara global setelah diancam dan
diintimidasi. Tetapi didalam ungkapan tersebut tidak terdapat kata rujuk dari
Aqidahnya, tidak melakukan lelucon terhadap aqidah yang bathil, dan tidak
menulis hal itu seluruhnya.
Hal
tersebut dikarenakan beberapa sebab yang dapat dilihat dari 3 sisi
Riwayat
cerita
Dari
periwayatan tersebut, orang-orang yang tidak berpihak kepada Ibnu Taimiyah
menggunakan riwayat dari Ibnul Muallam, An Nuwairy dan Ibnu Hajar yang menukil
dari Tarikh Ar Barzaly tanpa sama sekali mempedulikan riwayat-riwayat lain yang
bertentangan atau berbeda dengan riwayat tersebut.
Khusus
untuk Ibnu Hajar, kemungkinan beliau salah menukil atau menukil dari orang
lain, karena dalam Tarikh Al Barzaly tidak disebutkan cerita tersebut, justeru
Ibnu Rajab mengatakan bahwa Al Barzaly (beliau tidak menyebutkan kitab Tarikh )
dan juga Az Zahabi menyebutkan penggalan kisah yang mengatakan bahwa hal itu
terjadi dibawah paksaan dan tanpa ada pertobatan kecuali kata-kata global saja.
Jika
kita membandingkan riwayat-riwayat diatas, maka jelaslah kualitas periwayatan
pihak-pihak yang mendukung ibnu Taimiyah lebih unggul karena terdiri dari para
Huffadz yang telah disepakati dan juga sezaman dengan Ibnu Taimiyah, artinya
riwayatnya lebih ‘ali[2]. Adapun Ibnu
Hajar, beliau menyalahi periwayatan Arbarzaly, Az Zahabi, Ibnu Abdil Hadi dan
juga Ibnu Rajab. Lagipula beliau menukil cerita tersebut karena tidak Muasharah
dengan Ibnu Taimiyah dan penukilannya terlihat Syadz[3].
2.
Realitas setelah Peristiwa tersebut
Sisi
ini menguatkan sikap kedua berdasarkar fakta-Fakta berikut:
Tulisan
ini menyelisihi aqidah Syaikh yang beliau dakwahkan dan perjuangkan sepanjang
hidupnya, sebelum kejadian tersebut dan sesudahnya.
Tidak
terdapat sedikitpun jejak didalam kitab dan karangannya yang menunjukkan beliau
telah rujuk, isyarat yang menunjukkan surat ini, atau isi dari tulisan
ini. Padahal kisah tersebut terjadi sekitar tahun 707 Hijriah, sedangkan beliau
Wafat tahun 728 Hijriah. Itu artinya beliau dikatakan beraqidah Asy’ari selama
kurun tersebut atau sekitar 21 tahun lamanya. Ini amat mustahil karena ibnu
Taimiyah telah mengarang banyak kitab-kitab Salafiyah setelah tahun-tahun
tersebut. Kitab DAr’ut Taarrud dikarang oleh Ibnu
Taimiyah sekembalinya beliau dari Mesir seperti yang telah dijelaskan oleh
Muhaqqiqnya dengan bukti-bukti yang amat jelas pada Muqaddimah Kitab tersebut.
Kitab tersebut sangat terkenal dan kemudian dibantah oleh oleh tokoh Asyairah
yang bernama Kamaluddin bin Syarisyi, kemudian dijawab oleh Ibnu Taimiyah
dengan sebuah karangan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Rajab,Ibnu
Abdul Hadi, Adz Dzahabi, dan Lain-lain.Kitab tersebut telah diringkas
oleh Badruddin Al Hakari, seorang Qadhi bermazhab Syafii. Syaikh Rasyad Selaku
Muhaqqiq berpedoman kepada ringkasan Tersebut dan sembilan naskah lainnya.
naskah tersebut ada yang berbeda dan ada yang saling membenarkan. Kemudian
setelah itu, Ibnu Taimiyah mengarang Minhajussunnah, yaitu salah satu kitab
salafiyyahnya yang paling terkenal.
Syaikhul
Islam Rahimahullah telah banyak mendapatkan pelecehan dalam berbagai masalah
sebelum tanggal kejadian tersebut maupun sesudahnya, dipenjara karena masalah
tersebut, dan dicela. Tapi beliau tidak sedikitpun diketahui ruju dari
pendapatnya sedikitpun. Paling-paling beliau hanya berhenti berfatwa sebentar,
kemudian kembali melakukan hal itu dan berkata: “Saya
tidak bisa menyembunyikan ilmu”, seperti pada masalah thalaq (Al uqud hal 325),
Bagaimana mungkin kali ini beliau menulis surat kepada mereka apa yang
bertentangan dengan Aqidah Ahlissunnah dan menyetujui Mazhab Ahli bid’ah.
Keadaan musuh beliau adalah seperti yang beliau sifatkan sendiri ketika
dikatakan kepada beliau:“Wahai tuanku! Sungguh telah banyak orang yang
menentangmu!”Beliau berkata: “sesungguhnya mereka seperti lalat, kemudian
beliau mengangkat telapak tangannya kemulutnya dan meniupnya.” (Al uqud Hal
268).Imam Adz Dzahabi mensifatkan keteguhan Syaikhul Islam didepan
musuhnya-musuhnya dengan mengatakan:“…..Hingga
menentangnya sekelompok Ulama Mesir dan Syam dengan penentangan yang tidak ada
bandingannya… dan dia orang yang teguh tidak terbujuk dan tidak suka, malah
beliau tetap mengatakan kebenaran yang pahit sesuai dengan ijtihadnya,
ketajaman pikiran, dan keluasan pengetahuannya pada qaul-qaul dan sunan”
pemalsuan
terhadap Fatwa beliau amat sering dilakukan. Ibnu katsir mengisahkan cerita
penahanan Beliau dalam peristiwa yang terjadi di tahun 726 Hijriah karena
berfatwa masalah Ziarah kubur yang diadukan kepada sulthan. Pengadunya
mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah menulis surat yang isinya pengharaman
untuk menziarahi kubur nabi dan orang-orang Soleh berdasarkan Ijma. Lalu Ibnu
Katsir membela gurunya dengan mengatakan bahwa itu adalah pemalsuan karena
Gurunya tidak berfatwa tentang keharaman Berziarah secara umum, namun yang
haram adalah mengadakan safar semata-mata untuk berziarah. Adapun berziarah
tanpa melakukan Safar justeru dianggap Mustahab oleh gurunya.Pemalsuan fatwa
beliau diakui banyak Huffadz diantaran Az Zahabi, Ibnu Abdil Hadi, Al barzali
dan beliau sendiri didalam Majmu Fatawa dan salah satu pengakuan tersebut juga
terdapat dalam Muqaddimah Kitab Tis’iniyat yang ditulis Khusus untuk membantah
kalam nafsi dan Aqidah Asy’ariyah.
Kisah
Ini terjadi Bulan Rabiul Awal tahun 707 Hijriah, sebelumnya yaitu akhir-akhir
tahun 706 Hijriah beliau masih dalam penjara di Mesir dan dijanjikan pembebasan
Jika mau mengubah beberapa hal terkait Aqidahnya, namun Ibnu katsir menjelaskan
bahwa diakhir tahun 706 Hijriah ketika utusan dari sulthan Bolak-balik untuk mengundang
beliau dan bahkan dijanjikan pembebasan, beliau tetap teguh dengan
pendiriannya. Namun ia tidak menyebutkan teks perkataan dan tulisannya.
3. Riwayat dari syaikhul Islam Sendiri.
DR Muhammad Bin Ibrahim Al Ajalan telah mentahqiq sebuah
Kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul “At Tis’iniyyat” yaitu sebuah Kitab yang dikarang untuk membantah Aqidah Asy’ari secara
rinci dan sebagian besarnya tentangkalaamunnafsi[4].
Dari Muqaddimah Kitab Ini terlihat jelas kelengkapan
peristiwa yang disebutkan oleh ibnu katsir pada peristiwa-peristiwa yang
terjadi di akhir Ramadhan dimalam Idul Fitri tahun 706 Hijriah terkait
adanya utusan yang menginginkan kehadiran Syaikhul Islam dalam
sebuah majelis dimana beliau diminta untuk menarik Fatwa-fatwanya seputar
Kalamullah, Jihat dan tahayyuz, dan Arsy agar sesuai dengan Aqidah Asy’ariyah
dengan hadiah Pembebasannya dari Penjara.
Namun beliau tetap teguh untuk tidak menghadiri acara tersebut dan hanya
menulis jawaban ringkas dalam sebuah surat serta menulis jawaban rinci dengan
menulis sebuah kitab khusus. DR Muhammad bin Ibrahim Al Ajalan memastikan
Berdasarkan Awal cerita didalam Kitab tersebut bahwa Ibnu Taimiyah mulai
mengarangnya pada Tahun 706 Hijriah disebabkan Oleh permintaan Untuk menghadiri
majelis yang disana beliau diharapkan membuat sebuah pengakuan dan menarik
fatwa-fatwa tentang Aqidah sebagaimana yang telah Saya sebutkan.[5]
Selanjutnya
diawal kitab tersebut halaman 111 diterangkan bahwa utusan tersebut tersebut
sebelumnya pernah datang juga membawa tulisan dari Ibnu Makhluf yang
menggambarkan Aqidah Ibnu Taimiyah, namun
ternyata tulisan tersebut isinya dusta karena sesuai dengan Aqidah mereka. Ibnu
Taimiyah Memarahi utusan tersebut dan menyuruh mereka berlaku Adil. Begitu
seterusnya, dimana utusan-demi utusan datang untuk meminta kehadiran beliau
dalam majelis yang diadakan oleh Amir pada saat itu. Namun beliau selalu
menolak hadir dan hanya menulis surat namun surat beliau didustakan.[6] oleh karena itu sangat
mungkin surat palsu itulah yang dibacakan dalam majelis yang tidak dihadiri
oleh ibnu Taimiyah tersebut lalu dinukil oleh sebagian kecil ahli sejarah.
Kesimpulan
dari Pembahasan Ini adalah perlunya penguatan dan penggabungan beberapa cerita
tentang rujuknya Beliau kepada Aqidah Asy’ari agar didapatkan kesimpulan yang
adil dan Jauh dari kecurangan.
Dari
penguatan dan penggabungan riwayat-riwayat tersebut jelaslah bahwa Kita bisa
menetapkan pokok Kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun terkait ruju’ dari
aqidah salaf dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihannya jelas dengan apa
yang telah didakwahkan oleh Syaikhul Islam sebelum tanggal tersebut dan setelahnya.
Semoga
bermanfaat
Saudaramu
: dobdob
Dikutip
dari Kitab “Al Jaami Lishirathi Syaikhil Islam” dengan beberapa
Penambahan
[1] Didalam kitab tarikhnya,
Albarzali memang tidak menyebutkan apapun tentang surat dan rujuk, tetapi
penukilan sekelompok ahli sejarah (Ibnu Hajar dan ibru Rajab misalnya, pent)
kepada kitab tersebut. Menunjukkan bahwa Albarzalli telah menyebutkan sesuatu
terkait perkara tersebut. Kemungkinan dia menyebutkan pada kitab tarikhnya yang
tidak diketahui, atau pada kitab lain semisal Mu’jam
syuyukh.
[2] Riwayat dengan rantai
Sanad yang lebik Pendek, dan susunan sanad seperti ini merupakan nilai lebih,
Karena mempermudah pemeriksaan dan meminimalisir kesalahan
[3] Riwayat seorang Tsiqah
yang menyalahi riwayat rawi lain yang lebih Tsiqah atau lebih banyak jumlahnya.
[4] Keyakinan khas Asy’ariyah
tentang kalamullah dimana mereka mengatakan bahwa Kalam itu Qadim, Menyatu
dengan Dzat-Nya (Qaaimun Bidzatihi), tanpa suara dan Huruf, adapun Al Qur’an
yang sekarang didunia merupakan Ta’bir atau interpretasi dari kalamullah Yang
dilakukan Oleh Malaikat Jibril Alaihissalam
[5] Lihat tarikh Ta’lif ktiab
tersebut dihalaman 55 kitab Tis’iniyat
[6] Lihat dan renungkanlah
hal 109-119 rangkaian Kisah tersebut yang merupakan bukti paling kuat bahwa
kisah pertobatan tersebut adalah dusta
silahkan
download bahan-bahan Artikel diatas
[ untuk melihat comments terhadap tulisan diatas, silahkan klik sumbernya]
Telah
terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah dengan
judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat.
الحمد لله , والصلاة والسلام على رسول الله …….
SYUBHAT :
Telah terdapat suatu tulisan dalam
beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah
dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat. Pada tulisan itu mereka menjelaskan bukti
(menurut versi mereka) bahwa Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albaany telah bertaubat dalam aqidah tentang Asma’ Was Sifat menjadi seorang
Asy-‘ari.
Di dalam tulisan tersebut mereka menukil
tulisan Ibnu Hajar dalam kitab ad-Durar al-Kaminah fi a’yaan mi-ah
ats-tsaaminah cetakan 1414 H Daarul Jiel Juz 1 hal 148. Beberapa kutipan yang
mereka terjemahkan di antaranya :
“Dan para ulama telah mendapati skrip
yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu
(akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa
Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang
hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq
(kebenaran)”.
Telah berkata Ibnu Taimiah dengan
kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab
Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”
…berkata Imam Nuwairy seperti yang
dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi
bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah
pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah
mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia
pegangi terdahulu)”.
BANTAHAN
:
Benarkah Ibnu Taimiyyah Bertaubat dan
Menjadi Seorang Asy’ari?
Kalau kita merujuk pada kitab Ibnu Hajar
al-‘Asqolaany tersebut, akan terlihat bahwa kisah bertaubatnya Ibnu Taimiyyah
di hadapan majelis para “Ulama’” waktu
itu terjadi di tahun 707 H. Sedangkan Ibnu Taimiyyah meninggal pada
tahun 728 H. Sehingga, -kalaupun kisah ini benar- berarti selama kurang lebih
21 tahun Ibnu Taimiyyah berpemahaman Asy’ari. Benarkah demikian?
Pada tulisan ini akan dipaparkan bukti
–bukti yang menunjukkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak pernah
berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Penjelasan tentang hal tersebut
akan dibagi menjadi:
1. Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu
Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
2. Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu
Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
1). Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah
yang Ditulis Setelah 707 H.
Rujukan kita adalah kitab-kitab Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah yang ditulis setelah 707 H atau setelah Ibnu Taimiyyah
kembali dari Mesir. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa kitab-kitab tertentu
ditulis pada kurun waktu tertentu? Bisa dilihat pada penjelasan di muqoddimah
pentahqiq kitab-kitab tersebut, keterangan yang menunjukkan bahwa kitab
tersebut diikhtisar (diringkas) oleh ulama’-ulama’ setelahnya, kitab-kitab lain
yang menjelaskan tentang tarjamah (biografi) beliau, ataupun indikasi-indikasi
lain yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara kitab-kitab yang beliau tulis
setelah tahun 707 H adalah kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah sebagai bantahan
terhadap kaum Syi’ah Rafidlah. Pada kitab tersebut Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah meluruskan pemahaman Asy-ari yang salah tentang masalah ru’yatullah
(kaum mu’minin melihat Allah di akhirat) maupun penetapan sifat al-‘Uluw
(ketinggian) bagi Allah, dalam konteks membantah Syi’ah Rafidlah (bisa dilihat
salah satu contohnya adalah pada bagian ‘Kalaamur Roofidly ‘alaa Itsbaati
al-Asyaa-iroh liru’yatillah hal 340-352 maupun bagian ‘Kalaamur Raafidly ‘ala
maqoolatil Asyaa-iroh fi Kalaamillaah’ hal 352-400. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany
sendiri menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukan dalam kitab Fathul
Bari. Beliau menyebutkan dalam 3 tempat di kitab Fathul Baari (1/182 bab
Kitaabatul ‘Ilm,11/209 bab Qishshotu Abi Tholib, dan 21/154 bab Qoulullaahi
Ta’ala Wallaahu Kholaqokum wamaa ta’maluun) dengan mengisyaratkan kitab tersebut
sebagai ‘a-Radd ‘ala ar-Rafidhy’.
Demikian juga kitab-kitab setelah 707 H
yang ditulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang lain di antaranya : ar-Raddu
‘alal Manthiqiyyiin, al-Jawabus Shohiih
liman Baddala Dienal Masiih, dan alFurqaan Bayna Awaliyaa-ir Rahmaan wa
Awliyaaisy-Syaithan. Di dalam kitab ‘alFurqaan’, pada halaman 12 Syaikhul Ibnu
Taimiyyah menyebutkan Sifat Allah yang mencintai wali-Nya dengan kecintaan yang
sempurna. Beliau tidaklah mentahrif Sifat ‘mencintai’ tersebut seperti tahrif
yang biasa dilakukan oleh Asy-‘ari dengan memalingkannya pada makna-makna yang
lain.
Dalam kitab al-Jawaabus Shohiih liman
Baddala Dienal Masiih juz 4 halaman 6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membantah
keyakinan Nashara yang menyimpang, dengan menjelaskan Sifat al-Kalaam
(berbicara) bagi Allah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah. Beliau juga tidak
memalingkan makna al-Kalaam tersebut pada makna yang lain, tetapi memaknakannya
secara hakiki. Perlu diketahui bahwa kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala
Dienal Masiih adalah salah satu kitab yang dijadikan rujukan oleh Ibnu Hajar
al-‘Asqolaany dalam Fathul Baari (21/151).
Lebih telak lagi, kitab yang bisa
membungkam syubuhat bahwa Ibnu Taimiyyah berubah pemahaman menjadi Asy-ari
adalah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql yang ditulis beliau. Di dalamnya
beliau membantah kelompok – kelompok yang mengedepankan akal seperti
Mu’tazilah, al-Jahmiyyah, al-Maaturidiyyah, dan juga termasuk al-‘Asyaa-iroh
(Asy-‘ari). Pada juz 1 halaman 15, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan kesesatan
orang-orang yang mengingkari: ru’yatullah (bahwa Allah bisa dilihat oleh orang
beriman di akhirat) dan ketinggian Allah di atas ‘Arsynya. Jika timbul
pertanyaan : Kapankah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql tersebut ditulis?
Jawabannya : kitab tersebut ditulis setelah beliau kembali ke Syam. Dr.
Muhammad Rosyad Salim menyatakan bahwa kitab itu ditulis sekitar tahun 713-717
H. Kitab-kitab lain yang dikemukakan di atas sebagai bukti bahwa Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak berubah pemahaman menjadi Asy-‘ari semuanya
ditulis setelah kitab Dar-u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql ini. Sebagai contoh, di
dalam kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah beberapa kali beliau mengisyaratkan
rujukan pada kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql.
2) Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu
Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
Imam Adz-Dzahaby sebagai salah seorang
murid Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitabnya alMu’jamul Mukhtash :
قد سجن غير مرة ليفتر عن خصومه ويقصر عن بسط
لسانه وقلمه وهو لا يرجع ولا يلوي على ناصح إلى أن توفي
“Beliau telah dipenjara berkali-kali
untuk memutuskan permusuhannya (terhadap ahlul bid’ah,pent) dan mengurangi
‘tajamnya’ lisan dan pena beliau,tetapi beliau tidaklah rujuk (mundur) maupun
melunak sampai beliau meninggal”
Pada bagian lain Imam AdzDzahaby juga
menyatakan di dalam kitab tersebut:
حتى قام عليه خلق من علما مصروالشام قياما … وهو
ثابت لا يداهن ولا يحابي ، بل يقول الحق المرّ الذي أداه إليه إجتهاده وحِدّة ذهنه
وسعة دائرته في السنن و الأقوال
“ Sampai bangkitlah sekelompok Ulama dari
Mesir dan Syam…dalam keadaan beliau tetap kokoh, tidak mencari muka ataupun
berbasa-basi, akan tetapi beliau tetaplah mengucapkan kebenaran yang pahit
berdasarkan ijtihadnya, tajamnya pikiran, dan luasnya wawasan tentang Sunnah –
sunnah dan ucapan-ucapan”
Imam Ibnu Katsir yang juga merupakan
murid Ibnu Taimiyyah menyatakan :
وفي ليلة عيد الفطر أحضر الامير سيف الدين سلار
نائب مصر القضاة الثلاثة وجماعة من الفقهاء فالقضاة الشافعي والمالكي والحنفي،
والفقهاء الباجي والجزري والنمراوي، وتكلموا في إخراج الشيخ تقي الدين بن تيمية من
الحبس، فاشترط بعض الحاضرين عليه شروطا بذلك، منها أنه يلتزم بالرجوع عن بعض
العقيدة وأرسلوا إليه ليحضر ليتكلموا معه في ذلك، فامتنع من الحضور وصمم، وتكررت
الرسل إليه ست مرات، فصمم على عدم الحضور، ولم يلتفت إليهم ولم يعدهم شيئا، فطال عليهم
المجلس فتفرقوا وانصرفوا غير مأجورين
“ dan pada malam Iedul Fithri al-Amiir
menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok
Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan
alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah al-Baaji, al-Jazarii, dan
anNamrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah
dikeluarkan dari penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di
antaranya : beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan
agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau
menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir).
Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada pendirian untuk tidak
hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majelis
itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan” (al-Bidayah wan
Nihaayah juz 14 hal 47)
Dari penjelasan di atas nampaklah secara
gamblang bahwa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tidaklah berubah pemahaman menjadi
seorang Asy-‘ari. Pemahaman beliau terhadap Asma’ Was Sifaat tetap tidak
berubah sebagaimana yang dipahami Salafus Sholih, yaitu meyakininya tanpa
tahriif ( meyimpangkan lafadz atau maknanya pada makna yang hakiki), tidak juga
ta’thiil (menolak), atau takyiif (menentukan/ menanyakan kaifiyatnya), dan
tamtsiil (menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk). Pemahaman tersebut
tidaklah berubah sebagaimana yang beliau nyatakan dalam al-‘Aqiidah al-
Waasithiyyah yang terus dikaji oleh kaum muslimin sampai saat ini.
Pembelaan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany
terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Al-Hafidz as-Sakhowy menukil perkataan
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam kitabnya al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal
734-736. Di antara perkataan Ibnu Hajar tersebut adalah :
…ولقد
قام على الشيخ تقي الدين جماعة من العلماء مراراً ، بسبب أشياء أنكروها عليه من
الأصول والفروع ، وعقدت له بسبب ذلك عدة مجالس بالقاهرة ، وبدمشق ، ولا يحفظ عن
أحد منهم أنه أفتى بزندقته ، ولا حكم بسفك دمه مع شدة المتعصبين عليه حينئذ من أهل
الدولة ، حتى حبس بالقاهرة ، ثم بالإسكندرية ، ومع ذلك فكلهم معترف بسعة علمه ،
وكثرة ورعه ، وزهده ، ووصفه بالسخاء ، والشجاعة ، وغير ذلك من قيامه في نصر
الإسلام ، والدعوة إلى الله تعالى في السر والعلانية ، فكيف لا يُنكر على مَن أطلق
” أنه كافر ”
“…dan sungguh para Ulama’ telah bangkit
terhadap Syaikh Taqiyuddin berkali-kali dengan sebab-sebab yang mereka ingkari
dari permasalahan ushul dan furu’, dan beberapa kali mengadakan majelis di
Kairo maupun Damaskus. Dan tidaklah ada ternukil sedikitpun dari mereka yang
memfatwakan bahwa beliau adalah zindiq, dan tidak ada yang menghukumi halalnya
darah beliau padahal pada waktu itu banyak yang fanatik terhadap beliau dari
kalangan penduduk negeri. Sampai beliau dipenjara di Mesir kemudian di
alIskandariyah. Bersamaan dengan itu semuanya mengakui luasnya ilmu beliau,
banyaknya sikap wara’ dan zuhud beliau, dan mereka mensifati beliau dengan
dermawan (pemurah), keberanian, dan yang selain itu berupa pembelaan terhadap
Islam, dakwah kepada Allah secara sembunyi-sembunyi maupun terang terangan.
Maka, bagaimana tidak diingkari orang-orang yang menyebut beliau sebagai
‘kafir’ ”
فإنه شيخ في الإسلام بلا ريب
“…beliau adalah Syaikhul Islam tanpa
diragukan lagi”
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه –
وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه ، بل
هو معذور ؛ لأن أئمة عصره شهدوا له بأن أدوات الاجتهاد اجتمعت فيه ، حتى كان أشد
المتعصبين عليه ، والقائمين في إيصال الشر إليه ، وهو الشيخ كمال الدين الزملكاني
، يشهد له بذلك ، وكذلك الشيخ صدر الدين بن الوكيل
“…bersamaan dengan itu beliau adalah
manusia yang bisa salah dan bisa benar. Pendapat beliau yang benar – yang ini
sangat banyak- bisa diambil faedah, dan didoakan agar beliau mendapat rahmat
dari Allah dengan sebab tersebut, sedangkan pendapat beliau yang salah tidak
diikuti, bahkan dimaafkan. Karena ulama’ yang sejaman dengan beliau
mempersaksikan bahwa perangkat untuk berijtihad telah terkumpul pada beliau,
sampai-sampai orang yang sangat fanatik permusuhannya terhadap beliau dan yang
selalu berusaha menyampaikan keburukan terhadap beliau : Syaikh Kamaluddin
az-Zamlakaany mempersaksikan hal itu, demikian juga dengan Syaikh Shodruddin
bin alWakiil”
ولو لم يكن للشيخ تقي الدين من المناقب إلا
تلميذه الشهير الشيخ شمس الدين بن قيم الجوزية صاحب التصانيف النافعة السائرة التي
انتفع بها الموافق والمخالف : لكان غاية في الدلالة على عظم منزلته ، فكيف وقد شهد
له بالتقدم في العلوم ، والتميز في المنطوق والمفهوم أئمة عصره من الشافعية وغيرهم
، فضلاً عن الحنابلة
“ Kalaulah tidak ada keutamaan lain dari
Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah) kecuali muridnya yang terkenal Syamsuddin
Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, yang memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat bagi
pendukung maupun penentangnya, niscaya cukuplah sebagai bukti agungnya
kedudukan beliau. Maka bagaimana (tidak), padahal para Ulama’ pada zaman beliau
dari kalangan Syafiiyah dan selainnya, apalagi dari Hanabilah telah
mempersaksikan keunggulan beliau dalam ilmu, dan keistimewaan beliau dalam
ucapan dan pemahaman”. (al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736).
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany Banyak
Menjadikan Pendapat Ibnu Taimiyyah sebagai Rujukan
Di dalam kitabnya Fathul Baari Syarh
Shohih al-Bukhari al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan pendapat Ibnu
Taimiyyah tidak kurang dari 25 kali. Beberapa yang bisa dinukil di sini :
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’
tentang makna siksaan bagi mayit karena sebab ratapan yang dilakukan
keluarganya, beliau menyatakan :
مَعْنَى التَّعْذِيب تَأَلُّم الْمَيِّت بِمَا
يَقَع مِنْ أَهْله مِنْ النِّيَاحَة وَغَيْرهَا ، وَهَذَا اِخْتِيَار أَبِي
جَعْفَر الطَّبَرِيّ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ ، وَرَجَّحَهُ اِبْن الْمُرَابِط
وَعِيَاض وَمَنْ تَبِعَهُ وَنَصَرَهُ اِبْن تَيْمِيَة وَجَمَاعَة مِنْ
الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَاسْتَشْهَدُوا لَهُ بِحَدِيثِ قَيْلَة بِنْت مَخْرَمَة
“ Makna ‘penyiksaan’ adalah perasaan
sakit si mayit karena apa yang terjadi dari keluarganya berupa ratapan atau
semisalnya. Ini adalah pendapat dari Abu Ja’far atThobary dari kalangan
mutaqoddimin, dan dirajihkan oleh Ibnul Muqoobith dan ‘Iyaadl, dan pengikutnya,
pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah dan para Ulama dari kalangan
mutaakhkhirin, dan mereka berdalil dengan hadits Qoylah binti Makhromah “
(Fathul Baari juz 4 halaman 327).
Pada saat menjelaskan pendapat para
Ulama’ tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia, Ibnu Hajar
menyatakan :
سَادِسهَا هُمْ فِي النَّار حَكَاهُ عِيَاض عَنْ
أَحْمَد ، وَغَلَّطَهُ اِبْن تَيْمِيَة بِأَنَّهُ قَوْل لِبَعْضِ أَصْحَابه وَلَا
يُحْفَظ عَنْ الْإِمَام أَصْلًا
“Pendapat yang ke-enam : mereka berada di
anNaar (neraka). Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyaadl dari Imam Ahmad. Tetapi
(hikayat) ini disalahkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwasanya itu adalah perkataan
sebagian sahabat (Imam Ahmad), dan tidaklah terjaga (ternukil) dari Imam
(Ahmad) sama sekali”(Fathul Baari juz 4 halaman 462).
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’
tentang manakah yang lebih utama antara 2 Ummul Mu’minin Khadijah dan ‘Aisyah :
وَقَالَ اِبْن تَيْمِيَة : جِهَات الْفَضْل بَيْن
خَدِيجَة وَعَائِشَة مُتَقَارِبَة . وَكَأَنَّهُ رَأَى التَّوَقُّف
“ dan berkata Ibnu Taimiyyah : ‘
Sisi-sisi keutamaan antara Khadijah dan Aisyah sangat berdekatan’. Seakan-akan
beliau berpendapat tawaqquf (tidak merajihkan) “ (Fathul Baari juz 11 halaman
78)
Pada saat menjelaskan tentang nama asli
dari Abu Thalib :
قَوْله : ( بَاب قِصَّة أَبِي طَالِب )
وَاسْمه عِنْد الْجَمِيع عَبْد مَنَافٍ ، وَشَذَّ
مَنْ قَالَ عِمْرَان ، بَلْ هُوَ قَوْل بَاطِل نَقَلَهُ اِبْن تَيْمِيَة فِي
كِتَاب الرَّدّ عَلَى الرَّافِضِيّ أَنَّ بَعْض الرَّوَافِض زَعَمَ أَنَّ قَوْله
تَعَالَى : ( إِنَّ اللَّه اِصْطَفَى آدَم وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيم وَآلَ
عِمْرَان ) أَنَّ آلَ عِمْرَان هُمْ آلُ أَبِي طَالِب وَأَنَّ اِسْم أَبِي طَالِب
عِمْرَان وَاشْتُهِرَ بِكُنْيَتِهِ
“ Perkataan beliau (Imam al-Bukhari) :
Bab Kisah Abu Thalib. Namanya (Abu Tholib) berdasarkan pendapat seluruh Ulama’
adalah Abdu Manaf. Pendapat yang ganjil (aneh) bagi yang berpendapat bahwa
namanya adalah ‘Imran. Bahkan itu adalah pendapat yang batil, sebagaimana
dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya arRadd alar Raafidli bahwa sebagian
orang Syiah Rafidlah menyangka bahwa firman Allah (Q.S Ali Imran :33,pent) :
“Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran” ,
bahwa yang dimaksud dengan keluarga Imran adalah keluarga Abu Thalib dan
bahwasanya nama Abu Thalib adalah Imran dan terkenal dengan kunyah
(gelar)nya”(Fathul Baari juz 11 halaman 209).
Contoh nukilan di atas hanyalah beberapa
contoh yang menunjukkan bahwa Ibnu Hajar al-‘Asqolaany banyak menjadikan
perkataan Ibnu Taimiyyah sebagai rujukan dalam kitabnya Fathul Baari. Di dalam
kitab atTalkhiisul Habiir, Ibnu Hajar juga banyak menjadikan perkataan Ibnu
Taimiyyah. Di antaranya adalah :
Ketika menyebutkan hadits :
الْفَقْرُ فَخْرِي وَبِهِ أَفْتَخِرُ
“ Kefakiran adalah kebanggaanku, dan
dengannya aku berbangga”.
Ibnu Hajar menyatakan :
وَهَذَا الْحَدِيثُ سُئِلَ عَنْهُ الْحَافِظُ
ابْنُ تَيْمِيَّةَ ؟ فَقَالَ : إنَّهُ كَذِبٌ لَا يُعْرَفُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ
الْمُسْلِمِينَ الْمَرْوِيَّةِ ، وَجَزَمَ الصَّنْعَانِيُّ بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ
“ Hadits ini ditanyakan kepada al-Hafidz
Ibnu Taimiyyah : maka beliau berkata : ‘Sesungguhnya itu adalah dusta, dan
tidaklah diketahui sedikitpun (terdapat) dalam kitab-kitab yang diriwayatkan
kaum muslimin’. Dan As-Shon’aany memastikan bahwa hadits tersebut palsu”
(atTalkhiisul Habiir juz 4 halaman 156).
Demikianlah, saudaraku kaum muslimin,
semoga Allah merahmati kita semua. Dari paparan di atas jelaslah bahwa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah pernah berubah pemahaman menjadi seorang
‘Asy-ari. Jika ada orang yang meragukan ketokohan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
sebagai seorang Ulama’ Ahlussunnah, maka cukuplah kita telah sebutkan pengakuan
dari Ibnu Hajar al-‘Asqolaany berupa pujian-pujian terhadap beliau. Sangat
banyak pujian para Ulama’ terhadap beliau, tak terhitung. Namun dalam tulisan
ini kami cukupkan pada penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany, karena juga banyak
saudara kita yang terpengaruh membenci Ibnu Taimiyyah (tanpa tahu keadaan
sebenarnya tentang beliau) namun mereka masih memulyakan Ibnu Hajar
al-‘Asqolaany sebagai salah satu Ulama’ panutan. Belum lagi kami paparkan
pujian Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap murid-murid Ibnu Taimiyyah dan
menjadikan pendapat mereka sebagai rujukan.
Semoga Allah senantiasa memberikan
hidayah dan limpahan rahmatNya kepada seluruh kaum muslimin……
Wallaahu Ta’ala A’lam BisShowaab .
Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk www.darussalaf.or.id
Rujukan :
1.http://www.islam-qa.com/ar/ref/96323
2.http://saaid.net/monawein/taimiah/27.htm
3.Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah (terkemas dalam
software : maowsoat_ibntaimia_01.
4.Fathul Baari (Maktabah AsySyaamilah)
5.Al-Bidaayah wan Nihaayah (Maktabah
AsySyaamilah)
6.At-Talkhiisul Habiir (Maktabah
AsySyaamilah)
Sejauh
mana kebenaran kisah Taubat Ibn Taimiyah
Soalan:
Assalaam ‘alaikum ya Ustadz,
Boleh perjelaskan tentang kisah taubat
Syeikhul Islam Ibn Taimiyah ini, yang dikemukakan sebagai berikut, sejauh mana
kebenarannya? Lalu jika benar Syeikhul Islam telah bertaubat, apakah ia taubat
yang sebenarnya di sisi Syara‘ ataukah beliau sebenarnya meninggalkan ajaran
yang benar? Baru-baru ini, ada orang yang menghukumkan beliau kafir pada
mulanya (2 atau 3 hari yang lalu). Kemudian pihak itu mengatakan sekarang:
Kafir sebelum taubatnya, kemudian selepas taubatnya, Ibn Taimiyah telah jadi
pengikut fahaman Asy‘ari dan Sufi dan tidak kafir lagi? Malah beliau ada
menyalahkan Islamiq.sg, yang biasa menyiarkan sebahagian tulisan Ustaz, sebagai
punca beliau menimbulkan tengkarah ini. Beliau juga menyiarkan nama seseorang
yang diistilahkannya sebagai “dalang” lengkap dengan alamat rumah. Apa ulasan
Ustaz?
Yang inginkan kepastian - Abu Insyirah.
في كتاب (الدرر الكامنة) للحافظ ابن حجر
العسقلاني ما نصه: (..ولم يزل ابن تيمية في الجب إلى أن شفع فيه مهنا أمير آل فضل
فأخرج في ربيع الأول في الثالث وعشرين منه، وأحضر إلى القلعة، ووقع البحث مع بعض
الفقهاء، فكتب عليه محضر بأنه قال: أنا أشعري ثم وجد خطه بما نصه:
الذي اعتقد أن القرآن معنى قائم بذات الله وهو
صفة من صفات ذاته القديمة وهو غير مخلوق وليس بحرف ولا صوت وأن قوله الرحمن على
العرش استوى ليس على ظاهره ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلمه إلا الله والقول في
النزول كالقول في الاستواء وكتبه أحمد بن تيمية،
ثم أشهدوا عليه أنه تاب مما ينافي ذلك مختارًا
وذلك في خامس عشرى ربيع الأول سنة 707 وشهد عليه بذلك جمع جم من العلماء وغيرهم..)
Terjemahannya:
Di dalam Kitab “ad-Durar al-Kaaminah -
mutiara yang terpendam, yang bernilai tinggi” karya al-Haafiz Ibn Hajar
al-‘Asqalaani nasnya sebagai berikut: …dan Ibn Taimiyah tetap berada dalam
lubang tahanan (penjara) sehinggalah beliau diberikan sokongan/syafa‘at antara
lain oleh Amier Aali Fadhl maka beliau dikeluarkan pada 23 haribulan Rabie’
al-Awal dan beliau di bawa ke menara benteng/istana, lalu berlakulah perdebatan
di antara beliau dan segolongan Fuqahaa’ (ahli fiqh), maka dituliskan untuknya
agar ia membuat pengakuan: “Saya (berfahaman) Asy‘ariy” kemudian diketemukan
dengan tulisan tangan beliau dengan catatannya: “yang menjadi I‘tiqadku
bahawasanya al-Quran adalah makna yang berdiri sendiri pada Dzat Allah, sebagai
satu Sifat daripada Sifat Dzatiyahnya yang Qadiem, bukan makhluq dan bukan pula
(terdiri/berupa) huruf dan tidak pula suara dan FirmanNya: ar-Rahman di atas
‘Arasy beristiwa, bukannya dengan maknanya demikian secara zahir dan saya tidak
mengetahuinya apa yang dimaksudkan dengannya malah tiada yang mengetahuinya
kecuali Allah dan yang sama juga bagi an-Nuzul, seperti yang dinyatakan
berkenaan Istiwaa’ dan ini telah ditulis oleh Ahmad ibn Taimiyah, kemudian
mereka semua menjadi saksinya bahawa ia telah bertaubat yang mengandung maksud
bahawa ia melakukannya dengan pilihannya (bukan dipaksakan) dan yang demikian
itu berlaku pada 25hb Rabie’ul Awal tahun 707H dan disaksikan yang demikian itu
oleh segolongan yang ramai daripada ‘ulama’ dan lainnya.
Jawapan:
Wa ‘alaikumussalaam wa rahmatullaah,
Bismillah walhamdulillaah was solaatu was
salaam ‘alaa Rasuulillaah wa ‘alaa aalihi wa sohbihi wa manittaba’a hudaah,
Wa ba’d.
Adapun soal kisah Taubat Syeikhul Islam
(semoga Allah merahmati beliau), maka ia bukanlah sebuah kisah yang dapat
dipastikan kebenarannya. Akan saya perincikan kelak. Manakala soal ia
dikemukakan sebagaimana yang ada dalam nukilan itu, maka benar, adanya dalam
kitab berikut (yang ada dalam Perpustakaan peribadi saya/Personal Library):
Di dalam Kitab “ad-Durar al-Kaaminah”
karangan al-Hafiz Ibn Hajar
al-‘Asqalaaniy (semoga Allah merahmati beliau); bermula daripada halaman 144
sehingga 160 daripada Juzu’ yang pertama, daripada kitab 4 jilid beliau ini,
begitu banyak dan penuh pujian serta sanjungan begitu ramai ‘ulama’ yang
disebutkan oleh al-Hafiz, terhadap Syeikhul Islam Ibn Taimiyah (semoga Allah
merahmati beliau), sehingga 16 halaman dan bukannya kutukan atau kritikan, yang
mencerminkan keluasan ilmu beliau dalam berbagai bidang, malah disifatkan
sebagai hujjah dalam bidang-bidang tersebut.
Padahal begitu ramai ‘ulama terbilang
yang disenaraikan[1]. Ada sebahagian ‘ulama’ yang disebutkan Ibn Hajar sekadar
3 hingga 4 baris mengenai biografi mereka. Lalu kenapa yang panjang lebar
diketepikan sehingga 16 halaman, untuk hanya memetik bahagian ini yang kurang
satu perenggan, yang disebutkan oleh al-Haafiz sebagai contoh pahit getir yang
beliau lalui serta pengorbanan beliau menegakkan kebenaran?
Sila rujuk pada no: 409; Ahmad bin ‘Abdil
Haliem…Ibn Taimiyah al-Harraani, benar beliau yakni al-Haafiz Ibn Hajar
al-‘Asqalaaniy ada menyatakan pada Juzu’ 1/148 (5 baris dari atas):
Yang mana kesimpulan kisahnya bahawa Ibn
Taimiyah, telah menyatakan bahawa beliau berfahaman Asy‘ariy dan bertaubat
daripada ‘Aqidahnya, yang bersgelar ‘Aqidah Salaf lalu dengan taubatnya, beliau
mengatakan sesuai fahaman I‘tiqad al-Asyaa‘irah.
Apakah benar perkara Taubatnya beliau dan
mengikuti fahaman Asy‘ari ini?
Berikut jawapannya:
1. Kesemua kitab-kitab Syeikhul Islam Ibn
Taimiyah, semoga Allah merahmati beliau, yang begitu banyak, tiada satu pun
yang mengandungi perkara ini, iaitu “taubat beliau” mahupun sokongan beliau
kepada fahaman al-Asyaa‘irah, malah semuanya dipenuhi dengan pengesahan beliau
terhadap Aqidah Salaf yang menjadi pegangan beliau dan itulah juga pegangan
Imam 4 Madzhab yang terkemuka dan para pengikut para Imam tersebut.
2. Sekiranya kita andaikan bahawa perkara
ini benar-benar terjadi, maka ia seperti pengakuan (taubat) seorang yang
dipaksa. Seorang yang dipaksa mengucapkan perkataan kufur sekalipun tidak
menjadi kafir dengan ucapannya, sebagaimana yang sedia dimaklumi berkenaan
kisah ‘Ammaar bin Yaasir, semoga Allah meredhai beliau, yang telah dijelaskan
panjang lebar dalam Tafsir al-Qurtubiy pada ayat 106 Surah an-Nahl.
3. Kitab “ad-Durar al-Kaaminah fie A‘yaan
al-Mi-ah ats-Tsaaminah” adalah sebuah kitab sejarah dan biografi, bukannya
sebuah kitab yang layak dijadikan sandaran dalam pengisbatan Aqidah. Lagipun
Ibn Hajar, semoga Allah merahmati beliau, hanya menukilkan kisah ini
sebagaimana orang lain menukilkannya daripada berbagai kisah-kisah dalam
menyebutkan biografi dan metodologi beliau dalam kitab beliau ini, tidak sama
dengan metodologi beliau dalam – misalnya – Kitab Fath al-Baari, kerana beliau
menetapkan syarat-syarat periwayatan apa yang tidak beliau tetapkan bagi kitab
“ad-Durar al-Kaaminah” ini.
Tambahan pula dinyatakan oleh beliau
dengan sieghah tamriedh: “ثم وُجِدَ
خَطّه بما نَصّه” ertinya: “kemudian
diketemukan tulisannya yang berbunyi…”
Persoalannya: Siapa yang ketemukannya?
Siapa pula yang dapat memastikannya dan mengisbatkannya pada diri peribadi Ibn
Taimiyah? Dalam ilmu riwayat, apa yang disebutkan dengan bentuk penyebutan
sedemikian, tidak diterima pakai sebagai hujjah. Begitu pula kisah Ibn Batutah,
kononnya Syeikhul Islam Ibn Taimiyah menyamakan “dirinya” dengan Dzat Allah
adalah kisah palsu. Sila lihat: http://www.al-jamaah.sg/2014/04/ibn-taimiyah-and-false-allegations-of.html
4. Manusia yang terdekat dan paling rapat
dengan Ibn Taimiyah adalah: Ibn al-Qayyim, Ibn ‘Abdil Haadi dan di kalangan
Ahli Sejarah: Ibn Katsier, salah seorang murid Ibn Taimiyah, begitu pula
adz-Dzahabi, namun tidak seorang pun di antara mereka yang menyebutkan perkara
ini, iaitu tulisan ini, malah tidak pula kisah taubatnya, sebagaimana yang
didakwakan.
5. Seandainya kita terima – sebagai suatu
andaian semata – bahawa Ibn Taimiyah bertaubat daripada pegangan asalnya,
apakah dengan itu akan berubah jadinya ‘Aqidah Ahli Sunnah wal Jama‘ah? Apakah
itu bermakna berlaku pertukaran ‘Aqidah yang menjadi pegangan Salafussolih
seperti para Sahabat dan yang datang selepas mereka, antaranya Imam 4 Madzhab
dan para pengikut mereka yang setia?
Abul Hasan al-Asy‘ari, semoga Allah
merahmati beliau, telah menarik balik dan “bertaubat” daripada aliran
‘Aqidahnya, lalu menulis kitab-kitab…tetapi persoalannya: al-Asyaa‘irah ikut
bertaubat dengan meninggalkan fahaman lama Imam Abul Hasan al-Asy‘ari dan
mengikuti beliau dengan Taubat beliau? Sila lihat Aqidah Salaf dalam perkara di
mana Allah? http://www.islamiq.sg/2011/05/uluw-ijma-ulama.html
Perkara Allah di mana yang telah cukup
jelas pun ada orang persoalkan, “kalau orang South Pole langitnya dibandingkan
dengan orang North Pole, jadi Allah di atas atau di bawah?” Ini tidak perlu
kita huraikan di sini kerana sudah ada banyak penjelasannya dengan segala hujjahnya
daripada ayat-ayat al-Quran, as-Sunnah dan penjelasan ‘ulama yang jauh lebih
‘alim daripada orang yang hatinya berpenyakit (sila rujuk Tafsiran Surah
aal-‘Imraan: 7), cuma kita tanya, simpulan bahasa ini bagaimana dapat difahami;
“bagai meludah ke langit” kalau langit itu dipersoalkan langit South Pole,
North Pole, China, US dan sebagainya. Apa pula erti peribahasa: “Di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung”. Maksud saya, jika orang tanya anda: “di
mana langit?”, orang seperti ini akan buat orang bingung dengan kekeliruannya,
langit di mana pun ia tidak tahu, sehingga ditanya balik: “Awak maksud langit
South Pole ke North Pole?” sedangkan orang yang cerdik akan jawab dengan hanya
perlu menuding ke langit.
6. Golongan daripada puak al-Asyaa‘irah yang
cuba berhujjah terhadap Ahli Sunnah dengan kisah sekadar beberapa baris ini,
perumpamaannya adalah seperti orang yang meninggalkan sungai dengan airnya yang
segar banyak, lalu menangguk di air yang keruh dan meminumnya. Beratus hasil
tulisan Syeikhul Islam, yang jelas tegas mengisbatkan Aqidah Salaf, malah ada
yang ditulis sebagai perbandingan kesilapan dan penyelewengan yang ada pada
al-Asya‘irah, disertai pembatalan hujjah dan sanggahan serta pematahan
dalil-dalil mereka.
Apakah patut ditinggalkan kitab-kitab
beliau yang begitu banyak hanya semata-mata kerana “penemuan”
nas/pernyataan/tulisan yang tidak dapat dipastikan kebenarannya pun?
Mengapa tidak dibaca tulisan-tulisan
beliau itu semua dan bukan sekadar dikutip kisah-kisah yang tidak dapat dipastikan
kebenarannya seperti ini.
Teladanilah pengalaman hidup Syeikh
al-Harraas, yang dengan kelulusan beliau ke tahap PhD, beliau mengagumi
Syeikhul Islam, walhal sebelum membaca hasil karya Syeikhul Islam, beliau amat
memusuhinya. Sila baca dan dengarkan ini:
Sesiapa yang ingin berhujjah berdasarkan
kisah taubat ini, maka sebenarnya hujjah telah tertegak atas dirinya sendiri.
Betapa tidak, sebab Abu al-Hasan
al-Asy’ariy (semoga Allah merahmati beliau), telah bertaubat meninggalkan
Aqidah Asy‘ariyah yang beliau gubal untuk mengikuti Aqidah sebenar Ahli Sunnah
wal Jama‘ah yang benar. Kisah dan catatan sejarah berkenaan Taubatnya Imam
al-Asy‘ariy begitu masyhur – meskipun golongan al-Asya‘irah menyangsikannya.
Jika mereka ingin sangat bersandarkan pada hujjah kisah Taubat Syeikhul Islam
ini, semestinya mereka menerima dan ikut bertaubat dengan taubatnya Imam Abul
Hasan, kerana “taubatnya” Imam Abul Hasan, jelas dalam kitab-kitab karangan
beliau yang terakhir.
Wallahu a‘lam.
Tambahan Maklumat Mengenai “Nasihah
Dzahabiyah”
Berikut ini pula penambahan maklumat,
sebagaimana yang ada dalam Kitab “ad-Durar al-Kaaminah” ini, yang jelas
membuktikan kepalsuan Surat Dzahabiyah yang telah diperjelaskan pada kiriman
(posting) yang lalu. (Rujuk: "Keperibadian Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah,
Ahmad bin 'Abdul Haleem al-Harraani")
Berikut antara nukilan al-Hafiz Ibn Hajar
daripada adz-Dzahabi yang menyangkal komentar as-Subki dengan kata-kata yang
tidak layak terhadap guru beliau Syeikhul Islam Ibn Taimiyah, membela Syeikhul
Islam selepas kewafatannya – satu lagi bukti kepalsuan dakwaan “Nasihah
Dzahabiyah” yang kononnya Imam adz-Dzahabi telah meninggalkan ajaran gurunya,
Syeikhul Islam – berikut ini:
Terjemahannya:
adz-Dzahabi telah menulis kepada as-Subki
menegurnya disebabkan kata-katanya (as-Subki) terhadap Ibn Taimiyah, maka
adz-Dzahabi menyanggah kata-kata tersebut dan di antara isi sanggahan beliau:
Adapun kata-kata Tuan terhadap Syeikh Taqiyuddien…sungguh terbukti kedudukannya
amat besar dan keluasan lautan ilmunya dalam ilmu-ilmu naqli (bersumberkan nas
al-Quran dan as-Sunnah) dan ‘aqli (ketajaman akal dan penilaian mendalam) dan
jangkauan kepintaran beliau dan ijtihadnya dan pencapaian beliau dalam itu
semua pada tahap pencapaian yang lebih dari yang dapat disifatkan…dan
kedudukannya pada diri ku sendiri adalah lebih besar dari yang demikian itu dan
lebih agung digandingkan dengan apa yang Allah himpunkan pada diri beliau
daripada kezuhudan, wara‘, kesungguhan memelihara agama dan pembelaan terhadap
kebenaran dan sentiasa mengusahakannya tanpa tujuan lain selainNya dan berjalannya
beliau atas landasan Sunnah as-Salaf dan pengambilan beliau akan ajaran Salaf
dengan pengambilan yang sempurna dan terunggul sehingga sukar dijumpakan
seseorang sepertinya pada zaman ini malah pada beberapa zaman yang banyak…
Adapun persoalan anda mengenai:
Baru-baru ini, ada orang yang
menghukumkan beliau kafir pada mulanya (2 atau 3 hari yang lalu). Kemudian
pihak itu mengatakan sekarang: Kafir sebelum taubatnya, kemudian selepas
taubatnya, Ibn Taimiyah telah jadi pengikut fahaman Asy‘ari dan Sufi dan tidak
kafir lagi? Malah beliau ada menyalahkan Islamiq.sg, yang biasa menyiarkan
sebahagian tulisan Ustaz, sebagai punca beliau menimbulkan tengkarah ini. Apa
ulasan Ustaz?
Ulasan saya:
1. Selayaknya pihak tersebut segera
bertaubat. Jika perlu, bacalah tulisan Syeikhul Islam Ibn Taimiyah mengenai
Taubat. Ramai ‘ulama’ yang memuji hasil karya beliau ini. Perlunya ia bertaubat
kerana 2 atau 3 hari lalu telah ia telah menghukum “Kafir” atas alasan belum
ketemukan Kisah Taubat Ibn Taimiyah. Hadis Nabi yang Sahih: Orang yang
menghukum dan mengatakan saudara Islamnya Kafir, ternyata saudaranya itu tidak
kafir maka hukum kufur itu jatuh pada dirinya (HR al-Bukhaariy dan Ahmad). Maka
daripada ia sibukkan dirinya membuat dakwaan “Taubat” adalah lebih utama ia
sendiri bertaubat.
2. Setelah membuat dakwaan “Taubatnya”
Syeikhul Islam, sepatutnya ia berhenti di situ, tetapi malangnya ia membuat
satu lagi dakwaan iaitu Syeikhul Islam menjadi Asy‘ari dan Sufi, kali ini tanpa
apa-apa bukti, nasihat adz-Dzahabi atau nukilan buku, malah dakwaan
semata-mata. Saya mengemukakan usulan ini: Tanyakan pada pihak yang menimbulkan
Tengkarah: "Syeikhul Islam Kafir" kemudian "Tidak Kafir lagi
selepas Taubatnya", tanyakan: "Apa hukum anda terhadap golongan umat
Islam, yang tetap mengikuti pegangan dan ajaran Syeikhul Islam sebelum
"Taubat"nya yang anda dakwakan ini. Apakah mereka kafir atau tidak?
Anda katakan: "Syeikhul Islam Kafir sebelum Taubatnya". Ahli Sunnah
sebenar dan itu yang saya dapati pada Islamiq.sg, tidak sewenangnya menghukum
orang kafir apatah lagi 'ulama'.
3. Menyalahkan Islamiq.sg??? Setahu saya,
apa yang Islamiq.sg timbulkan hanyalah usaha memperbetulkan dan menyelamatkan
masyarakat daripada pengaruh orang-orang luar tertentu, yang diundang ke sini
yang telah diketahui ada latarbelakang mengikuti ajaran selain ajaran asal Ahli
Sunnah wal Jama‘ah. Misalnya yang mengi’tikadkan mandi di sungai dapat
menghapus dosa mirip Ganges. Hanya bila ada pihak telah buat komentar peribadi
dengan menyebut “islamiq” barulah dibalas secara peribadi, sebagai menolak
tuduhan dan menyangkal dakwaan. Namun setahu saya, tiada tengkarah berlaku
seperti perkara “Syeikhul Islam kafir – kemudian taubat jadi tidak kafir lagi,
tapi berubah jadi Sufi dan Asy‘ari”. Mengapa setelah membuat kecoh, melempar
batu sembunyi tangan, setelah pecahkan tingkap dan barang-barang, kemudian
menuding pada orang lain kononnya, orang lain yang bermain lastik? Sedap makan
nangka orang lain pula yang hendak dikenakan getahnya.
4. Sejauh pengetahuan saya, apa yang
dikirimkan Islamiq tiada yang menyebabkan tengkarah dan kekecohan
besar-besaran. Beza dengan perbuatan pihak ini. Cubalah datangkan contoh
Islamiq buat tengkarah. Yang ada, ada sebahagian pihak yang tidak mahu menerima
penjelasan, kurang senang dengan keterangan yang disandarkan kepada
sumber-sumbernya dan dalil-dalilnya. Kalau itu, semua dakwah kepada kebenaran
demikian, namun bezanya dengan bukti nyata bukan dakwaan melulu.
5. Mengapa perlu sampai didedahkan dan
disiarkan nama orang tertentu. Kiranya sudah “personal attack”. Jika anda
“pahlawan hujjah”, apa perlu “berbunga-bunga” dan berbelit-belit dengan perkara
seperti ini. Nama pemilik website siapa sahaja boleh dapatkan kerana ia seperti
“Residential Phone listing”, tidak perlu dapatkan maklumat “orang dalam”.
Kemudian, sejak bila ahli-ahli perbincangan di weblog, FB dan sebagainya
menjadi seperti Tailong? Lebih buruk lagi jika daripada kalangan bergelar
Asatizah. Apakah bermaksud untuk orang-orang yang tidak berpuashati, menyerang
rumah seseorang? Siram cat? Laa haula walaa quwwata illaa billaah! Akhlaq
seorang muslim kah ini? Kerana nila setitik, rosak susu sebelanga.
berapa banyak website, weblog, FB
berbagai pihak sedunia ini, yang mennyiarkan berbagai fahaman dan ideologi,
tetapi mengapa anda berlagak seperti polis, ingin menyalahkan weblog tertentu?
Weblog dan website serta FB yang lain, mengapa tidak dijadikan tumpuan???
Jika anda yakin pegangan anda benar,
begitu juga pihak lain, namun mengapa mempersalahkan sehingga melibatkan dan
seperti usaha percubaan mengancam peribadi orang tertentu???
Semoga Allah menjadikan kita golongan
umat Islam yang mencari kebenaran dan mengenali kebenaran dengan
sandaran-sandaran yang jelas dan ahli-ahlinya yang cerdas.
Wallahu a‘lam.
و صلى الله على نبينا محمد و عل آله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
________________________________________
[1] di antara 700 hingga 800 Hijriyah –
biografi ringkas seramai 1343 orang ‘alim, yang beliau kumpulkan daripada
catatan dan periwayatan para guru beliau, samada yang beliau ketemui dan hadiri
majlis ilmu mereka atau yang beliau dapatkan maklumatnya dengan perantara,
sebagaimana yang beliau sebutkan dalam Muqaddimah/Pendahuluan beliau, mengenai
‘ulama terbilang sezaman beliau, yang lahir 773H dan wafat 852H, semoga Allah
merahmati beliau dengan rahmatNya yang Maha Luas.