Oleh: Faris Jihady, Lc
Terpecahnya
pemahaman keagamaan kaum Muslimin sejak awal sejarah Islam merupakan
keniscayaan dan sunnatullah (kehendak Allah) yang bersifat takdir, sebagaimana
diisyaratkan dalam berbagai nash (teks) AlQur’an dan Hadits.
Terpecahnya
pemahaman keagamaan ini bukan tanpa hikmah, ia merupakan ujian keimanan
bagi setiap muslim dalam konsistensi dan komitmen mereka bepegang teguh
pada Islam sebagaimana ia diwahyukan, karena pemegang teguh ajaran di era
ramainya terjadi penyimpangan, sebagaimana kata Nabi, bagaikan penggenggam
batu bara.
Pemahaman
keagamaan yang terpecah ini termanifestasikan dalam berbagai sekte atau
kelompok yang seiring perkembangan sejarah memiliki nama masing-masing yang
membedakan diri satu dengan lainnya. Hal yang merupakan kesamaan di antara
berbagai kelompok Islam, atau yang menisbatkan diri kepada Islam, adalah upaya
mereka untuk membangun konsep keagamaan yang utuh berdasarkan dalil dari
AlQur’an dan Sunnah, baik itu benar atau salah dalam berdalil. Karenanya tak
heran didapati bahwa setiap kelompok/sekte pasti mengklaim punya dalil baik
AlQur’an atau pun Sunnah. Hal ini merupakan hal wajar disebabkan –paling
tidak- dua hal;
a)
Setiap ajaran keagamaan agar ia kokoh dan meyakinkan, membutuhkan legitimasi
(baca: pembenaran) dari sumber-sumber agama (wahyu), karena secara alamiah
ajaran agama yang tidak memiliki legitimasi dari wahyu tidak akan bertahan
lama, karena kodrat manusia yang membutuhkan basis transendental yang
melampaui keberadaan dan pengalaman kemanusiaan mereka sebagai tempat
bersandar
b)
Secara sosial, akan ada penerimaan luas dari kalangan umat Islam, jika
kelompok/sekte tersebut mendasarkan ajaran keagamaannya pada wahyu, karena
akan timbul perasaan satu komunitas, bahwa kelompok tersebut masih bagian dari
umat Islam
Kelompok
Syiah Imamiyah, Rafidhah, Itsna Asyariyah, adalah berbagai penamaan yang
merujuk pada satu kelompok, yang pada hari ini merupakan sekte tua yang
bangkit secara ideologis maupun politik. Mereka tak terkecualikan dari tabiat
ini, menisbatkan diri kepada Islam, karenanya mereka pun berupaya membangun
ajaran keagamaannya berdasar wahyu, tentu berdasar klaim mereka.
Dalam
menilai klaim ini, patut kiranya setiap muslim memiliki standar umum yang
tegas, apakah klaim ini bisa diterima atau tidak? Apakah pemahaman mereka
terhadap dalil berdasarkan metode yang benar atau tidak? Hal ini penting agar
jelas mana yang dapat ditoleransi dan mana yang tidak dapat ditoleransi secara
keyakinan. Dari sini paling tidak dapat kita menilai pada dua level
kategori;
1)
Level referensi ajaran; apakah betul mereka menganggap wahyu sebagai sumber
ajaran? Bagaimana pandangan mereka terhadap wahyu dalam hal ini AlQur’an?
2)
Level metodologi dalam memahami referensi ajaran; apakah metodologi mereka
dalam memahami wahyu dapat diterima atau tidak?
Dalam
berbagai referensi mereka, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya konsep mereka
dalam masalah wahyu Al-Qur’an telah selesai dan utuh, sehingga dapat dilakukan
penilaian atas konsep tersebut, terlepas dari keyakinan personal masing-masing
pemeluk sekte.
Secara
ringkas dapat disimpulkan keyakinan mereka adalah;
1)
Pada level referensi; mereka meyakini bahwa AlQur’an mengalami tahrif
(distorsi), sebagian mengatakan, tidak lengkap dengan berpendapat sesungguhnya
ayat AlQur’an berjumlah 17,000 ayat, sedangkan yang sekarang jumlah hanya 6236
ayat hanyalah sepertiga saja, itu pun mengalami distorsi. Adapun dua
pertiganya, masih disimpan oleh para Imam yang ma’shum (terjaga dari
kesalahan), dan pada hari akhir akan disampaikan semuanya oleh Imam yang
terakhir versi ajaran mereka.
2)
Pada level metodologi, mereka melakukan tahrif (distorsi) dalam penafsiran
ayat-ayat AlQur’an sesuai dengan keinginan mereka, demi mendukung dan
membenarkan aqidah mereka, yang secara lebih detail akan lebih jelas pada
bagian berikut.
Faktor Utama
Faktor
utama dari perilaku dan keyakinan mereka terhadap AlQur’an, karena adanya
konsep Imamah yang merupakan keyakinan pokok dan sentral dalam keyakinan
Syiah. Secara ringkas, konsep Imamah adalah keyakinan mereka bahwa
kepemimpinan umat selepas Nabi wafat
diwariskan secara tegas berdasarkan wahyu kepada keturunan beliau yang
berjumlah 12 orang, atau 12 imam. Para Imam ini diyakini bersifat ma’shum
(terjaga) dari kesalahan, dan setiap perkataan mereka setara dengan wahyu.
Pada tataran sikap terhadap AlQur’an
sebagai sumber, jika diteliti secara mendetil pada referensi-referensi syi’ah
secara umum, maka akan ditemukan sangat banyak pendapat ulama mereka, bahkan
mendekati konsensus (ijma’) bahwa AlQur’an bukanlah hujjah, dan AlQur’an pada
dasarnya diwariskan kepada Ali bin Thalib ra setelah Nabi Muhammad wafat,
dan para sahabat penyalin teks AlQur’an telah melakukan perubahan terhadap
teks wahyu.
Seorang peneliti Syiah, Muhammad asSaif, menghitung sekitar 20 ulama yang merupakan rujukan utama Syiah sepanjang kurun sejarah, yang berpendapat bahwa AlQur’an mengalami perubahan dan pengurangan.
Seorang peneliti Syiah, Muhammad asSaif, menghitung sekitar 20 ulama yang merupakan rujukan utama Syiah sepanjang kurun sejarah, yang berpendapat bahwa AlQur’an mengalami perubahan dan pengurangan.
Pada
tataran metodologis pemahaman terhadap AlQur’an sebagai referensi, ada beberapa
konsep yang mereka pakai dalam memahami AlQur’an, atau dalam istilah ilmiah,
Ushul Tafsir (pokok-pokok penafsiran) menurut Syiah.
Pokok-pokok
penafsiran tersebut antara lain;
1. Otoritas penafsiran hanya milik para 12
Imam yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), Kenapa? Karena AlQur’an ada yang
kurang, karenanya yang menafsirkan harus orang yang tersambung dengan wahyu,
yaitu para Imam. Ini melahirkan masalah bagi internal keyakinan mereka, karena
warisan riwayat penafsiran para Imam ahlul bait jumlahnya sangat sedikit
sekali, ini memaksa mereka untuk berdusta, kemudian mengarang riwayat-riwayat
atas nama ahlul bait bahwa mereka menafsirkan ayat AlQur’an.
2. Menolak penafsiran sahabat dan tabi’in
secara mutlak. Kasyiful ghita’ –seorang ulama syiah- mengatakan; para sahabat
tidak setara dalam pandangan syiah meskipun dibandingkan dengan sayap nyamuk.
Ulama tafsir syiah lain, Muhammad Murtadha, mengatakan; tidak ada nilainya
penafsiran para sahabat, karena mereka murtad setelah Nabi Muhammad wafat.
Ada juga yang mengatakan karena mereka bukan manusia ma’shum.
3. Al-Qur’an ada zahir dan batin. Mereka
menggunakan metode ini, karena secara zahir tidak ada satu pun teks ayat
AlQur’an yang memberikan pembenaran terhadap keyakinan mereka terhadap konsep
Imamah, ini mendorong mereka untuk mengada-adakan penafsiran yang bersifat
batiniah, bahwa para Imam yang ma’shum memahami makna batin ayat AlQur’an
meskipun secara lahiriah ayat tersebut sama sekali tidak menunjuk pada makna
tersebut. Keyakinan adanya zahir dan batin dari teks AlQur’an, juga
berimplikasi pada tuduhan bahwa Nabi tidak
menyampaikan makna penjelasan qur’an kepada orang banyak, ada yang
disembunyikan untuk orang tertentu, dengan kata lain Nabi Muhammad berkhianat atau
menyembunyikan risalah. Di sisi lain, jika mereka mengatakan bahwa Nabi tidak
mengetahui makna dari wahyu, sedangkan para Imam tahu, berarti para Imam lebih
tinggi dari nabi.
4. Setiap ayat yang mengandung celaan
tentang kufur, munafik dijatuhkan kepada musuh2 Ali bin Abi Thalib ra dan
ahlul bait, sedangkan ayat-ayat yang mengandung pujian kebaikan, dijatuhkan
kepada Ali dan ahlul bait. Ini disebut metode AlJaryu, dan dengan metode ini
tampak jelas penafsiran ayat sesuai dengan kepentingan ideologis mereka.
Beberapa
contoh penafsiran kelompok Syiah;
a)
Pada ayat QS ArRahman;
“( 19 ) Dia membiarkan dua lautan
mengalir yang keduanya kemudian bertemu,( 20 ) antara keduanya ada batas yang
tidak dilampaui masing-masing. ( 21 ) Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan? ( 22 ) Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”.
AtTabatabai-seorang
ulama syiah- mengutip riwayat palsu yang disandarkan kepada Ibn Abbas ra;
bahwa makna dari “dua lautan”
adalah Ali & Fatimah ra, dan “batas”
adalah Nabi Muhammad , sedangkan “mutiara dan marjan” adalah Hasan dan
Husain ra.
b)
QS AlMaidah;
”( 67 ) Hai Rasul, sampaikanlah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”
Muhammad
Jawab Mughniyah, seorang penafsir Syiah kontemporer, mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan dengan perintah untuk menyampaikan, adalah informasi tentang
kepemimpinan (imamah) Ali ibn Thalib ra setelah Nabi Muhammad wafat.
c)
QS Al-A’raf;
”( 31 ) Hai anak Adam, pakailah pakaianmu
yang indah di setiap (memasuki) mesjid”
AtTabataba’i,
mengutip riwayat lemah yang menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah
perintah untuk mandi setiap bertemu dengan para Imam yang ma’shum.
Kesimpulan; relasi antara Syiah dengan
AlQur’an
Dari
paparan ringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa relasi antara kelompok Syiah
dengan Al-Qur’an sebagai wahyu dan dasar dalam beragama, tidak lebih adalah
relasi yang dipaksakan, pada hakikatnya sangat jauh dan renggang hubungan
antara keduanya. Ada upaya penyelewengan dan pemaksaan penafsiran yang sangat
nampak terhadap AlQur’an, tanpa peduli dengan kaidah-kaidah yang benar.
Benarlah ketika Ibn Taimiyah berkata: “kaum Rafidhah sama sekali tidak
memiliki perhatian untuk menghafal Qur’an, mempelajari maknanya, dan tidak
pula mempelajari petunjuk-petunjuk untuk memahami maknanya”.
Wallahu
a’lam
Beberapa bacaan lanjutan;
• Al-Khututh Aridhah li AsSyiah (pokok pikiran syiah) , Muhibudin AlKhatib
• AsSyiah wa tahriful Qur’an (syiah dan penyelewengan alqur’an), Muhammad
AsSaif
• Minhaj AsSunnah, ibn Taimiyah