Oleh:
Kholili Hasib
POLEMIK Ahlus
Sunnah-Syiah tentang kesesatan Syiah di harian Republika tahun lalu ternyata
membuat kelompok Syiah meradang. Kemarahan dan kegalauan Syiah ditumpahkan
dalam buku berjudul “Kesesatan Sunni-Syiah, Respon atas Polemik di harian
Republika” ditulis oleh Babul Ulum (BU), mahasiswa s-3 UIN Jakarta dan alumni
pesantren Gontor.
Diterbitkan oleh
Aksara Pustaka Depok pada Januari 2013. Bahasa yang ditulis dalam buku tersebut
cenderung tidak memakai etika serta adab terhadap tokoh dan institusi terhormat.
Dalam pengantarnya,
BU menuduh MUI memprofokasi umat Islam Sampang untuk berbuat anarkis, “Para
pelaku kriminal tersebut berbuat anarkis karena merasa telah memperoleh lampu
hijau dari para provokator yang bergabung dalam MUI Sampang dan Jatim”.
Dalam pengantarnya
tersebut BU juga melemparkan tuduhan bahwa MUI Jawa Timur dan Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menebar virus kebencian
antarsesama umat Islam.
Tentu saja, bagi
yang sudah menelaah fatwa MUI Jawa Timur yang diterbitkan pada 21 Januari 2012
akan mudah menyimpulkan bahwa si penulis dan mungkin saja tokoh-tokoh Syiah
lainnya sedang ‘terbakar emosinya’, sehingga tidak utuh membaca butir-butir
fatwa MUI Jatim.
Sebab, tidak ada
sama sekali himbauan, surat resmi apalagi fatwa untuk menyerang pemeluk Syiah
di Sampang Madura. Fatwa itu diterbitkan juga bukan untuk memancing amarah
Syiah, tapi justru untuk mengamankan antara Sunnah dan Syiah. Syiah pasti
keberatan dengan fatwa tersebut, karena kedok-kedok kesesatannya terbuka.
Mari kita telaah
fatwa itu secara utuh. Dalam rekomendasinya MUI Jatim menulis tujuh butir.
Pada butir (b)
tertulis: “Kepada Umat Islam diminta untuk tidak mudah terprovokasi melakukan
tindakan kekerasan (anarkisme), karena hal tersebut tidak dibenarkan dalam
Islam serta bertolak belakang dengan upaya membina suasana kondusif untuk
kelancaran dakwah Islam”.
Pada butir (e)
rekomendasi fatwa itu tertulis, “Kepada Pemerintah baik Pusat maupun Daerah
dimohon agar bertindak tegas dalam menangani konflik yang terjadi, tidak hanya
pada kejadiannya saja, tetapi juga faktor yang menjadi penyulut terjadinya
konflik, karena penyulut konflik adalah provokator yang telah melakukan teror
dan kekerasan mental sehingga harus ada penanganan secara komprehensif”.
Latar belakang
diterbitkannya fatwa sesat tersebut justru karena dipicu ajaran Tajul Muluk
yang menghina sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Tajul dihukum dua
tahun penjara.
Jadi, siapakah yang
provokator di Sampang? Akal sehat pasti akan menyimpulkan bahwa pelaknatan sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam oleh Tajul-lah yang memicu Sampang membara.
Sebelum ada ajaran pelaknatan, umat Sampang aman, dan damai. Jika BU dan
kelompok Syiah Indonesia membela Tajul, berarti sama saja menyokong tumbuhnya
benih-benih permusuhan terhadap umat.
Sebagaimana sudah
menjadi kebiasaan, Syiah selalu menghindar untuk berdalil menggunakan
kitab-kitab standar mereka. Mereka mencari-cari dalil di kitab Ahlus Sunnah
dengan cara memutilasi penafsiran dan kalimat. Strategi ini untuk mengelabuhi
umat Ahlus Sunnah bahwa basis ideologi Syiah juga ditemukan di referensi Ahlus
Sunnah. Inilah bentuk taqiyah akademik Syiah.
Di antaranya
menyodorkan riwayat Ibnu Asakir yang terdapat dalam Tarikh Dimasyqa yang
berbunyi:
لكل نبي وصي ووارث وإن عليا وصيي ووارثي
“Setiap Nabi
mempunyai seorang washi dan pewaris. Sesungguhnya Ali adalah wahiku dan
pewarisku”.
Padahal riwayat ini
menurut Imam al-Suyuthi palsu (lihat Lu’lu’ al-Mashnu’ah fi Ahadits
al-Maudhu’ah jilid I hal. 368). Begitupula imam al-Zarqani, menurutnya hadits
ini tertolak, sanadnya tidak jelas.
Hadits berikutnya
berbunyi:
أنت مني بمنزلة هارون من موسى
“Kedudukanmu di
sisiku seperti Harun di sisi Musa.” (HR. Bukhari Muslim). Hadits ini menjadi
andalan Syiah untuk melakukan tipuan terhadap jamaah Ahlus Sunnah. Bahwa akidah
Syiah telah dilegitimasi oleh hadits Sunni.
Syeikh Ali Ahmad
as-Salus dalam Ma’a al-Syiah al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’
(mausu’ah syamilah) Dirasa Muqaranah fi al-‘Aqoid wal Tafsir yang diterjemahkan
dalam edisi Indonesia “Ensiklopedi Sunnah-Syiah”, menjelaskan secara utuh
asabab al-wurud hadits tersebut.
Ketika perang Tabuk,
Ali dipercaya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam untuk menggantikan
tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam di Madinah. Ali bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah engkau mempercayaiku sebagai pengganti tugasmu bagi kaum
wanita dan anak-anak?” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau tidak mau untuk aku
jadikan seperti kedudukan Harun dari Musa, akan tetapi ketahuilah bahwa tidak
ada Nabi sesudahku”.
Hadits ini menunjukkan keutamaan Ali sebagai orang kepercayaan Rasulullah saat
Rasulullah berangkat perang di Tabuk. Hadits ini tidak menunjukkan pengangkatan
Ali sebagai Khalifah.
Tidak ada term yang
jelas dan lugas dalam hadits itu. Penunujukan Rasulullah itu ternyata sudah
biasa beliau lakukan kepada sahabat-sahabat yang lain, selain Ali. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah mengangkat Ibn Abi Maktum untuk mengganti
tugas Rasul sebagai kepala pemerintahan di Madinah saat Rasul perang dengan
Bani Nadhir dan Khandaq.
Begitupula pernah
menunjuk Ustman bin Affan ketika beliau keluar dalam perang Dzaturriqa’ dan
menunjuk Abdul Mundzir ketika Nabi berangkat perang Badar.
Jika penunjukkan Ali
pada perang Tabuk itu oleh BU dianggap sinyal bahwa Ali menjadi Khalifah Rasul
atau Imam, tentu konsekuensinya Ibnu Abi Maktum, Ustman, dan Abdul Mundzir juga
harusnya menjadi Khalifah Rasul dan imam bagi kaum Syiah. Tapi kenyataannya
justru kaum Syiah melempar sahabat Ustman dari barisan murid Rasul yang adil.
Bahkan dicela dan dimaki.
Lagi-lagi, Syiah
melakukan manipulasi penafsiran. Sejatinya ini bukan perbedaan penafsiran
hadits, tapi penyelewengan atau penyesatan hadits Rasul. Tentu saja berbeda
antara penafsiran dan penyesatan. BU membela diri bahwa perbedaan antara Ahlus
Sunnah dan Syiah itu pada perbedaan interpretasi. Ia menulis, “Jadi masalahnya
di sini pada perbedaan interpretasi. Dalam masalah ini semestinya tidak boleh
ada klaim kebenaran dan saling menyesatkan. Masing-masing pihak memiliki kaca
mata kebenaran yang berbeda” (hal. 22).
Pembelaan diri Syiah
biasanya dengan mengangkat logika relativisme dan menutupi dalil dalam
referensi standar Syiah. Relativisme adalah ajaran bahwa tidak ada lagi nilai
yang memiliki kelebihan dari nilai-nilai agama. Satu keyakinan tidak boleh
mengklaim memiliki kebenaran absolut yang paling benar. Ajaran ini merupakan
inti paham liberalisme. Jika telah terpojok Syiah biasanya memakai pisau ini
untuk membela diri.
Klaim syiah bahwa
Ali sebagai Imam itu bagian dari akidah Syiah. Bahkan dari akidah ini syiah
memperlihatkan sebagai sekte Takfiri. Al-Kulaini, penyusun kitab al-Kafi,
mengatakan bahwa orang yang tidak mengakui Ali sebagai imamah adalah musyrik
(Muhammad bin Ya’qub al-Kulayni, al-Kafi juz I hal. 427). Al-Majlisi dalam
Bihar al-Anwar mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya ungkapan lafadz Syirik dan
kufur itu ditujukan untuk orang yang tidak beriman terhadap keimamahan amirul
mu’minin (Ali)” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 23 hal. 390).
Dua hadits di atas
dalam pandangan Syiah, merupakan hadits-hadits dalam kategori akidah. Sehingga
penyelewangan Syiah terhadap makna hadits sangat terlampau jauh. Oleh sebab
itulah, maka ini bukan sekedar beda tafsir. Yang tepat ini penyesatan makna hadits.
Perbedaan penafsiran itu memang ada di kalangan ulama’. Tapi perbedaan
penafsiran pendapat itu biasanya terjadi dalam ranah ijtihadiyah dalam
teks-teks yang bersifat dzaniyyat. Perbedaan ini dapat pula disebut tanawwu’
(variatif) (Ibn Taimiyah, Iqtida’ Shirat al-Mustaqim,124).
Kontradiksi cukup
kelihatan ketika BU menyodorkan hadits riwayat Bukhari, bahwa terdapat satu
riwayat tentang murtadnya sebagaian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam
yang diakui shahih oleh Ahlus Sunnah. Hadits tersebut berbunyi:
Dari Abu Hurairah,
ia berkata, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, ‘Pada hari
kiamat segolongan dari sahabatku (ashabiy) akan menghampiriku. Tiba-tiba mereka
dijauhkan dari telaga. Maka aku berkata, ‘Tuhan! Mereka para sahabatku’. Dia
menjawab, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui (bid’ah) apa yang mereka
ada-adakan sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka telah murtad dari apa yang telah
diperintahkan.” (HR. Bukhari).(hal. 34).
BU mengomentari
hadits tersebut, “ … tidak berlebihan sekiranya kita simpulkan bahwa hadits
murtadnya sahabat adalah mutawatir”. Menurut BU, MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin
menuduh Syiah memurtadkan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah
keliru. Sebab, katanya, justru Syiah mengetahui kemurtadan sahabat dari riwayat
Ahlus Sunnah (baca hal. 35).
Logika BU tampak
makin terlihat kebingungan. Pada halaman-halaman sebelumnya ia menolak Syiah
dikatakan memurtadkan sahabat, dan membela Tajul Muluk. Namun, di halaman 34-35
ia menyodorkan hadits Bukhari bahwa Syiah mengetahui kemurtadan shabat dari
hadits Bukhari tersebut. Artinya, BU sesungguhnya mengakui ada sahabat yang
murtad, meski itu diakui ‘nyontek’ dari hadits Bukhari.
Lantas bagaiman
hadits riwayat Bukhari di atas? Dalam kitab Fath al-Bari 13 hal.197, al-Khattabiy
menjelaskan hadits ini:
قال الخطابى: لم يرتد من الصحابة أحد وانما ارتد قوم من
حفاة الاعراب ممن لا نصرة له فى الدين وذلك لا يوجب قد حا فى الصحابة المشهرين
Al-Khathaby berkata:
“Tidak seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi telah murtad, tiada lain
sesungguhnya yang murtad adalah kelompok dari pembelot-pembelot di kalangan
bangsa Arab pedesaan, itu kelompok yang tidak pernah menolong kepentingan
Islam.”
Pada kitab dan halaman yang sama Imam ‘Iyadl dan al-Baji mengatakan bahwa yang
tidak bisa minum air di al-Haudl adalah orang-orang yang murtad di masa setelah
wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Mereka adalah orang-orang yang
diperangi oleh Abu Bakar. Pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wassalam, terdapat orang-orang yang baru masuk Islam murtad dari Islam. Namun
yang murtad tidak ada dari para pembesar-pembesar sahabat. Orang yang murtad
ini bukan lagi al-shahabat, sebab definisi sahabat adalah orang yang beriman
yang bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan meninggal dalam keadaan
beriman.
BU menyontek matan
hadits tersebut namun mengkreasi sendiri makna yang jauh dari yang sesungguhnya
sebagaimana diterangkan dalam kitab Fath al-Bari syarah kitab al-Bukhari.
Inilah yang disebut Kalimatun haq urida biha Bathil (kalimat benar digunakan
untuk kepentingan kebatilan).
Ahlus Sunnah tidak
pernah mengajarkan penistaan apalagi pemurtadan sahabat. Di kalangan Syiah,
ajaran cacian sahabat itu sudah tidak bisa ditutup-tutupi. Dari dulu hingga
kini doktrin cacian itu terpelihara dan diamalkan oleh Syiah. Kelompok Syiah
tentu saja membela diri bahwa Syiah sekarang tidak mengamalkan ajaran itu. BU
menulis, “Ayatullah Ali Khamanei dan Ayatullah Ali Sistani mengharamkan
penistaan terhadap simbol-simbol yang dimuliakan Ahlus Sunnah” (hal. 32).
Tapi, ternyata tokoh
panutan Syiah kontemporer, Khumaini, secara keci mencaci sahabat. Dalam buku
Kitab al-Thaharah jilid III halaman 457 karya Khumaini mengatakan bahwa Aisyah,
Talhah, Zubair dan Mu’awiyah dan orang-orang sejenisnya secara lahir tidak
najis, tapi mereka lebih buruk dan menjijikkan dari anjing dan babi (Kanu
akhbas min al-kilab wa al-khanazir).
Harusnya, BU dalam
bukunya serta kaum Syiah, jika memang benar tidak mecaci sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam menyelesaikan keanehan-keanehan pendapat para
tokoh-tokoh mereka sendiri, seperti Khumaini. Kenyataannya, tidak ada koreksi,
justru tokoh-tokoh baik klasik maupun kontemporer jadi panutan Syiah dalam
mengamalkan ajarannya. Tidak perlu BU mencari-cari dalil dalam kitab Ahlus
Sunnah. Apalagi merendakan secara tidak etis tokoh Ahlus Sunnah Indonesia dan
para penulis majalah Gontor yang ia sebut ‘tidak berkelas’. Syiah secara keji
menghina para sahabat dan Aisyah, tapi mereka keberatan disesatkan dan dicaci
ajarannya. Salah satu ciri aliran sesat memang loginya cenderung kontradiksi.*
Penulis adalah
Alumni Pascasarjana ISID Gontor-Peneliti InPAS Surabaya