Menyikapi Peristiwa
Karbala
Minhajussunnah
IV/553-556
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan;
“Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu
‘anhu, manusia terbagi menjadi tiga golongan, dua golongan dan satu berada di
tengah-tengah.
Golongan Pertama: Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husainradhiyallahu ‘anhu itu merupakan tindakan
benar. Karena Husain radhiyallahu
‘anhu ingin memecah-belah Jamaah kaum Muslimin.Telah Tsabit
dalam As Sohih Dari Rasulullah shallalahu Alaihi Wasallam bahwasanya ia
bersabda:
“Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan
urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah-belah
jama’ah kalian, maka bunuhlah dia.”[1]
Kelompok
pertama ini mengatakan bahwa Husain radhiyallahu
‘anhu datang
saat urusan kaum Muslimin berada dibawah satu pemimpin (Yazid bin Muawiyah,red)
dan Husain radhiyallahu ‘anhu hendak memecah-belah
umat.
Mereka mengatakan bahwa Husain radhiyallahu
‘anhu merupakan
orang pertama yang memberontak kepada penguasa didalam Islam
Golongan Kedua: Mereka mengatakan Husain radhiyallahu
‘anhu adalah
imam yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan perkara-perkara keimanan tanpa
perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama’ah dan kecuali
dibelakang orang yang ditunjuknya; dan tidak boleh berjihad melawan musuh
kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya.[2]
Golongan Ketiga: Yaitu Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama maupun kedua.
Mereka mengatakan bahwa Husainradhiyallahu ‘anhu terbunuh dalam keadaan
terzhalimi dan syahid dan beliau bukanlah seorang imam (pemimpin kaum Muslimin)
karena memang peristiwa yang terjadi tidak seperti itu.
Ketika
sampai kabar kepadanya tentang (terbunuhnya,red) –anak pamannya- Muslim
bin Aqil ia tidak jadi meminta baiat (dari penduduk irak, red), tapi
meminta untuk dihadapkan kepada –anak Pamannya- Yazid[3] , kedaerah perbatasan,
atau dikembalikan ke negerinya. Namun mereka tidak memenuhinya dan penduduk
irak memintanya untuk membela mereka, namun itu tidak wajib baginya
Bid’ah-bid’ah setelah Pembunuhan Husein
Syaikhul-Islam mengatakan:
Dengan
sebab kematian Husain radhiyallahu ‘anhu, setan memunculkan dua
bid’ah di tengah manusia[4].
Bid’ah
kesedihan dan ratapan para hari ‘Asyûra seperti menampar-nampar,
berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci-maki dan melaknat generasi
Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam golongan orang yang
berdosa[5] Mereka sampai mereka
berani mencaci Sâbiqûnal-awwalûn. Kemudian
riwayat-riwayat tentang Husain radhiyallahu
‘anhu dibacakan
yang kebanyakan merupakan kebohongan. Karena
tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan di tengah umat.
Acara-acara tersebut tidak Wajib apalagi dianjurkan dengan kesepakatan kaum
Muslimin, Bahkan Menghidupkan bid’ah kegelisahan dan meratapi musibah-musibah
yang telah berlalu termasuk sesuatu yang paling diharamkan oleh Allah dan Rasulnya,
begitu juga senang dan berbahagia (atas kematian Husein, red)
Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela
Husain radhiyallahu ‘anhu yang dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku mendapatkan wahyu,red). Di Kufah juga terdapat satu
kaum yang membenci ‘Ali dan keturunan Beliau radhiyallahu ‘anhu. Di antara kelompok ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah
hadits shahîh dijelaskan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);
“Akan
ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak.”
Pengikut Syi’ah (Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid,red) itulah
sang pendusta. Sedangkan si Nashibi (Al Hajjaj, red) adalah sang Perusak.
Yang pertama membuat bid’ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid’ah
kesenangan. Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa
barangsiapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari ‘Asyûra, maka Allah ‘Azza wa Jallamelonggarkan
rezekinya selama setahun itu.”
Berkata Harb Al Kirmani: aku bertanya kepada ahmad Bin
Hambal tentang hadits tersebut, dia Menjawab: tidak ada asalnya dan tidak
memiliki Isnad yang Tsabit, Kecuali apa yang telah diriwayatkan oleh Suyan ibnu
Uyainah, dari Ibrahim dan Muhammad bin Muntasyir, dari bapaknya, dia berkata:
Telah sampai kepadaku barang siapa yang meluaskan untuk keluarganya di hari
Asyura… Alhadits. Dan ibnu Muntasyir adalah orang kufah yang mendengar dan
meriwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal. Mereka meriwayatkan bahwasanya
siapa yang bercelak pada hari Asyura niscaya tidak akan terkena katarak pada
tahun tersebut ,barangsiapa yang mandi pada hari ASyura niscaya tidak akan
sakit pada tahun itu. Riwayat-riwayat tersebut membuat orang-orang menganjurkan
untuk bercelak, mandi, dan bersenang-senang dengan makanan ekstra kepada
keluarga.
Perbuatan-perbuatan Tersebut adalah bid’ah yang sumbernya
dari orang-orang yang fanatik maupun benci kepada Al Husein Radiyallahu anhu,
sedangkan semua bid’ah adalah sesat dan tidak dianjurkan oleh seorangpun Imam
kaum Muslimin yang empat. Baik bid’ah terkait kefanatikan terhadap Husein
Maupun kebencian terhadapnya.
Yang sunnah dilakukan Pada hari Asyura adalah Berpuasa
berdasarkan pendapat Jumhur. Dianjurkan untuk menyertai puasa tersebut
pada hari ke-9 karena sebagian dari mereka tidak menyukai untuk berpuasa pada
hari ke-10 saja. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Minhajussunnah
IV/559-560
Syaikhul Islam
Rahimahullah Berkata:
Tidak diragukan bahwa pembunuhan Al Husain termasuk dosa
yang paling besar. Pelakunya, yang meridhoinya, dan yang membela pembunuhnya
layak mendapatkan hukuman Allah.
Namun Pembunuhan beliau tidaklah lebih besar dari
pembunuhan orang—orang yang lebih mulia dari beliau dari kalangan Para nabi[6], As Sabiqunal Awwalun,
orang yang terbunuh ketika memerangi Musailamah, Syuhada Uhud, Sahabat yang
terbunuh di Bi’ru ma’unah, Utsman bin Affan, dan Ali Bin Abi Thalib. Bahkan
para Pembunuh Ali Meyakini bahwa Ali telah kafir dan murtad dan membunuhnya
adalah ibadah yang agung.
Berbeda dengan para pembunuh Al Husain, Mereka tidak
berkeyakinan bahwa ia kafir, justeru sebagian besar dari mereka tidak
suka untuk membunuhnya dan mengira hal itu adalah dosa besar, tetapi mereka
membunuh Al Husein karena tujuan pribadi mereka seperti halnya manusia saling
bunuh karena kekuasaan
[1] Hadits riwayat Muslim,
Bab imaarah
[2] Kelompok pertama dan
kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama.
Ia sangat benci kepada Husain radhiyallahu
‘anhudan
merupakan sosok yang zhalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin
Abi ‘Ubaid yang mengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain radhiyallahu
‘anhu.
Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh
‘Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.
[3] Yazid bin Muawiyah masih
terhitung sepupunya karena Muawiyah merupakan Sepupu Rasulullah dan Ali bin Abu
thalib
[4] Bid’ah duka cita dari
syiah dan bid’ah kesenangan yang disebarkan oleh Hajjaj,red
[5] Para Sahabat seperti Abu
Bakar dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki
andil dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala
itu.
[6] Kepala Nabi Yahya telah
dipersembahkan kepada seorang pelacur. Nabi Zakaria pun dibunuh. Nabi
Musa dan Nabi Isa—’alaihimas salam, umat mereka ingin membunuh mereka berdua.
Dan beberapa orang nabi lainnya juga telah dibunuh.
Sumber:
Minhajussunnah Juz IV
553 554
555 556
559 560