Oleh: Fahmi Salim, MA
Dalam konteks inilah, Haidar keliru. Saat menyebutkan satu-dua dakwaan atau
nukilan, ia tidak menyebut sumber apalagi memverifikasi kesahihannya. Jadi
harap dimaklumi. Tak bermaksud semena-mena, tetapi menaati kode etik, yang
mungkin ditafsirkan lain. Ini berbeda dengan ulama salaf yang dengan amanah
telah menyebutkan sanad lengkap, dan menjadi tugas peneliti selanjutnya untuk
memverifikasi kebenarannya.
Pertama, masih soal Tahrif (distorsi dan
ketidaklengkapan) Al-Qur’an di kalangan Syiah dan Sunnah. Saya tegaskan bahwa
Ahlusunnah secara mutlak menerima keotentikan, kelengkapan dan kemutawatiran
mushaf Usmani yang ada saat ini --tanpa ada pengurangan dan tambahan
sedikitpun. Namun tak jarang, kalangan Syiah menuduh balik bahwa indikasi
tahrif banyak ditemukan dalam riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab
hadis standar di kalangan sunnah. Saudara Haidar telah menyebutkan di antara
contoh sebagiannya.
Contoh-contoh riwayat yang berbau ‘Tahrif’, yang disebut Haidar, sangat
akrab di kalangan pengkaji ilmu Al-Qur’an dalam kajian Nasikh-Mansukh. Berbagai
literatur seperti Al-Burhan (vol.2/41-46) karya Az-Zarkasyi, Al-Itqon
(hlm.332&336) karya As-Suyuthi dan Manahil Irfan (vol.2/154-155) karya
Az-Zarqani memberi contoh hadis Sayidah Aisyah tentang hukum 10 kali susuan
yang dinasakh oleh 5 kali susuan (HR.Muslim) untuk kategori nasakh (konsep
abrogasi) baik pada hukum dan bacaan Al-Qur’an. Sedangkan riwayat Sayidina Umar
tentang ayat rajam (HR.Bukhari) dan riwayat Ubay ibn Ka’ab tentang ayat rajam
(HR.Ibnu Hibban), dijadikan contoh untuk kategori nasakh pada bacaan saja, dan
hukumnya tetap berlaku.
Menilai riwayat-riwayat yang dikategorikan nasikh-mansukh menurut
konsep ‘Ahlusunnah’, dan menyamakan dengan ‘Tahrif’ adalah suatu kekeliruan
yang mendasar. Ulama Ahlusunnah memandang adanya nasakh di dalam Al-Qur’an, ---
yang tentunya adalah hak prerogatif Allah SWT dan hanya bisa terjadi selama
Rasulullah hidup dan atas kewenangannya –bukan suatu distorsi (Tahrif) dan
ketidaklengkapan Al-Qur’an.
Nukilan dari Aisyah, seperti dikutip Haidar, bahwa surah Al-Ahzab aslinya 200
ayat lalu tersisa hanya 73 ayat dalam mushaf Usmani, ditinjau dari
sanadnya dhoif. Karena hadits itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid
(penulis Fadha’il Al-Qur’an) sampai ke Aisyah, yang rawinya Ibnu
Lahi’ah dinilai mukhtalit (hafalannya amburadul) setelah
kitab-kitabnya hangus terbakar, sehingga sanadnya dhoif/lemah (Mizan
Al-I’tidal vol.2/475-477). Demikian pula nukilan dari Ubay ibn Ka’ab
bahwa jumlah surah Al-Ahzab setara dengan Al-Baqarah (286 ayat), ternyata
seorang rawinya Al-Mubarak ibn Fadhalah adalah mudallis yang dinilai
dhoif/lemah, seperti penilaian Abu Dawud dan Abu Zur’ah dalam Al-Mudallisin(vol.1/80).
Nah, tidak seperti dikesankan Haidar bahwa fakta itu ditengarai bentuk Tahrif,
lagi-lagi jika mau jujur, justru riwayat Aisyah dan Ubay di atas ditempatkan
oleh As-Suyuthi dalam kategori nasakh tilawah (lihat hlm.336).
Artinya, Suyuthi ingin menegaskan bahwa sisa 127 ayat atau 213 ayat semuanya
telah dinasakh bacaan dan hukumnya. Kecuali ayat Rajam yang
hukumnya tetap berlaku meski bacaannya telah dinasakh. Inilah yang ditegaskan
kembali oleh Al-Bayhaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (vol.8/211), Qadhi Abu Bakr
Al-Baqillani dalam Al-Intishar lil Qur’an (vol.1/406), dan Ibnu Hajar Asqallani
dalam Fathul Bari (vol.12/144).
Jadi kesimpulannya, riwayat-riwayat itu hanya untuk konteks nasikh-mansukh,
dan bukan pembuktian terjadinyaTahrif dalam Qur’an menurut ulama
sunni. Saudara Haidar sebagai pendukung Syiah seharusnya memahami masalah ini.
Menyamakan atau sengaja mengaburkan konsep Naskh dengan Tahrif jelas kesalahan
fatal. Jangan memaksakan cara pandang Syiah pada referensi kaum Sunni.
Selanjutnya, yang kedua, soal riwayat pengutukan Ali ibn Abi
Thalib. Saya tidak memungkiri ‘adanya’ cerita-cerita fantastis yang tertuang
dalam buku-buku tarikh yang Saudara Haidar sebutkan. Namun sekali lagi, sumber
tertua pangkal dari cerita itu adalah riwayat Ibnu Sa’d dalam Thabaqat.
Jika Ali Al-Madaini bisa sedikit ditolerir, namun kelemahan riwayat lebih berat
karena faktor guru al-Madaini yaitu Luth ibn Yahya Al-Kufi. Dia lah yang saya
maksud semua pakar dan imam hadits menilainya lemah. Al-Dzahabi dalam Siyar
A'lam An-Nubala (vol.7/301-302) menulis: "Abu Mikhnaf Luth ibn
Yahya Al-Kufi, penulis kitab tasnif dan tarikh, meriwayatkan dari Jabir
al-Ju'fi, Mujalid ibn Sa'id, Sha'qab ibn Zuhair, dan sekelompok orang tak
dikenal (majhulin)…Yahya ibn Ma'in berkata: (orang ini Luth ibn Yahya)
tidak tsiqoh, Abu Hatim berkata: hadisnya ditinggalkan,
Ad-Daruquthni berkata: tukang pemberi kabar yang lemah. Selain itu, Abu Mikhnaf
adalah tukang berita yang rusak dan tak dipercaya. (Mizan Al-I’tidal,
vol.3/409)
Mengutip riwayat Sahih Muslim dari Sahl ibn Sa’ad (no.2409) juga kurang tepat
dalam konteks pengutukan. Sebab Imam Muslim justru memasukkan hadits itu dalam
Bab Min Fadha’il Aly ibn Abi Thalib (Keutamaan Ali R.A.).
Memang tidak mudah menyeleksi riwayat yang tertuang dalam buku-buku sejarah,
juga menganalisanya secara adil. Apalagi sering dijumpai oknum-oknum tertentu
dengan motif politis memperkeruh suasana dalam setiap periode penulisan
sejarah.
Penting dicatat, Ahlusunnah sepanjang sejarah tidak pernah
membela, merestui dan apalagi menjadikan pengutukan terhadap para sahabat dan
ahlul bait Nabi – terlebih Sayidina Ali -- sebagai akidah atau dendam kesumat
yang tertanam kuat secara resmi.
Bisa dibayangkan,
dengan asumsi cerita kutukan terhadap Sayidina Ali selama 70 tahun (yang diragukan
kebenarannya) itu sudah sangat tercela, bagaimanakah lagi pengutukan terhadap
Khalifah Abu Bakr dan Umar, serta istri Nabi yang dilestarikan lebih dari 1000
tahun–dan entah sampai kapan-?
Dalam I’tiqad Ahlusunnah, semua sahabat dan keluarga Nabi, tanpa
terkecuali, adalah orang-orang mulia yang terdidik dalam madrasah nubuwwah dan
berjuang bertahun-tahun menegakkan panji Islam bersama Rasulullah.
Pengorbanan nyawa, harta dan keluarga sudah tak terhitung. Mustahil rasanya,
manusia-manusia yang disanjung berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadis nabi,
mereka sontak berubah menjadi manusia tak bermoral dan beragama seketika hanya
karena rebutan tahta dunia. Kecuali jika kita hendak katakan, bahwa Rasul telah
gagal total dalam dakwahnya dan Allah SWT salah karena telah memuji kualitas
iman mereka. Ini sama artinya merendahkan Allah dan Rasul-Nya, Wal’iyadzu
billah!
Polemik ini semoga lebih membuka wawasan umat, bahwa masih ada
ganjalan-ganjalan teologis dan historis dalam hal hubungan muslim Sunni dan
Syiah. Jurang perbedaan antara keduanya juga lebar baik dalam aspek ushul
akidah maupun furu’ agama.
Agar tidak terjadi
hal-hal yang tak diinginkan bersama, juga demi keutuhan bangsa ini, maka
benarlah ajakan Saudara Haidar agar semua elemen Syiah tidak mendakwahkan
ajarannya di tengah mayoritas mutlak Sunni. Jika himbauan itu tidak diindahkan
serius, terus terang saya kuatir nasib persatuan bangsa ini, dimana muslim
sebagai mayoritas, akan terkoyak dan tercabik-cabik. Cukup sudah pengalaman
konflik sektarian di Iraq, Libanon dan Pakistan menjadi pelajaran berharga bagi
kita semua.
Sayangnya, Penerbit Mizan yang dipimpin Saudara Haidar, sejak 1983
terus-menerus menerbitkan buku berjudul Dialog Sunnah-Syi’ah –sebuah dialog
fiktif yang dikarang Syarafuddin Al-Musawi- yang mengandung fitnah dan
penghinaan terhadap Istri Nabi Muhammad saw, terutama Aisyah R.A.
Terakhir, apa yang saya tulis ini adalah bagian dari tawashaw
bil-haq dan tawashaw bil-shabr secara objektif,
ikhlas, dan tajarrud pada al-haq seperti harapan Sdr. Haidar. Agar umat semakin
cerdas dan dewasa. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI)
Artikel terkait :