Friday, March 6, 2015

Taubatkah Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?

Suatu hal yang membingungkan banyak orang adalah disebutkan pada sebagian sumber bahwa Syaikhul Islam Rahimahullah telah menulis sebuah surat yang didalamnya terdapat aqidah yang menyalahi apa yang ia dakwahkan dan fatwakan sepanjang hidupnya, bahkan menjadi sebab ia dimasukkan kedalam penjara.
Maka kami katakan sebagai ulasan dan Sanggahanbagi Siapapun yang telah diombang –ambing oleh hawa nafsu :
Cerita rujuknya beliau (kedalam aqidah Asy’ari. Pent) bisa didapatkan dari :
Muridnya-Ibnu Abdil Hadi- (Wafat tahun 744 Hijriah) Seperti terdapat pada (Uqududduriyyah: 197) yang menukil dari Az Zahabi
Az Zahabi (Wafat tahun 748 Hijriah) –muridnya- seperti yang telah dinukil oleh Ibnu Abdil Hadi diatas:
Lafadznya adalah sebagai Berikut
“….terjadi perkara yang panjang, kemudian dikirim surat Sultan ke Syam untuk menjebloskannya ke penjara, maka dibaca didepan banyak Orang, maka orang-orang menjadi sedih. Ia dipenjara satu tahun setengah (yaitu pada tahun 707 Hijriah) kemudian dikeluarkan, dan ia diminta untuk menulis surat, diancam dan dijanjikan untuk dibunuh jika tidak menulisnya. Ia bermukim di Mesir membacakan Ilmu dan manusia berkumpul disisinya.”
Ibnul Muallim (Wafat tahun 725 Hijriah) di dalam kitab “Najmul Muhtadi wa Rajmil Mubtadi” (Naskah di Paris Nomor 638) dan Nuwairi (Wafat tahun 733 Hijriah) didalam Kitab Nihayatul Arab-lihat Kitab Aljami’ lishirathi syaikhil Islam Ibnu Taimiyah hal :181-182-, pada kitab tersebut diterangkan Bahwasanya Majelis (pertobatan, pent) tersebut setelah kedatangan Amir Husamuddin Muhinnan (Rabiul Akhir 707 Hijriah) dan Syaikhul Islam dibebaskan hari Jum’at tanggal 23  Rabiul Awwal 707 Hiriah.
Kemudian An Nuwairy menukil kandungan surat tersebut yang menceritakan apa yang terjadi, Bahwa (Syaikhul Islam) telah menyebutkan bahwa dia adalah “Asyariy”, dan meletakkan Kitab Asy’ari diatas kepalanya, serta ruju pada beberapa masalah (arsy, Qur’an, nuzul, dan Istiwa) dari mazhabnya –ahlussunnah-. Surat tersebut tertanggal 25 Rabiul Awal 707 Hijriah.
Kemudian diadakan majelis berikutnya, dia (syaikhul Islam) menulis mirip dengan tulisan sebelumnya pada Rabiul Akhir 707 Hijriah dan ia disumpah
Ad Duwadi (Wafat setelah tahun 736 H) menyebutkan dalam Kitab “Kanzud durar” bahwa mereka mengadakan majelis berikutnya pada tanggal 12 Rabiul akhir 707 Hijriah setelah kepergian amir Husamuddin, dan terjadi kesepakatan untuk merubah lafadz-lafadz tentang Aqidah dan berakhirnya majelis dalam Kebaikan.
Ibnu Rajab (Wafat tahun 795 H) menyebutkan Dalam Kitab Dzail alat thabaqatil hanabilah mirip dengan yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Hadi pada Kitab Al Uqud. Kemudian ia berkata : “telah menyebutkan Az Zahabi dan Al Barzali dan lain-lain bahwa Syaikh telah menulis sebuah surat secara Mujmal yang berisi perkataan dan lafadz ketika ia di Ancam untuk dibunuh”
Ibnu Hajar (Wafat Tahun 752 H) dalam Kitab ad durarul Kaminah mirip dengan apa yang disebutkan oleh An Nuwairi dalam Kitab “Nihayatul Arab” kemudian Ibnu Hajar mengaitkan nukilan tersebut kepada Tarikh Al Barzaliy.
Ibnu Taghri bardi (Wafat tahun 874 H) dalam kitab Al Minhal As Shufi mirip dengan apa yang disebutkan Oleh ibnu  Hajar. Konteks penukilan menunjukkan bahwa Ia menukil dari kitab Kamaluddin bin Zamlakani-permusuhannya dengan syaikhul islam amat terkenal-. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Syaikhul Islam, Dia juga telah  menukil dari kitab an Nujum Az Zahirah.
Adapun Barzaliy (Wafat tahun 739 H)-Sahabatnya- tidak menulis sama Sekali kejadian-kejadian tersebut pada tahun-tahun tersebut.  (Aljami’ lishirathi syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 213-214)[1]
Ibnu katsir hanya menyebutkan Kisah yang terkait dengan  pertobatan tersebut Pada peristiwa yang terjadi pada tahun 706 Hijriah tanpa menyebutkan kelanjutannya dengan cerita sebagai berikut:” dan pada malam Iedul Fithri al- Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah Al-Baaji, Al-Jazarii, dan An Namrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di antaranya : beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir). Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majelis itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan”.Cerita tersebut mengesankan bahwa penggalan kisah pertobatan ini memang ada, namun akhir dari kisah tersebut adalah justeru menguatkan pendapat bahwa Ibnu Taimiyah Justeru menulis Surat yang mengokohkan Aqidahnya, bukan Surat yang menyatakan Bahwa dia Adalah Asy’ari. Ibnu katsir tidak mengisyaratkan Penulisan surat disini tapi ditempat lain disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah menulis jawaban singkat terhadap undangan pertobatan dan menulis bantahan rinci dalam Kitab yang kemudian dinamakan Tis’iniyat. Akan datang penjelasan tentang sebab ditulisnya kitab ini disisi ketiga tertolaknya  kisah akhir pertobatan Ibnu Taimiyah. Dari uraian diatas jelaslah bahwasanya :

Sebagian ahli sejarah tidak menyebutkan Kisah tersebut dan juga sama sekali tidak ditulis
Sebagian dari ahli sejarah hanya mengisyaratkan adanya kisah tersebut tanpa merinci surat yang ditulis dan atau menyebutkan bahwa penulisan surat tersebut disertai Intimidasi dan ancaman pembunuhan.
Sebagian dari Ahli sejarah ada yang merincinya dan menyebutkan teks surat tersebut, tetapi tanpa menyebutkan bahwa penulisan surat disertai intimidasi dan ancaman pembunuhan.
Dari uraian tersebut kita bisa mengungkapkan bahwa Sesungguhnya ibnul Muallam dan An Nuwairi telah menyendiri diantara orang-orang yang hidup sezaman dengan Syaikhul Islam tentang permasalah ruju’nya beliau dari konteks tulisannya. Dan itu diikuti oleh sebagian Ahli Sejarah.
Oleh karena itu,dari isu ini dapat diambil salah satu sikap berikut:
Kita mendustakan semua yang telah disebutkan oleh para ahli sejarah baik secara global maupun terperinci,dan kita katakan bahwa semua itu tidak mungkin pernah terjadi
Kita menetapkan pokok Kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun terkait ruju’ dari aqidah , dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihannya jelas dengan apa yang telah didakwahkan oleh Syaikhul Islam sebelum tanggal tersebut dan setelahnya.
Kita menetapkan seluruh tulisan yang Ibnul Muallim dan An Nuwairi telah menyendiri terkait masalah ruju dan surat.
Sikap pertama  menusuk dada Sendiri! sedangkan Sikap ketiga sama saja dengan menetapkan penyendirian dan keganjilan serta mendahulukan keduanya atas pendapat lain  yang masyhur dan lebih banyak.
Yang tsabit berdasarkan pemeriksaan dan tarjih adalah sikap yang kedua: yaitu Syaikhul Islam telah menulis ungkapan secara global setelah diancam dan diintimidasi. Tetapi didalam ungkapan tersebut tidak terdapat kata rujuk dari Aqidahnya, tidak melakukan lelucon terhadap aqidah yang bathil, dan tidak menulis hal itu seluruhnya.
Hal tersebut dikarenakan beberapa sebab yang dapat dilihat dari 3 sisi
Riwayat cerita
Dari periwayatan tersebut, orang-orang yang tidak berpihak kepada Ibnu Taimiyah menggunakan riwayat dari Ibnul Muallam, An Nuwairy dan Ibnu Hajar yang menukil dari Tarikh Ar Barzaly tanpa sama sekali mempedulikan riwayat-riwayat lain yang bertentangan atau berbeda dengan riwayat tersebut.
Khusus untuk Ibnu Hajar, kemungkinan beliau salah menukil atau menukil dari orang lain, karena dalam Tarikh Al Barzaly tidak disebutkan cerita tersebut, justeru Ibnu Rajab mengatakan bahwa Al Barzaly (beliau tidak menyebutkan kitab Tarikh ) dan juga Az Zahabi menyebutkan penggalan kisah yang mengatakan bahwa hal itu terjadi dibawah paksaan dan tanpa ada pertobatan kecuali kata-kata global saja.
Jika kita membandingkan riwayat-riwayat diatas, maka jelaslah kualitas periwayatan pihak-pihak yang mendukung ibnu Taimiyah lebih unggul karena terdiri dari para Huffadz yang telah disepakati dan juga sezaman dengan Ibnu Taimiyah, artinya riwayatnya lebih ‘ali[2]. Adapun Ibnu Hajar, beliau menyalahi periwayatan Arbarzaly, Az Zahabi, Ibnu Abdil Hadi dan juga Ibnu Rajab. Lagipula beliau menukil cerita tersebut karena tidak Muasharah dengan Ibnu Taimiyah dan penukilannya terlihat Syadz[3].
2.   Realitas setelah Peristiwa tersebut
Sisi ini menguatkan sikap kedua berdasarkar fakta-Fakta berikut:

Tulisan ini menyelisihi aqidah Syaikh yang beliau dakwahkan dan perjuangkan sepanjang hidupnya, sebelum kejadian tersebut dan sesudahnya.
Tidak terdapat sedikitpun jejak didalam kitab dan karangannya yang menunjukkan beliau telah rujuk, isyarat yang menunjukkan surat  ini, atau isi dari tulisan ini. Padahal kisah tersebut terjadi sekitar tahun 707 Hijriah, sedangkan beliau Wafat tahun 728 Hijriah. Itu artinya beliau dikatakan beraqidah Asy’ari selama kurun tersebut atau sekitar 21 tahun lamanya. Ini amat mustahil karena ibnu Taimiyah telah mengarang banyak kitab-kitab Salafiyah setelah tahun-tahun tersebut. Kitab DAr’ut Taarrud dikarang oleh Ibnu Taimiyah sekembalinya beliau dari Mesir seperti yang telah dijelaskan oleh Muhaqqiqnya dengan bukti-bukti yang amat jelas pada Muqaddimah Kitab tersebut. Kitab tersebut sangat terkenal dan kemudian dibantah oleh oleh tokoh Asyairah yang bernama Kamaluddin bin Syarisyi, kemudian dijawab oleh Ibnu Taimiyah dengan sebuah karangan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Rajab,Ibnu Abdul Hadi,  Adz Dzahabi, dan Lain-lain.Kitab tersebut telah diringkas oleh Badruddin Al Hakari, seorang Qadhi bermazhab Syafii. Syaikh Rasyad Selaku Muhaqqiq berpedoman kepada ringkasan Tersebut dan sembilan naskah lainnya. naskah tersebut ada yang berbeda dan ada yang saling membenarkan. Kemudian setelah itu, Ibnu Taimiyah mengarang Minhajussunnah, yaitu salah satu kitab salafiyyahnya yang paling terkenal.
Syaikhul Islam Rahimahullah telah banyak mendapatkan pelecehan dalam berbagai masalah sebelum tanggal kejadian tersebut maupun sesudahnya, dipenjara karena masalah tersebut, dan dicela. Tapi beliau tidak sedikitpun diketahui ruju dari pendapatnya sedikitpun. Paling-paling beliau hanya berhenti berfatwa sebentar, kemudian kembali melakukan hal itu dan berkata: “Saya tidak bisa menyembunyikan ilmu”, seperti pada masalah thalaq (Al uqud hal 325), Bagaimana mungkin kali ini beliau menulis surat kepada mereka apa yang bertentangan dengan Aqidah Ahlissunnah dan menyetujui Mazhab Ahli bid’ah. Keadaan musuh beliau adalah seperti yang beliau sifatkan sendiri ketika dikatakan kepada beliau:“Wahai tuanku! Sungguh telah banyak orang yang menentangmu!”Beliau berkata: “sesungguhnya mereka seperti lalat, kemudian beliau mengangkat telapak tangannya kemulutnya dan meniupnya.” (Al uqud Hal 268).Imam Adz Dzahabi mensifatkan keteguhan Syaikhul Islam didepan musuhnya-musuhnya dengan mengatakan:“…..Hingga menentangnya sekelompok Ulama Mesir dan Syam dengan penentangan yang tidak ada bandingannya… dan dia orang yang teguh tidak terbujuk dan tidak suka, malah beliau tetap mengatakan kebenaran yang pahit sesuai dengan ijtihadnya, ketajaman pikiran, dan keluasan pengetahuannya pada qaul-qaul dan sunan”
pemalsuan terhadap Fatwa beliau amat sering dilakukan. Ibnu katsir mengisahkan cerita penahanan Beliau dalam peristiwa yang terjadi di tahun 726 Hijriah karena berfatwa masalah Ziarah kubur yang diadukan kepada sulthan. Pengadunya mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah menulis surat yang isinya pengharaman untuk menziarahi kubur nabi dan orang-orang Soleh berdasarkan Ijma. Lalu Ibnu Katsir membela gurunya dengan mengatakan bahwa itu adalah pemalsuan karena Gurunya tidak berfatwa tentang keharaman Berziarah secara umum, namun yang haram adalah mengadakan safar semata-mata untuk berziarah. Adapun berziarah tanpa melakukan Safar justeru dianggap Mustahab oleh gurunya.Pemalsuan fatwa beliau  diakui banyak Huffadz diantaran Az Zahabi, Ibnu Abdil Hadi, Al barzali dan beliau sendiri didalam Majmu Fatawa dan salah satu pengakuan tersebut juga terdapat dalam Muqaddimah Kitab Tis’iniyat yang ditulis Khusus untuk membantah kalam nafsi dan Aqidah Asy’ariyah.
Kisah Ini terjadi Bulan Rabiul Awal tahun 707 Hijriah, sebelumnya yaitu akhir-akhir tahun 706 Hijriah beliau masih dalam penjara di Mesir dan dijanjikan pembebasan Jika mau mengubah beberapa hal terkait Aqidahnya, namun Ibnu katsir menjelaskan bahwa diakhir tahun 706 Hijriah ketika utusan dari sulthan Bolak-balik untuk mengundang beliau dan bahkan dijanjikan pembebasan, beliau tetap teguh dengan pendiriannya. Namun ia tidak menyebutkan teks perkataan dan tulisannya.
3.  Riwayat dari syaikhul Islam Sendiri.
DR Muhammad Bin Ibrahim Al Ajalan telah mentahqiq sebuah Kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul “At Tis’iniyyat” yaitu sebuah Kitab yang dikarang untuk membantah Aqidah Asy’ari secara rinci dan sebagian besarnya tentangkalaamunnafsi[4].
                                                 
Dari Muqaddimah Kitab Ini terlihat jelas kelengkapan peristiwa yang disebutkan oleh ibnu katsir pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di akhir Ramadhan dimalam Idul Fitri tahun 706 Hijriah terkait  adanya  utusan yang menginginkan kehadiran Syaikhul Islam dalam sebuah majelis dimana beliau diminta untuk  menarik Fatwa-fatwanya seputar Kalamullah, Jihat dan tahayyuz, dan Arsy agar sesuai dengan Aqidah Asy’ariyah dengan hadiah Pembebasannya dari Penjara.
                                                   

Namun beliau tetap teguh untuk tidak menghadiri acara tersebut dan hanya menulis jawaban ringkas dalam sebuah surat serta menulis jawaban rinci dengan menulis sebuah kitab khusus. DR Muhammad bin Ibrahim Al Ajalan memastikan Berdasarkan Awal cerita didalam Kitab tersebut bahwa Ibnu Taimiyah mulai mengarangnya pada Tahun 706 Hijriah disebabkan Oleh permintaan Untuk menghadiri majelis yang disana beliau diharapkan membuat sebuah pengakuan dan menarik fatwa-fatwa tentang Aqidah sebagaimana yang telah Saya sebutkan.[5]
                                                               
Selanjutnya diawal kitab tersebut halaman 111 diterangkan bahwa utusan tersebut tersebut sebelumnya pernah datang juga membawa tulisan dari Ibnu Makhluf yang menggambarkan Aqidah Ibnu Taimiyah, namun ternyata tulisan tersebut isinya dusta karena sesuai dengan Aqidah mereka. Ibnu Taimiyah Memarahi utusan tersebut dan menyuruh mereka berlaku Adil. Begitu seterusnya, dimana utusan-demi utusan datang untuk meminta kehadiran beliau dalam majelis yang diadakan oleh Amir pada saat itu. Namun beliau selalu menolak hadir dan hanya menulis surat namun surat beliau didustakan.[6] oleh karena itu sangat mungkin surat palsu itulah yang dibacakan dalam majelis yang tidak dihadiri oleh ibnu Taimiyah tersebut lalu dinukil oleh sebagian kecil ahli sejarah.
Kesimpulan dari Pembahasan Ini adalah perlunya penguatan dan penggabungan beberapa cerita tentang rujuknya Beliau kepada Aqidah Asy’ari agar didapatkan kesimpulan yang adil dan Jauh dari kecurangan.
Dari penguatan dan penggabungan riwayat-riwayat tersebut jelaslah bahwa Kita bisa menetapkan pokok Kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun terkait ruju’ dari aqidah salaf dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihannya jelas dengan apa yang telah didakwahkan oleh Syaikhul Islam sebelum tanggal tersebut dan setelahnya.
Semoga bermanfaat
Saudaramu : dobdob
Dikutip dari Kitab “Al Jaami Lishirathi Syaikhil Islam” dengan beberapa Penambahan


[1] Didalam kitab tarikhnya, Albarzali memang tidak menyebutkan apapun tentang surat dan rujuk, tetapi  penukilan sekelompok ahli sejarah (Ibnu Hajar dan ibru Rajab misalnya, pent) kepada kitab tersebut. Menunjukkan bahwa Albarzalli telah menyebutkan sesuatu terkait perkara tersebut. Kemungkinan dia menyebutkan pada kitab tarikhnya yang tidak diketahui, atau pada kitab lain semisal Mu’jam syuyukh.
[2] Riwayat dengan rantai Sanad yang lebik Pendek, dan susunan sanad seperti ini merupakan nilai lebih, Karena mempermudah pemeriksaan dan meminimalisir kesalahan
[3] Riwayat seorang Tsiqah yang menyalahi riwayat rawi lain yang lebih Tsiqah atau lebih banyak jumlahnya.
[4] Keyakinan khas Asy’ariyah tentang kalamullah dimana mereka mengatakan bahwa Kalam itu Qadim, Menyatu dengan Dzat-Nya (Qaaimun Bidzatihi), tanpa suara dan Huruf, adapun Al Qur’an yang sekarang didunia merupakan Ta’bir atau interpretasi dari kalamullah Yang dilakukan Oleh Malaikat Jibril Alaihissalam
[5] Lihat tarikh Ta’lif ktiab tersebut dihalaman 55 kitab Tis’iniyat
[6] Lihat dan renungkanlah hal 109-119 rangkaian Kisah tersebut yang merupakan bukti paling kuat bahwa kisah pertobatan tersebut adalah dusta
silahkan download bahan-bahan Artikel diatas

[ untuk melihat comments terhadap tulisan diatas, silahkan klik sumbernya]

Telah terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat.

الحمد لله , والصلاة والسلام على رسول الله …….

SYUBHAT :
Telah terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat. Pada tulisan itu mereka menjelaskan bukti (menurut versi mereka) bahwa Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany telah bertaubat dalam aqidah tentang Asma’ Was Sifat menjadi seorang Asy-‘ari.
Di dalam tulisan tersebut mereka menukil tulisan Ibnu Hajar dalam kitab ad-Durar al-Kaminah fi a’yaan mi-ah ats-tsaaminah cetakan 1414 H Daarul Jiel Juz 1 hal 148. Beberapa kutipan yang mereka terjemahkan di antaranya :
“Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”
…berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
BANTAHAN :
Benarkah Ibnu Taimiyyah Bertaubat dan Menjadi Seorang Asy’ari?
Kalau kita merujuk pada kitab Ibnu Hajar al-‘Asqolaany tersebut, akan terlihat bahwa kisah bertaubatnya Ibnu Taimiyyah di hadapan majelis para “Ulama’” waktu  itu terjadi di tahun 707 H. Sedangkan Ibnu Taimiyyah meninggal pada tahun 728 H. Sehingga, -kalaupun kisah ini benar- berarti selama kurang lebih 21 tahun Ibnu Taimiyyah berpemahaman Asy’ari. Benarkah demikian?
Pada tulisan ini akan dipaparkan bukti –bukti yang menunjukkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak pernah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Penjelasan tentang hal tersebut akan dibagi menjadi:
1. Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
2. Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
1). Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
Rujukan kita adalah kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang ditulis setelah 707 H atau setelah Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa kitab-kitab tertentu ditulis pada kurun waktu tertentu? Bisa dilihat pada penjelasan di muqoddimah pentahqiq kitab-kitab tersebut, keterangan yang menunjukkan bahwa kitab tersebut diikhtisar (diringkas) oleh ulama’-ulama’ setelahnya, kitab-kitab lain yang menjelaskan tentang tarjamah (biografi) beliau, ataupun indikasi-indikasi lain yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara kitab-kitab yang beliau tulis setelah tahun 707 H adalah kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah sebagai bantahan terhadap kaum Syi’ah Rafidlah. Pada kitab tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah meluruskan pemahaman Asy-ari yang salah tentang masalah ru’yatullah (kaum mu’minin melihat Allah di akhirat) maupun penetapan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi Allah, dalam konteks membantah Syi’ah Rafidlah (bisa dilihat salah satu contohnya adalah pada bagian ‘Kalaamur Roofidly ‘alaa Itsbaati al-Asyaa-iroh liru’yatillah hal 340-352 maupun bagian ‘Kalaamur Raafidly ‘ala maqoolatil Asyaa-iroh fi Kalaamillaah’ hal 352-400. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sendiri menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukan dalam kitab Fathul Bari. Beliau menyebutkan dalam 3 tempat di kitab Fathul Baari (1/182 bab Kitaabatul ‘Ilm,11/209 bab Qishshotu Abi Tholib, dan 21/154 bab Qoulullaahi Ta’ala Wallaahu Kholaqokum wamaa ta’maluun) dengan mengisyaratkan kitab tersebut sebagai ‘a-Radd ‘ala ar-Rafidhy’.
Demikian juga kitab-kitab setelah 707 H yang ditulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang lain di antaranya : ar-Raddu ‘alal Manthiqiyyiin,  al-Jawabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih, dan alFurqaan Bayna Awaliyaa-ir Rahmaan wa Awliyaaisy-Syaithan. Di dalam kitab ‘alFurqaan’, pada halaman 12 Syaikhul Ibnu Taimiyyah menyebutkan Sifat Allah yang mencintai wali-Nya dengan kecintaan yang sempurna. Beliau tidaklah mentahrif Sifat ‘mencintai’ tersebut seperti tahrif yang biasa dilakukan oleh Asy-‘ari dengan memalingkannya pada makna-makna yang lain.
Dalam kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih juz 4 halaman 6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membantah keyakinan Nashara yang menyimpang, dengan menjelaskan Sifat al-Kalaam (berbicara) bagi Allah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah. Beliau juga tidak memalingkan makna al-Kalaam tersebut pada makna yang lain, tetapi memaknakannya secara hakiki. Perlu diketahui bahwa kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih adalah salah satu kitab yang dijadikan rujukan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam Fathul Baari (21/151).
Lebih telak lagi, kitab yang bisa membungkam syubuhat bahwa Ibnu Taimiyyah berubah pemahaman menjadi Asy-ari adalah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql yang ditulis beliau. Di dalamnya beliau membantah kelompok – kelompok yang mengedepankan akal seperti Mu’tazilah, al-Jahmiyyah, al-Maaturidiyyah, dan juga termasuk al-‘Asyaa-iroh (Asy-‘ari). Pada juz 1 halaman 15, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan kesesatan orang-orang yang mengingkari: ru’yatullah (bahwa Allah bisa dilihat oleh orang beriman di akhirat) dan ketinggian Allah di atas ‘Arsynya. Jika timbul pertanyaan : Kapankah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql tersebut ditulis? Jawabannya : kitab tersebut ditulis setelah beliau kembali ke Syam. Dr. Muhammad Rosyad Salim menyatakan bahwa kitab itu ditulis sekitar tahun 713-717 H. Kitab-kitab lain yang dikemukakan di atas sebagai bukti bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak berubah pemahaman menjadi Asy-‘ari semuanya ditulis setelah kitab Dar-u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql ini. Sebagai contoh, di dalam kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah beberapa kali beliau mengisyaratkan rujukan pada kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql.
2) Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
Imam Adz-Dzahaby sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitabnya alMu’jamul Mukhtash :
قد سجن غير مرة ليفتر عن خصومه ويقصر عن بسط لسانه وقلمه وهو لا يرجع ولا يلوي على ناصح إلى أن توفي
“Beliau telah dipenjara berkali-kali untuk memutuskan permusuhannya (terhadap ahlul bid’ah,pent) dan mengurangi ‘tajamnya’ lisan dan pena beliau,tetapi beliau tidaklah rujuk (mundur) maupun melunak sampai beliau meninggal”
Pada bagian lain Imam AdzDzahaby juga menyatakan di dalam kitab tersebut:
حتى قام عليه خلق من علما مصروالشام قياما … وهو ثابت لا يداهن ولا يحابي ، بل يقول الحق المرّ الذي أداه إليه إجتهاده وحِدّة ذهنه وسعة دائرته في السنن و الأقوال
“ Sampai bangkitlah sekelompok Ulama dari Mesir dan Syam…dalam keadaan beliau tetap kokoh, tidak mencari muka ataupun berbasa-basi, akan tetapi beliau tetaplah mengucapkan kebenaran yang pahit berdasarkan ijtihadnya, tajamnya pikiran, dan luasnya wawasan tentang Sunnah – sunnah dan ucapan-ucapan”
Imam Ibnu Katsir yang juga merupakan murid Ibnu Taimiyyah menyatakan :
وفي ليلة عيد الفطر أحضر الامير سيف الدين سلار نائب مصر القضاة الثلاثة وجماعة من الفقهاء فالقضاة الشافعي والمالكي والحنفي، والفقهاء الباجي والجزري والنمراوي، وتكلموا في إخراج الشيخ تقي الدين بن تيمية من الحبس، فاشترط بعض الحاضرين عليه شروطا بذلك، منها أنه يلتزم بالرجوع عن بعض العقيدة وأرسلوا إليه ليحضر ليتكلموا معه في ذلك، فامتنع من الحضور وصمم، وتكررت الرسل إليه ست مرات، فصمم على عدم الحضور، ولم يلتفت إليهم ولم يعدهم شيئا، فطال عليهم المجلس فتفرقوا وانصرفوا غير مأجورين
“ dan pada malam Iedul Fithri al-Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah al-Baaji, al-Jazarii, dan anNamrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di antaranya : beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir). Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majelis itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan” (al-Bidayah wan Nihaayah juz 14 hal 47)
Dari penjelasan di atas nampaklah secara gamblang bahwa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tidaklah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Pemahaman beliau terhadap Asma’ Was Sifaat tetap tidak berubah sebagaimana yang dipahami Salafus Sholih, yaitu meyakininya tanpa tahriif ( meyimpangkan lafadz atau maknanya pada makna yang hakiki), tidak juga ta’thiil (menolak), atau takyiif (menentukan/ menanyakan kaifiyatnya), dan tamtsiil (menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk). Pemahaman tersebut tidaklah berubah sebagaimana yang beliau nyatakan dalam al-‘Aqiidah al- Waasithiyyah yang terus dikaji oleh kaum muslimin sampai saat ini.
Pembelaan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Al-Hafidz as-Sakhowy menukil perkataan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam kitabnya al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736. Di antara perkataan Ibnu Hajar tersebut adalah :
ولقد قام على الشيخ تقي الدين جماعة من العلماء مراراً ، بسبب أشياء أنكروها عليه من الأصول والفروع ، وعقدت له بسبب ذلك عدة مجالس بالقاهرة ، وبدمشق ، ولا يحفظ عن أحد منهم أنه أفتى بزندقته ، ولا حكم بسفك دمه مع شدة المتعصبين عليه حينئذ من أهل الدولة ، حتى حبس بالقاهرة ، ثم بالإسكندرية ، ومع ذلك فكلهم معترف بسعة علمه ، وكثرة ورعه ، وزهده ، ووصفه بالسخاء ، والشجاعة ، وغير ذلك من قيامه في نصر الإسلام ، والدعوة إلى الله تعالى في السر والعلانية ، فكيف لا يُنكر على مَن أطلق ” أنه كافر
“…dan sungguh para Ulama’ telah bangkit terhadap Syaikh Taqiyuddin berkali-kali dengan sebab-sebab yang mereka ingkari dari permasalahan ushul dan furu’, dan beberapa kali mengadakan majelis di Kairo maupun Damaskus. Dan tidaklah ada ternukil sedikitpun dari mereka yang memfatwakan bahwa beliau adalah zindiq, dan tidak ada yang menghukumi halalnya darah beliau padahal pada waktu itu banyak yang fanatik terhadap beliau dari kalangan penduduk negeri. Sampai beliau dipenjara di Mesir kemudian di alIskandariyah. Bersamaan dengan itu semuanya mengakui luasnya ilmu beliau, banyaknya sikap wara’ dan zuhud beliau, dan mereka mensifati beliau dengan dermawan (pemurah), keberanian, dan yang selain itu berupa pembelaan terhadap Islam, dakwah kepada Allah secara sembunyi-sembunyi maupun terang terangan. Maka, bagaimana tidak diingkari orang-orang yang menyebut beliau sebagai ‘kafir’ ”
فإنه شيخ في الإسلام بلا ريب
“…beliau adalah Syaikhul Islam tanpa diragukan lagi”
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه ، بل هو معذور ؛ لأن أئمة عصره شهدوا له بأن أدوات الاجتهاد اجتمعت فيه ، حتى كان أشد المتعصبين عليه ، والقائمين في إيصال الشر إليه ، وهو الشيخ كمال الدين الزملكاني ، يشهد له بذلك ، وكذلك الشيخ صدر الدين بن الوكيل
“…bersamaan dengan itu beliau adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar. Pendapat beliau yang benar – yang ini sangat banyak- bisa diambil faedah, dan didoakan agar beliau mendapat rahmat dari Allah dengan sebab tersebut, sedangkan pendapat beliau yang salah tidak diikuti, bahkan dimaafkan. Karena ulama’ yang sejaman dengan beliau mempersaksikan bahwa perangkat untuk berijtihad telah terkumpul pada beliau, sampai-sampai orang yang sangat fanatik permusuhannya terhadap beliau dan yang selalu berusaha menyampaikan keburukan terhadap beliau : Syaikh Kamaluddin az-Zamlakaany mempersaksikan hal itu, demikian juga dengan Syaikh Shodruddin bin alWakiil”
ولو لم يكن للشيخ تقي الدين من المناقب إلا تلميذه الشهير الشيخ شمس الدين بن قيم الجوزية صاحب التصانيف النافعة السائرة التي انتفع بها الموافق والمخالف : لكان غاية في الدلالة على عظم منزلته ، فكيف وقد شهد له بالتقدم في العلوم ، والتميز في المنطوق والمفهوم أئمة عصره من الشافعية وغيرهم ، فضلاً عن الحنابلة
“ Kalaulah tidak ada keutamaan lain dari Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah) kecuali muridnya yang terkenal Syamsuddin Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, yang memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat bagi pendukung maupun penentangnya, niscaya cukuplah sebagai bukti agungnya kedudukan beliau. Maka bagaimana (tidak), padahal para Ulama’ pada zaman beliau dari kalangan Syafiiyah dan selainnya, apalagi dari Hanabilah telah mempersaksikan keunggulan beliau dalam ilmu, dan keistimewaan beliau dalam ucapan dan pemahaman”. (al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736).
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany Banyak Menjadikan Pendapat Ibnu Taimiyyah sebagai Rujukan
Di dalam kitabnya Fathul Baari Syarh Shohih al-Bukhari al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan pendapat Ibnu Taimiyyah tidak kurang dari 25 kali. Beberapa yang bisa dinukil di sini :
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang makna siksaan bagi mayit karena sebab ratapan yang dilakukan keluarganya, beliau menyatakan :
مَعْنَى التَّعْذِيب تَأَلُّم الْمَيِّت بِمَا يَقَع مِنْ أَهْله مِنْ النِّيَاحَة وَغَيْرهَا ، وَهَذَا اِخْتِيَار أَبِي جَعْفَر الطَّبَرِيّ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ ، وَرَجَّحَهُ اِبْن الْمُرَابِط وَعِيَاض وَمَنْ تَبِعَهُ وَنَصَرَهُ اِبْن تَيْمِيَة وَجَمَاعَة مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَاسْتَشْهَدُوا لَهُ بِحَدِيثِ قَيْلَة بِنْت مَخْرَمَة
“ Makna ‘penyiksaan’ adalah perasaan sakit si mayit karena apa yang terjadi dari keluarganya berupa ratapan atau semisalnya. Ini adalah pendapat dari Abu Ja’far atThobary dari kalangan mutaqoddimin, dan dirajihkan oleh Ibnul Muqoobith dan ‘Iyaadl, dan pengikutnya, pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah dan para Ulama dari kalangan mutaakhkhirin, dan mereka berdalil dengan hadits Qoylah binti Makhromah “ (Fathul Baari juz 4 halaman 327).
Pada saat menjelaskan pendapat para Ulama’ tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia, Ibnu Hajar menyatakan :
سَادِسهَا هُمْ فِي النَّار حَكَاهُ عِيَاض عَنْ أَحْمَد ، وَغَلَّطَهُ اِبْن تَيْمِيَة بِأَنَّهُ قَوْل لِبَعْضِ أَصْحَابه وَلَا يُحْفَظ عَنْ الْإِمَام أَصْلًا
“Pendapat yang ke-enam : mereka berada di anNaar (neraka). Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyaadl dari Imam Ahmad. Tetapi (hikayat) ini disalahkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwasanya itu adalah perkataan sebagian sahabat (Imam Ahmad), dan tidaklah terjaga (ternukil) dari Imam (Ahmad) sama sekali”(Fathul Baari juz 4 halaman 462).
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang manakah yang lebih utama antara 2 Ummul Mu’minin Khadijah dan ‘Aisyah :
وَقَالَ اِبْن تَيْمِيَة : جِهَات الْفَضْل بَيْن خَدِيجَة وَعَائِشَة مُتَقَارِبَة . وَكَأَنَّهُ رَأَى التَّوَقُّف
“ dan berkata Ibnu Taimiyyah : ‘ Sisi-sisi keutamaan antara Khadijah dan Aisyah sangat berdekatan’. Seakan-akan beliau berpendapat tawaqquf (tidak merajihkan) “ (Fathul Baari juz 11 halaman 78)
Pada saat menjelaskan tentang nama asli dari Abu Thalib :
قَوْله : ( بَاب قِصَّة أَبِي طَالِب )
وَاسْمه عِنْد الْجَمِيع عَبْد مَنَافٍ ، وَشَذَّ مَنْ قَالَ عِمْرَان ، بَلْ هُوَ قَوْل بَاطِل نَقَلَهُ اِبْن تَيْمِيَة فِي كِتَاب الرَّدّ عَلَى الرَّافِضِيّ أَنَّ بَعْض الرَّوَافِض زَعَمَ أَنَّ قَوْله تَعَالَى : ( إِنَّ اللَّه اِصْطَفَى آدَم وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيم وَآلَ عِمْرَان ) أَنَّ آلَ عِمْرَان هُمْ آلُ أَبِي طَالِب وَأَنَّ اِسْم أَبِي طَالِب عِمْرَان وَاشْتُهِرَ بِكُنْيَتِهِ
“ Perkataan beliau (Imam al-Bukhari) : Bab Kisah Abu Thalib. Namanya (Abu Tholib) berdasarkan pendapat seluruh Ulama’ adalah Abdu Manaf. Pendapat yang ganjil (aneh) bagi yang berpendapat bahwa namanya adalah ‘Imran. Bahkan itu adalah pendapat yang batil, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya arRadd alar Raafidli bahwa sebagian orang Syiah Rafidlah menyangka bahwa firman Allah (Q.S Ali Imran :33,pent) : “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran” , bahwa yang dimaksud dengan keluarga Imran adalah keluarga Abu Thalib dan bahwasanya nama Abu Thalib adalah Imran dan terkenal dengan kunyah (gelar)nya”(Fathul Baari juz 11 halaman 209).
Contoh nukilan di atas hanyalah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Ibnu Hajar al-‘Asqolaany banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah sebagai rujukan dalam kitabnya Fathul Baari. Di dalam kitab atTalkhiisul Habiir, Ibnu Hajar juga banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah. Di antaranya adalah :
Ketika menyebutkan hadits :
الْفَقْرُ فَخْرِي وَبِهِ أَفْتَخِرُ
“ Kefakiran adalah kebanggaanku, dan dengannya aku berbangga”.
Ibnu Hajar menyatakan :
وَهَذَا الْحَدِيثُ سُئِلَ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ؟ فَقَالَ : إنَّهُ كَذِبٌ لَا يُعْرَفُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْمُسْلِمِينَ الْمَرْوِيَّةِ ، وَجَزَمَ الصَّنْعَانِيُّ بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ
“ Hadits ini ditanyakan kepada al-Hafidz Ibnu Taimiyyah : maka beliau berkata : ‘Sesungguhnya itu adalah dusta, dan tidaklah diketahui sedikitpun (terdapat) dalam kitab-kitab yang diriwayatkan kaum muslimin’. Dan As-Shon’aany memastikan bahwa hadits tersebut palsu” (atTalkhiisul Habiir juz 4  halaman 156).
Demikianlah, saudaraku kaum muslimin, semoga Allah merahmati kita semua. Dari paparan di atas jelaslah bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah pernah berubah pemahaman menjadi seorang ‘Asy-ari. Jika ada orang yang meragukan ketokohan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai seorang Ulama’ Ahlussunnah, maka cukuplah kita telah sebutkan pengakuan dari Ibnu Hajar al-‘Asqolaany berupa pujian-pujian terhadap beliau. Sangat banyak pujian para Ulama’ terhadap beliau, tak terhitung. Namun dalam tulisan ini kami cukupkan pada penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany, karena juga banyak saudara kita yang terpengaruh membenci Ibnu Taimiyyah (tanpa tahu keadaan sebenarnya tentang beliau) namun mereka masih memulyakan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sebagai salah satu Ulama’ panutan. Belum lagi kami paparkan pujian Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap murid-murid Ibnu Taimiyyah dan menjadikan pendapat mereka sebagai rujukan.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan limpahan rahmatNya kepada seluruh kaum muslimin……
Wallaahu Ta’ala A’lam BisShowaab .
Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk www.darussalaf.or.id
Rujukan :
1.http://www.islam-qa.com/ar/ref/96323
2.http://saaid.net/monawein/taimiah/27.htm
3.Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah (terkemas dalam software : maowsoat_ibntaimia_01.
4.Fathul Baari (Maktabah AsySyaamilah)
5.Al-Bidaayah wan Nihaayah (Maktabah AsySyaamilah)
6.At-Talkhiisul Habiir (Maktabah AsySyaamilah)

Sejauh mana kebenaran kisah Taubat Ibn Taimiyah

Soalan:
Assalaam ‘alaikum ya Ustadz,
Boleh perjelaskan tentang kisah taubat Syeikhul Islam Ibn Taimiyah ini, yang dikemukakan sebagai berikut, sejauh mana kebenarannya? Lalu jika benar Syeikhul Islam telah bertaubat, apakah ia taubat yang sebenarnya di sisi Syara‘ ataukah beliau sebenarnya meninggalkan ajaran yang benar? Baru-baru ini, ada orang yang menghukumkan beliau kafir pada mulanya (2 atau 3 hari yang lalu). Kemudian pihak itu mengatakan sekarang: Kafir sebelum taubatnya, kemudian selepas taubatnya, Ibn Taimiyah telah jadi pengikut fahaman Asy‘ari dan Sufi dan tidak kafir lagi? Malah beliau ada menyalahkan Islamiq.sg, yang biasa menyiarkan sebahagian tulisan Ustaz, sebagai punca beliau menimbulkan tengkarah ini. Beliau juga menyiarkan nama seseorang yang diistilahkannya sebagai “dalang” lengkap dengan alamat rumah. Apa ulasan Ustaz?

Yang inginkan kepastian - Abu Insyirah.

في كتاب (الدرر الكامنة) للحافظ ابن حجر العسقلاني ما نصه: (..ولم يزل ابن تيمية في الجب إلى أن شفع فيه مهنا أمير آل فضل فأخرج في ربيع الأول في الثالث وعشرين منه، وأحضر إلى القلعة، ووقع البحث مع بعض الفقهاء، فكتب عليه محضر بأنه قال: أنا أشعري ثم وجد خطه بما نصه:
الذي اعتقد أن القرآن معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة وهو غير مخلوق وليس بحرف ولا صوت وأن قوله الرحمن على العرش استوى ليس على ظاهره ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلمه إلا الله والقول في النزول كالقول في الاستواء وكتبه أحمد بن تيمية،
ثم أشهدوا عليه أنه تاب مما ينافي ذلك مختارًا وذلك في خامس عشرى ربيع الأول سنة 707 وشهد عليه بذلك جمع جم من العلماء وغيرهم..)

Terjemahannya:
Di dalam Kitab “ad-Durar al-Kaaminah - mutiara yang terpendam, yang bernilai tinggi” karya al-Haafiz Ibn Hajar al-‘Asqalaani nasnya sebagai berikut: …dan Ibn Taimiyah tetap berada dalam lubang tahanan (penjara) sehinggalah beliau diberikan sokongan/syafa‘at antara lain oleh Amier Aali Fadhl maka beliau dikeluarkan pada 23 haribulan Rabie’ al-Awal dan beliau di bawa ke menara benteng/istana, lalu berlakulah perdebatan di antara beliau dan segolongan Fuqahaa’ (ahli fiqh), maka dituliskan untuknya agar ia membuat pengakuan: “Saya (berfahaman) Asy‘ariy” kemudian diketemukan dengan tulisan tangan beliau dengan catatannya: “yang menjadi I‘tiqadku bahawasanya al-Quran adalah makna yang berdiri sendiri pada Dzat Allah, sebagai satu Sifat daripada Sifat Dzatiyahnya yang Qadiem, bukan makhluq dan bukan pula (terdiri/berupa) huruf dan tidak pula suara dan FirmanNya: ar-Rahman di atas ‘Arasy beristiwa, bukannya dengan maknanya demikian secara zahir dan saya tidak mengetahuinya apa yang dimaksudkan dengannya malah tiada yang mengetahuinya kecuali Allah dan yang sama juga bagi an-Nuzul, seperti yang dinyatakan berkenaan Istiwaa’ dan ini telah ditulis oleh Ahmad ibn Taimiyah, kemudian mereka semua menjadi saksinya bahawa ia telah bertaubat yang mengandung maksud bahawa ia melakukannya dengan pilihannya (bukan dipaksakan) dan yang demikian itu berlaku pada 25hb Rabie’ul Awal tahun 707H dan disaksikan yang demikian itu oleh segolongan yang ramai daripada ‘ulama’ dan lainnya.

Jawapan:

Wa ‘alaikumussalaam wa rahmatullaah,
Bismillah walhamdulillaah was solaatu was salaam ‘alaa Rasuulillaah wa ‘alaa aalihi wa sohbihi wa manittaba’a hudaah,

Wa ba’d.
Adapun soal kisah Taubat Syeikhul Islam (semoga Allah merahmati beliau), maka ia bukanlah sebuah kisah yang dapat dipastikan kebenarannya. Akan saya perincikan kelak. Manakala soal ia dikemukakan sebagaimana yang ada dalam nukilan itu, maka benar, adanya dalam kitab berikut (yang ada dalam Perpustakaan peribadi saya/Personal Library):

Di dalam Kitab “ad-Durar al-Kaaminah”

karangan al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalaaniy (semoga Allah merahmati beliau); bermula daripada halaman 144 sehingga 160 daripada Juzu’ yang pertama, daripada kitab 4 jilid beliau ini, begitu banyak dan penuh pujian serta sanjungan begitu ramai ‘ulama’ yang disebutkan oleh al-Hafiz, terhadap Syeikhul Islam Ibn Taimiyah (semoga Allah merahmati beliau), sehingga 16 halaman dan bukannya kutukan atau kritikan, yang mencerminkan keluasan ilmu beliau dalam berbagai bidang, malah disifatkan sebagai hujjah dalam bidang-bidang tersebut.

Padahal begitu ramai ‘ulama terbilang yang disenaraikan[1]. Ada sebahagian ‘ulama’ yang disebutkan Ibn Hajar sekadar 3 hingga 4 baris mengenai biografi mereka. Lalu kenapa yang panjang lebar diketepikan sehingga 16 halaman, untuk hanya memetik bahagian ini yang kurang satu perenggan, yang disebutkan oleh al-Haafiz sebagai contoh pahit getir yang beliau lalui serta pengorbanan beliau menegakkan kebenaran?

Sila rujuk pada no: 409; Ahmad bin ‘Abdil Haliem…Ibn Taimiyah al-Harraani, benar beliau yakni al-Haafiz Ibn Hajar al-‘Asqalaaniy ada menyatakan pada Juzu’ 1/148 (5 baris dari atas):

Yang mana kesimpulan kisahnya bahawa Ibn Taimiyah, telah menyatakan bahawa beliau berfahaman Asy‘ariy dan bertaubat daripada ‘Aqidahnya, yang bersgelar ‘Aqidah Salaf lalu dengan taubatnya, beliau mengatakan sesuai fahaman I‘tiqad al-Asyaa‘irah.

Apakah benar perkara Taubatnya beliau dan mengikuti fahaman Asy‘ari ini?

Berikut jawapannya:

1. Kesemua kitab-kitab Syeikhul Islam Ibn Taimiyah, semoga Allah merahmati beliau, yang begitu banyak, tiada satu pun yang mengandungi perkara ini, iaitu “taubat beliau” mahupun sokongan beliau kepada fahaman al-Asyaa‘irah, malah semuanya dipenuhi dengan pengesahan beliau terhadap Aqidah Salaf yang menjadi pegangan beliau dan itulah juga pegangan Imam 4 Madzhab yang terkemuka dan para pengikut para Imam tersebut.

2. Sekiranya kita andaikan bahawa perkara ini benar-benar terjadi, maka ia seperti pengakuan (taubat) seorang yang dipaksa. Seorang yang dipaksa mengucapkan perkataan kufur sekalipun tidak menjadi kafir dengan ucapannya, sebagaimana yang sedia dimaklumi berkenaan kisah ‘Ammaar bin Yaasir, semoga Allah meredhai beliau, yang telah dijelaskan panjang lebar dalam Tafsir al-Qurtubiy pada ayat 106 Surah an-Nahl.

3. Kitab “ad-Durar al-Kaaminah fie A‘yaan al-Mi-ah ats-Tsaaminah” adalah sebuah kitab sejarah dan biografi, bukannya sebuah kitab yang layak dijadikan sandaran dalam pengisbatan Aqidah. Lagipun Ibn Hajar, semoga Allah merahmati beliau, hanya menukilkan kisah ini sebagaimana orang lain menukilkannya daripada berbagai kisah-kisah dalam menyebutkan biografi dan metodologi beliau dalam kitab beliau ini, tidak sama dengan metodologi beliau dalam – misalnya – Kitab Fath al-Baari, kerana beliau menetapkan syarat-syarat periwayatan apa yang tidak beliau tetapkan bagi kitab “ad-Durar al-Kaaminah” ini.

Tambahan pula dinyatakan oleh beliau dengan sieghah tamriedh: “ثم وُجِدَ خَطّه بما نَصّه” ertinya: “kemudian diketemukan tulisannya yang berbunyi…”

Persoalannya: Siapa yang ketemukannya? Siapa pula yang dapat memastikannya dan mengisbatkannya pada diri peribadi Ibn Taimiyah? Dalam ilmu riwayat, apa yang disebutkan dengan bentuk penyebutan sedemikian, tidak diterima pakai sebagai hujjah. Begitu pula kisah Ibn Batutah, kononnya Syeikhul Islam Ibn Taimiyah menyamakan “dirinya” dengan Dzat Allah adalah kisah palsu. Sila lihat: http://www.al-jamaah.sg/2014/04/ibn-taimiyah-and-false-allegations-of.html

4. Manusia yang terdekat dan paling rapat dengan Ibn Taimiyah adalah: Ibn al-Qayyim, Ibn ‘Abdil Haadi dan di kalangan Ahli Sejarah: Ibn Katsier, salah seorang murid Ibn Taimiyah, begitu pula adz-Dzahabi, namun tidak seorang pun di antara mereka yang menyebutkan perkara ini, iaitu tulisan ini, malah tidak pula kisah taubatnya, sebagaimana yang didakwakan.

5. Seandainya kita terima – sebagai suatu andaian semata – bahawa Ibn Taimiyah bertaubat daripada pegangan asalnya, apakah dengan itu akan berubah jadinya ‘Aqidah Ahli Sunnah wal Jama‘ah? Apakah itu bermakna berlaku pertukaran ‘Aqidah yang menjadi pegangan Salafussolih seperti para Sahabat dan yang datang selepas mereka, antaranya Imam 4 Madzhab dan para pengikut mereka yang setia?

Abul Hasan al-Asy‘ari, semoga Allah merahmati beliau, telah menarik balik dan “bertaubat” daripada aliran ‘Aqidahnya, lalu menulis kitab-kitab…tetapi persoalannya: al-Asyaa‘irah ikut bertaubat dengan meninggalkan fahaman lama Imam Abul Hasan al-Asy‘ari dan mengikuti beliau dengan Taubat beliau? Sila lihat Aqidah Salaf dalam perkara di mana Allah? http://www.islamiq.sg/2011/05/uluw-ijma-ulama.html

Perkara Allah di mana yang telah cukup jelas pun ada orang persoalkan, “kalau orang South Pole langitnya dibandingkan dengan orang North Pole, jadi Allah di atas atau di bawah?” Ini tidak perlu kita huraikan di sini kerana sudah ada banyak penjelasannya dengan segala hujjahnya daripada ayat-ayat al-Quran, as-Sunnah dan penjelasan ‘ulama yang jauh lebih ‘alim daripada orang yang hatinya berpenyakit (sila rujuk Tafsiran Surah aal-‘Imraan: 7), cuma kita tanya, simpulan bahasa ini bagaimana dapat difahami; “bagai meludah ke langit” kalau langit itu dipersoalkan langit South Pole, North Pole, China, US dan sebagainya. Apa pula erti peribahasa: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Maksud saya, jika orang tanya anda: “di mana langit?”, orang seperti ini akan buat orang bingung dengan kekeliruannya, langit di mana pun ia tidak tahu, sehingga ditanya balik: “Awak maksud langit South Pole ke North Pole?” sedangkan orang yang cerdik akan jawab dengan hanya perlu menuding ke langit.

6. Golongan daripada puak al-Asyaa‘irah yang cuba berhujjah terhadap Ahli Sunnah dengan kisah sekadar beberapa baris ini, perumpamaannya adalah seperti orang yang meninggalkan sungai dengan airnya yang segar banyak, lalu menangguk di air yang keruh dan meminumnya. Beratus hasil tulisan Syeikhul Islam, yang jelas tegas mengisbatkan Aqidah Salaf, malah ada yang ditulis sebagai perbandingan kesilapan dan penyelewengan yang ada pada al-Asya‘irah, disertai pembatalan hujjah dan sanggahan serta pematahan dalil-dalil mereka.

Apakah patut ditinggalkan kitab-kitab beliau yang begitu banyak hanya semata-mata kerana “penemuan” nas/pernyataan/tulisan yang tidak dapat dipastikan kebenarannya pun?

Mengapa tidak dibaca tulisan-tulisan beliau itu semua dan bukan sekadar dikutip kisah-kisah yang tidak dapat dipastikan kebenarannya seperti ini.

Teladanilah pengalaman hidup Syeikh al-Harraas, yang dengan kelulusan beliau ke tahap PhD, beliau mengagumi Syeikhul Islam, walhal sebelum membaca hasil karya Syeikhul Islam, beliau amat memusuhinya. Sila baca dan dengarkan ini:

Sesiapa yang ingin berhujjah berdasarkan kisah taubat ini, maka sebenarnya hujjah telah tertegak atas dirinya sendiri.

Betapa tidak, sebab Abu al-Hasan al-Asy’ariy (semoga Allah merahmati beliau), telah bertaubat meninggalkan Aqidah Asy‘ariyah yang beliau gubal untuk mengikuti Aqidah sebenar Ahli Sunnah wal Jama‘ah yang benar. Kisah dan catatan sejarah berkenaan Taubatnya Imam al-Asy‘ariy begitu masyhur – meskipun golongan al-Asya‘irah menyangsikannya. Jika mereka ingin sangat bersandarkan pada hujjah kisah Taubat Syeikhul Islam ini, semestinya mereka menerima dan ikut bertaubat dengan taubatnya Imam Abul Hasan, kerana “taubatnya” Imam Abul Hasan, jelas dalam kitab-kitab karangan beliau yang terakhir.

Wallahu a‘lam.

Tambahan Maklumat Mengenai “Nasihah Dzahabiyah”

Berikut ini pula penambahan maklumat, sebagaimana yang ada dalam Kitab “ad-Durar al-Kaaminah” ini, yang jelas membuktikan kepalsuan Surat Dzahabiyah yang telah diperjelaskan pada kiriman (posting) yang lalu. (Rujuk: "Keperibadian Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah, Ahmad bin 'Abdul Haleem al-Harraani")

Berikut antara nukilan al-Hafiz Ibn Hajar daripada adz-Dzahabi yang menyangkal komentar as-Subki dengan kata-kata yang tidak layak terhadap guru beliau Syeikhul Islam Ibn Taimiyah, membela Syeikhul Islam selepas kewafatannya – satu lagi bukti kepalsuan dakwaan “Nasihah Dzahabiyah” yang kononnya Imam adz-Dzahabi telah meninggalkan ajaran gurunya, Syeikhul Islam – berikut ini:

Terjemahannya:
adz-Dzahabi telah menulis kepada as-Subki menegurnya disebabkan kata-katanya (as-Subki) terhadap Ibn Taimiyah, maka adz-Dzahabi menyanggah kata-kata tersebut dan di antara isi sanggahan beliau: Adapun kata-kata Tuan terhadap Syeikh Taqiyuddien…sungguh terbukti kedudukannya amat besar dan keluasan lautan ilmunya dalam ilmu-ilmu naqli (bersumberkan nas al-Quran dan as-Sunnah) dan ‘aqli (ketajaman akal dan penilaian mendalam) dan jangkauan kepintaran beliau dan ijtihadnya dan pencapaian beliau dalam itu semua pada tahap pencapaian yang lebih dari yang dapat disifatkan…dan kedudukannya pada diri ku sendiri adalah lebih besar dari yang demikian itu dan lebih agung digandingkan dengan apa yang Allah himpunkan pada diri beliau daripada kezuhudan, wara‘, kesungguhan memelihara agama dan pembelaan terhadap kebenaran dan sentiasa mengusahakannya tanpa tujuan lain selainNya dan berjalannya beliau atas landasan Sunnah as-Salaf dan pengambilan beliau akan ajaran Salaf dengan pengambilan yang sempurna dan terunggul sehingga sukar dijumpakan seseorang sepertinya pada zaman ini malah pada beberapa zaman yang banyak…

Adapun persoalan anda mengenai:

Baru-baru ini, ada orang yang menghukumkan beliau kafir pada mulanya (2 atau 3 hari yang lalu). Kemudian pihak itu mengatakan sekarang: Kafir sebelum taubatnya, kemudian selepas taubatnya, Ibn Taimiyah telah jadi pengikut fahaman Asy‘ari dan Sufi dan tidak kafir lagi? Malah beliau ada menyalahkan Islamiq.sg, yang biasa menyiarkan sebahagian tulisan Ustaz, sebagai punca beliau menimbulkan tengkarah ini. Apa ulasan Ustaz?

Ulasan saya:

1. Selayaknya pihak tersebut segera bertaubat. Jika perlu, bacalah tulisan Syeikhul Islam Ibn Taimiyah mengenai Taubat. Ramai ‘ulama’ yang memuji hasil karya beliau ini. Perlunya ia bertaubat kerana 2 atau 3 hari lalu telah ia telah menghukum “Kafir” atas alasan belum ketemukan Kisah Taubat Ibn Taimiyah. Hadis Nabi yang Sahih: Orang yang menghukum dan mengatakan saudara Islamnya Kafir, ternyata saudaranya itu tidak kafir maka hukum kufur itu jatuh pada dirinya (HR al-Bukhaariy dan Ahmad). Maka daripada ia sibukkan dirinya membuat dakwaan “Taubat” adalah lebih utama ia sendiri bertaubat.

2. Setelah membuat dakwaan “Taubatnya” Syeikhul Islam, sepatutnya ia berhenti di situ, tetapi malangnya ia membuat satu lagi dakwaan iaitu Syeikhul Islam menjadi Asy‘ari dan Sufi, kali ini tanpa apa-apa bukti, nasihat adz-Dzahabi atau nukilan buku, malah dakwaan semata-mata. Saya mengemukakan usulan ini: Tanyakan pada pihak yang menimbulkan Tengkarah: "Syeikhul Islam Kafir" kemudian "Tidak Kafir lagi selepas Taubatnya", tanyakan: "Apa hukum anda terhadap golongan umat Islam, yang tetap mengikuti pegangan dan ajaran Syeikhul Islam sebelum "Taubat"nya yang anda dakwakan ini. Apakah mereka kafir atau tidak? Anda katakan: "Syeikhul Islam Kafir sebelum Taubatnya". Ahli Sunnah sebenar dan itu yang saya dapati pada Islamiq.sg, tidak sewenangnya menghukum orang kafir apatah lagi 'ulama'.

3. Menyalahkan Islamiq.sg??? Setahu saya, apa yang Islamiq.sg timbulkan hanyalah usaha memperbetulkan dan menyelamatkan masyarakat daripada pengaruh orang-orang luar tertentu, yang diundang ke sini yang telah diketahui ada latarbelakang mengikuti ajaran selain ajaran asal Ahli Sunnah wal Jama‘ah. Misalnya yang mengi’tikadkan mandi di sungai dapat menghapus dosa mirip Ganges. Hanya bila ada pihak telah buat komentar peribadi dengan menyebut “islamiq” barulah dibalas secara peribadi, sebagai menolak tuduhan dan menyangkal dakwaan. Namun setahu saya, tiada tengkarah berlaku seperti perkara “Syeikhul Islam kafir – kemudian taubat jadi tidak kafir lagi, tapi berubah jadi Sufi dan Asy‘ari”. Mengapa setelah membuat kecoh, melempar batu sembunyi tangan, setelah pecahkan tingkap dan barang-barang, kemudian menuding pada orang lain kononnya, orang lain yang bermain lastik? Sedap makan nangka orang lain pula yang hendak dikenakan getahnya.

4. Sejauh pengetahuan saya, apa yang dikirimkan Islamiq tiada yang menyebabkan tengkarah dan kekecohan besar-besaran. Beza dengan perbuatan pihak ini. Cubalah datangkan contoh Islamiq buat tengkarah. Yang ada, ada sebahagian pihak yang tidak mahu menerima penjelasan, kurang senang dengan keterangan yang disandarkan kepada sumber-sumbernya dan dalil-dalilnya. Kalau itu, semua dakwah kepada kebenaran demikian, namun bezanya dengan bukti nyata bukan dakwaan melulu.

5. Mengapa perlu sampai didedahkan dan disiarkan nama orang tertentu. Kiranya sudah “personal attack”. Jika anda “pahlawan hujjah”, apa perlu “berbunga-bunga” dan berbelit-belit dengan perkara seperti ini. Nama pemilik website siapa sahaja boleh dapatkan kerana ia seperti “Residential Phone listing”, tidak perlu dapatkan maklumat “orang dalam”. Kemudian, sejak bila ahli-ahli perbincangan di weblog, FB dan sebagainya menjadi seperti Tailong? Lebih buruk lagi jika daripada kalangan bergelar Asatizah. Apakah bermaksud untuk orang-orang yang tidak berpuashati, menyerang rumah seseorang? Siram cat? Laa haula walaa quwwata illaa billaah! Akhlaq seorang muslim kah ini? Kerana nila setitik, rosak susu sebelanga.
berapa banyak website, weblog, FB berbagai pihak sedunia ini, yang mennyiarkan berbagai fahaman dan ideologi, tetapi mengapa anda berlagak seperti polis, ingin menyalahkan weblog tertentu? Weblog dan website serta FB yang lain, mengapa tidak dijadikan tumpuan???
Jika anda yakin pegangan anda benar, begitu juga pihak lain, namun mengapa mempersalahkan sehingga melibatkan dan seperti usaha percubaan mengancam peribadi orang tertentu???
Semoga Allah menjadikan kita golongan umat Islam yang mencari kebenaran dan mengenali kebenaran dengan sandaran-sandaran yang jelas dan ahli-ahlinya yang cerdas.

Wallahu a‘lam.

و صلى الله على نبينا محمد و عل آله و صحبه و سلم و الحمد لله رب العالمين
________________________________________

[1] di antara 700 hingga 800 Hijriyah – biografi ringkas seramai 1343 orang ‘alim, yang beliau kumpulkan daripada catatan dan periwayatan para guru beliau, samada yang beliau ketemui dan hadiri majlis ilmu mereka atau yang beliau dapatkan maklumatnya dengan perantara, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam Muqaddimah/Pendahuluan beliau, mengenai ‘ulama terbilang sezaman beliau, yang lahir 773H dan wafat 852H, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmatNya yang Maha Luas.