Gonda Yumitro
Beberapa kali kami sempat berdiskusi dengan
teman yang menulis di media sosial tentang Iran. Biasanya, tulisan mereka
menceritakan kekaguman terhadap sikap politik luar negeri Iran yang keras terhadap
Amerika. Belum lagi sosok mantan presiden Iran, Ahmadenejad yang digambarkan
sebagai sosok sempurna. Sampai-sampai ada seorang
dokter dan aktifis muslim yang berkomentar, “Kapan Indonesia bisa mempunyai
pemimpin hebat seperti ini?”
Gambaran kekaguman ini bukan tanpa sebab. Jika
diperhatikan selama ini, memang pemberitaan tentang Iran sangat positif di
beberapa media utama Indonesia. Apalagi berbagai kerjasama pun dikembangkan
oleh Iran dengan cukup “memikat” terhadap pemerintah Indonesia, pada berbagai
bidang, seperti minyak, teknologi, militer, kedokteran, dan sosial budaya.
Padahal, jika dikaji lebih mendalam, maka terlihat bahwa kepentingan penyebaran
syiah cukup kentara dalam berbagai kerjasama tersebut.
Karena ancaman syiah jelas akan mengganggu
keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka berbagai
keuntungan yang sebenarnya hanya “sedikit” dari kerjasama dengan Iran ini, kami
nilai sebagai kerjasama yang tidak berimbang1. Untuk itu, persoalan tersebut
perlu dikupas dalam edisi ini.
Padahal jika bicara tentang hubungan
diplomatik antar negara, maka hal prinsip yang seharusnya berlaku adalah
perlunya kerjasama mutualisme yang saling menguntungkan dan tidak mengganggu
keutuhan Negara lain. Persoalan yang terjadi dalam kerjasama dengan Iran adalah
ancaman syiah terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia belum dipahami secara
umum oleh berbagai kalangan masyarakat.
Hal ini, pada akhirnya membuat Iran
mengesankan berbagai nilai lebih yang bisa ditawarkannya pada berbagai bidang
seperti ekonomi, politik, dan teknologi telah membuat kerjasama tersebut
berimbang. Padahal jika diperhatikan efek dari kerjasama, perubahan terhadap
budaya dan nilai yang berkembang di tengah masyarakat memberikan pengaruh yang
lebih besar dibandingkan sekedar perubahan secara materi.
Masalahnya adalah tidak jarang karena
persoalan materi, orang rela untuk mengubah budaya dan nilai yang dimilikinya.
Kondisi inilah yang terjadi dalam hubungan Indonesia dengan Iran. Karena
beberapa kepentingan materi, terutama dalam hal kebutuhan minyak, dimana dari
nilai perdagangan Indonesia dengan Iran, 88% nya merupakan impor Indonesia
terhadap minyak Iran, maka pemerintah seakan abai dengan efek sosial budaya
yang terjadi.
Apalagi dengan cantik, Iran juga berharap agar
bisa menyimpan stok minyaknya di Indonesia, dan siap untuk terus membeliCrude Palm Oil (CPO) dari
Indonesia. Dari persfektif ekonomi, dimana Indonesia masih belum bisa
mengekplorasi sumber daya minyak dan memenuhi pasokan dalam negeri secara
mandiri, hal ini dinilai menguntungkan Indonesia.
Demikian juga dalam berbagai bidang lainnya,
seperti sains dan teknologi, serta militer, Iran memberikan tawaran yang
menarik. Hal ini misalnya terlihat dalam acara Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) di
Jakarta, pada 20 – 21 Maret 2013 tahun lalu, dimana Deputi Menteri Pertahanan
(Menhan) Iran bidang Internasional Brigjen Kalantari menawarkan kerjasama
bidang teknologi militer. Menurutnya, Iran telah mempunyai berbagai teknologi
pertahanan yang modern yang sangat mungkin untuk disharing dengan Indonesia.
Bukan hanya bidang kerjasama pada berbagai bidang yang
ditawarkan oleh Iran, melainkan cara yang ditempuh pun sangat cantik. Di
antaranya adalah dengan penggunaan media yang massif dan upaya menggaet
aktor-aktor intelektual, terutama dari berbagai kampus besar di Indonesia.
Artinya dari upaya untuk membangun opini publik, Iran bermain cantik agar peluang
penolakan dari berbagai kalangan masyarakat bisa diantisipasi.
Hal ini misalnya bisa terlihat dari upaya Kementerian Luar
Negeri Iran yang secara maksimal berusaha menjajaki kerjasama dengan kantor
berita nasional dan berbagai media, baik cetak maupun elektronik di Indonesia.
Harapannya adalah agar berbagai informasi dari Iran akan bisa menyebar luas di
Indonesia. Padahal, jika kita memahami struktur politik Iran, maka akan
terlihat bahwa kepala Radio dan Televisi
Iran ditunjuk oleh Ayatollah. Artinya isi beritapun harus sesuai dengan
kepentingan ajaran syiah.
Pengaruh Iran yang mempunyai tradisi filsafat dan keilmuan
yang cukup kental pun menjadi daya tarik bagi para pemuda dan ilmuwan
Indonesia. Pemerintah Iran dengan cerdik mendekati para intelektual yang
berasal dari berbagai kampus di Indonesia. Dengan cara ini, misi penyebaran
Syiah pun terlihat lebih ilmiah dan potensi ditolak pun semakin rendah.
Padahal, jika dilihat secara teliti, terutama berkaitan
dengan kepentingan sosial budaya Iran di Indonesia, maka kepentingan Iran yang
sesungguhnya semakin terlihat. Paling tidak, dari aspek sosial budaya,
ketidakberimbangan kerjasama ini bisa dipahami dengan beberapa realita berikut:
Pertama, Ketidakseimbangan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar
di Iran, dan mahasiswa Iran yang belajar di Indonesia. Hal ini bisa terlihat
dari banyaknya jumlah pelajar Indonesia yang belajar di Iran, bahkan sudah
mencapai angka 7000 orang. Artinya, jumlah pelajar Indonesia tersebut lebih
besar dari mereka yang belajar di Mesir.
Yang mengkhawatirkan adalah bahwa kebanyakan
dari para pelajar tersebut, berangkat ke Iran bukan dengan beasiswa yang
disepakati dalam kerjasama formal. Beasiswa tersebut mereka dapatkan dari
berbagai yayasan yang beraliran syiah. Adapun secara formal, hanya 200
mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk belajar di kampus Iran.
Pada sisi lain, sebagaimana layaknya
kerjasama, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
juga secara rutin, setiap tahunnya menawarkan beasiswa Darmasiswa kepada
pelajar Iran untuk belajar di Indonesia. Namun dari tahun 2005-2012, hanya 15
orang pelajar dari Iran yang mengikuti program beasiswa ini. Bahkan tidak ada
satu pun yang pernah berpartisipasi dalam Beasiswa Seni Budaya
Indonesia yang diadakan oleh Kemlu sejak tahun 2003.
Dari data di atas, terlihat bahwa perbandingan
yang tidak berimbang ini memungkinkan pengaruh Iran lebih besar masuk ke
Indonesia. Mengingat sebagian besar mendapatkan beasiswa dari yayasan syiah,
maka peluang percepatan penyebaran syiah di Indonesia juga semakin besar.
Sementara pengenalan budaya Indonesia ke Iran tidak bisa optimal dilakukan
mengingat hanya sedikit warga Iran yang belajar budaya Indonesia.
Kedua, Iran gesit membuka berbagai
sarana yang bisa memperkenalkan budaya dan nilai masyarakatnya kepada
masyarakat Indonesia, tetapi di sisi lain, kesempatan Indonesia untuk melakukan
hal yang sama terkesan dibatasi.
Hal ini a terlihat dari banyaknya pusat-pusat
kebudayaan dan informasi Iran yang didirikan di Indonesia. Sekarang ini, Iran
paling tidak telah memiliki 6 (enam) Islamic Cultural Center(ICC), di samping 12 Iran Corner di berbagai
perguruan tinggi di Indonesia seperti UIN Jakarta, UIN Bandung, UIN Riau,Universitas Muhamadiyah
Jakarta, dll.
Seorang dosen yang pandai berbahasa Parsi
pernah berkomentar bahwa ia bingung dengan alasan berbagai kampus tadi bersedia
untuk mendirikan Iranian Corner di Indonesia. Padahal jika dibaca, berbagai
referensi yang berbahasa Inggris memang terkesan umum memberikan informasi
tentang sosial, budaya, politik, dan ekonomi Iran, tetapi jika dibaca referensi
yang berbahasa Parsi, maka hampir semua buku yang tersedia berbicara tentang
ajaran syiah. Maka terlihat bagaiman Iran begitu cerdik membungkus kerjasama
yang mereka bangun dengan Indonesia selama ini.
Pada sisi lain, jika mau berfikir jernih,
sebenarnya akan terlihat kejanggalan lain dari kerjasama antara Indonesia
dengan Iran ini. Jika di atas dijelaskan bahwa dengan mudah Iran bisa
memperkenalkan budaya (syiah)nya ke tengah masyarakat Indonesia, kondisi
berbeda yang dialami oleh Indonesia ketika ingin memperkenalkan budaya
masyarakat yang sebagian besar ahlussunnah waljama’ah ini. Sampai saat ini,
Indonesia belum mempunyai satu pun Indonesian Corner di kampus-kampus besar
atau terkenal di Iran.
Bahkan terkesan pemerintah Iran kurang
mendukung upaya membangun pusat kajian Indonesia di Iran. Secara ketat
pemerintah Iran mengawasi pergerakan misi kebudayaan Indonesia di Iran. Bahkan
beberapa pentas kebudayaan Indonesia yang akan diadakan di Iran dilarang. Yang
lebih tidak fair adalah ketika pelarangan tersebut seringkali disampaikan
mendekati waktu pementasan, atau bahkan beberapa jam sebelum pentas dimulai.
Dari keadaan ini terlihat bahwa Iran sangat
gesit ingin menyebarkan ajaran syiah ke Indonesia, tetapi tidak ingin ada
bagian dari ajaran atau budaya ahlussunnah waljama’ah masuk dan berkembang di
negara mereka.
Ketiga, Iran secara aktif berusaha
mencari pengakuan agar ajaran syiah diterima sebagai bagian dari Islam,
sementara secara domistik mereka tidak menerima keberadaan kelompok ahlussunnah
waljama’ah.
Hal ini misalnya terlihat dari beberapa agenda
yang intens dikawal oleh Iran, seperti kegiatan pada bulan Januari 2013, di
mana mereka mengundang berbagai ormas Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dan
UIN untuk terlibat dalam kegiatanIntra Faith Dialogue and Cooperation Sunni-Shiite.
Pada bulan April 2013, Iran juga mengadakan
pertemuan World Assembly of Islamic Awakening di Taheran.
Menurut Iran, upaya ini merupakan langkah untuk mendorong persatuan umat Islam
di dunia. Menurut pemerintah Iran, hal ini merupakan upaya untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang terjadi di dunia Islam selama ini.
Apalagi dalam hubungannya dengan Indonesia,
mereka menyampaikan bahwa Indonesia dan Iran telah mempunyai hubungan dekat
sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu. Hal ini bisa dilihat dari situs-situ
kerajaan Samudra Pasai di mana di batu nisan ratu Naína Husam al-Din, terdapat
kutipan syair dalam bahasa Parsi dari penyair terkemuka Persia, Syeikh Muslim
al-Din Saádi (1193-1292 M).
Padahal jika kita lihat pada level domistik negara Iran,
maka ajaran ahlussunnah waljama’ah dilarang berkembang di negeri ini. Bahkan
tidak sedikit di antara ulama sunni yang dibunuh, dan masjid-masjid yang
dihancurkan.2
Maka berdasarkan berbagai realita di atas, cukup menjadi
gambaran besarnya ancaman syiah di Indonesia melalui pola kerjasama yang tidak
berimbang. Bahkan beberapa fakta telah menunjukkan bahwa syiah telah
menyebabkan berbagai tindak kekerasan di kalangan umat Islam Indonesia karena
ajaran mereka yang berbeda dan terus berkembang.
Menurut data BIN, sekarang paling tidak terdapat 29 penerbit dan 65 yayasan syiah yang tersebar di
Wonosobo, Banjarmasin, Samarinda, dan berbagai daerah Indonesia lainnya. Semua
penerbit dan yayasan tersebut berpotensi menyebabkan konflik di tengah
masyarakat.
Oleh karena itu, kita semua patut waspada, dan
berdoa semoga para pemimpin kita, terutama yang menangani hubungan kerjasama
antara Indonesia dan Iran juga mempunyai perhatian yang besar terhadap
persoalan ini.
Kita berharap semoga Indonesia bisa menjadi
bangsa yang semakin kuat dan mandiri serta tidak bergantung dengan negara lain
seperti Iran. Dengannya, kerjasama yang betul-betul berimbang dan tidak
dimanfaatkan oleh mereka untuk merusak tatanan berbangsa dan bernegara bisa
diwujudkan. Aamin. [*]
1 http://www.gensyiah.com/keuntungan-iran-lebih-banyak-dari-indoneia-indonesia-masuk-perangkap-iran.html
2 http://www.gensyiah.com/foto-para-ulama-ahlussunnah-yg-dipancung-pemerintah-syiah-iran.html; http://www.gensyiah.com/foto-para-ulama-ahlussunnah-yg-dipancung-pemerintah-syiah-iran.html;
http://www.gensyiah.com/bukti-pensyiahan-indonesia-secara-sitematis-bag-2.html.