(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad
Harits)
Keharuman nama beliau tidak
hanya diakui oleh sahabat dan murid-murid beliau. Bahkan sebagian seteru beliau
juga memberikan sanjungan tidak hanya berkaitan dengan keilmuan beliau tapi
juga pribadinya.
Di antara mereka adalah
Al-Qadhi Ibnu Makhluf yang juga lawan beliau, sebagaimana telah dinukil
sebelumnya.
Ibnu Daqiqil ‘Ied t, seorang
ulama yang ahli dalam dua mazhab; Maliki dan Syafi’i, menceritakan
pengalamannya ketika berkumpul dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t: “Saya
lihat dirinya, dalil itu seolah-olah ada di depan matanya. Dia ambil mana yang
dia mau dan dia tinggalkan mana yang dikehendakinya.”
Ibnu Az-Zamlakani t, juga
mengatakan: “Terkumpul pada dirinya (Ibnu Taimiyah) syarat-syarat seorang
mujtahid secara sempurna. Dia mempunyai andil besar dalam karya-karya bermutu,
ungkapannya yang bernas dan sistematis.”
Secara khusus, beliau
memberi pujian terhadap karya Syaikhul Islam yang berjudul Raf’ul Malam ‘an
A’immatil A’lam. Kata beliau: “(Ini) adalah karya tulis Asy-Syaikh Al-Imam,
Al-‘Alim Al-‘Allamah, tidak ada tandingannya, hafizh mujtahid, tokoh zahid ahli
ibadah, teladan, imam para imam, panutan umat, keagungan ulama, pewaris para
Nabi, barakah Islam, hujjatul Islam, pemberantas bid’ah, menghidupkan sunnah.
Bagian dari anugerah besar yang Allah k berikan kepada kita, yang dengannya
tegaklah hujjah terhadap musuh-musuh-Nya.”
Lalu beliau menulis beberapa
bait memuji Syaikhul Islam:
مَاذَا يَقُولُ الْوَاصِفُوْنَ لَهُ * وَصِفَاتُهُ جَلَّتْ عَنِ الْحَصْرِ
هُوَ حُجَّةٌ للهِ قَاهِرَةٌ * هُوَ بَيْنَنَا أُعْجُوْبَةُ الدَّهْرِ
هُوَ آيَةٌ ِللْخَلْقِ ظَاهِرَةٌ * أَنْوَارُهَا أَرْبَتْ عَلَى الْفَجْرِ
Apa yang kan diuraikan
mereka yang mensifatkannya
Sedangkan sifat-sifatnya
melampaui batasan
Dia adalah hujjah Allah yang
menaklukkan
Dia adalah keajaiban masa di
tengah-tengah kita
Dia adalah satu ayat Allah
yang nyata bagi makhluk-Nya
Cahayanya mengalahkan
kemilau fajar
Ibnu Az-Zamlakani juga
menyatakan: “Apabila dia ditanya tentang satu cabang ilmu, niscaya orang yang
mendengar dan melihatnya pasti menyangka Ibnu Taimiyah tidak punya ilmu lain
kecuali itu, dan memastikan bahwa tidak ada satupun yang memahami seperti dia.
Ahli fikih dari berbagai mazhab, jika berdiskusi dengannya, niscaya mereka
memetik faedah dari beliau hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui.
Tidak pula pernah terdengar bahwa beliau berdebat dengan seseorang lalu kalah.
Jika dia membahas satu cabang ilmu –baik ilmu syariat atau lainnya–, niscaya
beliau mengungguli orang-orang yang ahli di bidang tersebut. Beliau memiliki
kelebihan dalam karya tulis, ungkapan yang berisi, runut, juga dalam pembagian
dan pejelasan.”
As-Subki, setelah mendapat
teguran dari syaikhnya, Al-Imam Adz-Dzahabi t, dia mengatakan: “Adapun ucapan
sayyidi (tuanku) tentang syaikh (Ibnu Taimiyah), maka hamba menyaksikan
besarnya kedudukan beliau, luasnya ilmu beliau dalam hal syariat maupun logika,
juga kejeniusannya, ijtihadnya, yang semua itu beliau capai melampaui keadaan
yang disifatkan orang. Hamba senantiasa mengatakan bahwa kedudukan beliau dalam
diri hamba amatlah agung dan lebih mulia dari itu. Seiring dengan apa yang
Allah l berikan kepada beliau, berupa sifat zuhud, wara’, diyanah (pengamalan
terhadap agama), membela al-haq, berdiri di atas kebenaran tanpa tujuan lain,
serta perjalanannya di atas cara hidup kaum salaf, serta capaiannya yang luar
biasa, yang sangat jarang ditemukan seperti itu di zaman ini, bahkan di zaman
kapanpun.”
Tajuddin As-Subki sendiri
merasa bangga ketika Al-Mizzi menulis biografi ayahnya Taqiyuddin As-Subki
dengan gelar Syaikhul Islam, dan tidak menuliskan gelar ini kecuali hanya
kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ayahnya As-Subki. Seandainya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, seorang mubtadi’, zindiq apalagi kafir, tentulah dia tidak
rela ayahnya disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah.
Al-‘Allamah Al-Imam Qadhi
Qudhah Mesir dan Syam, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ash-Shafi ‘Utsman Ibnul
Hariri Al-Anshari Al-Hanafi menegaskan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukan Syaikhul
Islam, siapa lagi?”
Al-Imam Al-Mizzi (penyusun
Tahdzibul Kamal) menyatakan pujiannya: “Saya tidak pernah melihat tokoh seperti
dia. Diapun tidak melihat ada yang seperti dirinya. Saya tidak pernah melihat
tokoh yang paling tahu tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah serta paling
teguh mengikuti keduanya daripada beliau.”
Seorang syaikh yang shalih,
ahli ibadah, Abu Thahir Muhammad Al-Ba’li Al-Hanbali t membawakan beberapa bait
syair, memuji Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di antara pujian beliau:
يَا ابْنَ تَيْمِيَّةَ ياَ أَنْصَحَ الْعُلَمَا * يَا مَنْ لِأَسْرَارِ دِيْنِ اللهِ قَدْ فَهِمَا
يَا آيَةً ظَهَرَتْ فِي اْلكَوْنِ بَاهَرَةً * لاَ ِزلْتَ فِي سِلْكِ دِيْنِ اللهِ مُنْتَظِمًا
وَكُنْتَ وَاسِطَةً فِي عَقْدِهِ أَبَدَا * تُزِيْلُ مِنْهُ اْلأذَىَ وَاْلفَحْشَ وَالسَّقَمَا
جَمَعْتَ مِنْهُ الَّذِي قَد كَانَ فَرَّقَهُ * قَوْمٌ رَأَوْهُ هُدًى مِنْهُ وَكَانَ عَمَى
Hai Ibnu Taimiyah, hai ulama
yang banyak memberi nasihat
Hai orang yang paham rahasia
dien Allah
Hai ayat yang nampak
cemerlang di alam semesta
Engkau senantiasa tersusun
di dalam dien Allah ini
Engkau menjadi perantara
dalam menguatkannya selamanya
Engkau lenyapkan kotoran
darinya, juga kekejian dan kerusakan
Engkau kumpulkan dari dien
ini apa yang dahulu diserakkan
Oleh kelompok yang
menyangkanya hidayah padahal dia buta
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t
juga mengatakan (Fathul Bari 6/289): “…tambahan ini tidak ada sedikitpun dalam
buku-buku hadits. Hal ini telah diperingatkan oleh Al-‘Allamah Taqiyuddin Ibnu
Taimiyah.”
Di dalam kitab lainnya
(At-Talkhishul Habir 3/179), Ibnu Hajar memuji beliau sebagai Al-Hafizh.
Jalaluddin As-Suyuthi
(pengarang Al-Itqan dan Tafsir Jalalain) mengatakan: “Demi Allah, belum pernah
kedua mata saya melihat orang yang paling luas ilmunya dan paling kuat
kecerdasannya daripada seseorang yang bernama Ibnu Taimiyah, disertai sikap
zuhudnya dalam berpakaian, makanan, wanita dan senantiasa tegak bersama al-haq
(kebenaran) dan berjihad dengan segenap kemampuannya.”
Kata beliau juga: “Ibnu
Taimiyah adalah seorang syaikh, imam, Al-‘Allamah, hafizh, kritikus, ahli
fiqih, mujtahid, pakar tafsir yang ulung, Syaikhul Islam. Simbol kezuhudan,
salah seorang tokoh yang langka di zamannya. Beliau adalah lautan ilmu, jenius
dan ahli zuhud yang sulit dicari tandingannya.”
Terakhir, perhatikanlah
ucapan As-Subki (ayah Tajuddin As-Subki) tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
t, ketika menegur orang yang mencerca Ibnu Taimiyah: “Demi Allah, hai Fulan.
Tidaklah ada yang membenci Ibnu Taimiyah melainkan orang yang jahil atau
pengikut hawa nafsu. Adapun orang jahil, dia tidak tahu apa yang dikatakannya.
Sedangkan pengikut hawa nafsu, dia dihalangi oleh hawa nafsunya dari al-haq
setelah dia mengetahuinya.”
Jadi, hanya ada dua
kemungkinan pada diri orang-orang yang memusuhi Ibnu Taimiyah t; orang jahil
yang tidak mengerti apa yang dia katakan, atau orang yang memperturutkan hawa
nafsunya, sehingga ilmu dan kebenaran yang diketahuinya, tentang pribadi
Syaikhul Islam atau pemikirannya, terkubur oleh dendam kesumat, kedengkian, dan
kesesatan bid’ah yang diyakininya. Wallahul musta’an.
Wafat dalam Penjara
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
telah menghabiskan hidupnya dengan penuh kesabaran, rasa syukur dan perjuangan,
baik dalam keadaan susah maupun senang. Tidak sekalipun beliau ber-mujamalah
(menjilat) dalam amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak pernah beliau mundur
dari perkataan yang haq, selamanya. Sikap terus terang dan keberanian beliau
dalam menyuarakan yang haq, berkali-kali menyeret beliau ke penjara. Mungkin
itu pula salah satu sebab beliau tidak menikah.
Pada tahun 726 H, adalah
akhir dari hukuman penjara yang beliau terima. Ini disebabkan pemalsuan yang
dilakukan oleh musuh-musuhnya terhadap fatwa beliau tentang ziarah kubur.
Sehingga seolah-olah Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur terlebih lagi
makam Rasul n. Ditambah lagi, sikap beliau kepada Sultan Nashir Al-Qalawun yang
beliau perlakukan sebagai murid. Beliau tidak segan-segan menegur dan
membimbingnya, sehingga sering Baginda merasa berat. Apalagi setelah Syaikhul
Islam menulis As-Siyasah Asy-Syar’iyah.
Akhirnya, musuh-musuh beliau
berusaha mencari kesempatan melepaskan kekuasaan pemerintah (Sultan) dari
pengaruh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang tidak pernah bersikap munafik, riya,
atau menjilat demi mencari keselamatan pribadi.
Ibnu Taimiyah kembali
dipenjarakan. Tapi yang terakhir ini lebih berat beliau rasakan. Perlakuan yang
beliau terima lebih buruk dari sebelumnya. Beliau dijauhkan dari semua alat
tulis dan dilarang melakukan penelitian (membaca). Hanya saja, penderitaan itu
tidak berlangsung lama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah akhirnya sakit keras
beberapa hari. Hal itu mulai dirasakan sejak dikeluarkannya semua perlengkapan
tulis menulis dan membaca dari sisi beliau selama di penjara.
Begitu mengetahui beliau
sakit, Syamsuddin Al-Wazir meminta izin menjenguk beliau. Melihat keadaan
beliau, dia meminta maaf atas semua kesalahannya selama ini. Oleh Syaikhul
Islam, dia dimaafkan bahkan semua yang memusuhinya, termasuk Sultan Nashir
Al-Qalawun yang memenjarakannya.
Kemudian, pada malam 22 Dzul
Qa’dah 728 H, wafatlah Syaikhul Imam, Al-‘Allamah Al-Faqih Al-Hafizh Az-Zahid,
Al-Mujahid Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Al-Imam Syihabuddin
Abul Mahasin ‘Abdul Halim bin Syaikhul Islam Abul Barakat ‘Abdus Salam bin
‘Abdullah bin Abul Qasim Muhammad bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Al-Khidhir bin
‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi, di dalam tembok penjara
Damaskus.
Berita ini mulanya hanya
diketahui orang-orang yang di dalam penjara. Kemudian, berita ini meluas hingga
didengar oleh kaum muslimin. Mereka terenyak. Berita itu betul-betul
menggemparkan.
Akhirnya, berduyun-duyun
mereka menuju ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau. Setelah itu
mereka keluar, kemudian masuklah kaum wanita seperti itu juga.
Setelah selesai dimandikan
oleh sebagian tokoh seperti Al-Mizzi, jenazah beliau dibawa ke luar penjara.
Masyarakatpun berkumpul ikut menyaksikan prosesi jenazah beliau. Mereka rela
menutup pintu toko dan menghentikan aktivitas mereka demi mengiringi jenazah
beliau. Kaum wanita yang tidak ikut serta, berdiri di atas rumah-rumah mereka
melepas jenazah sang imam. Sebagian mereka membagi-bagi daun bidara yang
dipakai untuk memandikan beliau.
Ibnu Katsir t memperkirakan
dalam Al-Bidayah, ada sekitar 15.000 orang wanita ikut mengantar jenazah
beliau.1 Belum lagi yang ada di atas rumah-rumah mereka. Semua mendoakan rahmat
dan menangisi beliau. Para tentarapun ikut sibuk mengamankan prosesi jenazah
tersebut.
Air mata tumpah, langitpun
menangis. Ratapan duka dan doa mengantar jenazah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
t. Seluruh rakyat di sekitar penjara benteng tersebut tumpah ke jalanan
mengantarkan jenazah beliau. Pintu-pintu masjid Jami’ tak cukup menampung
desakan rakyat banyak yang ingin mendekati jenazah beliau. Kejadian ini tak
jauh beda dengan prosesi pemakaman jenazah Imam Ahli Sunnah wal Jamaah Abu
‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t. Di mana ketika beliau wafat di
Baghdad, ratusan ribu manusia mengantar jenazah beliau ke pemakaman. Al-Imam
Ahmad pernah mengatakan kepada ahli bid’ah: “Katakan kepada ahli bid’ah:
‘Keputusan antara kami dan kamu (ahli bid’ah) adalah yaumul janaiz (hari
kematian)’.”
Beliau dikebumikan setelah
selesai shalat ‘ashar di pemakaman Shufiyah, di sebelah kuburan saudaranya
Syarafuddin ‘Abdullah. Di situ pula dikebumikan salah seorang murid beliau yang
terkemuka yaitu Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahumullah beberapa tahun kemudian.
Setelah dikebumikan,
Asy-Syaikh Al-Imam Burhanuddin Al-Fazari dan sejumlah ulama besar
Asy-Syafi’iyah selama tiga hari berulang-ulang mengunjungi kuburan Ibnu
Taimiyah t.
Tidak ada yang tertinggal
mengantar jenazah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ke pemakaman kecuali mereka yang
lemah dan tidak dapat hadir, serta tiga orang yang sangat keras permusuhannya
terhadap beliau, yaitu Ibnu Jumlah, Ash-Shadr, dan Al-Qafjari. Mereka yakin, seandainya
mereka ikut keluar niscaya umat akan menyakiti bahkan membunuh mereka.
Semoga Allah l merahmati
ulama salaf yang telah wafat dan memelihara mereka yang masih hidup.
1 Ibnu Katsir t menceritakan
tentang kenyataan yang terjadi saat itu. Dan sebenarnya wanita dimakruhkan
mengiringi jenazah. -ed